• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesadaran-Ruang-Waktu Sebagai Suatu Kontinuum

Manusialah sebenarnya yang semestinya mengungkapkan eksistensi alam semesta dan Tuhannya dengan kesadaran dirinya, sehingga kesatupaduan alam semesta sebenarnya adalah kontinuum Kesadaran diri-ruang-waktu (KDRW). Suatu kontinuum yang bersifat energetis dan psikis, bukan semata-mata fisik. Tanpa manusia bisa dikatakan bahwa semua Perbendaharaan Tersembunyi akan tetap tidak terungkap, sehingga harus dipahami bahwa sebenarnya antara manusia dan Tuhannya terjadi suatu kedekatan yang tidak bisa disingkapkan dengan pengertian-pengertian maupun pendekatan-pendekatan yang tergantung pada pengertian ruang dan waktu semata. Artinya, apa yang selama ini diungkapkan sains dimana alam semesta adalah suatu kontinum ruang-waktu tidaklah sepenuhnya benar, tetapi memiliki kekurangan karena variabel dominan manusia tidak disertakan dalam pengertian yang lebih utuh untuk memahami alam semesta. Dan berbicara tentang manusia maka kita sebenarnya berbicara tentang

“Kesadaran Diri” yang lebih psikologis dan energetis

yang berhubungan dengan suatu sumber kekuasaan atau kekuatan atau energi yang lebih kekal dan harmonis (Tuhan).

Di dalam pandangan Islami, Allah adalah pusat alam semesta. Karena itu, ruang dan waktu sebagai suatu kontinuum sejatinya adalah bentuk lain dari penampakkan sifat Kemahakuasaan Allah yang meliputi segala sesuatu (QS 41:54). Namun, hal itu tidaklah lengkap. Dalam terminologi Ibnu Arabi dikatakan bahwa dengan ruang-waktu saja alam semesta sebenarnya masih buram (lihat uraian di bagian awal bab 3) karena aspek manusia terlupakan, padahal manusialah yang memberikan pemaknaan hakiki tentang alam semesta dan Tuhan. Oleh karena manusialah referensi utama alam semesta ketika Allah pertama kali menciptakan makhluk. Peran manusia inilah yang masih dilupakan oleh sains modern sehingga semestinya apa yang dimaksud sebagai kontinuum adalah kontinuum kesadaran diri-ruang-waktu. Jadi, sifat Kemahakuasaan Allah adalah suatu sifat yang memang dinisbahkan kepada manusia yang berkesadaran sebagai suatu batasan bahwa manusia sendiri sebenarnya sangat dibatasi kemampuannya. Kendati demikian, kerangka kontinuum kesadaran-ruang-waktu, yang saat ini masih dikenal oleh ilmuwan sebagai kontinuum ruang waktu, tidak lebih dari suatu kerangka acuan yang relatif agar si makhluk benar-benar menyadari bahwa dirinya adalah cuma sekedar makhluk yang berada didalam sangkar. Apa yang ia indera di dalam sangkar, yang kemudian diproyeksikan oleh otak sebagai sebuah

kesadaran menjadi suatu realitas apakah itu berupa dirinya sebagai manusia, istrinya, anaknya, rumahnya dan lain-lainnya, tidak lebih dari sesuatu yang bersifat relatif yang dapat musnah sewaktu-waktu seeprti tersirat dalam QS 17:60.

Tentu saja, apa yang saya tulis barusan dilandasi oleh pemahaman mendasar agama Islam bahwa Allah adalah pusat alam semesta bukan manusia. Manusia cuma sekedar makhluk yang ditakdirkan menjadi citra kesempurnaan Tuhan, dikaruniai kapabilitas kesadaran untuk bernalar oleh Allah untuk menyadari keberadaannya di dalam sebuah wadah ruang-waktu yang relatif ini. Karena itu, manusia disebut makhluk paling mulia dibanding malaikat, jin, iblis, dan makhluk lainnya.

