United Nations Convention Against Corruption Signature and Ratification Status as of 12
E. Kerjasama Internasional dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pemerintah Indonesia menyambut baik kerjasama internasional dalam
upaya pemberantasan korupsi. Kerjasama internasional yang telah dan akan
dilakukan antara lain berupa pertukaran informasi, ekstradisi, bantuan hukum
timbal balik, dan pengembalian aset negara hasil tindak pidana korupsi yang
berada di luar negeri. Masyarakat internasional termasuk Indonesia bersama-sama
berkomitmen untuk tidak memberikan perlindungan (deny safe havens) bagi para
koruptor dan aset mereka yang berasal dari tindak pidana korupsi. Pemerintah
Indonesia telah berketetapan untuk memajukan kerjasama internasional dalam
kerangka Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003 (United Nations
Convention Against Corruption-UNCAC 2003) dan Konvensi PBB Tentang
Kejahatan Lintas Batas Negara yang Terorganisir (United Nations Convention on
Community, dan inisiatif-inisiatif lainnya yang dapat memajukan kepentingan
Indonesia secara berkesinambungan.
Dalam melaksanakan kerjasama internasional di bidang pemberantasan
korupsi disadari bahwa kerjasama tersebut hendaknya didasarkan pada
prinsip-prinsip saling menghormati, persamaan derajat, dan hubungan baik antar bangsa
serta hukum internasional yang berlaku, dengan memperhatikan kebutuhan
nasional dan menghormati ketentuan-ketentuan nasional yang berlaku. Kerjasama
internasional tersebut harus mengacu pada prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan
Piagam PBB khususnya dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 55 dan Pasal 56 Piagam
PBB.
Konvensi PBB Menentang Korupsi (konvensi UNCAC 2003) yang
dirundingkan selama kurun waktu 2002-2003 telah diterima oleh Majelis Umum
PBB pada tanggal 31 Oktober 2003 dan Indonesia sebagai salah satu anggota
masyarakat internasional telah menandatangani konvensi ini pada tanggal 18
Desember 2003. Sebagai kelanjutan konvensi ini, PBB telah menetapkan tanggal
9 Desember 2004 sebagai hari internasional pertama anti korupsi. Sebagai
konsekuensi bagi negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut, Indonesia
akan ikut mendukung sesuai dengan wilayah kedaulatan yang dimiliki melakukan
langkah-langkah konkrit pemberantasaan korupsi.
Sebagai perwujudan komitmen tersebut Pemerintah Indonesia memutuskan
untuk merancang, mengembangkan, dan melaksanakan sebuah Rencana Aksi
Rencana Aksi Nasional ini dimaksudkan sebagai acuan dalam menyusun program
pemberantasan korupsi dan mensinergikan berbagai upaya nasional dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia.
Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 khususnya Indonesia,
wajib bekerja sama dalam masalah-masalah kejahatan sesuai dengan ketentuan
pasal 44 sampai pasal 50 Konvensi ini. Sepanjang perlu dan sesuai dengan sistem
hukum nasional masing-masing, Negara-Negara Pihak wajib mempertimbangkan
untuk saling membantu penyidikan dan proses dalam masalah-masalah perdata
dan admistratif yang berkaitan dengan korupsi.
Dalam masalah-masalah kerja sama internasional, dalam hal kriminalitas
ganda dianggap sebagai persyaratan, maka hal itu dianggap sebagai telah dipenuhi
tanpa memperhatikan apakah undang-undang Negara Pihak yang diminta
menempatkan kejahatan itu ke dalam kategori kejahatan yang sama atau
menyebut kejahatan itu dengan istilah yang sama seperti di negara pihak yang
meminta, jika perbuatan yang mendasari kejahatan yang menjadi alasan
permintaan bantuan adalah kejahatan menurut undang-undang kedua Negara
Pihak (Pasal 43 konvensi UNCAC 2003).
