• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Keseimbangan Bahang

Keseimbangan bahang di laut merupakan penjumlahan dari bahang yang masuk ke laut dan bahang yang dilepaskan dari laut (QT). Oleh karena itu, untuk mendapatkan keseimbangan bahang di laut nilai dari QT harus memiliki nilai nol, karena jika tidak laut akan terus meningkat menjadi lebih panas atau terus menurun menjadi lebih dingin. Persamaan keseimbangan bahang di laut (Stewart, 2008) adalah QT = QSW + QLW + QS + QL + QV, dimana QSW adalah fluks bahang dari matahari yang masuk ke laut dalam bentuk radiasi gelombang pendek, QLW adalah fluks bahang dari laut ke atmosfer dalam bentuk radiasi gelombang

panjang, QS adalah flusks bahang dari laut ke atmosfer yang dipindahkan melalui proses konduksi, QL adalah fluks bahang dari laut ke atmosfer yang dipindahkan bersamaan dengan proses evaporasi dalam bentuk bahang tersembunyi dan QV adalah bahang di laut yang dipindahkan dari suatu perairan ke perairan lain melalui proses adveksi horizontal. Komponen QS dan QL adalah komponen bahang dari laut yang berperan penting dalam proses interaksi laut-atmosfer dan memperngaruhi pola sirkulasi atmosfer (Stewart, 2008). Oleh karena itu, variabilitas dari QS+QL sangat sensitif terhadap perubahan dinamika interaksi laut-atmosfer terutama dalam kaitannya dengan Muson, DM dan ENSO. Komponen QSW cenderung konstan karena perairan Asia Tenggara berada tepat di ekuatorial, komponen QLW cenderung konstan karena di laut perairan Asia Tenggara tidak mengalami fase es seperti halnya di lintang tinggi dan komponen QV meskipun cukup penting tetapi tidak berperan dalam interaksi laut-atmsofer. Nilai anomali QS+QL positif menunjukkan bahwa bahang dari komponen QS dan QL masih tersimpan di laut, sedangkan negatif berarti telah dilepaskan ke atmosfer (Stewart, 2008).

Penelitian-penelitian sebelumnya telah banyak memfokuskan untuk melihat keterkaitan kandungan bahang di laut dan atmosfer di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya dengan ENSO dan dinamika laut-atmosfer di antara Samudera Pasifik dan Hindia. Gordon dan Susanto (2001) menyampaikan bahwa Laut Banda berperan sebagai zona divergen di lapisan permukaan laut melalui mekanisme Ekman pumping yang mempengaruhi variabilitas lapisan termoklin. Zona ini memiliki peranan dalam dinamika kandungan bahang pada lapisan permukaan sehingga Laut Banda disebut sebagai kapasitor bahang yang mengontrol transpor massa air ke Samudera Hindia. Vranes et al. (2002) mengatakan bahwa di perairan Indonesia merupakan pusat dari kandungan bahang antara Samudera Pasifik dan Hindia melalui jalur Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) yang berperan dalam mengontrol transpor bahang di laut antara Samudera Pasifik dan Hindia. Pada fase El Nino transpor bahang ke Samudera Hindia dibawah normal, sedangkan pada saat La Nina diatas normal. Transpor bahang dari perairan Indonesia dapat mencapai perairan di barat daya Samudera Hindia yang terbawa melalui Arus Ekuatorial Selatan dan berasosiasi dengan Arus Agulhas.

Neale dan Slingo (2003) dengan menggunakan model iklim HadAM3 (Pope et al., 2000) mendapatkan kesimpulan bahwa kandungan bahang di perairan Indonesia berperan besar dalam mengatur keseimbangan bahang di laut dan atmosfer dan menentukan dinamika sirkulasi atmosfer dalam skala global di Samudera Pasifik dan Hindia. Neale dan Slingo (2003) menyatakan bahwa dinamika iklim global sangat ditentukan oleh dinamika iklim skala sinoptik seperti dinamika angin darat dan laut, dinamika hirologi dan sirkulasi laut dalam skala lokal dan regional di perairan Indonesia dan sekitarnya karena wilayah ini terdiri atas daratan dan lautan yang sangat kompleks. Pemanfaatan model laut- atmosfer diperlukan ketelitian dan ketepatan yang berkaitan dengan reparameterisasi model dan resolusi model di wilayah ini. McBride et al. (2003) telah mengkaji hubungan antara sumber kandungan bahang di Asia Tenggara dan sekitarnya dengan El Nino dengan menggunakan data OLR untuk menentukan zona konveksi yang berkaitan dengan curah hujan dan data SPL yang berasal dari Global Sea Ice and Sea Surface Temperature (GISST) dari Met. Office Inggris (Parker et al., 1995). Hasilnya adalah terdapat keterkaitan yang erat antara OLR dengan El Nino dari hasil analisis EOF OLR dengan pola spasial korelasi antara SOI dengan SPL. Sumber bahang yang diterima atau dilepaskan di Asia Tenggara dan sekitarnya bukan berasal dari siklus tahunan dari aktifitas Muson dari BBU maupun BBS, tetapi berasal dari perairan Asia Tenggara yang terbawa bersama dengan dinamika atmofer melalui Sirkulasi Walker.

