• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini berisikan kesimpulan mengenai hasil yang diperoleh dari analisis data, saran metodologis untuk penelitian berikutnya dan saran praktis bagi para praktisi yang mau menggunakan IST.

KERANGKA BERPIKIR

A. Intelligenz Struktur Test (IST)

Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah IST. Dalam bab ini akan dijelaskan berbagai hal tentang IST, yaitu sejarah IST dan subtes-subtes dalam IST. Dalam penelitian ini, peneliti akan berfokus kepada satu subtes saja yaitu subtes ZR. Penjelasan subtes ZR dalam bab ini meliputi deskripsi dan penelitian terdahulu subtes ZR. Selain itu, dalam bab ini juga akan dijelaskan tentang kriteria tes lain yang relevan dengan subtes ZR yaitu TKD 6. TKD 6 merupakan tes yang akan dikorelasikan dengan subtes ZR dalam pengujian validitas.

1. Sejarah Intelligenz Struktur Test (IST)

IST merupakan salah satu tes inteligensi yang dikembangkan oleh Rudolf Amthauer pada tahun 1953 di Jerman dengan berlandaskan teori L.L Thurstone mengenai kemampuan mental dasar (LPSP3UI, 2012). Inteligensi didefinisikan oleh Amthauer sebagai keseluruhan struktur dari kemampuan-kemampuan jiwa dan rohani manusia yang memberikan kemampuan bagi manusia untuk bertindak sebagai pelaksana dalam dunianya. Inteligensi dapat diketahui lebih jelas melalui prestasi yang dicapai individu atau hasil suatu tes yang mengukur inteligensi (Polhaupessy dalam Diktat Kuliah IST UNPAD, 2009). Dengan adanya pemikiran tersebut, Amthauer menyusun sebuah tes yang dapat mengukur inteligensi, yaitu IST dengan hipotesis kerja sebagai berikut :

“Komponen dalam struktur tersebut tersusun secara hierarkis;

maksudnya bidang yang dominan kurang lebih akan berpengaruh pada bidang-bidang yang lain; kemampuan yang dominan dalam struktur inteligensi akan menentukan dan mempengaruhi kemampuan yang lainnya.”

Amthauer menyusun IST sebagai baterai tes yang terdiri dari 9 subtes (Polhaupessy dalam Diktat Kuliah IST UNPAD, 2009). Karakteristik dari baterai tes Amthauer ditunjukkan dengan interkorelasi yang rendah antar subtesnya (r=0.25) dan korelasi antara satu subtes dengan keseluruhan subtes yang rendah pula (r=0.60) (Polhaupessy dalam Diktat Kuliah IST UNPAD, 2009).

Di Indonesia, IST yang digunakan adalah IST hasil adaptasi Fakultas Psikologi UNPAD Bandung. Adaptasi dilakukan kepada IST-70. Tes ini pertama kali digunakan oleh Psikolog Angkatan Darat Bandung, Jawa Barat (Polhaupessy dalam Diktat Kuliah IST UNPAD, 2009).

2. Subtes-subtes dalam Intelligenz Struktur Test (IST)

IST terdiri dari sembilan subtes yang memiliki batas waktu yang berbeda-beda dan diadministrasikan dengan menggunakan buku manual (LPSP3UI, 2012).

Sembilan subtes dalam IST adalah Satzergaenzung (SE), Wortauswahl (WA), Analogien (AN), Gemeinsamkeiten (GE), Merkaufgaben (ME), Rechenaufgaben (RA), Zahlenreinhen (ZR), Figurenauswahl (FA), dan Wuerfelaufgaben (WU) (Polhaupessy dalam Diktat Kuliah IST UNPAD, 2009)

3. Penelitian Terdahulu Subtes ZR

Penelitian tentang subtes ZR pernah dilakukan oleh Tiarsarani (2008) untuk menguji validitas konstrak dan validitas bukti prediktif serta reliabilitasnya mengingat tes ini sering dipakai terutama dalam proses seleksi mahasiswa baru.

Hasil yang ditemukan oleh peneliti menunjukkan bahwa ada empat aitem dalam subtes ZR memiliki indeks daya diskriminasi aitem yang tidak baik, validitas konstraknya baik namun validitas prediktifnya tidak baik, dan subtes ZR dinilai reliabel.