Kerjasama Internasional (International Cooperation) dalam memerangi
kejahatan korupsi yang semakin canggih, terorganisir, dan bersifat transnasional,
kerjasama antar negara menjadi pilihan utama. Ada tiga prinsip kerjasama yang
menguntungkan dan non intervensi. Ada lima bentuk kerjasama yang bisa
dilakukan yang diatur dalam konvensi UNCAC 2003 yaitu :63
1. Ekstradisi (Konvensi UNCAC 2003 Art. 44)
Tabel 2. Perjanjian-Perjanjian Ekstradisi Indonesia dengan Beberapa Negara64
No Negara Pihak Nama Perjanjian Tahun Ratifikasi Penandat
anganan
1 Indonesia - Malaysia
Treaty between The Government of The Republic of 1974 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1974 Indonesia and The
Government of Malaysia Relating
to Extradition
2. Indonesia - Filipina
Extradition Treaty between The Republic
of
1976
Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1976 Indonesia and The
Republic of The Philippines
3. Indonesia - Thailand
Treaty between The Government of The Republic of 1976 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1978 Indonesia and The
Government of The Kingdom of Thailand Relating to Extradition 63 Diakses dari,http://www.okezone.com/index.php?option=com_content&task=view&id=48142&Itemid=67, diakses tanggal 18 April 2015
64
Diakses dari,
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=260946&val=7042&title=PERJANJIAN%20 INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20%20ASET%20HASIL%20KORUP SI%20DI%20INDONESIA, diakses tanggal 13 Mei 2015
4. Indonesia - Australia
Extradition Treaty between Australia and
The 1992 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1994 Republic of Indonesia
5. Indonesia - Hongkong
Agreement between The Government of The
1997
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2001 Republic of Indonesia
and The Government of Hongkong for Surrender of Fugitive Offenders 6. Indonesia - Korea Selatan Treaty on Extradition between The 2000 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2007 Republic of Indonesia
and The Republic of Korea
7. Indonesia - Singapura
Treaty on Extradition between The Republic
of 2007 Dalam proses ratifikasi Indonesia and Singapore Sumber: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=7042&title=PERJANJIAN% 20INTERNASIONAL%20PENGEMBALIAN%20ASET%20HASIL%20KORU PSI%20DI%20INDONESIA
Konvensi UNCAC 2003 menyebutkan bahwa ekstradisi adalah sebuah
proses formal di mana seorang tersangka kriminal dalam hal ini menyangkut
masalah tindak pidana korupsi yang ditahan oleh suatu pemerintah bisa
diserahkan kepada pemerintahan lain untuk menjalani persidangan atau, tersangka
tersebut sudah disidang dan ditemukan bersalah, menjalani hukumnya. Konsensus
dalam hukum internasional adalah suatu negara tidak memiliki suatu kewajiban
sovereignty bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada
dalam batas negaranya. Karena ketiadaan kewajiban internasional tersebut dan
keinginan untuk mengadili kriminal dari negara lain telah membentuk suatu
jaringan persetujuan atau perjanjian ekstradisi; kebanyakan negara di dunia telah
menandatangani perjanjian ekstradisi bilateral dengan negara lainnya. Perjanjian
ekstradisi ini pula ditekankan dalam konvensi UNCAC 2003.
a) Pasal ini berlaku bagi kejahatan-kejahatan menurut konvensi UNCAC
2003 ini jika orang yang diminta untuk diekstradisikan berada di
wilayah negara pihak yang diminta, dengan ketentuan bahwa
kejahatan yang menjadi dasar permintaan ekstradisi itu dapat dihukum
menurut hukum nasional negara pihak yang meminta dan negara
pihak yang diminta.65
b) Menyimpang dari ketentuan ayat 1, negara pihak yang hukumnya
membolehkan, dapat mengabulkan ekstradisi untuk kejahatan yang
diatur dalam Konvensi ini yang menurut hukum nasionalnya tidak
dapat dihukum.
c) Jika permintaan ekstradisi meliputi beberapa kejahatan yang terpisah,
dan sekurang-kurangnya satu dari kejahatan itu dapat diekstradisi
menurut pasal ini dan kejahatan lainnya tidak dapat diekstradisi
dengan karena alasan jangka waktu penghukumannya tetapi
65 Diakses dari, https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFAQFjAG&u rl=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadData byId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=NrRRVfefDtKjugSMsYCI CA&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=2KGDZdQUXhvnKJjnAG5r-Q, diakses tanggal 12 Mei 2015
mempunyai kaitan dengan kejahatan menurut konvensi ini, maka
negara pihak yang diminta dapat menerapkan pasal ini juga bagi
kejahatan-kejahatan itu.
