3.1.7 Parameter Kualitas Air .1 Nilai pH .1 Nilai pH
3.1.7.5 Kesadahan Total
Kesadahan total selama pemeliharaan pada semua perlakuan memiliki nilai yang fluktuatif kecuali pada perlakuan kontrol (0 mg/L CaCO3) dan D (300 mg/L CaCO3) yang cenderung mengalami penurunan selama masa pemeliharaan. Kisaran nilai kesadahan pada awal pemeliharaan adalah 301,50–488,95 mg/L CaCO3. Kesadahan menurun pada hari ke-10 dengan kisaran nilai 261,73-485,01 mg/L CaCO3. Pemeliharaan hari ke-20 menunjukkan peningkatan nilai kesadahan dengan kisaran 241,86-500,86 mg/L CaCO3. Nilai kesadahan kembali menurun pada akhir pemeliharaan dengan kisaran 226,67-326,51 mg/L CaCO3 (Gambar 12). 0,0000 0,0020 0,0040 0,0060 0,0080 0,0100 0,0120 0,0140 0,0160 0 10 20 30 A m o n ia ( m g/ L)
Pemeliharaan Hari ke-
A (150 mg/L CaCO3) B (200 mg/L CaCO3) C (250 mg/L CaCO3) D (300 mg/L CaCO3) Kontrol (0 mg/L CaCO3)
17
Gambar 12. Nilai kesadahan total selama pemeliharaan
3.1.7.6 Kesadahan Ca2+
Kesadahan Ca2+ selama pemeliharaan memiliki nilai yang fluktuatif pada hampir semua perlakuan. Nilai kesadahan pada awal pemeliharaan sampai pada hari ke-20 cenderung mengalami penurunan yang cukup drastis yakni berkisar antara 172,66–57,06 mg/L CaCO3. Kesadahan meningkat pada hari ke-30 dengan kisaran nilai 57,06-164,84 mg/L CaCO3 (Gambar 13).
Gambar 13. Nilai kesadahan Ca2+ selama pemeliharaan
0,00 100,00 200,00 300,00 400,00 500,00 600,00 0 10 20 30 K e sad ah an To tal (m g/ l CaCO3)
Pemeliharaan Hari ke-
A (150 mg/L CaCO3) B (200 mg/L CaCO3) C (250 mg/L CaCO3) D (300 mg/L CaCO3) kontrol (0 mg/L CaCO3) 0,00 50,00 100,00 150,00 200,00 250,00 0 10 20 30 Ke sa d ah an C a 2+ (m g/ l C aC O3)
Pemeliharaan Hari ke-
A (150 mg/L CaCO3) B (200 mg/L CaCO3) C (250 mg/L CaCO3) D (300 mg/L CaCO3) kontrol (0 mg/L CaCO3)
18
3.2. Pembahasan
Effendi (1979) menyatakan bahwa kelangsungan hidup dihitung dengan membagi jumlah benih yang hidup pada suatu akhir periode pemeliharaan dengan jumlah benih ikan yang hidup pada awal periode pemeliharaan. Menurut Black (1957), kelangsungan hidup ikan air tawar di dalam lingkungan yang berkadar garam bergantung pada permukaan insang, laju konsumsi oksigen, toleransi jaringan tubuh terhadap garam-garam dan kontrol permeabilitas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Survyta (1995) yang menunjukkan bahwa salah satu fungsi ginjal yakni sebagai salah satu organ osmoregulasi berfungsi memompa keluar kelebihan air dan menahan garam-garam mampu menjalankan fungsi secara baik sehingga benih ikan patin dapat bertahan hidup. Data diatas menunjukkan nilai kelangsungan hidup selama pemeliharaan mencapai 100% (Lampiran 2 dan 3).
