• Tidak ada hasil yang ditemukan

State Certain socio-econo mic

C. Evapotrans pirasi

6 ANALISIS KESESUAIAN SPASIAL BERBASIS KERENTANAN DAN DAYA DUKUNG PULAU-PULAU KECIL DAN DAYA DUKUNG PULAU-PULAU KECIL

6.1 Kerentanan Parsial

140

6 ANALISIS KESESUAIAN SPASIAL BERBASIS KERENTANAN DAN DAYA DUKUNG PULAU-PULAU KECIL

6.1 Kerentanan Parsial

Kerentanan pesisir meliput i kerentanan lingkungan (environmental

vulnerability) dan kerentanan ekonomi (economic vulnerability). Kerentanan

lingkungan berbeda dengan kerentananekonomi disebabka n oleh tiga hal, yaitu :

(1) lingkungan termasuk didalamnya sistem yang kompleks dengan perbedaan

disetiap level kelompok spesies dan karakteristik fisik habitat, (2) berbeda dengan

indikator umum untuk manusia (sosial) yang dapat digunakan secara luas dengan

menggunakan asumsi bahwa kebutuhan dan ambang batas untuk resiko pada

umumnya sama, sedangkan indikator untuk lingkungan sangat diba tasi oleh

kondisi geografi dan (3) indikator ekonomi dapat diekspresikan dalam unit uang

yang dapat digunakan secara luas diseluruh dunia dengan menggunakan unit

pembanding (Kaly et al. 2005). Penelitian ini mengacu pada dua jenis kerentanan

tersebut di atas yaitu kerentanan lingk ungan da n ke rentana n eko nomi.

6.1.1 Kerentanan Lingk ungan

Kerentanan lingkungan yang diukur pada penelitian ini meliputi keterbukaan (sea level rise, tinggi gelombang dan rata-rata kisaran pasang surut); sensitifitas (elevasi/ kemiringa n dan geomorfologi pulau) serta daya adaptasi (kondisi habitat lamun, jenis lamun, persentase tutupan karang dan jenis terumbu karang). Hasil penelitian yang dilakukan diperoleh nilai kerentanan pulau-pulau kajian dapat dilihat Tabel 24. Hasil penilaian kerentanan di tiap sel menunjukkan bahwa pulau-pulau kajian memiliki tingkat kerentanan yang variatif yaitu kerentanan yang sangat tinggi hingga kerentanan rendah. Komponen-komponen nilai kerentanan untuk tiap sel di lokasi studi dapat dilihat pada Lampiran 2.

A Exposure (Keterbukaan)

Keterbukaan merupaka n salah satu konsep dari kerentanan yang memiliki pengertian umum dalam hal tingka tan da n jangka wakt u da ri suatu sistem berinteraksi dengan gangguan. Keterbukaan ini pada sebagian besar formulasi

130

merupakan salah satu elemen pengembangan kerentanan. Keterbukaan merupakan

sebuah atribut dari hubungan antara sistem dan gangguan (system and

perturbation). Keterbukaan berhubungan dengan pengaruh atau stimulus dampak

pada suatu sistem. Dalam kaitannya dengan perubahan iklim (kenaikan muka laut), tidak hanya menyangkut masalah ke jadian da n po la iklim yang mempengaruhi sistem, tetapi juga dapat dalam skala yang lebih luas seperti perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem itu sendiri yang diakibatkan oleh efek dari perubahan iklim. Keterbukaan menggambarkan kondisi iklim yang berlawanan dengan operasional dari sistem dan perubahan dari kondisi tersebut (Allen 2005). Suatu masyarakat dan sistem alam yang berbeda juga akan

mengalami bentuk keterbukaan yang berbeda dalam hal besaran (magnitude) dan

frekuensi dari suatu ganggu an (Luers et al. 2003).