Qu et al. (2005) memperlihatkan bahwa terdapat transpor dari fluks bahang di laut selain melalui jalur Arlindo dari Samudera Pasifik melalui Selat Luzon, Laut Cina Selatan, Selat Karimata dan Laut Jawa sampai bertemu dengan jalur Arlindo di Selat Makassar. Transpor bahang melalui jalur ini akan menentukan dinamika Arlindo dalam memberikan masukan bahang dari Samudera Pasifik ke Hindia dan kemungkinan memiliki keterkaitan dengan dinamika DM dengan ditemukannya sinyal siklus antar tahunan selain ENSO dari Samudera Pasifik. Kuat lemahnya Arlindo dalam mengatur sumber bahang di laut antara Samudera Pasifik dan Hindia akan terpengaruh dengan adanya jalur baru dari transpor bahang yang berasal dari Samudera Pasifik melalui Selat Luzon dan Laut Cina Selatan. Gordon et al. (2003) sebelumnya telah menyampaikan bahwa

mendinginnya massa air permukaan di Selat Makassar akibat masuknya massa air dengan salinitas rendah yang berasal dari Laut Jawa sehingga menghambat masuknya massa air hangat dari ekuatorial Samudera Pasifik ke Hindia melalui Arlindo akan mengakibatkan kandungan bahang di Samudera Hindia akan menurun. Gordon et al. (2003) menyebut masuknya massa air dengan salinitas rendah dari Laut Jawa ke Selat Makassar dengan istilah freshwater plug.

Qu et al. (2008) melanjutkan penelitiannya mengenai kandungan bahang di Perairan Indonesia dengan menemukan indikasi terdapatnya rambatan Gelombang Kelvin yang berasal dari ekuatorial Samudera Hindia melalui Selat Ombai dan Lombok sampai ke perairan dalam Indonesia. Sinyal tersebut diketahui dari fase gerakan massa air ke atas dan gerakan energi massa air ke bawah hasil dari konvergensi geostrofik melalui mekanisme divergen Ekman yang dibangkitkan oleh angin. Masuknya Gelombang Kelvin dari ekuatorial Samudera Hindia sampai ke perairan dalam Indonesia pada lapisan permukaan oleh Qu et al. (2008) disebut efek buffering yang mengakibatkan terjadinya variabilitas dan dinamika kandungan bahang di lapisan permukaan. Efek buffering ini terjadi dominan pada siklus semi tahunan dan berperan besar pada fluks bahang ke atmosfer dan cenderung tidak mempengaruhi perubahan kandungan bahang di perairan dalam Indonesia. Fluks bahang yang masuk pada lapisan permukaan sampai dengan kedalaman 200 m akan dilepaskan pada musim berikutnya seiring dengan gerakan naik-turun dari efek buffering Gelombang Kelvin sehingga SPL pada periode ini akan menurun dan mempengaruhi iklim regional dan dinamika iklim di sebelah tenggara Samudera Hindia.

Qu et al. (2006) memperdalam hasil penelitian sebelumnya mengenai adanya transpor bahang dari Samudera Pasifik melalui Laut Cina Selatan (Qu et al., 2005) atau disebut pula South China Sea Throughflow (SCSTF) dengan menggunakan pemodelan dengan resolusi tinggi dari Ocean General Circulation Model (OGCM) for the Earth Simulator (OFES) dari Sasaki et al. (2006) dengan program inti yang berasal dari Modular Ocean Model V3 (MOM3). Hasil dari penelitiannya menyimpulkan bahwa Laut Cina Selatan berperan sebagai pembawa bahang dan massa air tawar di lautan (heat and freshwater conveyor) dari Samudera Pasifik dengan suhu rendah ketika memasuki Selat Luzon pada

kedalaman di bawah 1500 m dengan mekanisme gradien tekanan yang membangkitkan arus dan setelah melewati Selat Luzon massa air dengan suhu rendah dan salinitas tinggi ini karena adanya kesetimbangan massa mengharuskan massa air ini naik ke lapisan permukaan laut.

