• Tidak ada hasil yang ditemukan

I VII. PENILAIAN EKONOMI JASA LINGKUNGAN

7.4. Kesediaan Membayar Dana Konservasi

Pada peneiltian ini responden (wisatawan) ditanyakan kesediaannya terhadap dana konservasi untuk upaya perbaikan kualitas lingkungan di sekitar objek wisata. Jika responden bersedia membayar maka selanjutnya akan

ditanyakan, berapa nilai maksimal yang sanggup mereka bayarkan untuk dana konservasi tersebut untuk setiap kunjungan. Secara umum persentase wisatawan yang bersedia membayar dana konservasi jumlahnya lebih tinggi di P. Untung Jawa namun dengan nilai WTP yang lebih rendah dibandingkan P. Pramuka.

Rendahnya nilai WTP wisatawan dikarenakan wisatawan di P. Untung Jawa menganggap kondisi lingkungan (pantai dan laut) di lokasi objek wisata ini semakin lama semakin buruk, sehingga mereka sudah tidak dapat lagi menikmati keindahan bawah laut seperti terumbu karang dan hanya menikmati pemandangan pantai. Nilai WTP yang lebih rendah juga dikarenakan wisatawan di P. Untung Jawa merasa adanya biaya konservasi akan membuat biaya tiket masuk semakin

tinggi. Selama ini di objek wisata ini telah menerapkan biaya masuk sebesar Rp 3 000 per orang sehingga dana konservasi yang tinggi akan semakin

memberatkan wisatawan.

Sebanyak 80 persen responden di P. Untung Jawa menyatakan bersedia membayar sejumlah dana konservasi lingkungan, dimana 40 persennya menyatakan bersedia membayar antara Rp 2 000 – 3 000 untuk satu kali kunjungan. Sedangkan dari 43 responden di P. Pramuka hanya 70 persen yang bersedia membayar sejumlah dana konservasi, dimana 60 persen menyatakan bersedia membayar antara Rp 3 000 – 5 000 untuk satu kali kunjungan. Nilai rata- rata (mean) WTP wisatawan di P. Untung Jawa adalah Rp 3 471.4 sedangkan di P. Pramuka Rp 7 433.3.

Kurva lelang (bid curve) diperoleh dengan meregresikan WTP sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan beberapa variabel bebas. Variabel bebas yang digunakan untuk memformulasikan persamaan WTP

individu terhadap dana konservasi adalah jumlah kunjungan, pendapatan rumahtangga, pendidikan, umur dan jumlah rekreasi, total biaya rekreasi, lama perjalanan menuju lokasi dan jumlah rombongan. Persamaan kesediaan membayar untuk dana konservasi di P. Untung Jawa adalah sebagai berikut:

WTP = 9 039.84 - 184.90V + 532.28X2 - 497.98X3 - 146.07X4

- 551.34X6 + 92.17X8 + 175.01X12 - 35.50X11 + ei ... (7.3) Tingkat signifikansi persamaan di atas ditunjukkan dengan nilai R-square adjust sebesar 13.68 persen. Artinya sebesar 13.68 persen kesediaan membayar

wisatawan untuk dana konservasi di P. Untung Jawa dipengaruhi oleh variabel penjelas yang ada di dalam model, sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Variabel jumlah kunjungan ke lokasi objek wisata, tingkat pendidikan, usia, jumlah rekreasi dan lamanya waktu perjalanan berhubungan negatif dengan nilai WTP. Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering seorang wisatawan berkunjung, semakin tua usia, semakin sering seseorang berekreasi dan semakin lamanya perjalanan akan menurunkan kesediaan wisatawan membayar dana konservasi. Sedangkan pendapatan, preferensi terhadap lingkungan, total biaya rekreasi dan jumlah rombongan berhubungan positif dengan WTP. Hal tersebut dapat diartikan bahwa semakin besar pendapatan, semakin tinggi preferensi terhadap lingkungan, semakin tinggi biaya yang dihabiskan selama berekreasi dan semakin banyaknya anggota rombongan meningkatkan kesediaan wisatawan membayar dana konservasi.

Berdasarkan persamaan di atas terlihat biaya konservasi yang dibebankan pada tiket masuk dinilai memberatkan bagi wisatawan, terlebih bagi yang sering berkunjung. Seperti halnya wisatawan di P. Untung Jawa, wisatawan di P.

Pramuka pun diminta kesediaannya untuk memberikan nilai biaya konservasi yang bersedia mereka bayarkan. Sehingga diperoleh persamaan kesediaan membayar untuk dana konservasi di P. Pramuka adalah sebagai berikut:

WTP = -1 114.73 - 95.68V - 656.55X2– 1 084.16X3 + 324.36X4 + 239.61X5 + 0.01X7 - 248.46X8 + 224.74X11 + 908.34 X12

+ ei... ... (7.4) Tingkat signifikansi persamaan di atas ditunjukkan dengan nilai R-square adjust sebesar 75.72 persen. Artinya sebesar 75.72 persen kesediaan membayar

wisatawan untuk dana konservasi dipengaruhi di P. Pramuka oleh variabel penjelas yang ada di dalam model, sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model.