Keterbukaan pada penelitian ini menghitung sea level rise (ke naikan muka

laut), tinggi gelombang dan kisaran pasang surut. Hasil penilaian kerentanan di tiap sel wilayah pulau-pulau yang dikaji menunjukkan tingkat kerentanan yang berbeda-beda. Parameter kenaikan muka laut menunjukkan tingkat kerentanan sangat tinggi hingga kerentanan sedang. Kajian kerentanan pada parameter tinggi gelombang menunjukkan kerentanan sangat tinggi berada pada Pulau Balang Lompo dan Pulau Balang Caddi, sementara kerentanan tinggi berada pada Pulau Bontos ua, Pulau Panambungan, Pulau Sanane, Pulau Pajenekang, Pulau Badi dan Pulau Langkadea. Kajian kerentanan untuk parameter kisaran pasang surut memberi informasi kerentanan sangat tinggi berada di Pulau Balang caddi, Pulau Balang Lompo dan Pulau Badi, sementara kerentanan rendah berada pada pulau Panambungan dan Pulau Langkadea.

Berdasarkan data kerentanan yang terdapat pada Tabel 24 menunjukk an Pulau Badi pada sel 4, Pulau Balang Lompo sel 1 dan sel 4, Pulau Langkadea sel 2,3 dan 4, Pulau Pajenekang sel 2 dan 3, Pulau Panambungan sel 2 dan Pulau Sanane sel 3 dan sel 4 memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena nilai SLR, tinggi gelombang dan kisaran pasang surut di wilayah tersebut memiliki nilai yang sangat tinggi.

131

Tabe l 24 Kerentanan Pulau-Pulau yang Dika ji Berdasarkan Kerentanan Lingkungan Pulau Sel Nilai Kerentanan Skor Kerentanan Tingkat Kerentanan

Badi 4 1,50 5 sangat tinggi

Balang Lompo 1 1,67 5 sangat tinggi

Balang Lompo 4 2,50 5 sangat tinggi

Langkadea 2 2,00 5 sangat tinggi

Langkadea 3 2,50 5 sangat tinggi

Langkadea 4 2,50 5 sangat tinggi

Pajeneka 2 2,50 5 sangat tinggi

Pajeneka 3 1,67 5 sangat tinggi

Panambungan 2 2,50 5 sangat tinggi

Sanane 3 2,50 5 sangat tinggi

Sanane 4 1,67 5 sangat tinggi

Badi 3 1,33 4 rentan tinggi

Balang Cadi 2 1,00 4 rentan tinggi

Bontusua 2 1,25 4 rentan tinggi

Panambungan 4 1,25 4 rentan tinggi

Badi 1 0,75 3 Sedang Bontusua 1 1,00 3 Sedang Bontusua 3 0,80 3 Sedang Bontusua 4 1,00 3 Sedang Langkadea 1 1,00 3 Sedang Panambungan 1 1,00 3 Sedang

Balang Cadi 3 0,50 2 rentan rendah

Panambungan 3 0,67 2 rentan rendah

Sanane 2 0,67 2 rentan rendah

Badi 2 0,33 1 sangat rendah

Balang Cadi 1 0,25 1 sangat rendah

Balang Cadi 4 0,33 1 sangat rendah

Balang Lompo 2 0,40 1 sangat rendah

Balang Lompo 3 0,50 1 sangat rendah

Pajeneka 1 0,50 1 sangat rendah

Pajeneka 4 0,50 1 sangat rendah

Sanane 1 0,33 1 sangat rendah

Sumber : Data Primer (2011)

Pulau Badi di sel 3, Pulau Balang Caddi sel 2, Pulau Bontosua sel 2 dan Pulau Panambungan sel 4 memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dengan skor 4,

132

hal ini disebabkan karena nilai parameter fisik lingkungan yang tinggi dengan kapasitas adaptif berada pada kisaran 4 dan kisaran 5.

Pulau Badi pada sel 1, Pulau Bontosua pada sel 1, sel 3 dan sel 4, Pulau Langkadea sel 1 dan Pulau Panambungan pada sel 1 memiliki tingkat kerentanan sedang dengan skor 3, hal ini disebabkan karena tingkat kerentanan lingkungan dengan parameter SLR di wilayah tersebut pada kisaran dengan kerentanan tinggi hingga sangat tinggi, sedangkan nilai kisaran pasang surut dan rata-rata tinggi gelombang berada pada kisaran dengan kerentanan rendah hingga sedang.

Pulau Balang Caddi sel 3, Pulau Panambungan sel 3 dan Pulau Sanane sel 2 memiliki tingkat kerentanan yang rendah dengan skor 2. Hal ini terjadi karena tingkat kerentanan yang ada di wilayah tersebut berada pada kisaran yang rendah yang meliputi nilai SLR, tinggi pasang surut dan rata-rata tinggi gelombang berada pada kisaran kerentanan yang rendah.

