• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Sejarah Singkat Kerjasama Keamanan Amerika Serikat dan Jepang

2.2 Aliansi Keamanan Amerika Serikat dan Jepang 2006 - 2012 BAB III: PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN

KEAMANAN JEPANG 2006 – 2012

3.1 Bentuk Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang 3.1.1 Kekuatan Militer Jepang

3.1.2 Teknologi Militer Jepang

3.1.3 Tujuan Penggunaan Kekuatan Militer

BAB IV : KEPENTINGAN AS DALAMMENDORONG PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG

4.1 Peran Partai Politik dalam Kebijakan Luar Negeri AS 4.2 Faktor Penyebab AS Mendorong Perubahan Kebijakan

Pertahanan dan Keamanan Jepang

4.2.1 Amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang 1947 4.2.2 Peningkatan Kekuatan Militer Tiongkok 4.2.3 Ancaman Senjata Nuklir Korea Utara

4.3Kepentingan Amerika Serikat terhadap Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang

4.3.1 Stabilitas Kawasan Asia Timur

4.3.2Extended Deterrence terhadap Kekuatan Militer Tiongkok dan Korea Utara

4.3.3 Pengamanan Jalur Perdagangan di Kawasan Asia Timur BAB V : KESIMPULAN

24

Pada latar belakang telah dijelaskan bahwa Amerika Serikat berkomitmen untuk menjadikan kawasan Asia Timur sebagai fokus utama politik internasional, dikarenakan Amerika Serikat menempatkan kawasan Asia Timur sebagai prioritas utama dalam kepentingan nasional mereka pada kawasan Asia Timur. Bab sebelumnya juga menjelaskan secara singkat latar belakang dari perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang.

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai sejarah dan bentuk kerjasama keamanan Amerika Serikat dan Jepang. Bab ini akan dibagi menjadi dua bagian, pertama sejarah singkat kerjasama keamanan AS-Jepang pada masa awal pasca Perang Dunia II sampai tahun 2005, dan kedua kerjasama keamanan AS-Jepang pada masa dari awal Jepang melakukan modernisasi militer sampai revisi terakhir aliansi militer AS-Jepang (2006-2012).

2.1 Sejarah Singkat Kerjasama Keamanan AS - Jepang

Kekalahan yang dialami Jepang pada Perang Dunia II memaksa Jepang menandatangani perjanjian kesepakatan yang berisi bahwa Jepang dikuasai Amerika Serikat untuk sementara waktu. Perjanjian ini berdampak pada campur tangan AS untuk kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang yaitu pasal 9 Konstitusi 1947 (Irsan 2005).

Di bawah Konstitusi 1947, AS memaksa Jepang untuk tidak memiliki kekuatan militer dan memulai suatu pola yang secara jelas membagi ekonomi dan politik (Maswood 1990). Menurut Hikmahanto Juwana (1993) dalam tulisan yang berjudul Japan’s Defence Conception and it’s Implication For Southeast Asia, masalah pertahanan dan keamanan Jepang bersandar pada Amerika Serikat. Amerika menempatkan sejumlah pasukannya di Jepang untuk memelihara tatanan dan mempertahankan Jepang dari serangan luar. Jepang lebih fokus pada pembangunan ekonomi domestik negara daripada kebijakan pertahanannya. Jepang menyerahkan masalah pemeliharaan keamanannya kepada Amerika Serikat dalam sebuah perjanjian keamanan Jepang - Amerika Serikat tahun 1951 di San Francisco (Juwana 1993).

Perjanjian San Francisco tahun 1951 mengakhiri konsekuensi dan segala urusan pada Perang Dunia II, serta adanya pembicaraan langkah awal mengenai aliansi militer AS dan Jepang. Sekitar 10 tahun kemudian U.S – Japan Mutual Security Treaty ditandatangani. Pada tahun 1960 perjanjian ini direvisi sehingga berubah nama menjadi Treaty of Mutual Cooperation and Security (Japan Ministry of Defense 2007). Perjanjian militer ini memberikan hak untuk AS mendirikan pangkalan militer di wilayah Okinawa sebagai komitmen dalam memenuhi janji AS menjaga pertahanan Jepang. Di bawah ini peta dari pangkalan militer AS di Okinawa.