Penelitian tentang subtes ZR pernah dilakukan oleh Princen & Rahmawati (2011) dengan alasan norma yang digunakan dalam IST belum pernah diperbaharui, belum pernah dilakukannya evaluasi terhadap IST sejak IST diadaptasi di Indonesia pada tahun 1973, dan kebocoran yang mungkin terjadi karena IST telah digunakan selama bertahun-tahun tanpa adanya revisi.

Hasil penelitian yang diperoleh oleh Princen & Rahmawati (2011) ialah indeks kesulitan aitem subtes ZR memuaskan dengan rincian 6 aitem tergolong sulit, 9 aitem tergolong sedang, dan 5 aitem tergolong mudah. Namun, penyusunan aitemnya masih belum sesuai dengan urutan penyajian (dari aitem mudah ke aitem sulit). Berdasarkan analisis indeks diskriminasi aitem, ditemukan bahwa kualitas aitemnya baik yang ditunjukkan dengan 19 aitemnya memiliki indeks diskriminasi yang baik (diatas 0.4) dan hanya 1 aitem yang indeks diskriminasinya kurang baik (dibawah 0.4).

Hasil dari seleksi aitem berdasarkan indeks kesukaran aitem dan indeks diskriminasi aitem ditemukan bahwa 19 aitemnya layak diterima dan 1 aitem membutuhkan revisi. Dari analisis reliabilitas yang dilakukan, ditemukan bahwa subtes ZR tidak reliabel jika digunakan sebagai tes inteligensi dikarenakan nilai koefisien reliabilitas yang diperoleh sebesar 0.82. Dari analisis MTMM pada subtest ZR, ditemukan koefisien validitas konvergennya (dikorelasikan dengan RA) sebesar 0.758 dan validitas diskriminannya (dikorelasikan dengan WU) sebesar 0.372 (Princen & Rahmawati, 2011).

Penelitian tentang subtes ZR juga dilakukan oleh Rahmawati (2014) untuk melengkapi analisis IST dengan menggunakan pendekatan Item Response Theory (IRT). Hasil penelitian yang diperoleh ialah seluruh aitem memiliki kriteria

peluang tebakan dibawah 0.35, 19 aitem memiliki tingkat kesukaran diatas -2.00 dan 10 aitem memiliki indeks daya diskriminasi dibawah 2.00 (Rahmawati, 2014).

4. Kriteria Tes Lain yang Relevan dengan Subtes ZR

Pengujian validitas yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji validitas berdasarkan hubungan dengan variabel lain. Dalam uji validitas ini diperlukan tes lain yang menjadi kriteria pengukurannya. Menurut Gregory (2004), karakteristik dari kriteria yang digunakan adalah kriteria yang dipilih harus reliabel, relevan (mengukur hal yang mirip atau identik dengan tes yang divalidasi) dan bebas dari kontaminasi. Tes lain yang dinilai oleh peneliti relevan dengan subtes ZR adalah Tes Kemampuan Diferensial (TKD) 6. Dikatakan relevan karena baik subtes ZR maupun TKD 6 mengukur hal yang sama dan aitem yang disajikan juga sama yaitu deret angka.

TKD 6 merupakan salah satu subtes dari TKD. TKD dikonstrak berdasarkan teori L.L Thurstone tentang kemampuan mental dasar yang terdiri dari 7 faktor kemampuan mental primer, yaitu kemampuan verbal, kemampuan kelancaran kata, kemampuan numerik, kemampuan keruangan, kemampuan ingatan, kecepatan persepsi, dan kemampuan menalar (LPSP3UI, 2011). Dengan demikian, adanya kesamaan teori penyusun tes yaitu kedua tes sama-sama dikonstrak dengan teori L.L Thurstone tentang kemampuan mental dasar maka dapat dikatakan bahwa TKD 6 relevan menjadi kriteria bagi subtes ZR.