Pertumbuhan merupakan pertambahan bobot atau panjang. Huet (1971) menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari daya tahan terhadap penyakit dan genetik. Faktor eksternal meliputi faktor yang berkaitan dengan lingkungan tempat hidup serta ketersediaan makanan. Penelitian ini menguji faktor eksternal yaitu lingkungan terhadap pertumbuhan benih ikan patin. Penambahan kapur CaCO3 memberikan pengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan bobot harian benih patin. Lovell (1977) menyatakan bahwa Channel catfish dapat menyerap kalsium dari perairan. Kalsium diserap oleh tubuh melalui insang dan kulit (Lall 1989). Laju pertumbuhan harian selama pemeliharaan berkisar antara 11,51%-12,67%. Laju pertumbuhan harian tertinggi dicapai pada perlakuan C (250 mg/L CaCO3) sebesar 12,67% (Gambar 2). Hal ini dikarenakan pada perlakuan tersebut, ikan patin mampu memanfaatkan kadar Ca2+ dalam perairan secara optimal untuk memaksimalkan pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan data kandungan Ca2+ di perairan yang menunjukkan laju penurunan kadar Ca2+ pada selang hari ke-0 sampai hari ke-10 kemudian perlahan meningkat pada selang hari ke-20 sampai akhir masa pemeliharaan. Hal ini membuktikan bahwa Ca2+ efektif diserap oleh benih ikan patin pada awal masa pemeliharaan. Laju pertumbuhan harian terendah dicapai pada perlakuan kontrol (0 mg/L CaCO3) yakni 11,51% (Gambar 2). Minimnya kandungan mineral Ca2+ dalam lingkungan kontrol membuat laju
19
pertumbuhan harian ikan kurang maksimal. Penambahan kapur CaCO3 juga memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan bobot rata-rata benih patin. Hal tersebut juga ditunjukkan pada grafik bobot rata-rata (Gambar 3) yang mengalami peningkatan bobot rata-rata pada semua perlakuan dari awal sampai akhir masa perlakuan. Peningkatan bobot rata-rata tertinggi terjadi pada perlakuan C (250 mg/L CaCO3) yakni berkisar antara 0,08-2,26 g/ekor dan terendah pada perlakuan kontrol (0 mg/L CaCO3) yakni berkisar antara 0,08-1,62 g/ekor (Lampiran 4 dan 5).
Kapur CaCO3 juga memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan panjang ikan patin. Panjang mutlak ikan patin pada semua perlakuan mengalami peningkatan dengan kisaran 2,84–3,79 cm. Panjang mutlak ikan tertinggi terdapat pada perlakuan C yakni penambahan CaCO3 sebanyak 250 mg/L dengan nilai 3,79 cm sedangkan untuk panjang mutlak terendah terdapat pada perlakuan kontrol yakni penambahan CaCO3 sebanyak 0 mg/L dengan nilai 2,84 cm. Hal ini juga diperkuat dengan adanya grafik panjang rata-rata (Gambar 5) yang menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan panjang tertinggi terdapat pada perlakuan C (250 mg/L CaCO3) yakni berkisar antara 2,71-6,50 cm. Sementara pertumbuhan panjang terendah terdapat pada perlakuan kontrol 0 mg/L CaCO3 yakni berkisar antara 2,64-5,48 cm. Perbedaan yang nyata ini dipengaruhi oleh kandungan kalsium yang dapat dimanfaatkan oleh ikan pada perlakuan C sehingga fungsi kalsium sebagai pembentuk tulang dan jaringan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pertumbuhan panjang benih patin. Hal tersebut juga sesuai dengan pernyataan Steffens (1989) yang menyatakan kalsium memiliki fungsi sebagai komponen utama pembentuk tulang, gigi, kulit, serta sisik, dan memelihara ketegaran kerangka tubuh, mengentalkan darah, sebagai
“intracellular regulator” atau messenger yaitu membantu regulasi aktivitas otot
kerangka, jantung dan jaringan lainnya, konstraksi dan relaksasi otot, membantu penyerapan vitamin B12, menjaga keseimbangan osmotik. Ketersediaan kalsium di perairan sangat dipengaruhi oleh jenis batuan dan tanah penyusun dasar perairan tersebut. Davis dan Gatlin (1991) menyatakan bahwa kalsium merupakan kofaktor proses enzimatik. Kelarutan kalsium yang optimal dalam media akan meningkatkan aktivitas enzim Na+, K+, dan ATPase karena penyerapan kalsium
20
dalam rongga usus memerlukan energi yang bergantung pada enzim ATP-ase (Piliang 2005). Selain itu adanya keseimbangan mineral media juga mempengaruhi keseimbangan isoosmotik antara cairan tubuh dan lingkungan. Pada saat kondisi perairan (eksternal) sesuai dengan konsentrasi cairan tubuh ikan (internal) maka kebutuhan energi (beban osmotik) untuk aktivitas enzim Na+, K+ dan ATP-ase akan berkurang sehingga tersedia banyak energi (katabolisme) yang dapat digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pertumbuhan (Imsland 2003). Tiap jenis ikan membutuhkan jumlah kalsium yang berbeda. Mineral kalsium di lingkungan dapat berasal dari CaCO3, (Ca(OH)2) dan CaO (Kadarini 2009). Mineral-mineral kalsium tersebut mempunyai reaksi yang berbeda dalam air. Mineral kalsium yang berbeda akan memberikan tingkat pertumbuhan yang berbeda.
