• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEOR

2.2. Kerangka Teori

2.2.5. Kesantunan

Kesantunan berbahasa merupakan salah satu kajian dari ilmu pragmatik. Kesantunan merupakan aspek penting dalam kehidupan untuk menciptakan komunikasi yang baik di antara penutur dan mitra lawan tutur. Bersikap sopan santun dalam berkomunikasi sehari-hari sudah menjadi kewajiban pengguna bahasa, hal ini bertujuan untuk menghindari adanya konflik dalam lingkungan masyarakat. Hal ini seperti yang diungkapkan Koizumi (2001:124) sebagai berikut :

“日 語 い 語 対

行 主 対人的 関係 感 使い 寧

表現 言語研究 い 問題 寧

Nihongo ni ha (taberu) to iu go ni tashite, (meshiagaru), (itadaku) nado koui no shutai ya taijin teki na kankei nado ni oujite tsukaiwakeru (teineisa) ga aru. Kore mo gengokenkyuu ni oite mondai to naru (teineisa) no hitotsu de aru.

‘Seperti dalam bahasa Jepang ketika menemui kata ”taberu”, terjadi perbedaan penggunaan ungkapan “kesantunan” ketika mengucapkan “meshiagaru”, “itadaku”, dan sebagainya. Hal itu karena adanya pengaruh hubungan antara subjek penutur dan personalitas. Hal tersebut pun menjadi salah satu masalah penting dalam penelitian bahasa mengenai “kesantunan”.’

Berdasarkan penjelasan Koizumi tersebut, dapat dipahami bahwa masyarakat Jepang memperhatikan pemilihan kata dalam mengungkapkan tuturan supaya tidak menyinggung mitra tuturnya. Hal ini seperti apa yang diungkapkan oleh Mizutani (1991: 3-14) bahwa ada tujuh faktor yang menentukan kesantunan masyarakat Jepang, yaitu keakraban, umur, hubungan sosial, status sosial, jenis kelamin, keanggotaan kelompok, dan situasi. Menurut Yule (2006:104) kesantunan dalam suatu interaksi dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Berdasarkan tiga pendapat tentang teori kesantunan di atas, dapat dipahami bahwa dasar-dasar para ahli tentang konsep kesantunan itu berbeda-beda. Ada konsep kesantunan yang dirumuskan dalam bentuk strategi kesantunan dan ada juga dalam bentuk prinsip kesantunan.

Salah satu pakar yang memberikan teori tentang kesantunan adalah Leech. Ia mengajukan teori kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan atau dalam bahasa Jepang adalah Teineisa no Genri ( 寧 原 理) yang dijabarkan menjadi enam maksim (ketentuan, ajaran). Keenam maksim tersebut adalah

maksim kebijaksanaan (Kikubari no Kouri), maksim kedermawanan (Kandaisa no Kouri), maksim penghargaan (Zenin no Kouri), maksim kesederhanaan (Kenson no Kouri), maksim pemufakatan (Doui no Kouri), dan maksim kesimpatisan (Kyoukan no Kouri). Berikut penjelasan mengenai keenam maksim kesantunan beserta istilah bahasa Jepangnya:

1. Maksim kebijaksanaan atau Kikubari no Kouri 気配 公理

Maksim ini mengandung prinsip bahwa penutur harus membuat kerugian mitra tutur sekecil mungkin dan keuntungan mitra tutur sebesar mungkin.

Contoh :

Rina : “ Ayo, dimakan jajannya! Di dalam masih banyak.” Edo : “Wah, enak sekali. Siapa yang membuatnya Rin ?”

Pemaksimalan keuntungan bagi mitra tutur tampak sekali pada tuturan Rina, yakni Ayo, dimakan jajannya! Di dalam masih banyak. Tuturan tersebut disampaikan dengan maksud agar sang tamu merasa bebas dengan senang hati menikmati hidangan yang disajikan itu tanpa ada perasaan yang tidak enak sedikitpun.

2. Maksim kedermawanan atau Kandaisa no Kouri 寛大 公理

Maksim ini mengandung prinsip bahwa buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin, buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.

Contoh :

Siswa Baru : Maaf pak, letak toilet ada di sebelah mana ya? Tukang Kebun : Mari Nak, saya tunjukkan.