Proses naiknya massa air ini melalui mekanisme percampuran massa air yang diakibatkan oleh pasang surut (tidal mixing) sehingga mengakibatkan suhu menjadi meningkat dengan salinitas rendah karena adanya presipitasi dan masukan air tawar dari daratan. Hasil luaran model memperlihatkan bahwa Laut Cina Selatan juga berfungsi sebagai kapasitor bahang (heat capacitor), sehingga Laut Cina Selatan sebagai heat and freshwater conveyor dan heat capacitor akan memodulasi dinamika laut-atmosfer di perairan Indonesia. Peningkatan tidal mixing akan mengakibatkan terjadinya penurunan suhu pada lapisan permukaan telah diuji dengan menggunakan pemodelan di perairan Laut Cina Selatan, Laut Jawa sampai Laut Banda dan memicu terjadinya DM dan El Nino (Jochum dan Potemra, 2008; Koch et al., 2010; Brierley dan Fedorov, 2011). Pendapat yang sama disampaikan oleh Qinyan et al. (2011) tetapi dengan mekanisme proses penurunan suhu yang berbeda dimana dari hasil penelitiannya dengan menggunakan data SODA memperlihatkan keterkaitan yang erat antara anomali kandungan bahang di Laut Cina Selatan pada lapisan permukaan dengan ENSO dan selaras dengan anomali tinggi muka laut. Anomali suhu pada lapisan permukaan terjadi penurunan pada saat fase puncak El Nino bersamaan dengan penurunan tinggi muka laut. Penurunan suhu ini terjadi akibat dari adveksi suhu secara horizontal seiring dengan melemahnya SCSTF bukan karena proses dari tidal mixing.

Proses pemanasan di laut dan atmosfer berperan penting dalam keseimbangan bahang dan sirkulasi di laut dan atmosfer. Dayem et al. (2007) dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pemanasan atmosfer yang berasal dari bahang di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya melalui proses evaporasi dan presipitasi akan menguatkan Sirkulasi Walker, sedangkan pemanasan di kolam air hangat di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik akan memperkuat sirkulasi zonal permukaan laut di sebelah timur Sirkulasi Walker dan memperkuat upwelling di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik. Meskipun kolam

air hangat yang berada di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik merupakan hasil dari akumulasi yang terbentuk dari Sirkulasi Walker, tetapi kolam air hangat ini bukan sebagai penentu kuat lemahnya Sirkulasi Walker akan tetapi pemanasan/pendinginan dari fluks bahang melalui evaporasi yang berasal dari perairan Asia Tenggara dan sekitarnya yang berperan dalam mengontrol kuat lemahnya Sirkulasi Walker di Samudera Pasifik dan Hindia. Oleh karena itu, semakin besar presipitasi di atas perairan Asia Tenggara akan menguatkan angin timuran dan memperkuat zona konvergen dengan kandungan uap air yang tinggi seiring dengan naiknya massa udara dengan fluks bahang melalui evaporasi yang besar meningkatkan suhu udara di atmosfer dan pada lapisan atas troposfer udara kering akan dibawa oleh angin baratan ke arah timur Samudera Pasifik bersamaan dengan menguatnya Sirkulasi Walker. Dayem et al. (2007) mempunyai hipotesa bahwa penyebab pemanasan/pendingin di atmosfer di atas perairan Asia Tenggara dan sekitarnya sebagai regulator kuat/lemahnya Sirkulasi Walker dibandingkan dengan peranan kolam air hangat di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik adalah distribusi daratan dan lautan yang sangat beragam di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya. Kontribusi angin laut dan angin darat pada skala lokal dan regional di perairan dalam Indonesia berkaitan dengan siklus hidrologi di atmosfer sangat besar dalam mengatur keseimbangan bahang di atmosfer dan laut di perairan dalam Indonesia.

Keseimbangan bahang di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan kaitannya dengan dinamika bahang di Teluk Bengal juga memiliki peranan penting. Montegut et al. (2007) dengan menggunakan Ocean Parallelise (OPA) Model (Madec et al., 1999) yang dibangun oleh Laboratoire d’Oceanographie et du Climat, Experimentation et Approches Numeriques (LOCEAN) telah memodelkan dinamika bahang di laut dan atmosfer di perairan Teluk Bengal. Siklus dominan bahang di laut dan atmosfer yang diperoleh adalah dua tahunan semu (quasi biennial) dan antar tahunan, sedangkan siklus tahunan sedikit berperan dalam variabilitas laut-atmosfer di Teluk Bengal. Mekanisme proses siklus dua tahunan semu bahang di atmosfer dominan dipengaruhi oleh angin, tutupan awan dan curah hujan, sedangkan di lautan diperankan oleh percampuran vertikal dari lapisan kolom laut yang telah menerima bahang dari