`Gambar 1: Pangkalan Militer AS di Okinawa pada Treaty of Mutual Cooperation and Security 1960

Sumber: Website resmi Kementerian Pertahanan Jepang diakses dari www.mod.go.jp

diakses pada 15 Juli 2014

Pangkalan AS di Pulau Okinawa terletak tepat di tengah-tengah wilayah yang sangat padat. Misalnya, Kota Kadena telah dipakai untuk Air Base Military (Pangkalan Militer Angkatan Udara). Pangkalan militer AS di kota ini telah mengambil 83% dari lahan Kota Kadena, dan menyisakan 17 % untuk warga di kota itu. Adapun daerah di Okinawa yang dijadikan tempat bagi pangkalan militer AS adalah Futenma Air Station, Kadena Air Base, Camp Hansen, Camp Schwab, Henoko, Stasiun Komunikasi Tori (Kodansha Encyclopedy of Japan 1983).

Pada masa Perang Dingin strategi AS untuk terus membendung kekuatan komunis Uni Soviet adalah dengan sebanyak banyaknya membentuk aliansi. Jepang dijadikan sekutu aliansi oleh AS karena untuk membantu menangkal

kekuatan Soviet. Pada awal aliansi AS-Jepang terbentuk, 50.000 anggota angkatan perang AS ditempatkan di Jepang termasuk 2.600 personil Angkatan Darat, 21.000 Marinir (dengan wing udara dan kapal amphibi), dan 230 pesawat tempur Angkatan Udara ditempatkan pada pangkalan militer di Okinawa (Karismaya 2013).

Kapabilitas teknologi dan perindustrian canggih yang dimiliki Jepang merupakan hasil dari pemanfaatan teknologi militer yang diperoleh dari AS sejak 1960-an. Pertukaran teknologi dengan AS bagi Jepang merupakan suatu upaya untuk mendapatkan keuntungan lain dari bentuk aliansi militer. Jepang berhasil menyerap teknologi militer melalui lisensi produk persenjataan AS, yang dilandasi the Mutual Defence Assistance Agreement tahun 1954 (Rosa 2008). Sejak itu, Amerika Serikat dan Jepang semakin menjalin hubungan militer yang kuat.

Pada tahun 1970 kerjasama militer AS-Jepang mengalami peninjauan kembali, hal yang terpenting dari revisi perjanjian ini adalah diberlakukannya anggaran militer Jepang sebesar 1% dari APBN. Sebelumnya, Jepang hanya diperbolehkan mengeluarkan anggaran militer di bawah 1% dari APBN. Hal ini menandakan bahwa AS mulai meminta Jepang untuk mengubah kebijakan pertahanan agar lebih mandiri dan tidak secara berlebihan berlindung pada payung militer AS (Akaha 1990).

Ketika Perang Dingin berakhir pada awal 1990an, Perjanjian Keamanan Jepang-AS mulai melemah, hal ini memunculkan gagasan untuk mencari bentuk baru dari perjanjian Jepang-AS. Pada 17 April 1996 akhirnya Jepang dan AS

memperbaharui perjanjian keamanannya dengan menandatangani Japan-US Joint Declaration on Security—Alliance for the Twenty-First Century. Sebagai bagian dari kesepakatan ini, kedua negara setuju untuk meninjau kembali Guidelines for Japan-US Defense Cooperation yang pernah disepakati pada tahun 1978 (Japan Ministry of Defense 2007).