Kalsium merupakan salah satu komponen dari eksoskeleton dan kofaktor beberapa jenis enzim serta berperan dalam proses osmoregulasi dan aktivitas saraf. Setiap spesies memiliki kebutuhan mineral yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi lingkungan media hidupnya. Boyd (2001) menyatakan bahwa ikan memerlukan kadar mineral kalsium dan magnesium tertentu dalam air atau ikan akan cenderung melepaskan mineral-mineral ini dari dalam tubuhnya. Kalsium berbentuk kation yang bermuatan dua ion positif dan tidak terdapat dalam bentuk bebas (Pilliang 2005). Menurut Hargreaves dan Tomasso (2004), ikan dapat memanfaatkan sumber-sumber kalsium dari media dalam jumlah yang tak terbatas. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatannya pada ikan Seabream sparatus
auratus yang dipelihara pada media 7 bersalinitas 2,5 g/L (konsentrasi kalsium
0,7 mmol/L) dan diberikan pakan yang sufficien dan defisient sehingga
menunjukkan adanya peningkatan hormon PTHrP (parathyroid hormon related
protein) yang berperan sebagai hormon pertumbuhan. Ikan memanfaatkan
kalsium yang ada di media dan pakan melalui insang dan usus. Penyerapan kalsium dalam rongga usus memerlukan energi yang bergantung pada enzim ATP-ase (Piliang 2005). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa benih ikan patin yang mampu menyerap Ca2+ dengan baik dari perairan terdapat pada perlakuan C (250 mg/L CaCO3) yaitu dengan nilai kandungan mineral kalsium sebesar 0,23 mg/individu, sedangkan kandungan Ca2+ terendah terdapat pada
21
benih ikan patin perlakuan kontrol (0 mg/L CaCO3) sebesar 0,11 mg/individu. Secara umum, kandungan Ca2+ pada benih ikan patin meningkat dari konsentrasi awal sebelum perlakuan yaitu sebesar 0,9 mg/individu. Hal ini diperkuat dengan grafik pertumbuhan baik bobot maupun panjang rata-rata selama pemeliharaan (Gambar 2, 3, 4 dan 5) yang terus meningkat.
Kualitas air selama pemeliharaan berada dalam kisaran optimal untuk pertumbuhan ikan patin. Biota akuatik memiliki kisaran suhu tertentu untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Peningkatan suhu menyebabkan kelarutan oksigen menurun dalam air, mempercepat metabolisme dan respirasi, serta peningkatan konsumsi oksigen (Hargreaves dan Tomasso 2004). Suhu selama masa pemeliharaan ikan patin pada semua perlakuan berkisar antara 25,87-26,73ºC. Kisaran suhu tersebut sangat mendukung kehidupan benih ikan patin. Merujuk pada pernyataan Karlina (2009) yang menyatakan suhu tersebut berada dalam kisaran yang optimal terhadap pertumbuhan benih ikan patin yaitu 24-32°C. Hal tersebut juga dapat dibuktikan dari data sintasan (SR) yang mencapai 100% dan data pertumbuhan (Gambar 2, 3, 4 dan 5) yang menunjukkan peningkatan pada semua perlakuan.