Pulau Badi dengan sel 2, Pulau Balang Caddi sel 1 dan sel 4, Pulau Balang Lompo sel 2 dan 3, Pulau Pajenekang sel 1 dan 4 serta Pulau Sanane sel 1 memiliki tingkat kerentanan yang sangat rendah dengan skor 1. Hal ini disebabkan karena nilai SLR, kisaran pasang surut da n rata-rata tinggi gelombang mimiliki nilai yang sangat rendah.

Tingka t kerentanan pulau-pulau yang dikaji berkisar 5,66 – 5,73 mm/tahun (Lampiran 3). Pulau yang memiliki nilai SLR paling tinggi terdapat di Pulau Balang Caddi dan Pulau Balang Lompo, ini disebabkan lokasi Pulau Balang

Caddi dan Pulau Balang Lompo lebih terbuka dibandingkan pulau lainnya. Sea

level rise adalah fenomena naiknya muka laut yang diakibatkan oleh adanya

peningkatan volume air laut sebagai akibat dari pemuaian ataupun mencairnya es di kutub. Mencairnya es di kutub sebagian besar disebabkan oleh efek rumah kaca (greenhouse). Dampak dari kenaikan muka laut terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil tergantung pada dua hal, yaitu: (1) tingkat kekritisan dari kenaikan muka laut (laju kenaikan pertahun) dan (2) karakteristik daratan pulau, seperti penggunaan lahan, topografi, dan penghalang pantai. Kenaikan muka laut membawa dampak luas bagi manusia terutama bagi penduduk yang tinggal di dataran renda h, di daerah pa ntai yang padat pe nduduk di ba nyak negara da n di

133

de lta-delta sungai. Dampak fisik yang disebabkan akibat kenaikan muka laut diantaranya adalah (1) terjadinya peningkatan frekuensi dan intensitas banjir, (2) erosi garis pantai, (3) meningkatkan bahaya badai laut di daerah pesisir, (4)

berubahnya ekosistem pesisir, (5) aquifer salinization. Nilai SLR yang diperoleh

dari data penelitian berkisar 5,66 mm/thn hingga 5,70 mm/thn (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan bahwa dalam waktu 100 tahun, akan terjadi kenaikan muka laut sebesar 5,6 m – 5,7 m. Jika ketinggian pulau hanya 5,6 m hingga 5,7 m, maka akan membawa dampak tenggelamnya pulau tersebut, jika tidak diiringi dengan

upaya konservasi atau perlindungan pulau dengan membangun break waters di

sekiling pulau berdasarkan sistem kapasitas alam yang ada. Dampak kenaikan

muka laut (Nicholls, 2002 in Paharuddin 2011) terdapat pada Tabel 25.

Tabe l 25 Dampak Kenaikan Muka Laut

Dampak Biofisik Faktor Relevan Lainnya

Iklim Non Iklim

Perendaman, banjir, gelombang, dampak efek backwater Gelombang, perubahan morfologi, suplai sedimen, run-off

Suplai sedimen, penanganan banjir, pe ruba han morfologi, pengelolaan daerah tangkapan air dan pemanfaatan lahan Kehilangan daerah

lahan basah

Suplai sedimen Suplai sedimen

Eros i Gelombang dan badai

iklim, suplai sedimen

Suplai sedimen

Intrusi air laut/ air permukaan

Run-off, curah hujan Pengelolaan daerah

tangkapan air

Sumber : Nicholls 2002 in Paharuddin 2011

Kisaran pasang sur ut di pulau-pulau yang dikaji adalah 1,50 hingga 1,66 cm (Lampiran 4), dengan skor kerentanan 2 – 3 (rentan rendah – rentan sedang). Faktor pasang surut berhubungan dengan kemudahan dari suatu pantai/ pesisir mengalami perendaman atau penggenangan apabila terjadi banjir dan mempercepat bergesernya garis pantai. Untuk di pulau-pulau penelitian berdasarkan perhitungan bilangan Fomzahl dari konstanta pasang surut yang ada pada Tabe l 26 diperoleh bilangan F =1,73 untuk perairan sekitar Biringkassi (pulau-pulau Spermonde). Hal ini berarti kedua daerah tersebut memiliki tipe pasang surut “Campuran Domina n Tungg al” dimana da lam satu hari terjadi dua

134

kali pasang dan satu kali surut atau satu kali pasang dua kali surut atau terkadang cende rung satu pasang da n satu ka li surut.

