PENGELOLAAN KESEHATAN REPRODUKSI DAN SEKSUALITAS PSK
IV.1. Kesehatan Seksualitas dan Kekuasaan dalam Seksualitas
Kesehatan menurut WHO (World Health Organization) tahun 1946, tidak hanya
berkaitan dengan kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental dan sosial. Pengertian tersebut
berarti bahwa ketika membicarakan kesehatan haruslah dilihat secara lebih lengkap. Dalam
Deklarasi Alma-Ata pada tahun 1978 mengingat kembali peran negara untuk memenuhi Hak atas
Kesehatan setiap warga negaranya.
Dalam pertemuan di Alma-Ata ini untuk pertama kalinya di pakai istilah Health for All
(kesehatan untuk semua), artinya diingatkan kembali bahwa kesehatan layak dimiliki oleh semua
orang tanpa melihat warna kulit, darimana orang tersebut berasal, tanpa syarat harus punya Kartu
Tanda Penduduk (KTP) atau bukti kewarganegaraan, tanpa memandang dia mampu membayar
atau tidak dan tidak memandang agama yang dianut serta tidak membedakan antara perempuan
dan laki-laki (Sasongko,ed., dkk, 1989 ; 11). Berangkat dari acuan tersebut, maka konsep
kesehatan seksual dan reproduksi juga menjadi hak asasi setiap manusia. Dalam konferensi
kependudukkan di Kairo 1994 disusun mengenai definisi kesehatan reproduksi yang dilandaskan
”Keadaan sehat yang menyeluruh meliputi aspek fisik, mental sosial dan bukan sekedar tidak adanya penyakit atau gangguan disegala hal yang berkaitan dengan sistem produksi, fungsi maupun proses reproduksi itu sendiri. Dengan demikian orang dapat menikmati kehidupan seks yang aman dan menyenangkan dan juga mereka memiliki kemampuan untuk berproduksi serta memiliki kebebasan untuk menetapkan kapan dan seberapa sering mereka ingin berproduksi”.
Sedangkan Kesehatan Seksual menurut WHO adalah kombinasi dari bagian kegiatan
seksual yang bersifat fisik, emosional, intelektual dan sosial, sehingga seks adalah pengalaman
positif yang dapat meningkatkan kualitas hidup, menjadikan lingkungan kita lebih baik untuk
kehidupan. Kemudian, berdasarkan hasil Deklarasi Montreal 2005 tentang Kesehatan Seksual
untuk MDGs, lebih menekankan kepada beberapa hal sebagai berikut :
• Mengakui, mempromosikan, meyakinkan dan melindungi hak-hak seksual bagi semua
• Berkembang ke arah kesetaraan jender
• Menghapuskan semua jenis kekerasan dan pelecehan seksual
• Memberikan akses universal unutk pendidikan dan informasi tentang seksualitas yang menyeluruh
• Menjamin bahwa program - program kesehatan reproduktif mengakui betapa pentingnya kesehatan seksual
• Menghentikan dan mengendalikan penyebaran HIV dan AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) lainnya
• Mengidentifikasi, menangani dan mengatasi keluhan disfungsi dan gangguan seksual
• Mendapatkan pengakuan bahwa kenikmatan seksual merupan salah satu unsur kesejahteraan menusia.
Meskipun PSK adalah profesi yang dekat dengan kondisi dimana mereka melakukan
kegiatan seksualitas yang bisa dikatakan jauh dari kegiatan seksualitas yang sehat, tetapi mereka
juga manusia yang mempunyai hak untuk mendapatkan kesehatan khususnya kesehatan
diupayakan pendekatan kepada mereka untuk melakukan pendidikan dan pendampingan supaya
dalam melakukan kegiatan seksual dapat melakukan relasi seksual yang aman (safe sex).
