• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerusakan hati

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 35-43)

PENELAAHAN PUSTAKA A. Hati

4. Kerusakan hati

Hati merupakan organ yang sering menjadi sasaran untuk diinduksi mengalami kerusakan menggunakan senyawa kimia. Beberapa faktor penting diketahui dapat menambah kerentanan hati. Pertama, sebagian besar xenobiotik memasuki hati melalui sistem pencernaan dan setelah mengalami proses absorbsi akan dikirim oleh vena porta hepatik menuju hati, sehingga hati merupakan organ pertama yang diperfusi oleh zat kimia yang diabsorbsi oleh usus. Faktor kedua adalah hati memiliki enzim untuk metabolisme xenobiotik dalam konsentrasi yang tinggi dengan enzim utamanya adalah sitokrom P450. Meskipun sebagian besar biotransformasi adalah reaksi detoksifikasi, banyak reaksi oksidatif yang menghasilkan metabolit reaktif yang dapat menginduksi kerusakan hati. Bagian hati yang sering mengalami kerusakan adalah daerah sentrilobuler dan pada daerah tersebut memiliki konsentrasi sitokrom P450 yang tinggi dalam hati (Hodgson, 2004).

Jenis kerusakan hati tergantung pada jenis agen toksik, keberbahayaan intoksikasi, dan jenis paparan, baik akut maupun kronis. Beberapa jenis kerusakan dapat spesifik terjadi pada hati (contohnya kolestasis) dan terdapat pula yang tidak

spesifik pada hati (contohnya nekrosis dan karsinogenesis) (Hodgson, 2004). Jenis-jenis kerusakan hati, yaitu:

a. Nekrosis

Nekrosis sel merupakan proses degeneratif yang dapat menyebabkan kematian sel. Nekrosis, biasanya merupakan kelukaan akut, yang dapat terjadi pada area lokal dan hanya mempengaruhi beberapa hepatosit (focal necrosis), atau dapat juga mempengaruhi keseluruhan lobus (massive necrosis). Kematian sel terjadi bersamaan dengan pecahnya membran sel, dan didahului oleh beberapa perubahan morfologi seperti edema sitoplasmik, dilatasi reticulum endoplasma, disagregasi polisoma, akumulasi trigliserida, pembengkakan mitokondria dengan adanya angguan pada cristae, dan disolusi organela dan nukleus. Hati memiliki kemampuan regenerasi yang cepat, sehingga lesi nekrotik bukan termasuk kondisi yang gawat, tetapi apabila nekrosis terjadi pada area yang luas maka dapat menyebabkan kerusakan hati yang berbahaya dan bahkan gagal hati (Hodgson, 2004). Nekrosis ditandai dengan peningkatan jumlah eosinofil di sitoplasma dan tampak homogen dibanding sel normal karena telah kehilangan glikogen (Robins & Cotran, 2010).

b. Kolestasis

Kolestasis merupakan penekanan atau penghentian dari aliran empedu, dan mungkin dapat disebabkan baik oleh intrahepatik maupun ekstrahepatik. Inflamasi atau pengeblokan pada saluran empedu menyebabkan terjadinya retensi garam empedu sebanyak akumulasi bilirubin, dan bahkan dapat memicu terjadinya

termasuk perubahan permeabilitas membran hepatosit maupun kanalikuli biliar. Kolestasis biasanya diinduksi oleh obat dan susah untuk dilakukan uji pada hewan. Perubahan kimiawi darah dapat digunakan sebagai alat diagnostik (Hodgson, 2004).

c. Sirosis

Sirosis merupakan penyakit progresif yang ditandai dengan deposisi kolagen melalui hati. Sebagian besar kasus sirosis merupakan akibat dari kelukaan akibat paparan zat kimia secara kronis. Akumulasi dari bahan fibrosa menyebabkan restriksi aliran darah yang berbahaya, gangguan proses metabolisme dan proses detoksifikasi secara normal. Situasi ini tidak dapat berbalik karena kerusakan lebih lanjut dan bahkan dapat memicu gagal hati (Hodgson, 2004). Area hati yang rusak akibat sirosis dapat menjadi permanen dan sikatriks sehingga darah tidak dapat mengalir dengan baik pada jaringan hati yang rusak dan hati mulai menciut, serta menjadi keras (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007).

d. Hepatitis

Hepatitis merupakan suatu inflamasi pada hati yang biasanya disebabkan oleh virus. Hepatitis dapat pula disebabkan oleh senyawa kimia tertentu, biasanya obat yang dapat menginduksi terjadinya hepatitis yang serupa dengan yang disebabkan oleh infeksi virus (Hodgson, 2004).

e. Karsinogenesis

Karsinogenesis merupakan bentuk paling umum dari tumor hati disebut hepatoselular karsinoma, bentuk lainnya termasuk cholangiocarcinoma,

terdiferensiasi. Bahan alami yang dapat menyebabkan kanker hati contohnya aflatoksin, cycasin, dan safrol. Senyawa sintesis yang dapat menyebabkan karsinogenesis contohnya dialkylnitrosamines dan dimethylbenzanthracene (Hodgson, 2004).