Tabe l 26 Konstanta Pasut di Loka si Penelitian

Konstanta Pasut So M2 S2 N2 K2 K1 O1 P1 M4 MS4

Amplitudo (cm) 90 13 17 5 5 32 20 10 0 1

Pase (0) - 252 144 134 144 65 95 65 0 32

Nilai tinggi gelombang yang merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terendamnya pulau dan atau mempercepat garis pantai bergeser di lokasi penelitian berkisar 0,13 m hingga 0,45 m, dengan kisaran kerentanan 2 – 5 yaitu rentan rendah hingga rentan sangat tinggi. Pada umumnya perairan sekitar Pulau-pulau Pangkajene Kepulauan rata-rata tinggi gelombang hanya mencapa i 1 meter dengan arah yang bervariasi dari tenggara hingga barat. Gelombang tinggi hingga 2-3 meter umumnya terjadi berasal dari arah barat, hal ini berarti pada musim barat perairan di sekitar Kepulauan Pangkajene Kepul auan (Pangkep) memiliki ketinggian gelombang yang lebih besar dibanding musim lainnya. Tinggi gelombang ini akan semakin besar saat gelombang bertransformasi kearah pantai. Frekuensi kejadian gelombang terbanyak berkisar antara 0,5 – 1 meter dari arah tenggara. Perambatan gelombang dari arah tenggara tidak berpengaruh besar pada perairan Kepulauan Pangkajene Kepulauan, sehingga pada musim timur (angin tenggara) gelomba ng yang terjadi di perairan Kepulauan Pangkajene Kepulauan memiliki tinggi gelombang yang kecil (< 1 meter). Nilai tinggi gelombang pulau-pulau yang dikaji dapat dilihat pada Lampiran 5.

B Sensitivity (kepekaan)

Kepekaan adalah tingkatan dari suatu sistem yang dipengaruhi atau

berhubungan dengan stimulus karena perubahan iklim. Kaly et al. (2004)

mengemukakan bahwa kepekaan merefleksikan respon dari suatu sistem terhadap pengaruh iklim (kenaikan muka laut) dan tingkat perubahan yang diakibatkan oleh perubahan tersebut. Villagran (2006) mendefinisikan kepekaan sebagai suatu tingkatan atau level dari sebuah sistem alam yang dapat mengabsorbsi atau

135

menerima dampak tanpa mengalami gangguan atau penderitaan dalam jangka

panjang atau mengalami perubahan signifikan dari kondisi lainya. Turner et al.

(2003) mengatakan bahwa kepekaan tidak dapat dipisahkan dari keterbukaan dari

sistem kerentanan. Luers (2005) in Paharuddin (2011) juga mengkombinasikan

pengertian kepekaan dan keterpaparan, dimana ia mendefinisikan kepekaan sebagai level dari sistem dalam merespon gangguan eksternal terhadap sistem.

Lebih lanjut Luers (2005) in Paharuddin (2011) mengatakan bahwa termasuk

dalam konsep ini adalah kemampuan dari sistem untuk tahan terhadap perubahan dan kemampuan untuk pulih kembali kekondisi semula setelah gangguan yang mengenai sistem berlalu.

Kerentanan lingkungan dengan komponen kepekaan/ sensitifitas yang dibahas dalam penelitian ini adalah faktor geomorfologi dan kemiringan pulau. Untuk kriteria geomorfologi, semua wilayah kajian memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi dengan bobot skor 5.

Faktor geomorfologi wilayah kajian terdiri dari pasir dan pecahan karang. Geomorfologi pulau yang terdiri dari pasir dan pecahan karang memiliki tekstur

yang kasar da n porous (Tabe l 27), termasuk dalam kategori kerentanan sangat

tinggi (Gornitz 1997) dengan kategori kerentanan di skor 5.