Dari tuturan tersebut, dapat terlihat jelas bahwa tukang kebun berusaha memaksimalkan keuntungan siswa baru dengan cara

menambahkan beban bagi dirinya sendiri dengan cara menawarkan bantuan untuk mengantarkan siswa baru ke toilet.

3. Maksim penghargaan atau Zenin no Kouri 是認 公理

Maksim ini mengandung prinsip bahwa kecamlah mitra tutur sedikit mungkin, pujilah mitra tutur sebanyak mungkin.

Contoh :

Anak : Bu, tadi pagi aku bersih-bersih kamar sendiri.

Ibu : Oh iya, Ibu sudah melihatnya. Kamarmu jadi rapi sekali.

Dari tuturan tersebut, dapat terlihat jelas ketika pemberitahuan yang disampaikan anak terhadap ibunya ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian sehingga menyenangkan hati anak.

4. Maksim kesederhanaan atau Kenson no Kouri 謙遜 公理

Maksim ini mengandung prinsip bahwa pujilah diri sendiri sedikit mungkin, kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.

Contoh :

Rina : Edo, kamu pintar sekali pelajaran Kanji. Setiap ujian menulis Kanji kamu selalu mendapat nilai 100. Padahal saya dapat nilai 70 saja susah sekali.

Edo : Ah, tidak juga. Saya tidak sepintar itu, kok.

Dari tuturan tersebut Edo tidak menjawab dengan “Oh, tentu saja.” Edo mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri dengan mengatakan “Ah, tidak juga.”

5. Maksim permufakatan atau Doui no Kouri 意 公理

Maksim ini mengandung prinsip bahwa penutur dan mitra tutur memaksimalkan kesetujuan di antara mereka, meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka.

Contoh:

Tamu : Ruangannya panas ya.

Tuan Rumah : Iya ya. Sebentar saya akan menyalakan AC.

Dari contoh di atas, jelas terlihat adanya kecocokan pendapat antara tamu dan tuan rumah bahwa ruangan tersebut panas. Tuan rumah mengiyakan pernyataan tamu bahwa ruangan panas dan kemudian menyalakan AC agar ruangan menjadi lebih sejuk.

6. Maksim kesimpatian atau Kyoukan no Kouri 共感 公理

Maksim ini mengandung prinsip bahwa maksimalkan rasa simpati, minimalkan rasa antipati terhadap mitra tutur.

Contoh :

Ibu Ani : Aku tidak terpilih menjadi Gubernur, padahal aku sudah kampanye besar-besaran.

Ibu Umi : Oh tidak apa-apa. Aku ikut prihatin ya, tahun mendatang dicoba lagi.

Pada dialog di atas, dapat terlihat adanya rasa simpati dari Ibu Umi terhadap pernyataan dari Ibu Ani. Tuturan “Aku ikut prihatin ya” yang diucapkan Ibu Umi sebagai respon pernyataan Ibu Ani memenuhi maksim kesimpatian karena berada pada kesedihan mitra tuturnya dengan cara mengucapkan keprihatinan.

Berdasarkan penjelasan mengenai maksim-maksim di atas, dapat dipahami bahwa pemenuhan maksim prinsip kesantunan bisa menjadi sebuah acuan

kesantunan suatu tuturan. Sebaliknya, pelanggaran maksim prinsip kesantunan bisa menjadi sebuah acuan ketidaksantunan sebuah tuturan. Selain teori prinsip kesantunan, Leech (2011:194-200) juga mengemukakan tentang lima skala kesantunan yang didasarkan pada setiap maksim interpersonalnya. Kelima skala itu meliputi :

a. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan.

Menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Misalnya dalam contoh berikut ini :

merugikan kurang mitra tutur santun

(1) 皮 い

( Kupas kentang ini)

(2) 新聞 渡 い

( Ambilkan saya koran)

(3) い ( Duduklah) (4) 見 い ( Lihatlah itu) (5) 休日 楽 い (Nikmati liburanmu) (6) ン ッ 食 い

(Makanlah sandwich itu sepotong lagi)

menguntungkan lebih mitra tutur santun Dari contoh tuturan (1) sampai (6) tersebut memliki tingkat kesantunan yang berbeda. Kesantunan pada tuturan (1) lebih rendah

dibandingkan dengan tuturan (6) karena beban yang harus dilakukan oleh mitra tutur pada tuturan (1) untuk memotong kentang jauh lebih berat daripada tuturan no (2) yang hanya mengambil koran. Apalagi jika dibandingkan dengan tuturan (6) yang memiliki beban lebih kecil bahkan memberikan keuntungan mitra tutur dengan memakan sandwich.

b. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan.

Menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu . Misalnya dalam contoh berikut ini :

Langsung kurang

santun

(1) 電 出

(Angkat teleponnya)

(2) 電 出 ほ い

(Aku mau kamu mengangkat teleponnya)

(3) 電 出

( Maukah kamu mengangkat teleponnya)

(4) 電 出

( Dapatkah anda mengangkat telepon)

(5) 電 出

( Apakah anda keberatan untuk mengangkat telepon)

(6) 電 出

( Apakah mungkin anda bisa mengangkat telepon)

Tidak lebih langsung santun Dari contoh tuturan (1) sampai dengan (6) memiliki tingkat kesantunan yang berbeda. Lain dengan skala untung-rugi yang melihat

kesantunan dari besar kecilnya beban yang ditanggung mitra tutur, pada skala ketidaklangsungan ini lebih merperhatikan kesan yang dari sebuah tuturan. Pada tuturan (1) lebih menunjukkan bahwa penutur lebih berkuasa sehingga dengan bebasnya dia memerintah. Namun pada tuturan (6) penutur lebih merendah seolah memperlihatkan bahwa dia ragu bahwa mitra tutur akan melakukan perintahnya atau tidak.

Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan (1) kurang santun karena bersifat langsung maksud tuturannya. Sedangkan tuturan no (2) lebih santun karena bersifat tidak langsung maksud tuturan tersebut. Chaer (2010:57) menambahkan bahwa memerintah dengan bentuk pertanyaan dipandang lebih santun dibandingan dengan bentuk perintah.

c. Optionality scale atau skala pilihan.

Menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun.

Contoh : (1) Pindahkan buku ini

(2) Kalau tidak lelah dan tidak sibuk, pindahkan kotak ini Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan no (1) kurang santun karena sama sekali tidak memberikan pilihan mitra tutur. Sedangkan tuturan

d. Authority scale atau skala keotoritasan

Menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dan dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.

Contoh: (1) Serahkan revisi skripsi itu minggu depan (2) Buatkanlah saya secangkir kopi

Tuturan no (1) dan (2) dalam konteks tuturan yang sama yaitu antara dosen dengan seorang mahasiswa. Tuturan (1) lebih santun karena dosen berhak menggunakan kekuasaannya kepada mahasiswa. Sedangkan tuturan no (2) kurang santun karena dosen tidak dapat menggunakan haknya lagi sebagai dosen. Leech (1993;199) menambahkan bahwa hak dan kewajiban merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan posisi peserta tutur.

e. Social distance scale atau skala jarak sosial.

Menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan kata lain, tingkat keakraban

hubungan antara penutur dan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan.

Contoh : (1) A : Saya sakit kepala. Ada obat sakit kepala? B : Ada, di laci meja saya.

(2) A : Saya sakit kepala. Ada obat sakit kepala? B : Ada, di apotek.

Pada contoh dialog di atas, konteks tuturan di berada di kantor. Pada dialog no (1) merupakan tuturan yang santun karena hubungan antara A dan B yang belum akrab. Berbeda dengan dialog (2) tuturan tersebut sudah cukup santun apabila keduanya sudah merupakan teman sehari-hari yang jarak hubungan sosial keduanya sudah dekat. Namun, tuturan tersebut kurang santun jika dituturkan kepada orang yang jarak hubungan sosial keduanya masih jauh dan belum akrab. Leech (1993:199) menambahkan bahwa derajat rasa hormat sebagian besar tergantung pada beberapa faktor- faktor status atau kedudukan, usia dan derajat keakraban.

Penulis akan menggunakan teori kesantunan dari Leech untuk menganalisis kesantunan tindak tutur memerintah dalam drama 35-sai no koukousei. Alasan penulis menggunakan teori tersebut yakni untuk mengkaitkan peringkat kesantunan tuturan dengan skala kesantunan. Maka terlebih dahulu harus diketahui setiap maksim interpersonalnya dalam tuturan tersebut.

Dokumen terkait