5. Steatosis

Perlemakan hati merujuk pada akumulasi lemak di hepatosit secara abnormal. Pada waktu yang sama terdapat penurunan lipid plasma dan lipoprotein. Terdapat berbagai macam agen toksik yang dapat menyebabkan perlemakan hati dengan mekanisme yang berbeda-beda. Pada dasarnya akumulasi lemak dikaitkan dengan gangguan baik pada sintesis atau sekresi lipoprotein. Kelebihan lemak dapat dihasilkan dari suplai berlebih asam lemak bebas dari jaringan adiposa atau pada umumnya dari gangguan pelepasan trigliserida dari hati menuju plasma. Trigliserida disekresi dari hati sebagai lipoprotein (very low density lipoprotein, VLDL). Peran dari perlemakan hati hingga menyebabkan kerusakan hati belum dipahami dengan jelas, dan perlemakan hati itu sendiri tidak berarti disfungsi hati. Onset dari akumulasi lemak pada hati bersamaan dengan perubahan biokimia dalam darah, sehingga analisis kimia darah dapat berguna sebagai alat diagnosa (Hodgson, 2004). Salah satu pemicu terjadinya perlemakan hati adalah alkohol. Pemeriksaan yang dilakukan pada kasus ini adalah pemeriksaan enzim SGOT, SGPT, dan ALP (Dudgale, 2013).

6. Bilirubin

Bilirubin adalah suatu produk penguraian sel darah merah, sebagian besar (80-85%) berasal dari haemoglobin dan sisanya berasal dari protein yang

mengandung haem contohnya sitokrom P450 (Sherlock dan Dooley, 2002). Setelah sel darah merah menghabiskan rentang umurnya 120 hari, membran sel tersebut menjadi sangat rapuh dan pecah. Hemoglobin dilepaskan dan diubah menjadi bilirubin bebas oleh sel-sel fagositik (Corwin, 2009).

Enzim yang mengubah haem menjadi bilirubin adalah mikrosomal haem oksigenase (Gambar 6). Pemecahan cincin pophyrin terjadi secara selektif pada jembatan α-methane. Jembatan karbon α diubah menjadi karbon monoksida dan perannya digantikan oleh 2 molekul oksigen yang berasal dari oksigen molekular. Hasilnya adalah tetrapyrrole yang memiliki struktur IX α-biliverdin. Tetrapyrrole diubah menjadi IX α-biliverdin oleh enzim sitosol, yaitu biliverdin reduktase. Tetrapyrrole bersifat larut air, sedangkan bilirubin larut lemak. Perubahan menjadi larut dalam lemak disebabkan karena penyusunan kembali cincin pyrrole sehingga ikatan hidrogen internal menutupi rantai samping asam propionate dan menyebabkan bilirubin susah larut dalam air. Ikatan ini dapat dipecah oleh alkohol dalam reaksi diazo (van den Bergh) yang mengubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi bilirubin terkonjugasi (Sherlock dan Dooley, 2002).

Bilirubin bebas berikatan dengan albumin plasma dan mengalir dalam darah menuju hati. Bilirubin bebas dianggap tidak terkonjugasi karena walaupun berikatan dengan albumin, pengikatannya bersifat reversibel. Setelah berada di hati, bilirubin dibebaskan dari albumin dan karena bilirubin bebas bersifat larut dalam lemak, bilirubin tersebut mudah masuk ke dalam hepatosit. Setelah berada di dalam hepatosit, bilirubin dengan cepat berikatan dengan zat lain, biasanya asam

glukoronat, dan di tempat ini dianggap terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi bersifat larut air dan tidak larut lemak (Corwin, 2009).

Gambar 6. Metabolisme haemoglobin menjadi bilirubin. M, metil; P, propionate; V,vinil

(Sherlock dan Dooley, 2002)

Sebagian besar bilirubin terkonjugasi secara aktif disalurkan ke kanalikulus empedu kemudian bilirubin tersebut disalurkan bersama dengan komponen empedu lainnya ke kandung empedu atau usus halus. Sejumlah kecil bilirubin terkonjugasi tidak menuju ke usus sebagai komponen empedu tetapi diserap kembali masuk aliran darah. Hal ini menyebabkan hampir selalu terdapat

sebagian kecil bilirubin tidak terkonjugasi dalam perjalanannya menuju hati (Corwin, 2009).

