• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN

5.4. Kesimpulan

Praktek IL merupakan kejahatan kehutanan yang berdampak negatif secara ekologis, ekonomi, dan sosial. Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk memberantas praktek IL tersebut, termasuk dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 Pemberantasan Kayu Illegal dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Selain kebijakan tersebut, berbagai aturan hukum baik yang bersifat lex

specialis maupun lex generalis telah cukup memadai untuk memberantas

IL di Indonesia. Selain aturan hukum tingkat nasional, beberapa desa di Provinsi Jambi melalui kelembagaan adatnya menetapkan larangan dan sanksi terhadap kegiatan yang merusak hutan adatnya.

Kecukupan aturan hukum yang ada tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku IL dan jaringannya, apabila penegakan hukum (law enforcement) lemah dan tingkat ketaatan hukum (law compliance) rendah. Kondisi tata kelola pemerintahan yang masih bersifat koruptif-kolutif turut menyuburkan praktek IL di Indonesia. Oleh karena itu kebijakan pemberantasan IL di Indonesia harus dilakukan secara terpadu dan komprehensif dengan mempertimbangkan beberapa hal lainnya yang terkait, seperti penerapan tata kelola pemerintahan yang baik, sistem perdagangan berwawasan lingkungan, sistem koordinasi antar instansi terkait pemberantasan IL di Indonesia, restrukturisasi industri berbasis hutan, sistem perbankan yang anti-IL, sistem pemantauan pencucian uang yang diduga dari hasil IL, serta dukungan dunia internasional melalui kerjasama bilateral dan multilateral. Tata kehidupan administrasi Negara dapat dipastikan atau dengan perkataan Hukum lingkungan merupakan

cabang hukum administrasi Negara sebagai bagian dari hukum publik, oleh karena itu substansi peraturan dan atau norma-norma hukum yang terdapat di dalam per-undang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup lebih didominasi oleh kerangka berfikir dari pembuat undang-undang yang menggambarkan hak dan kewajiban serta proses penyelenggaraan administrasi Negara.Namun dalam tatanan kehidupan dan penyelenggaraan administrasi Negara hukum mungkin dapat dilepaskan dari berbagai macam aktivitas yang sifatnya keperdataan, disamping itu dalam menyelenggarakanlain tidak semua pihak akan menyadari, memahami dan mematuhi terhadap tatanan administrasi Negara tersebut. Perbuatan yang semacam itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum administrasi Negara. Karena pengaturan hukum administrasi Negara mencakup tataran yang begitu luas dalam kehidupan bernegara dan berbangsa (penyelenggaraan administrasi Negara, penyelenggaraan kegiatan sosial, penyelenggaraan kegiatan budaya, penyelenggaraan kegiatan politik dan penyelenggaraan kegiatan ekonomi), maka dimungkinkan di dalam norma-norma hukum administrasi Negara untuk menuangkan sanksi-sanksi lain diluar sanksi yang sifatnya administratif (tujuan yang utama), juga sanksi-sanksi perdata dan sanksi pidana.Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang larangan terhadap Illegal logging dapat disarikan beberapa pengertian dan atau klarifikasi maupun kategori tentang apa itu Illegal loging.Pertama: IL dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak sama sekali mempunyai hak untuk melakukan penebangan kayu di hutan(baik berupa hutan produksi maupun hutan lindung) Kedua: IL seringkali muncul dan atau dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukannya atas dasar hak yang telah diperoleh berdasarkan izin penyelenggara administrasi Negara (baik yang diberikan oleh Departemen yang bertanggung jawab yaitu Departemen Kehutanan ataupun yang pemberian izinnya diberikan oleh Gubernur/Bupati sebagai penguasa territorial wilayah itu), akan tetapi area pemotongan kayu berada diluar konsesi yang telah diberikan kepadanya. Ketiga: Bahwa kegiatan IL yang