Adanya Joint Statement pada tahun 1997, menciptakan landasan yang solid untuk kerjasama Jepang-AS baik dalam keadaan keamanan Asia Timur yang normal maupun tidak menentu. Ada tiga prinsip dasar yang dihasilkan dari Joint Statement ini, yaitu: pertama, hak dan kewajiban dalam The Japan-U.S Treaty of Mutual Cooperation and Security dan perjanjian-perjanjian lainnya tidak akan berubah; kedua, kerangka dasar kerjasama aliansi Jepang-AS tidak akan berubah; ketiga Jepang akan bertindak sesuai dengan batasan dalam konstitusinya (East Asia Strategic Review 2000).

Pada November 2003, Pertemuan Jepang-AS diadakan di Tokyo yang dihadiri Menteri Pertahanan, Shigeru Ishiba dan Menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld. Pada pertemuan tersebut, keduanya mendiskusikan masalah-masalah penting, seperti kerjasama pertahanan Jepang-AS, peningkatan militer Tiongkok, dan masalah nuklir Korea Utara. Ishiba dan Rumsfeld setuju bahwa kedua negara perlu meningkatkan kerjasama tidak hanya di kawasan tetapi juga pada masalah keamanan global (Morrison 2003, h.49).

Pada tanggal 29 Oktober 2005, AS-Jepang dalam Security Consultative Committee (SCC) menyetujui rekomendasi untuk penataan kembali pasukan AS di Jepang. AS dan Jepang bersama meningkatkan keamanan nasional negaranya

berdasarkan Joint Statement tahun 1997, yang secara bersama menjaga keamanan dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik dan menghalau segala kemungkinan terjadinya penyerangan terhadap AS (Irsan 2007). Berikut gambaran kekuatan persenjataan aliansi AS-Jepang yang mengalami perubahan dari tahun 1996 yaitu awal pemasukan senjata sampai dengan tahun 2005.

Tabel 1: Kekuatan Persenjataan Aliansi Militer Amerika Serikat dan Jepang pada tahun 1996 – 2005

Kekuatan Militer Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tank 25 56 52 52 56 30 26 20 50 100 Artillery Piece - 68 61 49 49 50 67 67 80 90 Armored Personel 35 45 61 60 71 73 9 13 300 400 SSM - 6 16 16 16 16 8 8 4 4 Anti Tank Helicopter - 8 8 8 8 9 8 6 4 6 Transport Helicopter - 4 5 5 5 3 3 3 3 3 Surface to air quided missile - 1 1 1 2 2 3 3 4 5 Destroyer - 3 2 1 3 2 3 3 6 7 Submarine - 1 1 1 1 1 2 3 17 17 Fixed wing anti-submarine patrol aircraft (P-3c) 10 10 9 9 10 8 7 9 14 15 Anti Submarine 16 13 17 12 12 11 5 7 6 6 Minessweeping Helicopter 2 4 4 2 4 4 1 4 5 7 Fighter Interceptor (F- 15) 10 12 12 12 11 5 7 7 12 27 Transport Helicopter (CH-47 J) 3 3 2 3 4 5 6 6 12 23 Transport Aircraft 1 2 4 4 5 6 7 8 8 20

Sumber: Japan Ministry of Defense diakses pada 2 November 2014 dan International Military And Defence Encyclopedia oleh Trevor N. Dupuy

Dari data diatas dapat ditarik beberapa kenyataan bahwa aliansi AS-Jepang tiap tahun mengalami kenaikan persenjataan dan armada tempur, guna menghadapi serangan musuh. AS dalam hal ini mengakomodasi dan memodernisasi alat-alat tempur Jepang yang telah dikontrol oleh AS, guna menjaga keberlanjutan kerjasama AS-Jepang di Asia Pasifik (Sinaga 2007). Kekuatan militer Jepang memang tidak sekuat negara-negara lain di Asia Timur. Akan tetapi keberadaan Amerika Serikat di Okinawa sebagai payung militer, membuat kekuatan Jepang disegani dan ditakuti oleh banyak negara pasca Perang Dingin (Irsan 2007).