Manusia, kita ini, adalah makhluk paling sempurna di alam semesta ini karena dikaruniai akal pikiran yang menyingkap kaitan dirinya sebagai bayangan sesuatu yang Maha Tinggi Nan Suci yang hanya kita sebut secara umum sebagai Tuhan yang rupanya plesetan dari nama Hantu. Akal memberikan kemampuan untuk melakukan kehendak bebas yang bertanggung jawab yaitu menalar, memilah, memilih, dan bertanggung jawab atas apa yang diamati dan diputuskannya. Dengan akal pula manusia mampu memiliki kesadaran secara fisik bahwa dia berada didalam suatu kerangka ruang-waktu serta mampu menelaah di seluruh penjuru

waktu. Oleh karena itu, kontinuum ruang-waktu sebenarnya tidak bisa lepas juga dengan pikiran. Sehingga, alam semesta fisik yang terpahami saat ini tidak lain adalah kontinuum pikiran-ruang-waktu atau kesatupaduan kesadaran diri-ruang-waktu (KDRW).

Sepanjang proses penciptaan, kontinuum kesadaran diri-ruang-waktu beserta semua isinya berkembang mengalami suatu proses perubahan. Ya perubahan! Itulah yang dialami oleh semua makhluk Allah baik yang bernyawa maupun yang tidak. Kita tumbuh mengikuti kesadaran diri kita (perkembangan biologis dan psikologis kita), mengikuti waktu, menempati ruang, dan secara fisik maupun psikologis membangun suatu realitas kesadaran diri -ruang-waktu untuk bisa terus tumbuh sampai kemudian kembali kita sadari bahwa jasmani kita semakin menua, pikiran kita cenderung semakin lupa, sampai akhirnya kita dikafani dan dikembalikan kepada-Nya. Realitas fisis di dalam kontinuum kesadaran diri-ruang-waktu kemudian musnah ketika ajal menjemput kita.

Yang tersisa adalah kesadaran diri akan kemakhlukan kita yang harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang pernah kita lakukan selama hidup di dunia yang maya adanya. Apakah kita kemudian berada di surga atau di neraka seperti kucing Schrodinger

yang kebingungan, maka kesadaran diri kitalah yang akan menentukan, yang akan memutar ulang semua

frame demi frame sejarah hidup kita selama berada di

dalam sangkar ruang-waktu. Dapatkah kemudian kita mempertanggungjawabkan peran dan lakon yang kita mainkan didalam film kehidupan kita? Itu semua tergantung kepada keridhaan kita ketika berikhtiar di dunia dan keselarasan kita dengan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, keselarasan dengan sunnatullah-Nya, dengan petunjuk Nabi Muhammad SAW, yang tidak lain adalah manifestasi dari Kehendak Allah SWT semata.

Apakah semua rules of the game di alam semesta hanya melulu diberlakukan untuk manusia? Tentunya tidak. Makhluk-makhluk yang kita namai sebagai Malaikat, Iblis, dan Jin juga memiliki kesadaran-ruang-waktu karena mereka diciptakan sebagai bagian dari makhluk setelah “Kun Fa Yakuun” dicetuskan. Meskipun demikian, sunnatullah yang kita kenal tidak sama untuk mereka. Pertama karena keduanya merupakan makhluk yang secara esensi fisikalnya berbeda dan tidak bisa ditangkap panca indera manusia. Kedua karena tujuan penciptaannya berbeda dibandingkan makhluk-makhluk fisik yang bisa kit alihat, kit araba, dan kita jilat-jilat. Malaikat sebagai hamba dan abdi Allah yang patuh sedangkan Iblis sebagai makhluk yang dikutuk karena ilusi dan delusi

kebodohan dan kesombongan diri yang merasa paling suci dan paling taat sehingga akhirnya

menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam

a.s. dan ditangguhkan kematiannya sampai Hari Kiamat tiba (QS 2:34-37, QS 7:11-17, QS 17:61, QS 38:78).