Setelah berada di dalam usus, bilirubin terkonjugasi diproses oleh bakteri dan diubah menjadi urobilinogen. Sebagian besar urobilinogen masuk ke dalam aliran darah dan diekskresi oleh ginjal dalam urin, sebagian diekskresi dalam tinja, dan sebagian mengalami daur ulang kembali ke hati dalam sirkulasi enterohepatik (usus ke hati). Gambar 7 menunjukkan langkah-langkah yang terjadi dalam konjugasi dan ekskresi bilirubin (Corwin, 2009).

Gambar 7. Biotransformasi bilirubin (Corwin, 2009).

Konjugasi bilirubin penting untuk ekskresi bilirubin. Tanpa konjugasi, bilirubin tidak dapat diekskresi oleh ginjal atau usus. Penanganan bilirubin oleh hati adalah suatu bentuk detoksifikasi metabolik. Tanpa konjugasi, terjadi penumpukan bilirubin tidak terkonjugasi dalam darah yang mungkin mencapai kadar yang dapat bersifat toksik (Corwin, 2009).

Bilirubin total merupakan biomarker yang dikaitkan dengan gangguan homeostatis bilirubin. Ketika kadar bilirubin total semakin meningkat menunjukkan

kemungkinan gangguan fungsi hati, yang dapat menyebabkan gagal hati (Gupta, 2014). Kadar bilirubin serum merupakan biomarker fungsi hati yang nyata, yang mana dapat mengukur kemampuan hati untuk membersihkan bilirubin dari darah ketika mengalir melalui hati (Senior, 2006). Kadar bilirubin total normal pada tikus yaitu <0,1 – 0,2 mg/dl (Suckow, Weisbroth, dan Franklin, 2006).

B. Hepatotoksisitas

Hepatotoksisitas termasuk kerusakan hati yang dipengaruhi oleh senyawa kimia. Obat tertentu apabila digunakan melebihi dosis dan kadang sudah digunakan pada dosis terapi dapat menyebabkan kelukaan pada hati. Senyawa kimia lain seperti yang digunakan di laboratorium (contohnya karbon tetraklorida (CCl4)), industri (contohnya timbal), senyawa kimia alam (contohnya aflatoksin), dan bahan herbal (cascara sagrada) dapat juga menyebabkan hepatotoksisitas. Senyawa yang menyebabkan hepatotoksisitas disebut hepatotoksin (Robin, Sunil, dan Nidhi, 2012). Hepatotoksisitas dapat diklasifikasikan menjadi intrinsik dan idiopatik. Hepatotoksisitas dapat diklasifikasikan menjadi intrinsik jika suatu agen atau obat memiliki struktur yang berpotensi menyebabkan kerusakan hati. Hepatotoksisitas dapat diklasifikasikan sebagai idiopatik apabila suatu senyawa atau obat menimbulkan kejadian hepatotoksisitas yang tidak terduga (Mumtaz, 2010).

a. Hepatotoksisitas intrinsik terjadi ketika senyawa secara langsung merusak sel hati yang normal. Contohnya, hepatotoksisitas langsung atau terprediksi ditimbulkan oleh asetaminofen pada ingesti berlebih atau interval penggunaan tertentu. Hepatotoksisitas intrinsik juga disebabkan oleh senyawa kimia yang

berada di lingkungan seperti CCl4 dan kloroform. Hepatotoksisitas tidak langsung terjadi ketika obat mengubah fungsi fisiologi normal atau vital seperti sekresi dan metabolisme hepatosit dan menyebabkan kerusakan. Contohnya, kontrasepsi oral mempengaruhi fungsi metabolisme, isoniazid mempengaruhi fungsi sekresi hepatosit. Adanya gangguan pada transfer protein termasuk aliran empedu secara normal dapat menyebabkan gangguan kolestasis (Mumtaz, 2010).

b. Hepatotoksisitas idiopatik merupakan hepatotoksisitas tidak langsung. Hepatotoksisitas idiopatik menghasilkan respon hepatotoksik yang tidak tergantung pada dosis dan memiliki masa laten yang bervariasi mulai dari hari sampai bulan. Obat yang dapat menginduksi respon hepatotoksik dapat melalui beberapa mekanisme, seperti pengancuran hepatosit dan melepaskan beberapa protein sel yang berikatan kovalen dengan obat, melalui proses tertentu kemudian terbentuk sesuatu yang dikenali tubuh sebagai antigen dan memicu reaksi hipersensitif. Metildopa, fenitoin, obat golongan sulfa dapat menimbulkan hipersensitifitas. Inhibisi aktivitas enzim hepatik oleh obat dapat menimbulkan hepatotoksisitas (Mumtaz, 2010).

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 35-43)

Dokumen terkait