Pasca SCC 2005 hubungan aliansi militer AS-Jepang semakin kuat, dengan ditandai banyak masuknya persenjataan militer. Realisasi dari kesepakatan aliansi militer AS-Jepang terlihat pada periode ini. Berawal pada tahun 1996 senjata militer banyak didatangkan, hingga pada tahun 2005 senjata militer konsisten bertambah untuk kepentingan aliansi militer. Walaupun beberapa tahun terjadi penurunan jumlah unit persenjataan pada hubungan aliansi militer AS- Jepang, tetapi periode ini merupakan awal dari masa efektifnya aliansi militer AS- Jepang. Tahun 2006, Aliansi Keamanan AS-Jepang memasuki periode baru ditandai dengan transformasi militer yang dilakukan Jepang pada tahun 2006- 2007.

2.2 Aliansi Keamanan Amerika Serikat – Jepang Periode 2006 – 2012 Percobaan senjata nuklir Korea Utara di tahun 2006, membuat terjadi adanya pembicaraan pada aliansi AS-Jepang. Pemerintahan Bush memasukkan Korea Utara ke dalam daftar hitam negara – negara yang dinilai dapat mengancam kestabilan sistem internasional. Amerika Serikat meminta Jepang untuk membantu terlibat kembali dalam Deklarasi Pyongyang (Avery & Rinehart 2013). Provokasi peluncuran senjata nuklir oleh Korea Utara menjadi salah satu faktor pendorong bagi Jepang dalam mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan negara, salah satunya dengan dibentuknya Kementerian Pertahanan pada tahun 2007 (Xu 2014).

Kunjungan Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi ke White House disambut baik oleh Presiden George W. Bush pada 29 Juni 2006. Kunjungan ini dalam rangka merayakan ikatan persahabatan AS-Jepang. Dalam pertemuan ini, kedua pihak juga mengingat dan mengevaluasi pencapaian yang didapat dari aliansi AS-Jepang ini, serta kemungkinan adanya perluasan dan penambahan bentuk kerjasama lain (Japan Ministry of Defense 2007). Pada pertemuan ini kedua pihak sepakat untuk terus berkomitmen dalam aliansi berdasarkan nilai – nilai keamanan universal dan kepentingan bersama.

Jepang dan Amerika Serikat kemudian menyepakati Initial Actions for the Implementation of the Joint Statement pada 13 februari 2007 dan difokuskan kepada masalah Korea Utara. Terdapat lima hal penting dari tujuan strategis bersama yang disepakati kedua pihak, yaitu: (Sinaga 2007)

Pertama mencapai denuklirisasi Korea Utara melalui Six-Party Talks dan memperhatikan normalisasi hubungan Korea Utara, Amerika Serikat dan Jepang. Menyadari kontribusi Tiongkok dalam keamanan regional dan global serta mendorong Tiongkok untuk meningkatkan transparansi dalam anggaran militernya. Kedua meningkatkan kerjasama untuk memperkuat kerjasama dalam APEC sebagai forum ekonomi regional yang memiliki peran penting dalam mencapai stabilitas, keamanan, dan kemakmuran di kawasan. Ketiga mendukung usaha ASEAN dalam mempromosikan nilai-nilai demokrasi, pemerintahan yang baik, aturan hukum, kebebasan, dan ekonomi pasar di Asia Tenggara, serta membangun kerjasama regional pada isu-isu keamanan tradisional dan transnasional secara bilateral melalui ASEAN Regional Forum. Keempat memperkuat kerjasama trilateral antara Jepang, Amerika Serikat, dan Australia termasuk dalam hal keamanan dan pertahanan berdasarkan nilai-nilai demokrasi. Kelima, mencapai kerjasama yang lebih erat antara Jepang dan NATO mengingat NATO memberikan kontribusi global bagi perdamaian dan keamanan serta tujuan strategis dalam aliansi Jepang dan Amerika Serikat.