B. Karakteristik Psikometri

Metode psikometri merupakan perhitungan matematis dengan statistika tentang rancangan alat tes dan pengukuran psikologi. Metode psikometri

dilakukan untuk membuat interpretasi terhadap hasil tes lebih valid. Validitas dari suatu tes juga terkait dengan reliabilitas suatu tes (Osterlind, 2010). Oleh karena itu, dalam bagian ini akan disajikan data yang berkaitan dengan validitas dan reliabilitas.

Metode psikometri juga berlaku untuk mengukur proses mental, maka konstrak yang diukur dikuantifikasikan melalui variabel dan dinyatakan melalui aitem dari suatu tes (Osterlind, 2010). Dengan demikan, analisis tentang aitem dari suatu tes juga akan dibahas dalam bagian ini. Murphy & Davidshofer (2005) menyatakan bahwa dalam analisis aitem ada tiga informasi yang disajikan, yaitu analisis indeks kesukaran aitem, indeks daya diskriminasi aitem, dan efektivitas distraktor. Namun yang akan dibahas dalam penelitian ini hanya dua saja yaitu analisis indeks kesukaran aitem dan indeks diskriminasi aitem.

1. Validitas

a. Definisi Validitas

Pada tahun 1973, Garret (dalam Osterlind, 2010) menyatakan bahwa validitas sebuah tes ditunjukkan ketika tes tersebut mampu mengukur apa yang seharusnya diukur. Namun, definisi validitas yang dikemukakan oleh Garret dinilai mengabaikan aspek psikologis. Oleh Osterlind (2010), validitas didefinisikan dengan sejauh mana informasi yang diperoleh dari hasil tes tersebut tepat, bermakna, dan berguna dalam pengambilan keputusan yang merupakan tujuan dari suatu pengukuran mental dan didukung dengan berbagai bukti.

Definisi validitas oleh Osterlind didukung dengan pernyataan Azwar (2012) yang menjelaskan bahwa validitas mengacu kepada ketepatan dan kecermatan alat tes dalam melakukan fungsi ukurnya. Jadi, validitas yang dikemukakan oleh

Azwar ditentukan oleh ketepatan dan kecermatan hasil pengukuran. Apabila alat tes tersebut mampu menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil tes yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut, maka tes tersebut dikatakan valid. Coaley (2010) pun menyatakan hal yang sama, yaitu suatu tes dikatakan valid apabila tes tersebut mampu mengukur apa yang seharusnya diukur. Dari definisi yang dikemukakan oleh Coaley, dapat dikatakan juga bahwa validitas dari suatu tes ditunjukkan ketika tes mampu memberikan hasil sesuai dengan tujuan dilakukannya suatu pengukuran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Landy (dalam Coaley, 2010) bahwa orientasi validitas ialah hasil dari tes tersebut.

b. Sumber Bukti Validitas

Pengujian validitas dilakukan dengan mengumpulkan bukti-bukti dari berbagai sumber. Sumber yang dikumpulkan tersebut menyajikan informasi mengenai tingkat kepercayaan untuk membuat kesimpulan skor yang terdapat dalam berbagai situasi spesifik (Osterlind, 2010).

1) Bukti validitas berdasarkan konten tes

Evaluasi bukti validitas dilakukan dengan menggunakan informasi terkait konten pengukuran seperti konten domain (dalam tes berbasis domain) ataupun konstrak (dalam tes yang mengungkap latent trait). Adanya blueprint tes juga menjadi hal yang sangat penting dalam melakukan evaluasi bukti validitas berdasarkan konten tes. Selain itu, adanya penilai yang kompeten, bukti berdasarkan teori, dan spesifikasi lainnya menjadi sumber penting dalam pengumpulan informasi yang ada. Validasi dengan bukti berdasarkan konten tes dilakukan dengan professional judgment mengevaluasi blueprint tes (Osterlind, 2010).

2) mBukti validitas berdasarkan proses respon

Pengujian proses mental atau kognitif penerima tes merupakan salah satu cara dalam membuktikan validitas. Validasi dengan bukti proses respon penting dilakukan untuk mengetahui respon subjek terhadap stimulus dalam suatu pengukuran. Validasi ini juga memberikan informasi apakah peserta tes memberikan respon sesuai dengan pemahaman yang dimaksudkan oleh tes. Proses respon dapat diteliti melalui metode sederhana dan kompleks. Ada beberapa metode yang dapat dipergunakan untuk menganalisis bukti validitas berdasarkan proses respon seperti Structural Equation Modeling (SEM), Hierarchical Linear Models (HLM), dan Path Analysis (Osterlind, 2010).