d) Kejahatan yang dapat dikenakan penerapan pasal ini harus dianggap
termasuk dalam kejahatan yang dapat diekstradisi di dalam perjanjian
ekstradisi antara negara-negara pihak. Negara-negara pihak akan
memasukkan kejahatan tersebut sebagai kejahatan yang dapat
diekstradisi di dalam perjanjian ekstradisi yang akan dibuat di antara
mereka. Negara yang hukumnya membolehkannya, dalam hal negara
itu menggunakan konvensi ini sebagai dasar untuk ekstradisi, tidak
boleh memperlakukan kejahatan menurut konvensi ini sebagai
kejahatan politik.
e) Jika negara yang mempersyaratkan ekstradisi pada adanya perjanjian
menerima permintaan ekstradisi dari negara lain yang tidak
mempunyai perjanjian ekstradisi dengan negara pihak itu, maka
negara pihak itu dapat mempertimbangkan Konvensi ini sebagai dasar
hukum ekstradisi bagi kejahatan yang dapat dikenakan penerapan
pasal ini.
f) Negara pihak yang mempersyaratkan ekstradisi pada adanya
perjanjian wajib:
a. Pada saat penyimpanan instrumen pengesahan, penerimaan atau
persetujuan atau aksesi konvensi ini, memberitahukan kepada
menggunakan konvensi ini sebagai dasar hukum bagi kerja sama
ekstradisi dengan Negara Pihak lain pada konvensi ini; dan
b. Jika negara pihak itu tidak menggunakan konvensi ini sebagai
dasar hukum bagi kerja sama ekstradisi, mengupayakan, sepanjang
perlu, untuk mengadakan perjanjian ekstradisi dengan Negara
Pihak lain pada konvensi ini untuk melaksanakan pasal ini.
g) Negara-negara pihak yang tidak mempersyaratkan ekstradisi pada
adanya perjanjian wajib mengakui kejahatan yang dapat dikenakan
penerapan pasal ini sebagai kejahatan yang dapat diekstradisi di antara
negara-negara pihak itu.
h) Ekstradisi tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan dalam hukum
nasional negara pihak yang diminta atau dalam perjanjian ekstradisi
yang berlaku, termasuk antara lain, persyaratan yang terkait dengan
syarat hukuman minimum untuk ekstradisi dan alasan-alasan bagi
negara pihak yang diminta untuk menolak ekstradisi.
i) Negara pihak wajib, berdasarkan hukum nasionalnya, berupaya untuk
mempercepat prosedur ekstradisi dan menyederhanakan persyaratan
pembuktian yang berkaitan dengan itu menyangkut kejahatan yang
dapat dikenakan penerapan pasal ini.
j) Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya dan perjanjian
ekstradisinya, negara pihak yang diminta, setelah meyakini
keadaan-keadaan yang ada menghendaki demikian atau sifatnya mendesak dan
yang dimintakan ekstradisi dan yang berada dalam wilayahnya untuk
ditahan atau mengambil tindakan-tindakan yang perlu lainnya untuk
menjamin kehadirannya pada proses ekstradisi.
k) Negara pihak yang di dalam wilayahnya ditemukan tersangka pelaku,
jika negara pihak itu tidak mengekstradisi orang itu untuk kejahatan
yang terkena penerapan pasal ini karena alasan bahwa orang itu adalah
warga negaranya, wajib, atas permintaan negara pihak yang memohon
ekstradisi, untuk menyerahka kasus itu tanpa penundaan yang tidak
perlu kepada pejabat berwenangnya untuk dilakukan penuntutan.