Kemudian penerapan dari Joint Statement 2007 yaitu proses relokasi militer dari Okinawa ke Guam baru ditandatangani pada tahun 2009, di mana 8000 pasukan marinir AS tersebut akan dipindah dari pangkalannya di Futenma, Pulau Okinawa, Jepang, ke Guam, yang masih merupakan teritori AS (Kompas 2009). Keputusan tersebut memperlancar kesepakatan untuk mengorganisir kembali hampir 50.000 pasukan Amerika Serikat yang berdiam di Jepang. Relokasi pasukan di Jepang merupakan bagian dari upaya Amerika Serikat untuk

mentransformasikan pasukan militernya menjadi lebih modern (Moore 2008). Relokasi akan mengurangi jumlah pasukan marinir Amerika Serikat di Okinawa, sebuah wilayah paling miskin di Jepang, menjadi sekitar 7.000 dari 18.000 marinir yang ada saat ini. Target pada 2014 relokasi militer ini sepenuhnya selesai. (Japan Ministry of Defense 2007)

Faktor penyebab utama pengurangan pasukan AS di Okinawa karena di dalam negeri Jepang terjadi penolakan kehadiran pasukan Amerika Serikat. Keberadaan pasukan Amerika Serikat di kepulauan Okinawa sudah lama menjadi masalah kontroversial di dalam negeri. Warga lokal di Okinawa mengatakan keberadaan Futenma sebagai pangkalan militer yang dekat dengan kota sangat berbahaya dan bising. Warga ingin agar pangkalan tersebut dipindahkan ke pulau lain. Selain membahayakan, di kawasan ini kerap terjadi tindak kriminal yang dilakukan oleh personel militer Amerika Serikat, termasuk kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh tiga anggota militer Amerika Serikat terhadap seorang gadis berusia 12 tahun pada 27 April 2009 (Tempo, 21 Agusutus 2009).

Warga Okinawa menginginkan semua fasilitas militer tersebut dipindahkan keluar dari pulaunya. Bahkan Gubernur Okinawa mendesak Tokyo merevisi Kesepakatan Status Pasukan (Status of Forces Agreement) yang memberikan keleluasaan bagi pasukan AS dalam masalah-masalah hukum (Kompas 2009). Faktor domestik Amerika Serikat juga mendorong pasukan militer AS segera dipindahkan. Parlemen Amerika Serikat menekan Pemerintah AS untuk segera merelokasi pasukan dari Okinawa atas nama HAM masyarakat Okinawa (Moore 2008).

Pada awal 2009 sejak Obama menjabat sebagai Presiden AS ada upaya pendekatan dan penguatan hubungan aliansi keamanan secara bilateral dengan negara-negara Asia Pasifik (Khairunissa 2013). Istilah rebalance policy yang menggambarkan AS di Asia Pasifik yang baru, atau dikenal sebagai “The Pivot to Asia” merupakan perubahan prioritas AS terhadap negara-negara di Asia. Hal tersebut terlihat dari upaya AS menambah pasukan di kawasan Asia Pasifik dan memperkuat hubungan dengan negara-negara di kawasan Asia. Tidak hanya itu, AS juga mendorong negara-negara aliansinya untuk mengadopsi kebijakan yang sama (The Foregin Policy Initiative 2014).

Anggota Security Consultative Comitee (SCC) AS-Jepang pada 28 Mei 2010 kembali mengeluarkan Joint Statement of the U.S.-Japan Security Committee. Dalam pertemuan ini masalah – masalah yang telah dibicarakan pada Joint Statement SCC 2007 kembali dibahas, seperti masalah relokasi militer dari Okinawa ke Guam, mengkonstruksi ulang fasilitas militer di Henoko Saki, lebih memikirkan dampak lingkungan dan dampak terhadap penduduk setempat (SCC Joint Statement Document 2010).