SEM merupakan metode multivariasi yang dapat digunakan untuk mengukur dan menganalisis dimensi laten dalam data psikologis. Dimensi laten tersebut yang menyebabkan suatu peristiwa yang diamati terjadi. Selain itu, SEM juga dapat digunakan untuk menguji keseluruhan struktur tes (Osterlind, 2010).

Selanjutnya, metode HLM merupakan salah satu teknik dalam analisis multilevel.

Maksud dari analisis multilevel ialah analisis dilakukan dengan menggunakan seluruh data dari berbagai tingkatan dan dengan prosedur estimasi yang berbeda-beda sehingga standar error yang diperoleh lebih realistis. Metode ini tepat digunakan untuk mengolah data yang berstruktur atau memiliki hirarki. Metode yang terakhir, yaitu path analysis dikembangkan untuk mempelajari dan menjelaskan pengaruh langsung dan tidak langsung dari variabel penyebab terhadap variabel akibat. Metode ini dapat digunakan apabila secara teori dihadapkan pada masalah yang berhubungan dengan sebab-akibat (Pedhazur, 1997).

3) Bukti validitas berdasarkan struktur internal

Struktur internal suatu tes terkait dengan pembuatan kesimpulan yang tepat dan reliabel terhadap konstrak yang dinilai. Hal ini dilakukan dengan menguji dasar teori yang digunakan (Osterlind, 2010). Dalam Azwar (2012), bukti validitas berdasarkan struktur internal dikenal dengan istilah validitas konstrak.

Validitas ini menunjukkan sejauh mana tes mengungkap trait yang diukur.

Konsep validitas konstrak berguna pada tes yang trait pengukurannya tidak memiliki kriteria eksternal.

Validasi berdasarkan struktur internal dapat dilakukan dengan beberapa metode, salah satunya adalah model faktor umum. Dalam model faktor umum dijelaskan bahwa aitem-aitem dalam suatu tes memiliki kesamaan dan pengaruh yang unik. Namun, kesamaan tersebut tidak menyebar secara merata. Dalam model faktor umum juga dikenal istilah muatan faktor yang menggambarkan kontribusi varians item terhadap konstrak yang diukur. Penjumlahan dari muatan faktor individu menunjukkan homogenitas suatu tes. Model faktor umum ini diuji dengan analisis faktor atau principal components analysis (PCA) (Osterlind, 2010).

Selain model faktor umum, Item Response Theory (IRT) models juga dapat digunakan untuk memvalidasi berdasarkan struktur internal. IRT models digunakan dengan melakukan uji asumsi unidimensionalitas, indeks diskriminasi yang sama, investigasi fenomena tebakan, dan meneliti analisis waktu dengan membandingkan varians skor antara tes dengan batasan waktu dan tanpa batasan waktu. Dalam IRT models, model diidentifikasi dengan jumlah karakteristik stimulus tes yang diestimasi (Osterlind, 2010).

Metode lainnya yang juga dapat digunakan dalam validasi struktur internal adalah Multitrait-Multimatrix Method (MMTM). Metode ini digunakan untuk menganalisis hubungan dan menentukan pola antar data dari sebuah tes. Dalam metode ini akan dicari persamaan dan perbedaan antar data dari dua alat tes, baik yang mengukur atribut yang sama maupun yang berbeda. Dalam metode ini, suatu tes dikatakan valid ketika alat tes yang diuji konvergen dengan alat tes lainnya yang mengukur atribut yang sama. Selain itu, alat tes yang diuji tersebut divergen dengan alat tes lainnya yang mengukur atribut berbeda (Osterlind, 2010).