Variabel jumlah kunjungan, pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah rombongan berhubungan negatif dengan WTP. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin sering wisatawan berkunjung, semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin banyaknya anggota rombongan maka akan menurunkan kesediaan membayar dana konservasi. Sedangkan usia, preferensi terhadap lingkungan, jumlah rekreasi, total biaya rekreasi, lamanya perjalanan berhubungan positif dengan WTP. Artinya semakin tua usia, semakin tinggi pereferensi, semakin sering seseorang berekreasi, semakin tinggi biaya rekreasi dan semakin lama waktu perjalanan menuju lokasi akan semakin meningkatkan kesediaan membayar dana konservasi. Perbandingan koefisien regresi dari masing-masing persamaan WTP dapat dilihat pada Tabel 17. Berdasarkan kedua persamaan di atas terlihat bahwa semakin sering seseorang berkunjung ke lokasi objek wisata maka WTP terhadap dana konservasi akan semakin rendah. Hal ini

dikarenakan wisatawan memandang dana konservasi sebagai beban terhadap biaya masuk, sehingga akan memberatkan.

Tabel 17. Hasil Estimasi Model WTP untuk Dana Konservasi Lingkungan di Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka

Variabel Nilai Koefisien

P. Untung Jawa P. Pramuka

V -184.90b -95.68b X2 532.28c -656.55c X3 -497.98 -1 084.16 X4 -146.07b 324.36c X5 -551.34c 239.61 X12 175.01 908.34c X7 0.00c 0.01c X8 92.17c -248.46c X11 -35.50 224.74b Cons 9 039.84a -11 143.73 Prob > F 0.17 0.00 R-squared 0.37 0.83 Adj R-squared 0.14 0.76 Root MSE 2 876.81 4 328.11

Ket: tanda a, b, c menunjukkan taraf nyata koefisien regresi masing-masing variabel berturut-turut pada = 1%, 5% dan 25%.

Penggunaan CVM dengan meregresikan WTP terhadap pendapatan, jumlah kunjungan, preferensi dan substitusinya, telah dilakukan oleh Seller et al. (1985), dimana turunan dari bid curves (dWTP/dV) akan menghasilkan kurva permintaan hiksian yang terkompensasi (hicksian compensated demand curve). Kurva ini selanjutnya digunakan untuk mengetimasi nilai SK per pengunjung yang merupakan area di bawah kurva permintaan tersebut (Garrod dan Kenneth, 1999). Model ini menghasilkan nilai yang jauh berbeda dengan pendugaan WTP dengan metode lainnya karena umumnya model (persamaan) yang dihasilkan memiliki R-square yang rendah yaitu antara 0.06-0.14 (6-14 persen).

Tahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagregatkan rataan lelang (bid) yang diperoleh pada tahap sebelumnya. Proses ini melibatkan konversi dari

data rataan contoh ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah mengalikan rataan contoh dengan jumlah rumahtangga di dalam populasi. Dalam hal ini cara yang digunakan untuk memperoleh agregat WTP dana konservasi adalah mengkalikan mean WTP dana konservasi dengan jumlah wisatawan di masing-masing lokasi objek wisata.

Walaupun nilai WTP rata-rata di P. Pramuka lebih tinggi namun karena jumlah pengunjung di P. Untung Jawa jauh lebih tinggi maka nilai agregat WTP di P. Untung Jawa jauh lebih tinggi. Artinya jika dana konservasi diterapkan, walaupun dengan nilai yang lebih rendah maka total dana yang terkumpul akan lebih tinggi nilainya di P. Untung Jawa. Adapun perbandingan masing-masing nilai agregat WTP dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Hasil Estimasi Agregat WTP untuk Dana Konservasi Lingkungan di Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka

Keterangan P. Untung Jawa P. Pramuka Rata-rata jumlah kunjungan (orang/tahun) 36 400 5 200

Rata-rata WTP (Rp/kunjungan) 3 471 7 433

Agregat WTP (Rp/tahun) 126 358 960 38 653 160

Peningkatan tarif di satu sisi dapat meningkatkan manfaat ekonomi namun di sisi lain peningkatan tarif dapat mengurangi jumlah wisatawan. Hasil penelitian Linberg (1991) menunjukkan bahwa manfaat sosial bagi suatu daerah tujuan wisata alam tidaklah maksimal ketika jumlah wisatawan juga maksimal, namun manfaat bersih (net benefit) maksimal tercapai ketika penetapan harga yang lebih tinggi dimana sejumlah wisatawan menjadi tidak dapat berkunjung. Semakin tingginya jumlah wisatawan mau tidak mau akan memberikan dampak negatif pada lingkungan (lokasi objek wisata). Sehingga dapat disimpulkan peningkatan

tarif masuk di kedua pulau akan memberikan keuntungan ganda, yaitu peningkatan penerimaan dan pengurangan jumlah wisatawan yang pada akhirnya juga akan mengurangi dampak lingkungan akibat wisatawan. Sehingga pada akhirnya pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) dapat tercapai.

