• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dengan Nilai, Sikap, serta Perilaku

2.2 Nilai-nilai Karakter yang Terdapat dalam Pendidikan

2.2.3 Kerja Keras

Selain karakter disiplin ada pula karakter kerja keras. Carbonaro (2005) mendefinisikan kerja keras sebagai jumlah waktu dan energi yang dikeluarkan siswa untuk memenuhi persyaratan akademik formal yang dibuat oleh guru maupun sekolah. Kerja keras juga merupakan keseluruhan jumlah usaha yang dikeluarkan oleh siswa selama proses belajar (Zimmerman & Risemberg, dalam Phan, 2009). Kerja keras menurut Puskur (2010: 26) merupakan perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh (berjuang hingga titik darah penghabisan) dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan, dan lain-lain dengan sebaik-baiknya. Senada dengan pernyataan sebelumnya, kerja keras juga merupakan suatu istilah yang melingkupi suatu sikap senang hati dalam berupaya yang terus menerus dilakukan dalam melaksanakan pekerjaannya atau yang menjadi tugasnya sampai tuntas untuk memberikan manfaat bagi manusia dan lingkungannya semaksimal mungkin (Kesuma et al., 2012: 17, Padmawati et al., 2013). Makna kerja keras ini bukanlah tindakan yang akan berhenti begitu tujuan tercapai melainkan suatu tindakan yang berkesinambungan. Dari uraian definisi kerja keras di atas dapat disimpulkan bahwa kerja keras adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan besarnya kesungguhan untuk menyelesaikan segala pekerjaan dan tugas yang muncul dalam proses belajar secara tuntas, menggunakan segala kemampuan dan bermanfaat.

Kerja keras merupakan bentuk usaha kerja pada level yang tinggi. Adapun pengukuran terhadap usaha kerja telah dilakukan dengan dimensi pengukuran dasar berupa: (1) direction, (2) intensity, dan (3) persistence (Kanfer, 1990; Locke & Latham, 1990; Cooman et al., 2009). Locke & Latham (1990) mendeskripsikan direction sebagai perilaku yang dipilih individu untuk dilakukan, intensity sebagai seberapa keras individu berusaha untuk menunjukkan perilaku tersebut, dan persistence sebagai seberapa lama individu mampu mempertahankan perilaku yang ditunjukkan hingga memperoleh kesuksesan. Menurut Morris (2009: 3 - 4),

direction berkaitan dengan mengarahkan usaha ke aktivitas kerja atau perilaku yang secara formal tidak perlu dilakukan namun efektif untuk perkembangan aktivitas belajar. Intensity berkaitan dengan bekerja / berusaha lebih keras dan lebih cepat daripada yang diharapkan (Morris, 2009: 4). Persistence berkaitan dengan investasi usaha yang terus dilakukan bahkan ketika muncul hambatan dalam proses belajar (Phan, 2009).

Kesuma et al. (2012: 19 - 20) mencirikan kecenderungan individu berkarakter kerja keras, yaitu : (1) merasa risau jika pekerjaannya belum terselesaikan sampai tuntas, (2) mengecek / memeriksa terhadap apa yang harus dilakukan / apa yang menjadi tanggung jawabnya dalam suatu jabatan / posisi, (3) mampu mengelola waktu yang dimilikinya, serta (4) mampu mengorganisasikan sumber daya yang ada untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya.

Karakter kerja keras harus dimiliki oleh siswa sebab memberikan pengaruh positif bagi siswa berupa peningkatan prestasi di sekolah maupun memperoleh kesuksesan jangka panjang (Krashen, 2005). Paton (2013) dalam artikelnya yang dimuat oleh surat kabar online The Telegraph mengungkap bentuk kerja keras mahasiswa universitas-universitas terbaik di Inggris seperti Cambridge, Oxford, dan Dundee dimana mereka setidaknya memiliki 2 kali lipat waktu belajar dibanding universitas lain dan hal ini mempengaruhi kesuksesan lulusan universitas-universitas tersebut.