Budidaya ikan patin selain menggunakan air tawar ternyata dapat dilakukan di air payau. Berdasarkan pernyataan Indrati (1992) bahwa Channel catfish dapat hidup di air payau dengan salinitas mencapai 14 g/L. Selain itu pertumbuhan harian larva ikan patin meningkat dengan meningkatnya salinitas dari 0 g/L sampai dengan 4 g/L. Berdasarkan penelitian tersebut, peningkatan salinitas menjadi 4 g/L pada media pemeliharaan benih ikan patin secara tidak langsung akan meningkatkan pertumbuhan. Hal ini disebabkan media bersalinitas mempengaruhi sistem osmoregulasi dalam tubuh ikan. Cairan tubuh ikan air tawar mempunyai tekanan yang lebih tinggi (hiperosmotik) daripada cairan yang berada dilingkungannya sehingga cenderung mengambil ion-ion garam seperti Na+ dan Cl- dari air melalui proses difusi. Lingkungan bersalinitas 4 g/L pada pemeliharaan ikan patin akan menjadikan kondisi mendekati isoosmotik sehingga memperkecil penggunaan energi untuk osmoregulasi kemudian dialihkan untuk pertumbuhan. Oleh karena itu pada penelitian ini salinitas yang digunakan sebesar 4 g/L. Kisaran nilai salinitas selama pemeliharaan berada pada nilai 4,13-4,82 g/L.
22
Kisaran tersebut masih sesuai dengan lingkungan isoosmotik yang diharapkan oleh ikan patin.
Nilai pH menunjukkan kadar asam atau basa dan mengekpresikan konsentrasi molar dari ion hidrogen yang berupa logaritma negatif. Nilai pH juga merupakan indikator utama yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas air permukaan. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan nilai pH dan menyukai nilai pH berkisar 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimia perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika nilai pH rendah (Boyd 1990). Berdasarkan Grafik pH diatas (Gambar 7) Nilai pH selama masa pemeliharaan memiliki kisaran 6,94–8,18. Nilai pH tersebut termasuk dalam kisaran yang diinginkan dalam produksi ikan (Boyd 1990) termasuk ikan patin dan merupakan kisaran bagi budidaya intensif (Wedemeyer 1978). Dengan demikian kapasitas buffer yang terkandung dalam kapur CaCO3 (dolomit) mampu menyangga dan meminimalkan fluktuasi nilai pH. Pada akhir pemeliharaan, pH cenderung lebih rendah dibandingkan pada awal pemeliharaan. Hal itu disebabkan oleh penurunan konsentrasi oksigen terlarut pada akhir pemeliharan (Effendi 2003). Pada semua perlakuan penambahan CaCO3, peningkatan nilai pH terjadi pada hari ke-10. Hal ini diakibatkan oleh bertambahnya nilai amonia yang cukup signifikan pada rentan hari ke-0 sampai hari ke-10 (Gambar 10). Hal tersebut dapat diperkuat dengan pernyataan dari Novotny dan Oleum (1994) bahwa senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan di perairan yang memiliki pH rendah. Namun, pada pH tinggi lebih banyak ditemukan amonia yang tidak terionisasi dan bersifat toksik. Meskipun bersifat toksik, kadar amonia pada hari ke-10 masih dalam tahap yang dapat ditoleransi oleh ikan patin yakni berkisar antara 0,09 mg/L – 0,15 mg/L. Hal ini dapat dilihat dari data pertumbuhan panjang dan bobot ikan patin pada rentang hari 7 sampai hari ke-14 (Gambar 3 dan 5) yang memiliki nilai cenderung naik. Nilai pH menurun selama pemeliharaan (Lampiran 9) diakibatkan peningkatan amonia di media pemeliharaan. Boyd (1988) menyatakan bahwa penumpukan amonia mengakibatkan penurunan nilai pH. Menurut Effendi (2003) nilai pH di atas 10 dapat membunuh ikan, sementara nilai pH dibawah 5 mengakibatkan pertumbuhan ikan terhambat. Patin sangat toleran terhadap derajat keasaman
23
(pH) air. Ikan ini dapat bertahan hidup di perairan dengan derajat keasaman yang agak asam (pH rendah) sampai di perairan yang sangat basa (pH tinggi) dengan pH 5-9.