Pada 21 Juni 2011 kembali dikeluarkan kesepakatan SCC yaitu Joint Statement of the Security Consultative Committee Toward a Deeper and Broader U.S.-Japan Alliance: Building on 50 Years of Partnership. Masalah yang dibahas pada pertemuan dalam rangka setengah abad aliansi AS-Jepang ini berkaitan dengan bencana alam yang terjadi pada Jepang yaitu pada 11 Maret 2011, gempa bumi dan tsunami, serta keadaan darurat reaktor nuklir Fukushima. Kerja sama ini melibatkan operasi gabungan yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh Pasukan

Pertahanan Bela Diri Jepang (SDF) dan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat. Hal ini telah memberikan keyakinan baru kepada aliansi ini untuk saling membantu bila salah satu pihak tertimpa bencana (Japan Ministry of Defense 2007).

Usaha pembentukan Joint Force dalam aliansi kemudian direncanakan akan dibicarakan pada pertemuan SCC berikutnya. Selanjutnya 27 April 2012 pertemuan SCC dilakukan oleh Menteri Pertahanan Leon Panetta dan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton dari AS, serta Jepang diwakili Menteri Pertahanan Naoki Tanaka dan Menteri Luar Negeri Koichiro Genba. Pertemuan ini menghasilkan Joint Statement of the Security Consultative Committee yang intinya memperkuat aliansi bersama serta beberapa revisi terhadap kesepakatan sebelumnya. Revisi tersebut diantaranya mengkomposisi ulang unit militer di Okinawa, Guam, dan daerah luar Jepang lainnya, mengkonsolidasikan pangkalan militer kembali ke Okinawa, membangun fasilitas militer kembali di Futenma, dan mengembalikan pangkalan udara Kadena Selatan (SCC Joint Statement Document 2012).

Kesepakatan bersama SCC pada tahun 2012 ini kemudian menghasilkan beberapa pengaturan ulang terhadap kesepakatan SCC United States-Japan Roadmap for RealignmentI Implementation yang pernah disepakati pada tahun 2006, untuk penempatan fasilitas militer di provinsi Okinawa dan beberapa tempat di dalam negeri dan luar negara Jepang (Dupuy 2012). Beberapa penempatan ulang unit militer pada provinsi Okinawa diantaranya: Marine Corps Air Station (MCAS) di Futenma, Pelabuhan Naha, Markas Kuwae, Markas

Zukeran di Futenma Barat, Daerah Perbaikan Makiminato, dan Pangkalan Udara di Kadena Selatan. Selain itu revisi kesepakatan SCC ini juga berisi tentang penambahan senjata dan unit militer seperti, penambahan armored vehicle, missiles, mortar,rifle, grenade, howitzer, helicopter, Recon UAV, aircraft dan sebagainya. Penambahan senjata ini dikarenakan beberapa pangkalan militer yang baru dikembalikan di Okinawa membutuhkan fasilitas baru (SCC Joint Statement Document 2012).

Berikut tabel penambahan senjata militer untuk aliansi setelah kesepakatan SCC tahun 2012 dan peta Pangkalan Udara Militer Amerika Serikat di Kadena Selatan, Provinsi Okinawa dalam SCCJoint Statement 2012.

Tabel 2: Daftar Penambahan Peralatan Militer setelah SCCJoint Statement 2012

Nama Alat Jumlah Unit

Sebelum Kesepakatan SCC 2012 Jumlah Unit Sebelum Kesepakatan SCC 2012

Type 10 Main Battle Tank 10 53

Type 89 Infantry Fighting Vehicle 9 68

Maneuvr Combat Vehicle 4 103

Type 73 Armored Personnel Carrier 24 338

FH-70 Towed Howitzer 200 310

Chemical Reconnaussance Vehicle 5 47

Type 92 Mine Clearance Vehicle - 5

Bushmaster Protected Mobility Vehicle - 4

LR-2 Super King Aircraft - 7

Lr-1 MU-2 aircraft - 2

Bell Ah-1 Cobra 10 88

OH-6D Scout Helicopter 50 106

RT 120mm Heavy Mortar 50 430

Sumber: Japan Ministry of Defense dan International Military And Defence Encyclopedia

oleh Trevor N. Dupuy

Dapat disimpulkan dari tabel di atas, aliansi militer AS-Jepang pada kesepakatan SCC 2012 menghasilkan kebijakan aliansi untuk menambah jumlah persenjataan yang ada dan menghasilkan pengadaan jenis senjata yang baru. Selain itu Kesepakatan SCC 2012 juga menghasilkan beberapa keputusan untuk mengembalikan beberapa markas militer yang sebelumnya pada 2009 telah dihentikan sementara. Di bawah ini peta dari pangkalan udara AS di Kadena Selatan.