2.2.4 Mandiri

Mandiri merupakan sikap dan perilaku yang tidak bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan, tidak melemparkan tugas dan tanggung jawab kepada orang lain (Puskur, 2010:26). Individu mandiri menunjukkan adanya rasa percaya diri. Rasa percaya diri yang dimaksud dalam karakter mandiri merupakan percaya pada kemampuan-kemampuan yang ada dalam diri untuk mengatasi berbagai masalah secara independen (Mustari, 2011: 94). Mandiri secara ringkas merupakan karakter yang ditunjukkan dengan sikap tidak bergantung pada orang lain dan kepercayaan pada diri sendiri untuk

mengatasi berbagai kesulitan, mampu mengambil keputusan sendiri untuk kebaikan dirinya dan orang lain, berinisiatif dan kreatif.

Siswa dengan karakter mandiri akan menunjukkan kemandirian dalam belajar. Knowles (1975) mendeskripsikan siswa yang belajar secara mandiri memiliki inisiatif dalam proses pembelajaran dengan atau tanpa bantuan orang lain dalam menentukan apa yang dibutuhkan dalam belajar, merumuskan tujuan belajar, mengidentifikasi sumber daya manusia dan material untuk belajar, memilih dan mengimplementasikan strategi belajar yang cocok, dan mengevaluasi hasil belajar. Pengukuran kemandirian belajar menurut Fisher et al. (2001) meliputi 3 aspek, yaitu self management, desire for learning, dan self control. Aspek self management merujuk pada kemampuan untuk mengidentifikasikan kebutuhan belajar dan penggunaan sumber daya belajar. Aspek desire for learning merujuk pada motivasi belajar. Aspek self control merujuk pada pertanggungjawaban secara penuh dari pembelajar terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Aspek-aspek ini digunakan sebagai dimensi penilaian karakter kemandirian, khususnya kemandirian belajar.

2.3 Penilaian Hasil Belajar

Hasil belajar yang diperoleh melalui proses pendidikan merupakan berkembangnya potensi siswa yang mencakup tiga kompetensi, yaitu: kompetensi pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Untuk mengetahui besarnya perkembangan potensi tersebut dalam dunia pendidikan juga dikenal kegiatan penilaian.

Tiap kompetensi memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri, sehingga teknik dan metode penilaiannya pun dapat berbeda. Kompetensi pengetahuan cocok jika dinilai menggunakan teknik tes, namun teknik tes tidak tepat bila digunakan untuk menilai capaian kompetensi sikap dan keterampilan. Kompetensi sikap dan keterampilan lebih cocok jika dinilai menggunakan teknik nontes.

Ada beberapa macam teknik penilaian kompetensi sikap yang dapat digunakan oleh guru berdasarkan Permendikbud No. 104 tahun 2014 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, yaitu: (1) observasi, (2) penilaian diri, (3) penilaian “teman sejawat”

(peer evaluation) oleh siswa, dan (4) jurnal. Instrumen yang digunakan dapat berupa daftar cek maupun skala penilaian (rating scale) yang dilengkapi dengan rubrik, serta catatan pendidik untuk teknik jurnal.

Anderson (1981) menyatakan bahwa penilaian ranah afektif tepat dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan metode laporan diri (self-report). Berdasarkan Permendikbud No. 104 tahun 2014 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, teknik penilaian diri atau pelaporan diri didefinisikan sebagai teknik penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dilakukan sendiri oleh peserta didik secara reflektif. Teknik ini dianggap sebagai teknik yang paling dapat diandalkan untuk mengungkapkan aspek psikologis seseorang (Azwar,2013b), hal ini salah satunya disebabkan oleh adanya asumsi bahwa yang paling mengenal seseorang adalah dirinya sendiri.

Penilaian dengan teknik penilaian diri dapat menggunakan skala yang disertai dengan rubrik. Skala penilaian karakter berupa kumpulan pernyataan-pernyataan positif (favorable) dan negatif (unfavorable) tentang suatu objek karakter. Respon individu terhadap skala penilaian yang dibuat menunjukkan arah dan intensitas karakternya.

Terdapat beberapa model skala pengukuran yang dapat digunakan untuk mengukur karakter (Arikunto 2009: 180 - 181), yaitu: (1) skala Likert, (2) skala pilihan ganda, (3) skala Thurstone, (4) Skala Guttman, dan (5) Skala Beda Semantik.