Oksigen terlarut merupakan gas yang sangat penting untuk kesejahteraan hewan air. Wedemeyer (1978) menyatakan bahwa ketersediaan oksigen terlarut sangat penting dalam budidaya intensif, karena bila kekurangan akan mengakibatkan dampak negatif pada kesehatan ikan bahkan kematian. Dalam budidaya intensif ditambahkan aerasi untuk mencegah terjadinya persaingan oksigen (Lingga dan Susanto 1999). Konsentrasi oksigen terlarut pada pemeliharaan ikan channel catfish sebaiknya tidak kurang dari 3 mg/L (Stickney 1979). Konsentrasi oksigen terlarut selama 30 hari pemeliharaan berkisar antara 4,85-5,83 mg/L (Lampiran 10). Konsentrasi oksigen secara umum menurun secara stabil pada semua perlakuan hingga akhir masa pemeliharaan (Gambar 8). Hal itu terjadi dikarenakan ukuran ikan yang makin besar (Boyd 1982) dan dekomposisi bahan organik yang membutuhkan oksigen. Salinitas juga mempengaruhi tekanan osmotik media dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap tingkat konsumsi oksigen. Sesuai dengan pernyataan Farmer dan Beamish (1969) bahwa ikan air tawar yang bersifat euryhalin memiliki tingkat konsumsi oksigen 19% lebih besar daripada saat kondisi isoosmotik. Menurut Boyd (1979), jika oksigen terlarut lebih kecil dari 0.3 mg/L dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan ikan mati. Berdasarkan kisaran yang diperoleh, kandungan oksigen terlarut di wadah perlakuan masih dalam batas toleransi kehidupan benih ikan patin.
Stickney (1979) menyatakan bahwa konsentrasi amonia yang dapat ditoleransi oleh ikan adalah kurang dari 1 mg/L. Senyawa ini berasal dari sisa metabolisme ikan dan perombakan bahan organik yang berasal dari sisa pakan yang tidak termakan. Dalam kadar tertentu, senyawa ini bisa menyebabkan keracunan dan kematian bagi ikan. Menurut Steffens (1989), kadar amonia dalam air sebaiknya tidak lebih dari 1,5 mg/L, karena nilai yang lebih besar dari 1,5 mg/L sudah dapat menyebabkan ikan stres dan mati. Kandungan amonia pada media selama pemeliharaan berkisar antara 0,0002–0,0137 mg/L (Lampiran 11). Peningkatan konsentrasi amonia paling signifikan terjadi pada perlakuan B (200 mg/L CaCO3) yakni berkisar antara 0,0030-0,0136 mg/L. Sedangkan konsentrasi
24
amonia paling rendah terdapat pada perlakuan kontrol (0 mg/L CaCO3) yakni 0,0002 – 0,0014 mg/L. Konsentrasi amonia di media pemeliharaan pada semua perlakuan cenderung mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada rentang hari ke-0 sampai hari ke-10 (Gambar 9). Keberadaan amonia di perairan tergantung pada suhu, pH dan salinitas. Semakin tinggi suhu dan pH maka nilai konsentrasi amonia semakin meningkat tetapi pH memberikan pengaruh yang lebih besar. Jika nilai pH tubuh lebih rendah dari nilai pH air, ikan akan mengekskresikan amonia darah ke air sehingga konsentrasi amonia di air meningkat (Wedemeyer 1996). Hal ini dapat diperkuat dengan data kenaikan pH pada rentang hari ke-0 sampai hari ke-10 (Gambar 6). Keberadaan ion sodium dan kesadahan juga ikut mempengaruhi konsentrasi amoniak (Wedemeyer 1996). Hal ini dapat terlihat pada grafik amonia (Gambar 10) bahwa kadar amonia masing-masing perlakuan tidak berbeda jauh, namun terlihat bahwa pada kesadahan yang lebih tinggi konsentrasi amonianya secara umum lebih rendah dibanding dengan kesadahan yang lebih rendah. Hal itu menandakan bahwa kesadahan mempengaruhi keberadaan amonia, karena kesadahan akan mereduksi toksisitas amonia (Boyd 1990). Secara umum nilai amonia pada media pemeliharaan berada dalam konsentrasi yang sesuai dengan ketetapan APHA (1989) yang menyatakan konsentrasi amonia tidak boleh melebihi batas minimum ketetapan yaitu 0,01 mg/L. Konsentrasi amonia tertinggi terdapat pada perlakuan B yang mencapai 0,0136 mg/L sedangkan konsentrasi amonia terendah terdapat pada perlakuan kontrol yakni sebesar 