Pejabat yang berwenang itu wajib mengambil putusan dan
melaksanakan proses dengan cara yang sama seperti untuk kasus lain
yang berat menurut hukum nasional negara pihak itu. Negara-negara
pihak yang bersangkutan wajib saling bekerja sama, khususnya
menyangkut aspek prosedur dan pembuktian, untuk menjamin
efisiensi penuntutan tersebut.
l) Jika suatu negara pihak dibolehkan oleh hukum nasionalnya untuk
mengekstradisi atau menyerahkan warga negaranya dengan syarat
bahwa orang itu akan dikembalikan ke negara pihak itu untuk
menjalani hukuman yang dijatuhkan sebagai akibat pengadilan atau
proses hukum yang menjadi dasar permintaan ekstradisi atau
pemindahan orang itu dan negara pihak itu serta negara pihak yang
memohon ekstradisi menyetujui opsi ini dan syarat-syarat lain yang
cukup untuk melepaskan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
11.
m) Jika ekstradisi, yang diminta dalam rangka melaksanakan suatu
hukuman, ditolak karena orang yang diminta adalah warga negara,
negara pihak yang diminta, maka negara pihak yang diminta, jika
hukum nasionalnya membolehkannya dan berdasarkan syarat-syarat
yang ditetapkan dalam hukum tersebut, atas permohonan negara pihak
yang meminta, wajib mempertimbangkan untuk melaksanakan
hukuman yang dijatuhkan berdasarkan hukum nasional negara pihak
yang meminta atau sisa hukuman tersebut.
n) Setiap orang yang sedang menjalani proses hukum yang berkaitan
dengan kejahatan yang dapat dikenakan penerapan pasal ini, wajib
dijamin untuk diperlakukan dengan adil pada semua tahap proses,
termasuk menikmati semua hak dan jaminan yang diberikan oleh
hukum nasional negara pihak tempat orang itu berada.
o) Ketentuan konvensi ini tidak boleh ditafsirkan sebagai memberikan
kewajiban untuk melakukan ekstradisi jika negara pihak yang diminta
memiliki alasan-alasan yang kuat untuk meyakini bahwa permintaan
itu telah diajukan untuk tujuan penuntutan atau penghukuman
seseorang berdasarkan kelamin, ras, agama, kebangsaan, asal etnis
atau aliran politik orang itu atau bahwa pengabulan permintaan itu
akan membahayakan kedudukan orang itu karena satu dari
p) Negara pihak tidak boleh menolak permintaan ekstradisi semata-mata
karena alasan bahwa kejahatan itu dianggap melibatkan juga masalah
perpajakan.
q) Sebelum menolak ekstradisi, negara pihak yang diminta wajib,
sepanjang perlu, berkonsultasi dengan negara pihak yang meminta
untuk memberikan kesempatan yang cukup kepadanya untuk
menyampaikan pendapatnya dan memberikan informasi yang terkait
dengan persangkaannya.
r) Negara-negara pihak wajib mengupayakan untuk mengadakan
perjanjian atau pengaturan bilateral dan multilateral untuk
melaksanakan atau meningkatkan efektivitas ekstradisi.
2. Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance) (Konvensi
UNCAC 2003 Art. 46)
MLA ini sangat dianjurkan dalam konvensi United Nations Convention
Against Cooruption (UNCAC) 2003. Negara penandatangan dianjurkan untuk
memiliki kerja sama intemasional; antara lain, dalam bentuk MLA guna
memberantas korupsi. Sedangkan dalam MLA ruang lingkup kerja samanya
meliputi tahap penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan, di pengadilan hingga
pelaksanaan putusan pengadilan. MLA pada intinya dapat dibuat secara bilateral
atau multilateral. MLA bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau
atas dasar hubungan baik timbal balik (resiprositas) dua negara. Objek MLA,
antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti. Ini termasuk pernyataan,
permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan,
dan penyitaan aset hasil kejahatan, mengusahakan persetujuan orang yang
bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta
bantuan MLA.