matahari yang naik ke kolom permukaan di atasnya. Sementara itu, siklus antar tahunan bahang di atmosfer dominan dipengaruhi oleh angin yang mengatur variabilitas fluks bahang melalui evaporasi di atas perairan Teluk Bengal, sedangkan percampuran vertikal berfungsi sebaliknya (negative feedback) dengan bahang di atmosfer. Jika fluks bahang melalui evaporasi di atmosfer tinggi maka kandungan bahang di lapisan permukaan akan rendah dan sebaliknya. Oleh karena itu, perairan Teluk Bengal memiliki peranan penting dalam mengatur keseimbangan bahang di laut dan atmosfer di perairan sebelah timur Samudera Hindia yang didominasi oleh siklus dua tahunan semu.

Xie et al. (2009a) menguatkan pendapat dari Montegut et al. (2007) dengan menggunakan data SPL dari HadISST (Rayner et al., 2006) dan data curah hujan dari Center for Climate Prediction (CPC) Merged Analysis of Precipitation (CMAP) NCEP/NCAR (Xie dan Arkin, 1996) yang menyatakan bahwa perairan sebelah timur Samudera Hindia berfungsi sebagai efek kapasitor (capacitor effect) bahang di lautan setelah melakukan analisis dengan menggunakan korelasi spasial dan EOF antara perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik dengan perairan sebelah timur laut Samudera Hindia. Peranan efek kapasitor ini terlihat dari pola presipitasi dan kecenderungan angin yang menentukan kandungan bahang melalui evaporasi di atmosfer antara perairan sebelah timur laut Samudera Hindia dan sebelah barat laut Pasifik memiliki siklus dua tahunan hasil dari respon ENSO sebelum dan sesudah fase El Nino dan La Nina. Korelasi antara koefisien ekspansi SPL Mode kedua EOF dan presipitasi Mode pertama pada bulan Juni sampai Agustus (JJA) dengan indeks ENSO Nino3.4 pada bulan Desember sampai Februari (DJF) memiliki koefisien korelasi yang besar memperkuat peranan Samudera Hindia sebagai kapasitor bahang dengan bahang di laut yang akan dilepas ke atmosfer 6 bulan sebelum puncak El Nino/La Nina.

Pemodelan dengan model gabungan yaitu model atmosfer dari GFDL CM2.1 (Delworth et al., 2006; Wittenberg et al., 2006) dan model lautan dari Regional Ocean Modeling System (ROMS) oleh Shchepetkin dan McWilliams (2005), PacInd (Antonov et al., 2006; Locarnini et al., 2006) dan IndArc (Kida dan Richards, 2009) dengan pembanding data observasi SPL dari OISST (Smith dan Reynolds, 1994), HadISST (Rayner et al., 2003), presipitasi dari CMAP (Xie

dan Arkin, 1996), angin dari NCEP/NCAR dan kedalaman lapisan termoklin dari Simple Ocean Data Assimilation (SODA) oleh Carton et al. (2000), telah mendemontrasikan hasil pemodelan dinamika bahang di laut dan atmosfer antara perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, perairan Indonesia dan perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik (Annamalai et al., 2010). Kesimpulan yang didapat bahwa SPL dalam skala regional dan anomali pemanasan di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik adalah bukan faktor utama penyebab terjadinya El Nino kuat yang terjadi bersamaan dengan fase positif DM, tetapi penyebab utamanya adalah anomali SPL (pendinginan) di perairan dalam Indonesia.

Gelombang Samudera yang dibangkitkan oleh angin di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik yang masuk ke perairan dalam Indonesia adalah bukan penyebab utama terjadinya anomali SPL di perairan dalam Indonesia, tetapi penyebab utamanya adalah anomali angin pada skala lokal. Hasil dari luaran model dan data observasi memiliki kecenderungan yang sama. Kesimpulan lain yang dihasilkan oleh Annamalai et al. (2010) adalah tidak semua fase DM atau DM kuat akan diikuti dengan fase El Nino kuat maupun meningkatnya kedalaman lapisan termoklin di daerah sekitar dateline akan selalu diikuti dengan fase El Nino kuat. Kesimpulan dari Annamalai et al. (2010) diperkuat dengan pendapat dari Wittenberg et al. (2006) yang sebelumnya menyatakan untuk mensimulasikan secara realistik anomali angin baratan yang berasosiasi dengan ENSO diperlukan ketepatan SPL regional terutama di perairan Indonesia dan mempertimbangkan siklus dalam musiman (intraseasonal) didalamnya.