0,002 mg/L. Konsentrasi amonia yang tinggi akan mempengaruhi permeabilitas ikan terhadap air dan menurunkan konsentrasi ion-ion dalam tubuh. Hal itu meningkatkan konsumsi oksigen dalam jaringan sehingga akan mengakibatkan kerusakan pada insang dan mengurangi kemampuan darah dalam mentranspor oksigen (Boyd 1990). Sampai pada tahap konsentrasi amonia dalam air lebih tinggi dari darah ikan, maka akan terjadi penurunan laju ekskresi amonia dari ikan karena adanya penghambatan aliran keluarnya sehingga amonia dalam darah meningkat (Wedemeyer 1996). Hal tersebut menyebabkan rusaknya insang, meningkatnya konsumsi oksigen dan bertambahnya energi untuk keperluan detoksifikasi dan gangguan osmoregulasi (Boyd 1990). Berdasarkan data sintasan (SR) dan pertumbuhan, ikan patin
25
memiliki daya toleransi yang cukup tinggi untuk beradaptasi dengan lingkungan yang memiliki kadar amonia yang cukup tinggi. Hal tersebut juga diperkuat dengan manajemen kualitas air yang baik yakni dengan dilakukan penyiponan pada media pemeliharaan tiap 10 hari sekali.
Menurut Effendi (2003) kesadahan pada dasarnya menggambarkan kandungan Ca2+, Mg2+ dan ion-ion polivalen lainnya seperti Al3+, Fe3+, Mn2+, Sr2+, dan H+ yang terlarut dalam air. Berdasarkan data diketahui bahwa nilai kesadahan pada media pemeliharaan berada pada dua kisaran yakni kesadahan sadah dan sangat sadah. Peavy et al., (1985) menyatakan bahwa perairan menengah berada pada kisaran 50–150 mg/L CaCO3 sedangkan perairan sadah pada kisaran 150–300 mg/L CaCO3, dan sangat sadah lebih dari 300 mg/L CaCO3. Nilai tersebut masih dalam kisaran yang baik untuk pemeliharaan. Dari hasil yang diperoleh diketahui bahwa kisaran nilai kesadahan pada awal pemeliharaan adalah 301,50–488,95 mg/L CaCO3 (Lampiran 12). Kesadahan menurun pada hari ke-10 dengan kisaran nilai 261,73-485,01 mg/L CaCO3. Pemeliharaan hari ke-20 menunjukan peningkatan nilai kesadahan dengan kisaran 241,86-500,86 mg/L CaCO3. Nilai kesadahan kembali menurun pada akhir pemeliharaan dengan kisaran 226,67-326,51 mg/L CaCO3 (Gambar 12). Sedangkan untuk nilai kesadahan Ca2+ menunjukkan bahwa nilai kesadahan pada awal pemeliharaan sampai pada hari ke-20 cenderung mengalami penurunan yang cukup drastis yakni berkisar antara 172,66–57,06 mg/L CaCO3. Kesadahan meningkat pada hari ke-30 dengan kisaran nilai 57,06-164,84 mg/L CaCO3 (Lampiran 13). Menurunnya kadar Ca2+ dalam perairan menjadi indikasi bahwa ikan patin mampu memanfaatkan Ca2+ (kalsium) untuk pertumbuhan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya grafik pertumbuhan bobot dan panjang rata-rata selama pemeliharaan (Gambar 3 dan 5) yang menunjukkan adanya peningkatan bobot serta panjang yang cukup signifikan pada rentang hari ke-0 sampai hari ke-20. Peningkatan kembali nilai Ca2+ dalam perairan juga menjadi indikasi bahwa ikan sudah tidak bisa memanfaatkan kadar Ca2+ untuk pertumbuhan. Hal ini juga dapat dilihat dari grafik pertumbuhan bobot dan panjang rata-rata selama pemeliharaan (Gambar 3 dan 5) yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan panjang dan bobot pada ikan patin tetapi tidak signifikan pada rentang hari ke-20 sampai hari
26
ke-30. Menurut Effendi (2003) perairan sangat sadah mengandung kalsium, magnesium, karbonat dan sulfat yang sangat tinggi. Keadaan yang terus-menerus dapat mengakibatkan terjadinya ketidaknyamanan sehingga mempengaruhi laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup. Secara umum, nilai kesadahan pada media perlakuan masih dalam tahap yang dapat ditolerir oleh ikan patin, hal ini dapat dibuktikan dari tingginya nilai sintasan (SR) yang mencapai 100% pada semua perlakuan. Hal ini diperkuat dengan adanya pernyataan dari Effendi (2003) yang menyatakan bahwa parameter kesadahan untuk kegiatan budidaya bisa mencapai sebesar 500 mg/L CaCO3.
