• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesatuan Sumber Kajian antara yang Profan dan Sakral Sumber ilmu secara epistemologis pada Scientia Sacra

172

Ini sifatnya relatif. Maka memungkinkan untuk dilakukan kritik dan konstruksi baru. Sejarah yang akan membuktikan.

Satu hal yang penting dalam konsep ini adalah tidak dilakukan finalisasi. Karena ada ruang yang terbuka untuk dilakukan kritik.173

B. Kesatuan Sumber Kajian antara yang Profan dan Sakral

173

Indra merupakan alat untuk mendapatkan informasi tentang objek-objek fisik. Ilmuan Barat dan ilmuan Muslim pada level ini sama sekali tidak ada perbedaan. Namun, ahli neurologi modern meyakini bahwa objek ilmu adalah fisik semata, berbeda dengan filsuf Muslim yang mengatakan bahwa objek non-fisik juga tetap dicari epistemologinya.

Indra manusia dapat mencerap pengetahuan dengan baik.

Namun sebenarnya indra tersebut masih memiliki keterbatasan. Seperti misalkan mata, ia sering membuat banyak kekeliruan dalam pengamatannya. Bintang yang sebenarnya amat besar, ia laporkan kecil. Pensil yang lurus, ia laporkan bengkok ketika kita masukkan pensil tersebut ke dalam air.174

Sebagaimana diungkap oleh Mulyadi Kertanegara bahwa baik di Barat maupun di Islam, untuk mempelajari ilmu alam itu adalah sama yaitu dengan menggunakan metode tajribi, atau eksperimen dan observasi. Pengamatan inderawi terhadap objek-objek fisik tidak bisa dihindari dalam penelitian alam (ilmu fisika). Hal ini dilakukan secara terbuka

174 Mulyadi Kertanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, 106

174

di laboratorium-laboratorium.175 Tentunya baik kalangan Barat maupun Muslim ada pada kedudukan yang sama untuk memperoleh pengetahuan pada level ini. Hanya saja bagi Mulyadi seraya ia mengutip pendapat-pendapat filsuf Muslim sebelumnya, tipe kebenaran ilmu yang diperoleh indera dan rasio ini kurang memadai dalam memahami realitas yang sebenarnya (istilah noumena dalam Kant).

Scientia sacra envisages intelligence in its rapport not only with revelation in an external sense but also with the source of inner revelation which is the center of man, namely the heart.176

(scientia sacra membayangkan intelejensi dalam hubungan tidak hanya dengan pewahyuan dalam sense eksternal tetapi juga dengan sumber wahyu terdalam di mana itu adalah pusat manusia yang dinamakan hati).

175 Mulyadi Kertanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: Mizan , 2005), 51

176 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred, (New York:

State University of New York, 1989), 133.

175

What tradition opposes is not the activity of the mind but its divorce from the heart, the seat of intelligence and the location of the “eye of knowledge,” which the Sufis call the eye of the heart („ayn al-qalb or chishm-i dil) and which is none other than the “third eye” of the Hindu tradition. 177 (apa yang dioposisikan oleh tradisi adalah bukanlah pikiran tetapi terpisahnya dari hati, tempat intelejensi dan lokasi “mata pengetahuan”, di mana para sufi mengatakannya sebagai mata hati (ain al Qalbi) dan itu juga disebut “mata ketiga”

dalam tradisi Hindu.)

Ada tiga teori justifikasi di dalam pengetahuan sebagaimana dipaparkan oleh Keith Lehrer. Tiga teori ini merupakan inti dari teori pengetahuan. Pertama teori fondasi pengetahuan. Dalam teori fondasi ini, premis-premis yang terkandung di dalamnya merupakan kepercayaan yang sudah terjustifikasi dengan sendirinya. Sebagai contoh, Andi melihat Ahmad sedang memakai baju merah. Pengetahuan Andi ini merupakan bentuk pengetahuan teori fondasi pengetahuan.

Kedua teori koherensi pengetahuan. Dalam teori koherensi ini, kebenaran pengetahuan diukur dari ketepatan antara premis pertama dengan data-data berikutnya yang terjadi

177 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred, 134

176

koherensi dan konsistensi. Pengetahuan tidak cukup dengan fondasi yang disebut di atas. Pengetahuan harus berkonsistensi dengan premis-premis sebelumnya. Sedangkan yang ketiga, adalah teori eksternalis. Teori justifikasi ini merupakan teori yang dekat dengan epistemologi empirisisme. Artinya, dalam teori ini, kebenaran pengetahuan diukur dengan bukti-bukti objektif di dalam realitas (lapangan).178

Pada aspek epistemologi kesatuan ilmu, Scientia Sacra dapat menaungi keseluruhan bangunan ilmu pengetahuan. Sebagaimana dijelaskan Nasr, bahwa Scientia Sacra adalah semacam ilmu pengetahuan yang tertinggi, mengarah kepada The Real, yang asli. Ia berbeda dengan sains modern yang berada pada pinggiran eksistensi. Di sini dibedakan antara yang Ilusi dengan yang Real.