Faktor kemiringan pulau serta abrasi yang memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi terdapat di tiap sel yaitu Pulau Bontosua, kemudian diikuti dengan kerentanan yang sangat tinggi di Pulau Badi. Kerentanan yang berada di kategori kerentanan tinggi berada pada pulau Balang Caddi sel 3, Pulau Langkadea sel 2, Pulau Pajenekang sel 2, Pulau Panambungan sel 4, Pulau Sanane sel 3 dan sel 4. Nilai kemiringa n pulau-pulau yang dikaji berkisar 0,005 cm hingga 2,32 cm, nilai tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6.

Persentase kemiringan pulau yang tertinggi terdapat di Pulau Badi, begitu pula dengan nilai tinggi gelombang dan kisaran pasang surut. Ini mengindikasikan bahwa Pulau Badi merupakan pulau yang landai dengan kedalaman 5 – 50 m dan tinggi gelombang serta kisaran pasang surut akan selalu mempengaruhi letak Pulau Badi. Kemiringan atau kelerengan pantai dapat merepresentasikan dua kondisi yaitu sebagai bagian dari geomorfologi pantai dan menunjukkan seberapa

136

jauh/ luas penggenangan air laut di pantai akibat kenaikan muka air laut dan proses-proses dinamika laut lainnya.

Tabe l 27 Hasil Analisis Jenis Sedimen Pulau Balang Lompo

Stasiun Zona Median butiran (Q2) Jenis sedimen

(mm)

Stasiun I Reef flat 1,40 Pasir sangat kasar

Reef crest 1,00 Pasir kasar

Reef slope 0,47 Pasir sedang

Reef base 0,52 Pasir kasar

Stasiun 2 Reef flat 0,90 Pasir kasar

Reef crest 0,40 Pasir sedang

Reef slope 0,32 Pasir sedang

Reef base 0,58 Pasir kasar

Stasiun 3 Reef flat 0,50 Pasir kasar

Reef crest 0,47 Pasir sedang

Reef slope 0,49 Pasir sedang

Reef base 0,12 Pasir halus

Stasiun 4 Reef flat 0,50 Pasir kasar

Reef crest 0,46 Pasir sedang

Reef slope 0,74 Pasir kasar

Reef base 0,49 Pasir sedang

Sumber : Data Primer (2011 )

Kemiringan pulau yang sangat landai mengakibatkan air laut senantiasa masuk ke pulau dalam jumlah yang besar, yang dapat menimbulkan terjadinya banjir di daratan pulau dan mempercepat bergesernya garis pantai di suatu pulau. Ini dibuktikan dengan sering terjadinya abrasi di Pulau tersebut. Pada tahun 2007, abrasi di Pulau Badi mencapa i 3 – 5 m yang mengakibatkan 35 rumah tempat tinggal tergenang air hingga ketinggian 1,5 m. Kondisi ini menunjukkan bahwa Pulau Badi, Pulau Balang Lompo dan Pulau Balang Caddi memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi. Akumulasi data selama 10 tahun dari kelima faktor tersebut, setelah di standarisasi akan memperlihatkan tingkat kerentanan yang berbeda-beda, dari kerentanan sangat rendah hingga kerentanan sangat tinggi.

137

Tabe l 28 Parameter Kerentanan Pulau secara Fisik

Pulau

Nilai Parameter Kerentanan

SLR (mm/thn) Geo morfologi Tinggi Gelombang (m) Kemiringan (%) Kisaran Pasut (m)

Balang Lompo 5,71 – 5,72 Pasir 0,13 – 0,40 0,09 – 0,13 1,53 – 1,68

Balang Cadd i 5,72 – 5,73 Pasir 0,30 – 0,39 0,019 – 0,45 1,53 – 1,68

Langkadea 5,70 – 5,71 Pasir 0,30 – 0,39 0,06 – 0,45 1,50 – 1,66

Panambun gan 5,70 – 5,71 Pasir 0,32 – 0,41 0,02 – 0,21 1,53 – 1,68

Badi 5,66 – 5,67 Pasir 0,30 – 0,45 0,50 – 1,20 1,50 – 1,80

Pajenekang 5,68 – 5,69 Pasir 0,30 – 0,43 0,008 – 0,32 0,68 – 1,68

Bontosua 5,67 – 5,72 Pasir 0,31 – 0,38 0,50 – 1,70 1,50 – 1,71

Sanane 5,68 – 5,69 Pasir 0,32 – 0,42 0,006 – 0,22 1,54 – 1,69

Sumber : Data Primer (2011)