Indonesia telah memiliki instrumen nasional, yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah
Pidana, sebagai dasar pelaksanaan kerjasama MLA dengan negara lain. Kerjasama
MLA meliputi bantuan untuk mengidentifikasi dan mencari orang; mendapatkan
pernyataan atau bentuk lainnya; menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya;
mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu
penyidikan; menyampaikan surat; melaksanakan permintaan penggeledahan dan
penyitaan; perampasan hasil tindak pidana; memperoleh kembali sanksi denda
berupa uang sehubungan dengan tindak pidana; melarang transaksi kekayaan,
membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin
diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan
tindak pidana; mencari kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang mungkin
diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan
tindak pidana; dan/atau bantuan lain yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2006. Adapun ketentuan di dalam Undang-Undang tersebut
mengecualikan wewenang untuk mengadakan: ekstradisi atau penyerahan orang;
penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan
orang; pengalihan narapidana; atau pengalihan perkara. Undang-Undang Nomor 1
dengan tindak pidana korupsi, dapat dikabulkan tanpa suatu treaty berdasarkan
asas resiprositas dan hubungan bilateral yang baik dengan negara peminta bantuan
(requesting state). Dalam prakteknya, Indonesia telah melakukan sejumlah
kerjasama MLA dengan sejumlah negara tanpa dilandasi perjanjian bilateral
mengenai MLA. Kerjasama dapat dilakukan berdasarkan legislasi nasional negara
yang bersangkutan. Sejumlah negara juga memiliki regulasi yang mengatur MLA
dan/atau ekstradisi dengan negara-negara yang tidak menjadi Pihak dalam
perjanjian multilateral. Di bawah skema tersebut, legislasi Negara Diminta
biasanya memformulasikan prosedur untuk mengirimkan, menerima,
mempertimbangkan dan melaksanakan permintaan. Prosedur ini biasanya sama
dengan skema yang diatur di dalam perjanjian multilateral, walaupun biasanya
terdapat beberapa persyaratan tambahan. Sebuah negara dapat mengatakan bahwa
sebuah negara asing berhak untuk menerima bantuan, atau mereka dapat
mempertimbangkan setiap permintaan yang datang berdasarkan case-by-case
basis. Terdapat sejumlah pendapat pro dan kontra terhadap kerjasama yang
berdasarkan legislasi nasional. Skema tersebut memang lebih cepat dan murah
serta lebih mudah diterapkan dibandingkan treaty. Namun di satu sisi, tidak
seperti treaty, legislasi domestik tidak menciptakan kewajiban yang mengikat di
bawah hukum internasional. Sebuah negara yang memberlakukan legislasi
tersebut tidak memiliki kewajiban internasional untuk membantu negara asing.
Negara asing pun tidak berkewajiban memberikan bantuan terhadap negara lain
yang memberlakukan legislasi tersebut. Dalam banyak kasus, Negara Diminta
menyediakan semacam undertaking of reciprocity.66 Adapun Indonesia memiliki
perjanjian bantuan timbal-balik dengan negara-negara sebagai berikut:67
1. Australia, 27 Oktober 1995, diratifikasi dengan UU No. 1 Tahun
1999;
2. China, 24 Juli 2000, diratifikasi dengan UU No. 8 Tahun 2006;
3. Korea Selatan, 30 Maret 2002 (masih dalam proses ratifikasi);
4. Hong Kong SAR, 3 April 2008 (masih dalam proses ratifikasi);
5. India, 25 Januari 2011 (masih dalam proses ratifikasi).
Tabel 3. Perjanjian-Perjanjian MLA Indonesia dengan Beberapa Negara68
N
o Negara Pihak Nama Perjanjian
Tahun Ratifikasi Penandatangan an 1. Indonesia - Australia Treaty Between the Republic of Indonesia and 1995 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters 2. Indonesia - RRC Treaty Between the Republic of Indonesia and 2000 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2006 The People's Republic of China on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters 66
ADB/OECD Anti-Corruption Initiative, Framework for Practice on MLA and Extradition: Mutual Legal Assistance, Extradition and Recovery of Proceeds of Corruption in Asia and the Pacific. 2010.
67
Direktorat Perjanjian Internasional Politik dan Keamanan Wilayah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Pointers Upaya Pemerintah RI dalam Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana di Luar Negeri, 2010.
68
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=260946&val=7042&title=PERJANJI AN%20INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20%20ASET%20HASIL%20 KORUPSI%20DI%20INDONESIA, Ibid.