Beberapa studi di negara berkembang menunjukkan penerimaan dari wisatawan dalam bentuk user fee ini tidak diinvestasikan kembali pada upaya konservasi, dimana tarif masuk kawasan dan jasa wisata lainnya langsung dikumpulkan ke pemerintah pusat bersama penerimaan sektor publik lainnya. Ketika pemerintah berhak penuh dalam memutuskan prioritas nasional dalam pengeluaran sektor publik, maka hal ini berdampak pada perusakan sistem insentif bagi pengelola dalam mengembangkan suatu kawasan sebagai tujuan wisata alam yang sehat dan pencarian penerimaan yang lebih tinggi. Ketika sejumlah ahli ekonomi menitikberatkan upaya perolehan manfaat ekonomi dan efisiensi lingkungan terkait dengan pengenaan tarif yang lebih tinggi, maka upaya menekan sektor swasta melalui proses politik agar mau menerima peningkatan biaya akan menjadi suatu masalah, khususnya ketika sektor swasta terbiasa dengan biaya- biaya yang relatif rendah.

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memperoleh manfaat ekonomi lebih tinggi dari keberadaan suatu sumberdaya adalah menetapkan pajak yang lebih tinggi pada sektor swasta. Kemampuan sektor swasta dalam memperoleh laba yang lebih banyak (seperti pada jangka panjang) melalui pengenaai tarif yang lebih tinggi pada konsumen sangatlah terbatas. Sebagai suatu sumberdaya alam, kawasan wisata alam memiliki suatu nilai kelangkaan. Tetapi jika suatu atraksi bersifat open access hal ini akan menghasilkan degradasi lingkungan dan over

crowding yang secara ekonomi tidaklah efisien. Kompetisi tak terbatas

mendorong harga jatuh sehingga nilai kelangkaan suatu kawasan berubah menjadi surplus konsumen wisatawan dan kompetisi antara supplier lokal akan menghilangkan profit. Hal ini dikarenakan prospek profit selanjutnya cenderung semakin menurun, akibatnya profit terhapus akibat kompetisi harga dan kelebihan kapasitas.

Hal ini akan kontras pada situasi dimana terdapat peraturan masuk kawasan (regulated entry), dimana akses dibatasi untuk sejumlah pengelola wisata yang pada akhirnya akan berperan sebagai monopolis dan menetapkan tarif di atas biaya marjinal sehingga akan memperoleh profit (Steele, 1995). Akan tetapi sejumlah kawasan wisata alam dan khususnya protected area dikelola oleh pemerintah secara monopoli sehingga sering mengalami kegagalan.

Kondisi desa wisata di P. Untung Jawa yang menjadi kawasan ekowisata massal, semakin hari jumlah wisatawannya semakin meningkat. Hal ini tentunya akan berakibat buruk pada lingkungan, kebutuhan lebih lahan yang lebih luas untuk pembangunan fasilitas, polusi akibat bahan bakar transportasi laut, limbah dari rumah makan dan sebagainya. Jika hal ini tidak disadari sejak awal maka degradasi kawasan akan terjadi. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah selaku pengelola objek wisata tersebut adalah meningkatkan tarif masuk. Peningkatan tarif masuk di satu sisi akan mengurangi jumlah wisatawan namun di sisi lain hal tersebut akan mengurangi kerusakan lingkungan di kawasan wisata tersebut.

Kegiatan ekowisata di P. Pramuka yang termasuk ke dalam kawasan wisata ekslusif, hingga saat ini belum dibebankan tarif masuk. Akibatnya jumlah wisatawan terus meningkat yang jika tidak disadari dapat mengakibatkan

penurunan kualitas lingkungan seperti halnya di P. Untung Jawa. Berdasarkan penelitian ini, wisatawan yang berkunjung mampu membayar sejumlah dana konservasi (sebagai tarif masuk) di atas tarif di P. Untung Jawa. Akan tetapi harus diserahkan kepada masyarakat lokal dan bukan merupakan pemasukan kepada Pemda.

Kelembagaan pengelola wisata alam dapat mengambil contoh sukses dari P. Untung Jawa, dimana terdapat tokoh masyarakat lokal yang menggerakkan organisasi pengelola kawasan wisata dan mekanisme yang transparan dalam pengelolaannya. Selain pengenaan tarif masuk, pengenaan biaya yang lebih tinggi pada sektor swasta dapat dilakukan di P. Pramuka. Mengingat di pulau ini sudah terdapat beberapa investor dari luar pulau (Jakarta) yang mulai berinvestasi dalam bentuk jasa akomodasi (homestay), penyewaan alat dan tur operator. Pengenaan biaya bisa dalam bentuk pajak atau retribusi usaha yang hingga saat ini belum dikenakan.

Dokumen terkait