Pada umumnya kegiatan budidaya ikan patin dibagi menjadi tiga kegiatan yakni pembenihan I, pembenihan II, dan pembesaran. Pembenihan I merupakan kegiatan untuk menghasilkan benih berukuran 1-2 cm dari keadaan awal berupa telur setelah kedua induk dipijahkan dan membutuhkan waktu normal sekitar 3 minggu. Pembenihan II merupakan kegiatan untuk menghasilkan benih siap tebar di kolam yakni berukuran 5-6 cm dari keadaan awalnya yakni 1-2 cm yang membutuhkan waktu normal 4-5 minggu. Kegiatan pembesaran merupakan kegiatan untuk menghasilkan ikan berukuran konsumsi sebesar kurang lebih 250 g/ekor yang membutuhkan waktu kurang lebih 4 bulan masa pemeliharaan (Khairuman 2008). Dari sumber diatas menunjukkan bahwa lama waktu pemeliharaan ikan patin dari ukuran telur hingga ukuran konsumsi yakni 250 g/ekor mencapai 6 bulan. Penelitian ini bertujuan untuk memotong siklus produksi pada kegiatan pembenihan II dengan cara mempercepat proses pertumbuhan ikan patin melalui penambahan kalsium pada media bersalinitas. Sehingga dari data yang diperoleh (Gambar 3, 4, 5 dan 6) menunjukkan penelitian ini berhasil mempercepat proses pertumbuhan atau memotong siklus produksi benih ikan patin dari ukuran 1-2 cm ke ukuran benih ikan patin siap tebar 6-7 cm menjadi 21 hari dari waktu normal yakni 28-35 hari. Penelitian ini mampu diaplikasikan pada petani pembenihan sehingga mampu mempersingkat siklus produksi dan mempercepat perputaran uang dan keuntungan bagi petani.
27
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Penambahan kalsium karbonat (CaCO3) dengan konsentrasi yang berbeda pada media bersalinitas 4 g/L memberikan pengaruh nyata bagi laju pertumbuhan bobot harian benih patin dan panjang mutlak benih patin. Laju pertumbuhan bobot dan panjang terbaik terdapat pada perlakuan C yaitu dengan penambahan CaCO3 sebanyak 250 mg/L ke dalam media perlakuan. Data perlakuan tersebut juga menunjukkan bahwa penelitian ini berhasil mempercepat proses pertumbuhan atau memotong siklus produksi benih ikan patin dari ukuran 1-2 cm ke ukuran benih ikan patin siap tebar di kolam 6-7 cm menjadi 21 hari dari waktu normal yaitu 28-35 hari. Penelitian ini tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup benih ikan patin.
4.2 Saran
Penelitian selanjutnya perlu dilakukan dengan ikan yang berbeda spesies agar semakin banyak pula jenis ikan yang dapat dipercepat pertumbuhannya dengan metode penambahan kapur CaCO3 pada media perairan.
28