BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
19
dikelompokkan menjadi Lima Bab, terdiri dari sub-sub Bab yang masing-masing mempunyai hubungan dengan yang lain dan merupakan rangkaian yang berkaitan. Agar penulis skripsi ini terkesan teratur, maka dalam sistematikanya sebagai berikut :
Bab pertama merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, indentifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian Definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua memuat Konsep Pencurian dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, pada bab ini menjelaskan Hukum Pidana islam perihal pengertian tindak pidana pencurian dan jarimah takzir serta teori hukum positif terhadap tindak pidana pencurian jenis hewan ternak.
Bab ketiga merupakan pembahasan mengenai dasar pertimbangan hakim, proses penelitian data-data/kasus dalam pengadilan Negeri Kepanjen Nomor Putusan 747/Pid.B/2017/PN Kpn, tentang tindak pidana pencurian ringan.
Bab keempat adalah analisis hukum pidana islam tentang tindak pidana pencurian Nomor 747/Pid.B/2017/PN Kpn.
Bab kelima adalah merupakan bab terakhir berupa kesimpulan yang merupakan jawaban dari pokok masalah yang telah dianalisis pada bab, bab sebelumnya. Dan dalam bab ini juga berisikan saran-saran yang berguna untuk kemajuan ilmu hukum khusunya Hukum Pidana Islam.
BAB II
KONSEP PENCURIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Konsep Dasar Hukum Pidana Islam 1. Pengertian hukum pidana Islam
Dalam hukum pidana Islam istilah tindak pidana disebut dengan istilah Jarimah atau Jinayah. Secara etimologi Jarimah dapat diartikan sebagai
tindak pidana yang melukai, berbuat dan kesalahan. Sedangkan menurut terminologi Jarimah adalah larangan-larangan Syara’ yang diancam oleh Allah SWT dengan hukuman had atau ta’zir.
Kalangan Fuqahah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan jinayah
adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai atau
merugikan jiwa, harta benda, ataupun yang lainnya.
Dalam hukum Islam kejahatan dapat didefinisakan sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan Allah, yang mana sanksi diberikan langsung oleh Allah atau tidak melakukan suatu perbuatan yang tidak diperintahkan. Dengan kata lain melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang melanggar syari’at maka dianggap sebagai suatu kejahatan.
Jarimah merupakan suatu hukuman yang bertujuan agar tidak terjadi
21
cukup. Meskipun hukuman itu juga bukan sebuah kebaikan, bahkan dapat dikatakan sebagai perusakan bagi si pelaku. Namun hukuman tersebut sangat diperlukan sebab bisa membawa ketentraman dalam masyarakat, karena dasar pelarangan suatu perbuatan itu adalah pemeliharaan kepentingan masyarakat.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Jarimah adalah
melaksanakan perbuatan wajib dan meninggalkan
perbuatan-perbuatan terlarang yang sesuai dengan syara’ dengan hukuman had atau
hukuman ta’zir. Perbuatan seseorang dianggap sebagai perbuatan pidana
apabila mempunyai kriteria-kriteria diantaranya adalah perbuatan itu diharamkan atau dilarang oleh syara’ dan perbuatan itu berbahaya bagi agama, jiwa, kehormatan dan harta.