4) Bukti validitas berdasarkan hubungan dengan variabel lain

Hubungan antara skor tes dengan variabel lain dapat menjadi sumber bukti validitas. Variabel lain ini disebut dengan kriteria. Pengujian terhadap hubungan antara skor tes dengan kriteria dilakukan dengan bukti prediktif atau bukti konkuren (Osterlind, 2010). Dalam Azwar (2012), validitas dengan bukti prediktif atau bukti konkuren disebut dengan validitas prediktif atau validitas konkuren.

Kedua bukti ini sama-sama menunjukkan hubungan antara tes dan kriteria eksternal. Perbedaan kedua bukti tersebut terletak pada rentang waktu diberikannya tes dan kriteria.

Pada bukti prediktif, validasi dilakukan dengan perbandingan antara tes yang diuji dengan kriteria administrasi posttestnya (setelah tes diberikan) (Osterlind, 2010). Dapat dikatakan juga bahwa hasil tes berfungsi sebagai prediktor bagi performansi di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pengujian validitasnya baru bisa dilakukan di masa mendatang setelah skor kriterianya diperoleh (Azwar, 2012). Sedangkan pada bukti konkuren, validasi dilakukan dengan perbandingan antara tes dengan kriteria kontemporer. Kriteria kontemporer yang dimaksud ialah

tes paralel yang diadministrasikan baik setelah maupun sebelum tes yang diuji diberikan (Osterlind, 2010). Dapat dikatakan juga bahwa skor tes dan skor kriteria diperoleh dalam waktu yang bersamaan (Azwar, 2012).

Estimasi koefisien validitas dengan bukti validitas berdasarkan hubungan dengan variabel lain baik bukti prediktif maupun bukti konkuren dilakukan dengan mengkorelasikan skor tes dengan skor kriteria. Korelasi yang dapat digunakan ialah korelasi Pearson Product-Moment (variabel bersifat kontinyu) dan korelasi point-biserial (variabel bersifat kategorikal atau dikotomi) (Azwar, 2012).

5) Bukti validitas berdasarkan pertimbangan eksternal

Pertimbangan eksternal yang menjadi bukti validitas adalah validitas tampang (face validity). Namun, validitas tampang ini tidak dapat diukur dengan menggunakan metode statistik. Dalam hal ini, pengujian validitas dilakukan dengan menunjukkan alat tes kepada subjek. Selain validitas tampang, validitas generalisasi (validity generalization) juga menjadi pertimbangan eksternal lainnya yang dijadikan sebagai bukti validitas. Yang dimaksud dengan validitas generalisasi adalah sejauh mana bukti validitas berdasarkan kriteria dapat digeneralisasi pada situasi baru tanpa harus dilakukan pengujian validitas lagi (Osterlind, 2010).

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi validitas

Pengujian validitas terkait dengan pengumpulan bukti-bukti validitas. Ketika perubahan waktu terjadi, bukti validitas harus berkembang untuk mendukung perubahan tersebut. Dengan demikian, interpretasi validitas juga menjadi rentan berubah. Oleh karena itu, pengujian validitas harus tetap dipantau dan

diperbaharui (Osterlind, 2010). Selain perubahan waktu, terdapat juga berbagai faktor lain yang dapat menjadi sumber kesalahan pada suatu pengukuran dan dapat mengganggu nilai dari validitas tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut (Coaley, 2010):

1) Batasan jangkauan data

Keterbatasan jangkauan data disebabkan oleh peserta tes memiliki skor yang mirip sehingga variasi dari pengukuran tersebut rendah. Variasi yang tidak terlalu rendah dari suatu pengukuran dapat menghasilkan koefisien validitas yang lebih tinggi. Jumlah batasan dari berbagai pengujian akan bervariasi sehingga korelasi yang diperoleh juga akan bervariasi. Batasan jangkauan data ini juga dapat terjadi ketika suatu kelompok memiliki karakteristik yang lebih homogen seperti usia, jenis kelamin, dan trait kepribadian. Karakteristik yang homogen ini akan mempersempit rentang skor yang ada (Coaley, 2010).

2) Pengurangan sampel

Berkurangnya jumlah sampel dalam suatu pengukuran dapat mempersempit batasan jangkauan data. Namun, suatu formula dan program tertentu dapat digunakan untuk menghitung koefisien validitas jika batasan jangkauan data maupun pengurangan sampel terjadi (Coaley, 2010).