3 Indonesia - Korea Selatan Treaty Between the Republic of Indonesia and 2002 Belum diratifikasi Republic of Korea on Mutual Assistance in Criminal Matters 4. Indonesia - Brunei, Kamboja, Treaty on Mutual Legas Assistance in Criminal 2004 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2008 Laos, Malaysia,
Filipina, Matters (ASEAN MLA TREATY) Singapura, dan Vietnam 5. Indonesia - Hongkong Agreement Concerning Mutual Legal Assistance in 2006 Belum diratifikasi Criminal Matters between Hongkong and Indonesia Sumber: http://download.portalgaruda.org/articles.php?article=260946&val=7042&title=P ERJANJIAN%20INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20A SET%20HASIL%20KORUPSI%20DI%20INDONESIA
Dalam lingkup ASEAN, mekanisme yang dapat dilakukan untuk
pengembalian harta yang mungkin dilarikan ke yurisdiksi Singapura adalah
melalui ASEAN Like-Minded Countries Mutual Legal Assistance Treaty yang
telah ditandatangani dan berlaku di negara-negara Asia Tenggara, sebagai berikut
Negara Penandatangan dan tanggal berlaku:69
1) Brunei Darussalam 29 November 2004 berlaku 15 Februari 2006;
2) Indonesia 29 November 2004 berlaku 4 Juni 2008;
69
Direktorat Perjanjian Internasional Politik dan Keamanan Wilayah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Pointers Upaya Pemerintah RI dalam Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana di Luar Negeri. 2010.,Ibid.
3) Laos 29 November 2004 berlaku 20 Juni 2007;
4) Malaysia 29 November 2004 berlaku 1 Juni 2005;
5) Singapura 20 November 2004 berlaku 28 April 2005;
6) Vietnam 29 November 2004 berlaku 25 Oktober 2005.
Indonesia sendiri telah meratifikasi perjanjian tersebut melalui
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pengesahan Treaty on Mutual Legal
Assistance in Criminal Matters. Di antara negara-negara ASEAN tinggal
Kamboja, Filipina dan Thailand yang sudah menandatangani namun belum
meratifikasinya. Perjanjian tersebut mewajibkan para Pihak untuk memberlakukan
upaya-upaya MLA seluas apapun antara satu sama lain, dan terkait pada legislasi
nasional Negara Diminta. Perjanjian ini mencakup berbagai jenis MLA yang biasa
dapat ditemukan di dalam perjanjian-perjanjian bilateral, misalnya hal-hal terkait
pengambilan bukti, pencarian dan penyitaan aset. Dalam hal belum ada perjanjian,
maka MLA atas dasar hubungan baik berdasarkan asas resiprositas. Target
Pemerintah Indonesia dalam pembentukan perjanjian dan melakukan kerjasama
MLA adalah negara-negara yang diduga menjadi tempat pelaku tempat pidana
korupsi menempatkan aset hasil tindak pidana korupsi dan negara-negara yang
menjadi pusat keuangan dunia, yakni Singapura, Swiss, RRT, Hong Kong,
Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Uni Emirat Arab.
Untuk negara-negara non target, undang-undang MLA Indonesia
memungkinkan kerjasama tanpa adanya perjanjian tetapi cukup dengan
pernyataan akan bekerja sama secara resiprositas, maka bantuan akan dapat
melalui kerangka kerja sama MLA di bawah konvensi UNCAC 2003 dan United
Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC).
The United Nations Convention against Transnational Organized Crime
(UNTOC) juga relevan untuk kasus korupsi, namun cakupannya lebih terbatas
dibandingkan konvensi UNCAC 2003. Indonesia sendiri sudah meratifikasi
konvensi UNTOC melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang
Pengesahan United Nations Covention Against Transnational Crime. Terkait
kerjasama internasional, konvensi UNTOC memiliki landasan hukum untuk
ekstradisi dan MLA terkait pelanggaran-pelanggaran terhadap hal-hal yang diatur
di dalam konvensi. Sebagaimana konvensi UNCAC 2003, konvensi UNTOC
memiliki beberapa sifat yang sama, contohnya sifatnya yang bertindak sebagai
perjanjian di antara para pihak atau dengan menggunakan perjanjian bilateral yang
sudah ada. Memang konvensi UNTOC mengatur mengenai kriminalisasi korupsi
sebagai kejahatan transnasional dan confiscation of proceeds of crime, namun
pengaturan khusus mengenai asset recovery hanya terdapat di dalam konvensi
UNCAC 2003.70
Terkait permintaan MLA dari Pemerintah Republik Indonesia, tentunya
harus melalui mekanisme tertentu yang sudah diatur di dalam undang-undang.
Penyampaian permintaan MLA diajukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI kepada negara asing secara langsung (apabila telah ditentukan melalui
perjanjian bilateral) atau melalui saluran diplomatik, berdasarkan permohonan