Gambar 2: Peta Pangkalan Udara Militer Amerika Serikat di Kadena Selatan Provinsi Okinawa dalam SCCJoint Statement 2012

Sumber: Website resmi Kementerian Pertahanan Jepang diakses dari www.mod.go.jp diakses pada 20 September 2014

Gambar diatas menjelaskan peta Kadena Selatan berdasarkan daerah mana yang paling memenuhi syarat untuk dikembalikan fasilitas militernya setelah perjanjian Futenma Replacement Facility atau FRF dan Joint Statement SCC 2012. Pengembalian wilayah pangkalan militer ini telah disetujui oleh Parlemen Jepang. Dengan pengembalian wilayah ini membuktikan Okinawa siap kembali menjadi tuan rumah dalam pangkalan militer aliansi (Japan Ministry of Defense 2012).

Dapat disimpulkan sejak Jepang melakukan tranformasi militer hingga tahun 2012, hubungan militer AS-Jepang mengalami banyak sekali perubahan dan revisi kesepakatan bersama. Pada tahun 2006 provokasi yang dilakukan Korea Utara dalam meluncurkan senjata nuklir serta perkembangang pesat kekuatan militer Tiongkok berdampak pada revisi yang banyak pada kesepakatan bersama aliansi, di mana beberapa pertemuan SCC menghasilkan keputusan untuk terus memperbaiki kinerja dari aliansi militer ini. Hubungan aliansi mulai mendapat pertentangan dari internal Jepang saat munculnya isu perlakuan asusila dan kriminalitas yang dilakukan para tentara AS di Okinawa. Hal ini berdampak pada wacana pengurangan pasukan militer Amerika Serikat di Jepang bahkan adanya wacana mengusir penuh.

Akan tetapi hubungan buruk ini tidak berlangsung lama, pada tahun 2009 melalui “The Pivot to Asia”, Presiden Obama memfokuskan Kebijakan Luar Negeri AS pada kawasan Asia Pasifik khususnya Asia Timur. Hal ini kemudian direalisasikan pada tahun 2012 dengan mengeluarkan dokumen resmi Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense. Hal ini menjadikan

Jepang sebagai mitra aliansi yang sangat penting untuk kepentingan AS (Khairunissa 2013).

Hal ini merupakan bentuk penguatan aliansi AS-Jepang dalam menghadapi kekuatan ancaman dari Tiongkok dan Korea Utara. Jepang sejak tahun 2006 terus mengarahkan militernya untuk terus berkembang sangat bergantung pada Amerika Serikat, karena dengan penguatan aliansi militer maka militer Jepang mendapatkan pembelajaran strategi militer, teknologi militer yang canggih serta pengelolahan militer yang baik (Avery & Reinhart 2013). Bagi Amerika Serikat, Jepang adalah mitra aliansi yang penting demi kepentingan mereka yang ingin terus mempunyai pengaruh di kawasan Asia Timur. Jepang menjadi perpanjangan tangan AS untuk menyebarkan pengaruh dan nilai – nilai demokrasi, liberalisme, kemerdekaan dan sebagainya serta menunjukkan power untuk membendung paham komunis Korea Utara dan Tiongkok agar tidak menyebar di kawasan Asia Timur (Dupuy 2012). Tetap menjadi kekuatan hegemoni di Asia Pasifik menjadi prioritas utama pendekatan Kebijakan Luar Negeri AS di era Presiden Obama. Untuk itu memperkuat aliansi militer bersama Jepang secara konsisten merupakan langkah penting bagi Amerika Serikat.

40

Dokumen terkait