dilakukan oleh pihak-pihak tersebut banyak dapat dibuktikan bersandar dari hak atas konsesi hutan berupa HTI dan HPH yang bermotivasi untuk melakukan penjualan hasil IL (yang sebagian terbesar kepentingan konsumen Luar Negeri). Hal ini dapat dibuktikan dengan atau dari hasil tangkapan kayu-kayu illegal yang berupa jenis-jenis kayu tertentu yang mempunyai pasaran tinggi di Luar Negeri (kayu merbau, kayu hitam, kayu eboni dll) disamping juga merupakan pemasok untuk kebutuhan bahan baku pabrik pulp and paper. Oleh sebab itu, berdasarkan uraian terdahulu untuk melakukan pemberantasan IL tidak hanya dapat ditelusuri dari pihak-pihak yang melakukan saja akan tetapi juga dipandang penting untuk melakukan penelusuran siapa yang menampung baik yang ada di dalam maupun di luar negeri. Itulah sebabnya perbuatan melanggar hukum di bidang kehutanan, Illegal logging, melibatkan sindikat-sindikat dan/atau jaringan-jaringan yang sangat rapi, dan dari mulai pelaksanaan penebangan, pengangkutannya, pengumpulannya, pendistribusiannya, pemanfaatannya, maupun tujuan yang melatarbelakanginya. Karenanya, bentuk dan susunan organisasi dari sindikat-sindikat tersebut sangatlah kompleks, yang dapat melibatkan dari hulu sampai ke hilir. Orang atau badan hukum yang terorganisir secara rapi, bahkan sampai dengan kegiatan pencucian uang yang melibatkan pihak perbankan (money laundering).Dari uraian tersebut kemudian kita dapat mengasumsikan bahwa pemberantasan terhadap perbuatan melawan hukum, Illegal

logging. Penegakkan hukum tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Karena di samping organisasi sindikat yang disebutkan terdahulu dapat pula melibatkan oknum-oknum pejabat tertentu dalam pemerintahan yang ikut andil dalam melancarkan kegiatan operasionalnya. Karena hukum lingkungan merupakan bagian dari hukum administrasi negara, maka tidak mudah kita dapat mengkriminalisasikan perbuatan melanggar hukum lingkungan. Oleh sebab itu perlu untuk dipahami bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup itu sifatnya kasuistis dan tidak mudah digeneralisasikan.Atas dasar pemahaman tesebut maka sanksi terhadap perbuatan melanggar hukum lingkungan,yang diancam dengan sanksi

pidana seperti termuat dari Pasal.4 sampai dengan pasal 48 UU PLH 23 tahun 1997 membedakan sifat dari perbuatan melanggar hukum itu dalam 2 kategori yaitu pelanggaran dan kejahatan. Bertolak dari ketentuan pasal- pasal yang mengatur tentang sanksi pidana dalam undang-undang No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka berdasarkan penjelasan umum dari undang-undang dimaksud pada nomor 7 alinea yang ke-5 disebutkan bahwa norma-norma hukum yang terdapat di dalam undang-undang ini merupakan sanksi pidana sebagai penunjang bagi penegakan hukum administrasi Negara. Karena itu berlakunya ketentuan hukum pidana harus tetap memperhatikan azas subsidiaritas, yang artinya bahwa hukum pidana hendaknya didaya gunakan apabila sanksi bidang hukum lain dapat sanksi administratif dan sanksi perdata, serta alternatif penyelesaian sengketa lingkungan tidak effektif, dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif besar dan atau perbuatannya telah menimbulkan keresahan masyarakat.Banyak pihak termasuk para ahli terutama ahli hukum pidana menginginkan sifat perbuatan melawan hukum pidana yang terdapat di undang-undang hukum lingkungan tersebut adalah premium remedium artinya keberlakuan sanksi pidana yang diaturbdalam undang- undang ini harus didahulukan penyelesaian hukumnya sehingga mempunyai fungsi yang sifatnya penjera (detterent effect.) Pendapat ini tidak selalu benar, bahwa hukum selalu penyelesaian pidana akan memberikan detterent effect seperti halnya juga sanksi pidana yang diatur dengan per-undang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Seharusnya kita harus kembali kepada bentuk isi, sifat dan fungsi dari hukum lingkungan itu sendiri yang merupakan bagian dari hukum administrasi Negara yang artinya bahwa hukum administrasi Negara bukan hukum pidana akan tetapi memuat sanksi pidana, karena tujuan dari hukum administrasi Negara adalah untuk menyelenggarakan tatanan administrasi yang diutamakan. Sedangkan penuangan azas-azas hukum pidana yang termuat di dalam norma-norma hukum administrasi merupakan pelengkap dalam penyelenggaraan administrasi manakala perbuatan melanggar hukum itu dapat mengakibatkan terancamnya