2. Unsur Jarimah
Dikatakan perbuatan pidana atau jari>mah apabila perbuatan tersebut
telah memenuhi unsur-unsurnya. Pada hukum pidana Islam, unsur-unsur tersebut dibagi menjadi tiga yaitu unsur formal, unsur materiil dan unsur
moral.15 Berikut penjelasannya:
a. Unsur formal adalah perbuatan pidana yang dilakukan ada dalam ketentuan undang-undang atau nas}s}. Artinya, perbuatan tersebut dilarang oleh nas}s} atau undang-undang dan apabila dilakukan akan terkena hukuman. Misalnya, ketentuan hukum pencurian yang telah ditetapkan dalam
22
Quran surat al-Ma>idah ayat 38 dengan hukuman potongan tangan.16 Dalam
hukum pidana positif hal ini disebut dengan asas legalitas yaitu suatu perbuatan tidak dilarang dan tidak diancam pidana apabila tidak ada
ketentuan peraturan yang mengaturnya terlebih dahulu.17 Kaidah tentang
hal ini adalah
“Tidak ada jari>mah (perbuatan pidana) dan tidak ada hukuman sebelum
adanya nas}s} (aturan pidana)”18
b. Unsur materiil yaitu perbuatan melawan hukum yang benar-benar telah dilakukan. Misalnya, dikatakan pencurian apabila perbuatan yang dilakukan berupa memindahkan atau mengambil barang milik orang lain. Dalam hukum positif, perilaku tersebut adalah perilaku yang bersifat melawan hukum atau disebut dengan unsur objektif.
c. Unsur moral adalah unsur yang menyangkut tanggungjawab pidana pada diri si pelaku. Pertanggungjawaban pidana dapat diberikan pada seorang
mukhallaf yaitu orang yang telah aqil dan baliqh. Dengan demikian, jika
yang melakukan adalah orang gila atau masih di bawah umur, maka ia tidak dikenakan hukuman, karena orang tersebut tidak dapat dibebani pertanggungjawaban.
3. Pembagian Jarimah
16 Ibid., 12.
17 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), 27.
18 Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004), 40.
23
Jari>mah dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan berat dan
ringannya hukuman, baik yang ditegaskan atau tidaknya dalam al-Qur’a>n dan hadist. Ulama membagi jari>mah menjadi tiga macam yaitu:
a. Jari>mah hudu>d
Hudu>d adalah bentuk jamak dari kata had. Menurut bahasa, had
berarti cegahan. Hukuman yang diberikan kepada pelaku dimaksudkan untuk mencegah pelaku tersebut untuk tidak mengulangi perbuatan yang
telah dilakukan. Menurut istilah syara’, had adalah pemberian hukuman
yang merupakan hak Allah. Dalam jurisprudensi Islam, kata hudud dibatasi
pada hukuman atas tindak pidana yang tercantum dalam Qur’a>n dan al-Sunnah. Pada hakikatnya jarima>h hudu>d adalah suatu hukuman yang tidak
dapat dihapuskan sebagai perbuatan melanggar hukum yang jenis dan
hukumannya telah ditentukan oleh nas}s}, yaitu hukuman had (hak Allah)
dengan jumlah terbatas.19
Jari>mah yang menjadi hak Allah pada dasarnya merupakan jari>mah
yang menyangkut masyarakat banyak dengan tujuan menjaga kepentingan, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat. Hakim dalam menjatuhkan hukuman harus sesuai dengan ketentuan syara’ dan tidak berijtihad dalam menentukan hukuman. Para ulama sepakat bahwa yang masuk dalam
kategori jarimah hudud yaitu zina, menuduh zina (qadzf), mencuri,
24
merampok (hirabah), pemberontak (bughat), minum-minuman keras dan
murtad.20
b. Jarimah qis{a>s} – diya>h
Qis}a>s} dalam hadis disebut dengan kata qawad, maksudnya adalah
seumpama atau semisal. Artinya, akibat atau balasan yang diterima pelaku akan sama dengan apa yang dialami oleh korban. Abdul Qadir Audah
mendefinisikan qis}a>s} sebagai pembalasan yang seimbang terhadap pelaku
tindak pidana dengan apa yang telah diperbuat oleh pelaku terhadap
korban.21
Hukuman yang paling berat pada jari>mah qis}a>s{ diya>h yaitu
hukuman mati pada pelaku pembunuhan sengaja. Pemberlakuan hukuman mati pada pembunuhan sengaja ini tidak bersifat mutlak karena dalam jari>mah qis}a>s} apabila wali korban memaafkan akan diganti dengan diya>h
atau denda 100 (seratus) ekor unta. Pada hukum pidana Islam diya>h
merupakan hukuman pengganti.22
Jari>mah qis}a>s} juga telah ditentukan jenis dan beratnya hukuman
dalam al-Qur’a>>n dan al-Sunnah. Akan tetapi, pada jari>mah qis}a>s} terdapat hak adami sehingga membuka kesempatan kepada korban, wali, atau ahli waris korban untuk memberikan pengampunan. Jika korban, wali atau ahli