Seksualitas sendiri menurut Foucault adalah nama yang terbentuk secara historis; bukan
realitas alamiah yang susah dipahami, melainkan adalah sebuah jaringan besar yang didalamnya
terdapat stimulasi tubuh, intensifikasi kenikmatan, perubahan ke diskursus, formasi pengetahuan
tertentu, penguatan kontrol dan resistensi, yang saling berkaitan satu sama lain (Foucault, 1978:
103). Pada awal abad 17, jaman Ratu Victoria (Victorianisme), seks sangat tertutup, menabukan
seks dan membatasinya dalam rumah, perkawinan keluarga, dan kebungkaman. Foucault
mempersoalkan suatu pemahaman bahwa Victorianisme melakukan represi seksualitas secara
umum dan diskursus seksual secara khusus. Ada usaha menaklukkan seks pada tingkat bahasa,
untuk menghilangkannya dari sesuatu yang dipahami masyarakat, untuk menyingkirkan kata-
kata yang membuat seks sangat nyata. Muncul studi seksualitas melalui studi analitik,
pencatatan, klasifikasi, spesifikasi, dan kuantifikasi (dalam Ritzer, 2003:110).
Foucault (1978:24-26) berargumentasi bahwa mengikuti kedatangan Victorianisme,
kekuasaan menyediakan “sebuah pandangan yang kokoh bagi obyek (seksual).” Tidak hanya itu,
kekuasaan berusaha menganalisis dan mempelajari seks, ia juga berupaya memperketat kontrol
diskursus atas seks dan seksualitas dengan menciptakan pencatatan, sesuatu yang menjadi
kebijakan. Kebijaksanaan seks dan diskursus-diskursus padanya, tentu saja bukan tabu,
sesungguhnya ia sepertinya mengeskalasi secara dramatis. Sebagai contoh, kekuasaan ini
dihadapkan dengan serangkaian persoalan ekonomi dan politik yang disebabkan oleh
pertumbuhan jumlah penduduk. Inti persoalannya adalah seks, terutama seperti angka kelahiran,
masyarakat tergantung pada seksualitas individu dan kecakapan kekuatan kontrolnya. Maka ini
berakhir pada mempelajari, dan berusaha mengintervensi, pertumbuhan jumlah penduduk. Seks
menjadi persoalan publik, khususnya, ”melalui ekonomi politik populasi dibentuklah jaringan-
jaringan observasi mengenai seks.”
Dalam konsruksi relasi kuasa atas seks, Wolf (1991) menggambarkan secara menarik
sekali bagaimana perempuan terjebak ke dalam apa yang dia sebut sebagai the beauty myth
dimana mitos itu menjadikan mereka tersubyeksi oleh lelaki. Mitos disini sesungguhnya sebuah
meta narasi yang dalam derajat yang cukup kuat telah menjadi semacam kondisi yang tak perlu
dipertanyakan dan memiliki kekuatan yang bisa mempengaruhi orang dalam bertindak. Di dalam
dunia para pekerja seks perempuan menurut Mundayat (2009;45) the beauty myth dan dominasi
regime of value lelaki banyak mengkonstruksi perilaku konsumsi pekerja seks perempuan
sehingga mereka terjebak ke dalam persaingan antar sesame profesi melalui kompetisi
penampilan. Make up, baju, sepatu, parfum, tas, dompet yang mahal dan bermerek terkenal
merupakan bagian dari fashion system yang telah memerangkap mereka ke dalam dunia
konsumsi yang berkaitan dengan penampilan.
Di dunia ini, lelaki selaku konsumen seksualitas perempuan mendapatkan dan
menemukan ruang untuk memberikan nilai kepada pekerja seks jenis kelamin tersebut sebagai
komoditas yang memiliki nilai ekonomi. Bagi pekerja seks itu sendiri penilaian itu telah
menjebak dirinya untuk memanfaatkannya. Sehingga mereka beranggapan bahwa penilaian
lelaki memiliki kemampuan untuk meningkatkan nilai tukar tubuhnya di arena ekonomi. Ini
terhadap tubuhnya telah mengantarkan mereka ke dalam dunia konsumsi fashion system yang
dipujanya sebagai sumber nilai yang sangat bermakna secara ekonomi, sosial dan politik
(Mundayat, 2009;45).
Dalam kondisi di atas yang terjadi kemudian adalah PSK lebih memperhatikan tubuh
fisiknya, dimana mereka berusaha mempercantik diri dan membuat semenarik mungkin untuk
mengikat laki-laki untuk melakukan relasi seksualitas. Kesehatan reproduksi dan seksualitas
menjadi bagian yang kurang diperhatikan oleh mereka. Selain kurangnya pendidikan reproduksi
dan seksualitas, juga karena ketidakberdayaan untuk mendatangi puskesmas dan institusi
kesehatan lainnya, karena menghindari stigma buruk atas mereka, serta ketakutan terkuaknya
penyakit yang dideritanya.