C Daya Adaptasi (Adaptif Capacity)

Adaptasi adalah penyesuaian oleh sistem alam atau manusia dalam merespon kondisi aktual dan iklim atau dampak dari perubahan iklim. Daya adaptasi adalah kemampuan dari sistem untuk menyesuaikan terhadap perubahan iklim (termasuk iklim yang berubah- uba h da n ekstrim) yang membuat po tensi dampak lebih moderat, mengambil manfaat atau untuk mengatasi konsekuensi

dari perubahan tersebut (Fussel and Klien 2006). Menurut Luers (2005), daya

adaptasi merujuk pada potensi untuk beradaptasi dan mengurangi kerentanan suatu sistem. Daya adaptasi menggambarkan kemampuan dari suatu sistem terhadap perubahan sebagai cara untuk membuat sistem tersebut lebih baik dalam beradaptasi terhadap pengaruh eksternal.

Daya adaptasi merupakan sifat yang suda h melekat dari suatu sistem ya ng didefinisikan sebagai kapasitasnya untuk beradaptasi terhadap keterpaparan (Smit

and Pilifosova 2003). Dalam hal ini, daya adaptasi direfleksikan dari resiliensi,

misalnya sebuah sistem yang resilience memiliki kapasitas untuk mempersiapkan,

menghindari, mentolerir dan memulihkan diri dari resiko atau dampak. Resiliensi ada lah ke mampua n dari suatu entitas unt uk resisten atau pulih da ri suatu

kerusakan (Kaly et al. 2004). Daya adaptasi pada penelitian ini menitikberatkan

138

ekos istem lamun dan ekosistem terumbu karang. Karena ekosistem yang baik

dengan jenis dominan lebih resilience atau lebih tahan terhadap ko ndisi yang

rentan atau dengan kata lain kerentanan dapat dikurangi jika daya adaptasi berupa kondisi ekosistem sumberdaya baik. Nilai skor untuk jenis lamun diperoleh pada kategori kerentanan yang rendah hingga kerentanan sangat rendah di semua sel

pulau, sedangkan untuk daya adaptasi dengan kategori jumlah individu lamun/m2,

ditemukan nilai kerentanan yang rendah hingga sangat tinggi yaitu diperoleh rata-rata 8 jumlah individu/m2

Daya adaptasi untuk jenis karang diperoleh nilai kerentanan yang variatif dari kerentanan yang sangat rendah hingga kerentanan yang sangat tinggi dengan

dominansi pada jenis lifeform yaitu masif da n sub- masif dengan persentase

tutupan karang 13% de ngan tingka t kerentanan yang renda h. Hal ini disebabkan karena wilayah studi terdapat program konservasi terumbu karang dengan membentuk wilayah-wilayah yang masuk da lam da erah perlind ungan laut (DPL).

. Nilai ini menunjukkan bahwa untuk faktor kerentanan dengan parameter jumlah individu lamun berada pada kisaran kerentanan sedang.

D Kompos it Kerentanan Lingk unga n

Kerentanan Lingkungan yang terdiri dari SLR, geomorfologi, kemiringan, tinggi gelombang dan ketinggian gelombang, tutupan persentase karang, jumlah

individu lamun/m2, jenis lifeform karang dan jenis lamun, distandarisasi untuk

menentuka n tingka t kerentanan pulau-pulau kecil. Hal ini dimaksudka n karena variabel- variabel penyusun indeks yang terukur memiliki unit yang berbeda

sehingga dilakukan standarisasi unit atau satuan (Briguglio 1995; Adrianto and

Matsuda 2002;2004). Kerentanan lingkungan setelah distandarisasi akan menghasilkan peta seperti pada Gambar 17. Peta komposit kerentanan lingkungan menunjukkan bahwa Pulau Balang Lompo sel 1 dan sel 4, Pulau Sanane sel 3 dan 4, Pulau Langkadea sel 3 dan 4, Pulau Panambungan sel 2, Pulau Pajenekang sel 2 dan 3 serta Pulau Badi sel 4 memiliki kerentanan yang sangat tinggi, sedangkan kerentanan yang sangat renda h terdapa t di Pulau Balang Lompo sel 2 dan sel 3; Pulau Balang Caddi sel 1 dan sel 4; Pulau Sanane sel 1 dan Pulau Pajenekang sel 1 dan sel 4 serta Pulau Badi sel 2.