Sebagaimana dijelaskan pada bab terdahulu bahwa epistemologi Scientia Sacra adalah berupa hud}u>ri yang berbeda dengan pengetahuan sains yang rasional-empiris, sehingga dalam perspektif hud}u>ri antara subjek yang

178 Keith Lehrer, Theory of Knowledge, (USA: University of Arizona, 1990), 13-14.

177

mengetahui dengan objeknya itu menyatu seperti dijelaskan oleh Mehdi Hairi Yazdi. Jauh sebelumnya Suhrawardi juga memaparkan teori ilmunasi yang juga berdekatan dengan epistemologi Scientia Sacra. Maka bagaimana apabila hal ini dihubungkan dengan filsafat kesatuan ilmu? Epistemologi yang berbeda-beda sesuai kebutuhan masing-masing pengetahuan tersebut tetaplah bersumber dari yang Satu yaitu Allah, maka sains modern yang tercirikan dengan rasional-empiris itu perlu diberikan tambahan dengan adanya aspek batin yang dapat masuk pada ranah penelitian sains. Hal ini dapat disebut intuisi yang juga diperlukan dalam penelitian ilmiah. Henry Bergson dan Pascal salah satu tokoh yang juga mengembangkan paradigma ini dalam ilmu pengetahuan.

Metodologi sains dalam Islam didasarkan pada sebuah epistemologi yang secara fundamental berbeda dari epistemologi yang dominan dalam sains modern, yang sejauh ini tetap tidak terpengaruh oleh perkembangan intelektual yang baru ini, meskipun semakin banyak jumlah ilmuwan, sejarahwan dan filosof sains yang berbicara tentang perlunya paradigma epistemologi baru

178

yang dapat memberikan pandangan yang koheren tentang dunia yang disingkapkan oleh sains modern.179

Untuk meraih pengetahuan suci yang menjadi puncak pengetahuan, maka menurut Nasr, harus melalui tradisi. Biasanya, para nabi dan avatar adalah mereka yang paham tentang scientia sacra, karena merekalah para pelaku scientia sebenarnya.180

Seperti yang dijelaskan oleh Aksin Wijaya, bahwa epistemolgoi itu banyak ragamnya dan tidak berhenti pada satu aspek saja. Sementara dalam paradigma Barat modern, epistemologi hanya bersandarkan pada akal/rasio semata dan pengalaman (empiris). Sementara metafisika dianggap bukanlah pengetahuan yang harus dikembangkan. Carnap sudah memulai mengembangkan kesatuan ilmu dalam corak Barat modern. Aksin memilah-milah ragam epistemologi di antaranya epistemologi peripatetik, iluminasi, sekularisasi, bahkan pribumisasi.181

179 Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Esai-Esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, terj. Yuliani Liputo, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), 26.

180 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 272

181 Aksin Wijaya, Satu Islam Ragam Epistemologi: Dari Epistemologi Teosentrisme ke Antroposentrisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014).

179

Kesatuan ilmu berparadigma Scientia Sacra bergantung pada masing-masing cabang ilmu pengetahuannya. Cabang ilmu yang berada dalam rumpun ilmu alam (natural Sciences), maka dalam pra riset ilmiah, peneliti dibekali cara pandang tauhid. Jejak intuisi yang terekam di dalam batin peneliti juga turut ikut andil dalam pelaksanaan kegiatan ilmiah. Kesatuan ilmu dalam cabang natural sciences, diperuntukkan untuk kemaslahatan hidup manusia dan kelestarian lingkungan seperti yang dijelaskan Nasr. Alam tidak pantas diperlakukan sebagai objek semata, namun lebih dari itu, alam dapat dianggap sebagai istri bagi suami. Alam tidak boleh dianggap pelacur dimana penggunanya tidak bertanggung jawab.182

Dibutuhkan periset yang memiliki paradigma kesatuan ilmu. Apabila sejak kecil menganggap ilmu itu bebas nilai, maka ini tidak dibenarkan di dalam paradigma kesatuan ilmu.

Dalam rangka menemukan teori ilmiah dan rekayasa alam, berapa kerusakan alam yang dikorbankan. Misalkan Charles Darwin, haram hukumnya membawa Tuhan dalam melakukan

182 Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: Spiritual Crisis of Modern Man, (London: Unwin Paperbacks, 1968), 18.

180

penelitian. Dampaknya adalah lapisan ozon yang semakin tipis serta Pemanasan global. Ini dampak dari revolusi industri yang berangkat dari cara berpikir sekuler.

Menurut Habermas dan Karl Manhein, ilmu itu sarat nilai. Tidak ada ilmu yang bebas nilai. Implementasinya dari paradigma ini bertahap serta mulai menata diri dari sisi mata kuliah. Dalam hal ini, ada mata kuliah baru yaitu falsafah kesatuan ilmu. Dari sisi riset, mulai ada world view kesatuan ilmu. Dari sisi riset ini, nanti ada langkah-langkah strategis serta cabangnya masing-masing.183

C. Prinsip Ilmu Pengetahuan: Antara yang Ilusi dan yang