3) Ukuran sampel

Jumlah sampel dalam suatu tes mempengaruhi validitas tes tersebut. Semakin kecil ukuran sampel dalam suatu tes, maka semakin besar kesalahan yang dihasilkan dalam pengukuran. Semakin besar ukuran sampelnya, maka semakin kecil pula kesalahan yang terjadi dalam tes tersebut. Selain itu, sampel kecil

dalam statistik dikatakan tidak stabil karena korelasi dua sampel dengan ukuran sampel yang sama-sama kecil menghasilkan hasil yang berbeda (Coaley, 2010).

4) Atenuasi

Jika reliabilitas dari pengukuran kriteria rendah, hal tersebut dapat mengurangi koefisien validitas dari sebuah tes. Nilai maksimum dari validitas dibatasi oleh reliabilitas. Dapat dikatakan juga bahwa koefisien validitas tidak pernah bisa melebihi koefisien reliabilitas. Hal inilah yang disebut dengan atenuasi (Coaley, 2010). Efek atenuasi ini dapat menghasilkan underestimasi terhadap validitas tes (Azwar, 2012).

5) Kontaminasi kriteria

Kontaminasi kriteria ini mencakup bias dalam skor kriteria dan variasi dalam berbagai tipe pengukuran yang digunakan sebagai kriteria. Hal tersebut dapat mengurangi koefisien validitas. Ketika pengaruh dari berbagai faktor lainnya tidak berkaitan ataupun kaitannya dapat diminimalisir, maka validitasnya akan menjadi lebih tinggi (Coaley, 2010).

6) Keterpenuhan Asumsi

Ada beberapa asumsi yang mempengaruhi koefisien validitas. Asumsi pertama ialah adanya hubungan linear antara variabel yang digunakan dalam suatu pengukuran. Asumsi kedua terkait dengan struktur faktor dari suatu tes.

Maksudnya ialah alat tes yang berbeda dapat mengukur hal yang serupa meskipun atribut pengukuran dari tes tersebut tidak identik. Sedangkan asumsi ketiga berfokus kepada panjang tes (Coaley, 2010).

Pengujian validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data yang diperoleh dari pelaksanaan tes psikologi. Pelaksanaan tes psikologi dapat

dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor ini akan mempengaruhi hasil tes psikologi meskipun penguji telah memastikan agar hasil tes yang diperoleh mencerminkan secara tepat kemampuan yang diukur (Gregory, 2013). Hal ini juga dapat mempengaruhi validitas dari hasil tes. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil tes menurut Gregory (2013) adalah :

1) Prosedur standar dalam pelaksanaan tes

Pengukuran yang dilaksanakan sesuai dengan kondisi standar yang diuraikan pada panduan tes dari penerbit dapat menghasilkan interpretasi tes psikologi dengan validitas yang tinggi.

2) Prosedur pelaksanaan tes

Komponen penting yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan tes adalah para penguji harus familiar dan paham dengan material tes dan petunjuk tes yang ada.

Selain itu, penguji harus memahami prosedur yang tepat untuk dilakukan jika terjadi situasi yang tidak biasa selama tes berlangsung.

3) Sensitivitas terhadap keterbatasan

Sensitivitas penguji terhadap keterbatasan yang dimiliki peserta tes seperti kelemahan pendengaran, penglihatan, wicara dan motorik merupakan salah satu unsur dari pelaksanaan tes yang valid. Peserta tes yang memiliki keterbatasan membutuhkan tes khusus untuk mendapatkan hasil pengukuran yang valid.

4) Penetapan waktu

Penetapan waktu dalam suatu tes yang menggunakan batas-batas waktu menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Para penguji harus menetapkan waktu yang digunakan selama pelaksanaan tes mulai dari persiapan, pembacaan instruksi hingga pelaksanaan tes yang sesungguhnya. Pengurangan maupun

penambahan waktu dalam suatu tes dapat mengakibatkan norma tes menjadi tidak valid dan dapat menyebabkan skor sebagian besar subjek dalam kelompok menjadi turun.