140

140

Hasil kajian kerentanan lingkungan yang terlihat diatas, menunjukk an kerentanan lingkungan yang paling dominan adalah kerentanan pantai berupa naiknya air laut ke pantai di pulau-pulau kecil sebagai akibat perubahan iklim yang semakin besar akibat kenaikan muka laut. Hal ini senada dengan hasil kajian

Hantoro et al. 1992, 1993, yang mengemukakan bahwa terdapat beberapa

kawasan yang akan mengalami penggenangan pesisir dan pulau kecil akibat kenaikan muka laut global dampak pemanasan global. Terdapat 3.000 buah pulau kecil yang rentan terhadap kenaikan muka laut termasuk pulau-pul au di Selat Makassar da n kerentanan pulau tersebut akan menjadi sangat tinggi ketika unsur bahaya dan kerugian yang dikaitkan dengan kegiatan kehidupan manusia seperti pembangunan kawasan yang tidak sesuai dengan daya dukung dan kriteria kesesuaian spasial. Untuk menanggulanginya diperlukan upaya adaptasi masyarakat berbasis lingk ungan sedari dini, seperti pemulihan ekos istem pantai di pulau dan kegiatan mitigasi harus mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat.

6.1.2 Kerentanan Ekonomi

Seperti halnya dengan kerentanan lingkungan, pada penelitian ini

kerentanan ekonomi juga terdiri dari kajian kerentanan faktor 1) exposure

(keterbukaan), 2) sensitifitas dan 3) kapasitas adaptif. Penelitian ini menggabungkan faktor kerentanan ekonomi dengan kondisi sosial masyarakat, kondisi ekosistem, kondisi eksisting pulau da n ke rentanan lingk ungan. Basis data yang digunakan diberi nilai antara 0 hingga 1, dengan kriteria kerentanan dari kerentanan sangat renda h hingga ke rentanan sangat tinggi .

A Exposure (Keterbukaa n)

Indeks Keterbukaan Ekonomi (Economic Exposure Index, EEI)

Indeks keterbukaan ekonomi terkait dengan nilai ekonomi pulau yang meliputi pengukuran (1) rasio aktifitas perdagangan eksternal (ET), yang menggambarkan tingkat keterbukaan pulau dan (2) rasio keuangan eksternal (EF) yang menggambarkan tingkat ketergantungan pulau-pulau kecil (PPK) pada Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah (Briguglio 2000).

141

Parameter perdagangan keluar (outflow) dalam kajian ini menggunakan

volume perdagangan perikanan yang disubtitusikan dalam nilai harga ikan, nilai transpor tasi dan nilai penerangan (listrik), sedangkan perdagangan masuk (inflow) menggunakan parameter jumlah kebutuhan manusia di pulau-pulau kecil yang diperoleh dari luar pulau, termasuk nilai air tawar yang diperoleh dari mainland.

Nilai ETi

Gambar 18 Tingkat Ketergantungan Perdagangan Eksternal PPK yang Dika ji yang terbesar terdapat di Pulau Badi dengan nilai 1, hal ini mengindikasikan bahwa Pulau Badi memiliki tingkat ketergantungan perdagangan eksternal yang tinggi dibandingkan dengan pulau lainnya. Sedangkan tingkat ketergantungan pulau terhadap bantuan pemerintah pusat/ daerah (EF) yang terbesar terdapat di Pulau Balang Lompo karena pulau tersebut menjadi pusat pemerintahan kecamatan Liukang Tupabbiring, dimana prasarana dan sarana lebih tercukupi dibanding pulau lainnya. Sedangkan tingkat ketergantungan yang paling rendah terdapat di Pulau Sanane yang berarti dalam mengembangkan ekonominya, Pulau Sanane masih rendah, dimana tingkat ketergantungan pulau terhadap bantuan pemerintah rendah (Gambar 18).

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 N ila i E T I d a n E F I ETI EFI

142

B Sensitivity