20 Ibid.
21 Ibid., 577.
25
waris korban memberi pengampunan, maka hukuman akan diganti dengan diya>h. Apabila pelaku tidak dapat membayar diya>h dan korban atau walinya memaafkan, maka hukuman yang akan diterima berupa ta’zi>r yang
mana kadar hukumannya ditentukan oleh hakim dengan tujuan sebagai
pembelajaran bagi pelaku.23
c. Jari>mah ta’zi>r
Ta’zi>r merupakan bentuk jari>mah yang kadar dan jenis hukumannya ditentukan oleh penguasa. Pada jari>mah hudu>d, qis}a>s} dan diya>h kadar dan
jenis hukumannya telah ditentukan oleh syara’, sedangkan pada jari>mah
ta’zi>r kadar dan jenis hukumannya yang menentukan adalah penguasa atau
hakim. Hukum pidana Islam pada jari>mah ta’zi>r hanya menyebutkan
bentuk-bentuk hukuman dari yang berat sampai hukuman yang ringan. Hakim dalam memberikan hukuman pada jari>mah ini diberikan kebebasan
dalam berijtihad sesuai dengan jenis jari>mah dan keadaan pelakunya.24
Jari>mah ta’zi>r ditujukan untuk menghilangkan sifat-sifat
mengganggu ketertiban atau kepentingan umum, yang bermuara pada
kemaslahatan umum. Jari>mah ta’zi>r terbagi menjadi dua \ yaitu:25
1) Jari>mah ta’zi>r yang menjadi wewenang ulil amri yang merupakan jari>mah demi kepentingan kemaslahatan.
23 Ibid., 579
24 Ibid, 593.
26
2) Jari>mah ta’zi>r yang ditentukan oleh syara’, yaitu dianggap jari>mah sejak
diturunkannya syari’at Islam hingga akhir zaman.
Berdasarkan pelanggarannya, jari>mah ta’zi>r dibagi menjadi tujuh
yaitu:
1) Pelanggaran terhadap kehormatan, diantaranya: a) Perbuatan melanggar kesusilaan
b) Perbuatan melanggar kesopanan
c) Perbuatan yang berhubungan dengan suami istri
d) penculikan26
2) Pelanggaran terhadap kemuliaan, diantaranya: a) Tuduhan palsu
b) Pencemaran nama baik
c) Penghinaan, celaan atau hujatan27
3) Perbuatan yang dapat merusak akal, diantanya:
a) Menjual, membeli, mengedarkan, menyimpan, membuat, atau mempromosikan sesuatu yang dapat merusak akal seperti khamar, narkotika, psikotropika dan sejenisnya
26 Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 2009), 56.
27
b) Menjual bahan-bahan dengan maksud untuk digunakan membuat sesuatu yang memabukkan dan merusak akal seperti anggur,
gandum dan sejenisnya.28
4) Pelanggaran terhadap harta, diantanya: a) Penipuan dalam jual beli (muamalah) b) Kecurangan dalam berdagang
c) Meminjam tanpa izin (ghasab)
d) Pengkhianatan terhadap amanah harta29
5) Gangguan terhadap keamanan, diantaranya:
a) Sesuatu yang dapat mengganggu keamanan orang lain selain dalam jari>mah hudud dan jari>mah qis{a>s}
b) Menakut-nakuti orang lain, mengancam atau menteror
c) Penyalahgunaan terhadap kekuasaan atau jabatan untuk dirinya
sendiri serta merugikan orang lain30
6) Pelanggaran terhadap keamanan negara (subversi), diantaranya: a) Makar yang tidak melalui pemberontakan
b) Mata-mata
c) Membocorkan rahasia negara31
7) Pelanggaran yang berhubungan dengan agama, diantaranya:
28 Ibid.
29 Ibid.
30 Ibid.
28
a) Menyebarkan ideologi yang mengandung pemikiran kufur
b) Mencelah salah satu dari risalah Islam, baik langsung melalui lisan maupun tulisan
c) Pelanggaran terhadapa ketentuan syariat, seperti meninggalkan sholat, terlambat atau tidak membayarkan zakat, berbuka puasa
sebelum waktunya tanpa adanya uzur. 32
Jari>mah ta’zi>r tidak hanya terbatas pada pelanggaran diatas karena jari>mah ta’zi>r sangat luas dan elastis, sehingga segala perbuatan apapun yang
dilarang dan melanggar hak Allah, hak perseorangan dan penguasa (di luar
hudu>d dan jinayat) maka masuk dalam kategorti jari>mah ta’zi>r.33
Ruang lingkup dan pembagian jari>mah ta’zi>r menurut Nurul Irfan dan
Masyrofah dalam bukunya Fiqh Jinayah membaginya menjadi empat yaitu: a. Jari>mah hudu>d atau jari>mah qis}a>s}-diya>h yang terdapat syubhat, maka akan
dialihkan ke dalam sanksi ta’zi>r, seperti orangtua yang mencuri harta
anaknya dan orangtua yang membunuh anaknya.
b. Jari>mah hudu>d atau jari>mah qis}a>s}-diya>h yang tidak memenuhi syarat akan
dijatuhi sanksi ta’zi>r. Contohnya percobaan pembunuhan, percobaan zina,
dan percobaan pencurian.
32 Ibid., 57.
29
c. Jari>mah yang ditentukan Al-Qur’an dan hadis, tetapi tidak ditentukan
sanksinya seperti tidak melaksanakan amanah, saksi palsu, penghinaan, pembalakan liar dan suap.
d. Jari>mah yang ditentukan oleh ulil amri untuk kemaslahatan umat, seperti
percopetan, penipuan, pornoaksi dan pornografi, pembajakan,
penyelundupan, money laundering dan human trafficking.34
Pada jari>mah ta’zi>r dikenal hukuman tertinggi dan hukuman
terendah. Jenis hukuman ta’zi>r bervariasi, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1) Hukuman mati
Hukuman pada jari>mah ta’zi>r bertujuan untuk memberikan
pengajaran agar tidak mengulangi lagi perbuatan maksiat yang
dilakukan. Sebagian ulama menganggap jari>mah ta’zi>r tidak sampai
pada hukuman mati, tetapi ada beberapa ulama memberikan pengecualian bahwa diperbolehkan hukuman mati apabila kepentingan umum menghendaki demikian atau jika pemberantasan tidak dapat dilakukan kecuali dengan hukuman mati, seperti mata-mata, pembuat