Malaikat, Iblis, dan Jin adalah suatu realitas yang hanya bisa dipahami dengan kesadaran manusia yang utuh sebagai hamba Allah. Banyak orang yang mengatakan bahwa Malaikat dan Iblis sejatinya merupakan suatu simbolisme atas karakter manusia yang mengenal Allah dan karakter manusia yang dipengaruhi oleh daya ilusi dan delusi dari hasrat-hasratnya yang materialistik. Sedikit banyak, secara simbolis mungkin hal ini bisa diterima karena apa yang dimaksud dengan malaikat memang berkaitan dengan sesuatu yang membawa kebaikan yang mengenal Tuhan dan Iblis adalah kejahatan yang merupakan ilusi dan delusi akibat kebodohan dan kesombongan manusia. Kedua makhluk tersebut selama ini kita pahami sebagai makhluk non-materi (massa=0 menurut nilai sistem desimal kita yang bersifat fisik) dari alam semesta, atau bersifat energetis, karena itu mereka bisa bergerak dengan cepat, namun masih tetap berada dalam batas-batas kesadaran-ruang-waktu. Hal demikian diisyaratkan oleh Al Qur’an :

(kembali) kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya seribu (1000) tahun menurut hitungan kamu” .

( As Sajdah [32]:5)

“...Dan sesungguhnya satu hari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun dari apa yang kamu hitung” (QS Al

Hajj [22]:47)

“Para malaikat dan ruh-ruh naik menghadap kepada-Nya dalam sehari kadarnya 50

ribu tahun (dalam ukuran manusia).” (QS Al Ma’aarij[70]: 4 )

Ketiga ayat di atas menunjukkan adanya relativitas waktu atau periode antara alam fisik yang kita kenal dengan alam-alam lain yang gaib (tujuh jenis alam seperti yang akan diuraikan pada bagian alam jamak). Selain itu, dari umur pun mereka relatif lebih panjang bila dibandingkan dengan umur manusia dan makhluk-makhluk fisik lainnya karena dilatasi waktu ini. Kedua makhluk Allah ini karenanya tidak bisa mengemban tugas yang diserahkan kepada manusia. Bagi kedua makhluk ini, yang dikenal cuma dua hal yaitu patuh atau membangkang. Kepatuhan dimiliki malaikat dan pembangkangan dimiliki oleh makhluk yang dikutuk Allah karena menentang perintah-Nya yaitu Iblis. Sedangkan Jin, sedikit banyak menyerupai manusia dalam hal keterbatasannya terhadap kesadaran-ruang-waktunya masing-masing. Jin juga diciptakan Allah untuk menyembah-Nya.

Apa yang kita temui di kontinuum kesadaran diri-ruang-waktu sebagai suatu alam semesta dan isinya, yang gaib dan nyata, sebenarnya dengan jelas menunjukkan maksud-maksud Penciptaan Allah SWT. Bagi makhluk yang tidak diserahi tugas dan amanat yang dapat membawakan dirinya pada kesempurnaan-Nya, maka alam semesta dapat dipandang apa adanya, dan mereka pun merupakan bagian dari semua proses didalamnya. Namun, manusia yang berkesadaran yang lebih tinggi mempunyai peran yang lebih canggih, kompleks, dan rumit sehingga al-Qur’an pun dengan tegas menyebutkan manusia sebagai makhluk yang diciptakan dengan citra kesempurnaan Tuhan, yang terbaik dari semua makhluk Allah SWT lainnya, namun bisa menjadi paling rendah derajatnya dibandingkan dengan makhluk yang paling rendah. Khususnya bila ia tidak mampu mengenal jatidirinya dan tidak mau membaca tanda-tanda yang bertebaran di alam semesta. Lalu, apakah makna alam semesta bagi manusia?

3.5 Alam Semesta Sebagai Wadah