keselamatan manusia ataupun terancamnya segi-segi keuangan Negara.Bukti tentang terancamnya keselamatan jiwa manusia adalah : bahwa erosi dan banjir banyak dibuktikan sebagai akibat dari illegal loging, sedangkan kayu dan pohon-pohon yang ada dihutan merupakan aset negara yang dapat di hitung dengan uang, oleh karena itu dengan adanya illegal loging maka Negara telah kehilangan asset yang sedemikian besar seperti halnya dengan korupsi terhadap keuangan Negara.Menurut hemat penulis : ketentuan-ketentuan sanksi pidana yang terdapat didalam undang-undang lingkungan hidup itu masih memerlukan perangkat-perangkat hukum lain dalam hal ini hukum pidana yang menjabarkan lebih lanjut hal-hal sebagai berikut : 1.Pengaturan lebih lanjut dalam hukum pidana tentang kejahatan dan pelanggaran yang kita sebut sebagai Illegal logging. 2.Dimasukkannya dalam ketentuan hukum acara pidana, tata cara penyelesaian dan /atau pengadilan mengenai pelanggaran dan kejahatan lingkungan hidup (KUHAP) sehingga pelanggaran lebih-lebih kejahatan Illegal logging dapat dipandang sebagai

extraordinary crime, yang dalam konteks ilmu hukum lingkungan

merupakan salah satu bentuk dari eco crime.

Penulis berpendapat bahwa pelanggaran dan kejahatan lingkungan yang sanksi hukumnya diatur dalam norma-norma pada UU LIngkungan hidup dengan mempertahankan azas subsidiaritas cukup memadai namun masih diperlukan pengaturan hukum lebih lanjut terhadap ketentuan pidana terutama yang telah dipaparkan dalam penjelasan umum UU tersebut angka ketujuh alinea kelima terutama dalam kaitannya dengan masalah parameter tentang tingkat kesalahan pelaku yang relative berat atau akibat perbuatannya relative besar dan atau perbuatannya tersebut telah menimbulkan keresahan masyarakat . Hal ini penting dalam rangka kepastian hukum tentang pengertian mengenai tingkat kesalahan pelaku, tingkat perbuatan yang relatif besar dan tingkat keresahan masyarakat. Dengan menggunakan teori dari Prof. Dr. Soerjono Soekanto tentang faktor-faktor yang memengaruhi penegakkan hukum, uraian yang terdahulu telah menggambarkan bahwa dari segi faktor hukum telah

memperlihatkan bahwa kelengkapan norma hukum tentang penyelenggaran penegakan hukum terhadap Illegal logging yang terdapat baik di dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun dalam KUHP serta KUHAP perlu untuk menindaklanjuti dan/atau melengkapi dengan ketentuan-ketentuan atau norma-norma hukum baru untuk memperjelas dan mempertegas parameter dan atau ukuran tentang tingkat kesalahan pelaku, besaran dampak yang ditimbulkan, akibat perbuatan pelaku,maupun pengaturan tentang beracara pada penyelesaian hukum terhadap tindak pidana Illegal logging. Oleh sebab itu, karena menurut teori Prof. Dr. Soerjono Soekanto juga menyangkutkan faktor-faktor menghukum yang kemungkinan besar berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan penegakan hukum Illegal logging maka berdasarkan penelitian di lapangan dengan melakukan observasi yang mendalam telah dapat dibuktikan bahwa jaringan sindikasi perbuatan melanggar hukum Illegal logging telah melibatkan berbagai pihak termasuk di dalamnya yang menurut ilmu lingkungan merupakan stakeholder yang wajib secara aktif ikut untuk melestarikan lingkungan. Dari uraian terakhir ini dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum lingkungan tidak selalu bergantung atau lengkap atau tidak lengkapnya norma-norma yang tertuang di dalamnya tetapi juga bergantung kepada tingkat kesadaran dan kepatutan hukum dan fasilitas yang menunjangnya. (antara lain kelembagaan, finansial dan hubungan antar lembaga penegak hukum).

Dokumen terkait