fitnah, residivis yang membahayakan.35
2) Hukuman penjara atau kurungan
34 M. Nurul Irfan dan Mayrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014), 143.
30
Hukum pidana Islam membagi dua macam hukuman penjara atau kurungan berdasarkan lama waktu hukuman. Pertama, hukuman penjara terbatas dengan batas hukuman minimal satu hari dan untuk batas maksimum atau tertinggi menurut ulama Syafi’iyyah menetapkan batas
tertingginya satu tahun disamakan dengan pengasingan dalam jari>mah
zina. Ulama lain menyerahkan seluruhnya kepada penguasa berdasarkan
kemaslahatan.36
Kedua, hukuman penjara tidak terbatas. Artinya, waktunya tidak terbatas, berlangsung hingga terhukum mati atau apabila pelaku bertobat dengan sungguh-sungguh dan tidak mengulangi perbuatannya lagi sehingga menjadi pribadi yang lebih baik dari yang sebelumnya. Orang yang dikenakan hukuman ini yaitu penjahat yang berbahaya atau
orang yang berulang-ulang melakukan jari>mah yang berbahaya.37
3) Hukuman jilid, cambuk, dan sejenisnya
Batas tertinggi pada hukuman jilid dikalangan ahli hukum memiliki perbedaan. Menurut pendapat terkenal di kalangan Maliki, batas tertinggi diserahkan pada penguasa sepenuhnya. Abu Yusuf berpendapat bahwa batas tertinggi adalah 75 kali sedangkan Imam Abu
Hanifah berpendapat tertinggi 39 kali.38
36 Ibid., 79.
37 Ibid.
31
4) Hukuman pengucilan
Islam mensyariatkan hukuman pengucilan ini seperti yang dilakukan pada masa Rasulullah yang pernah melakukan hukuman pengucilan pada tiga orang karena tidak ikut serta Perang Tabuk. Tiga orang tersebut adalah Ka’ab bin Malik, Miroroh bin Rubai’ah dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari dan tanpa
diajak bicara.39
5) Hukuman denda berupa harta
Hukuman ini berupa membayar denda yang telah ditentukan kadarnya oleh penguasa atau hakim. Rasulullah SAW. menyatakan bahwa orang yang membawa sesuatu keluar, maka baginya dikenakan denda sebanyak dua kali lipat beserta hukumannya. Hukuman yang sama
juga berlaku bagi seseorang yang menyembunyikan barang hilang.40
Tujuan diberlakukannya hukuman ta’zi>r adalah untuk memberikan
efek jera kepada pelaku penganiaya hewan sehingga tidak mengulangi
perbuatannya. Selain itu juga terdapat beberapa tujuan lainnya yaitu:41
1) Pencegahan (preventif). Pencegahan dengan tujuan agar orang lain tidak melakukan jari>mah.
39 Ibid., 80
40 Ibid.
32
2) Membuat pelaku jera (represif). Hukuman yang diberikan diharapkan akan membuat pelaku jera atas perbuatannya.
3) Kuratif (islah). Diharapkan dengan diberikannya hukuman terhadap pelaku dapat berdampak baik agar tidak lagi mengulangi perbuatannya. 4) Edukatif (pendidikan). Hukuman diberikan sebagai pembelajaran bahwa
perbuatan tersebut merupakan perbuatan kejahatan dan tercela, sehingga dapat merubah pola hidup terpidana ke arah yang lebih baik.
B. Konsep Pencurian dalam Hukum Pidana Islam 1. Pengertin pencurian dalam hukum pidana Islam
Menurut Muhammad Syaltut pencurian yaitu mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai menjaga barang tersebut.
Sedangkan Menurut Sayyid Sabiq pencurian yaitu mengambil barang orang lain secara sembunyi-sembunyi misalnya mencuri suara, karena mencuri suara dengan sembunyi-sembunyi dan dikatakan pula mencuri pandang karena memandang dengan sembunyi-sembunyi ketika yang dipandang lengah.
Definisi yang lain tentang pencurian adalah perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam dengan tujuan tidak baik. Yang dimaksud dengan mengambil harta secara diam-diam adalah mengambil barang tanpa
33
sepengetahuan pemiliknya dan tanpa kerelaanya, seperti mengambil barang dari rumah orang lain ketika penghuninnya sedang tidur.
2. Unsur dan Syarat pencurian dalam hukum pidana Islam a. Unsur pencurian dalam Hukum Pidana Islam
Dalam Hukum Pidana Islam hukuman potong tangan mengenai pencuriannya dijatuhi unsur-unsur tertentu, apabila salah satu rukun itu tidak ada, maka pencurian tersebut tidak dianggap pencurian.