4) Kemampuan penguji

Penguji harus mampu menjelaskan petunjuk tes dengan jelas kepada peserta tes. Jika ada peserta tes yang belum memahami instruksi tes, penguji dapat menjelaskan poin-poin dari instruksi tes secara perorangan.

5) Pengaruh penguji

Penguji dalam pelaksanaan tes harus mampu menciptakan lingkungan tes yang ramah untuk menghasilkan tes yang valid. Kegagalan penguji dalam menjalin hubungan dapat mendistorsi hasil tes. Selain itu, jenis kelamin, ras, dan pengalaman penguji juga menjadi unsur yang mempengaruhi peserta tes meskipun tidak memiliki pengaruh yang begitu signifikan.

6) Pengalaman dan motivasi peserta tes

Pengalaman yang dimiliki oleh peserta tes dapat mempengaruhi hasil tes ketika tes tersebut sudah pernah diikuti sebelumnya oleh peserta tes. Pengalaman yang dimiliki oleh peserta tes menyebabkan adanya proses pembelajaran peserta tes terhadap tes psikologi. Selain pengalaman, peserta tes yang memiliki motivasi untuk berbohong juga bisa menyebabkan hasil tes menjadi tidak valid. Motivasi peserta tes untuk berbohong umumnya terjadi ketika peserta tes ingin mendapatkan hasil yang baik dari pelaksanaan tes yang diadakan suatu institusi.

d. Interpretasi koefisien validitas

Ketika hubungan korelasional antara ukuran dan standar relevansi eksternal digunakan sebagai bukti kriteria yang terkait pada evaluasi validitas, itu

diasumsikan sebagai validitas. Koefisien validitas umumnya diperoleh dengan korelasi Pearson. Terdapat juga korelasi lainnya namun jarang digunakan, seperti Spearman rho (disimbolkan rs), koefisien Phi (ɸ), the tetrachoric correlation, ataupun koefisien kontigensi (C). Selain itu, korelasi biserial dan point-biserial juga dapat digunakan untuk memperoleh koefisien validitas meskipun kedua korelasi ini umumnya digunakan untuk analisis aitem selama konstruksi tes dan review tes. Namun, kedua korelasi tersebut biasanya tidak digunakan untuk evaluasi validitas bukti kriteria (Osterlind, 2010).

Interpretasi koefisien validitas bersifat relatif. Maksudnya ialah tidak ada batasan mutlak mengenai koefisien terendah agar validitas dinyatakan memuaskan. Suatu validitas dianggap memuaskan tergantung kepada penguji validitas dan pengguna tes (Azwar, 2012). Dalam estimasi validitas, tidak dapat dituntut koefisien yang tinggi sekali seperti dalam interpretasi koefisien reliabilitas (Azwar, 2012).

Estimasi validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan validitas bukti kriteria. Coaley (2010) menyatakan bahwa koefisien validitas untuk validitas kriteria cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan koefisien validitas konstrak. Hal ini dapat disebabkan oleh ketidakkonsistenan kriteria ketika dilakukan evaluasi validitas. Koefisien validitas dikatakan sangat baik ketika koefisien korelasinya diatas 0.54 dan dikatakan baik ketika koefisien korelasinya diantara 0.45-0.54 Pernyataan oleh Coaley ini didukung juga dengan pernyataan dalam Murphy & Davidshofer (2005) bahwa dalam pengujian validitas dengan bukti kriteria, koefisien validitas yang diperoleh umumnya sekitar 0.3 dan 0.4, dan

Estimasi validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan validitas bukti kriteria. Coaley (2010) menyatakan bahwa koefisien validitas untuk validitas kriteria cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan koefisien validitas konstrak. Hal ini dapat disebabkan oleh ketidakkonsistenan kriteria ketika dilakukan evaluasi validitas. Koefisien validitas dikatakan sangat baik ketika koefisien korelasinya diatas 0.54 dan dikatakan baik ketika koefisien korelasinya diantara 0.45-0.54 Pernyataan oleh Coaley ini didukung juga dengan pernyataan dalam Murphy & Davidshofer (2005) bahwa dalam pengujian validitas dengan bukti kriteria, koefisien validitas yang diperoleh umumnya sekitar 0.3 dan 0.4, dan

Dokumen terkait