Unsur -unsur pencurian ada empat macam, yaitu sebagai berikut. 1) Pengambilan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi
Pengambilan secara diam-diam terjadi apabila pemilk (korban) tidak mengetahui terjadinya pengambilan barang tersebut dan ia tidak merelakanya. Contohnya, mengambil barang-barang milik orang lain dari dalam rumahnya pada malam hari ketika ia (pemilik) sedang tidur.
Pengambilan harta harus dilakukan dengan sempurna jadi, sebuah perbuatan tidak di anggap sebagai tindak pidana jika tangan
pelaku hanya menyentuh barang tersebut42.
2) Barang yang diambil berupa harta
Salah satu unsur yang penting untuk dikenakannya hukuman potong tangan adalah bahwa barang yang dicuri itu harus barang yang
34
bernilai mal (harta), ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dikenakan hukuman potong tangan, syarat-syarat tersebut yaitu
a) Barang yang dicuri harus mal mutaqawwin
Yaitu barang yang dianggap bernilai menurut syara’. Menurut , Syafi’I, Maliki dan Hambali, bahwa yang dimaksud dengan benda berharga adalah benda yang dimuliakan syara’, yaitu bukan benda yang diharamkan oleh syara’ seperti khamar, babi, anjing, bangkai. Karena benda-benda tersebut menurut Islam dan kaum muslimin tidak harganya. Karena mencuri benda yang diharamkan oleh syara’, tidak dikenakan sanksi potong tangan.
Hal ini diungkapkan oleh Abdul Qadir Awdah, “ Bahwa tidak
divonis potong tangan kepada pencuri anjing terdidik ( helder )
maupun anjing tidak terdidik, meskipun harganya mahal, karena haram menjual belinya.
b) Barang tersebut harus barang yang bergerak
Untuk dikenakanya hukuman had bagi pencuri maka disyaratkan barang yang dicuri harus barang atau benda yang bergerak. Suatu benda dapat dianggap sebagai benda bergerak apabila benda tersebut bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya.
35
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa salah satu syarat untuk dikenakannya hukuman had bagi pencuri adalah bahwa barang yang
di curi harus tersimpan ditampat simpanannya. Sedangkan Zhahiriyah dan sekelompok ahli hadis tetap memberlakukan hukuman had walaupun pencurian bukan dari tempat simpanannya apabila barang yang dicuri mencapai nisab yang dicuri.
d) Barang tersebut mencapai nisab pencurian
Tindak pidana pencurian baru dikenakan hukuman bagi
pelakunnya apabila barang yang dicuri mencapai nisab pencurian.
Nisab harta curian yang dapat mengakibatkan hukuman had potong
ialah seperempat dinar (kurang lebih seharga emas 1,62 gram), dengan demikian harta yang tidak mencapai nisab itu dapat difikirkan kembali, disesuaikan dengan keadaan ekonomi pada suatu
dan tempat43.
3) Harta Tersebut Milik Orang Lain
Untuk terwujudnya tindak pidana pencurian yang pelakunya dapat dikenai hukuman had, disyaratkan barang yang dicuri itu merupakan barang orang lain. Dalam kaitannya dengan unsur ini yang terpenting adalah barang tersebut ada pemiliknya , dan pemiliknya itu bukan si pencuri melainkan orang lain. Dengan demikian, apabila
43 Ahmad Azhar Basyir, Ikhtisar Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam), Yogyakarta: UII Press, Cet Ke-2, 2006, hlm. 37
36
barang tersebut tidak ada pemiliknya seperti benda-benda yang mubah maka pengambilanya tidak dianggap sebagai pencurian, walaupun dilakukan secara diam-diam.
Seseorang yang mencuri tidak dapat dikenai hukuman apabila terdapat syubhat (ketidakjelasan) dalam barang yang dicuri. Dalam hal ini pelakunya hanya dikenai hukuman ta’zir. Contohnya seperti pencurian yang dilakukan oleh orang tua terhadap harta anaknya. Dalam kasus semacam ini, orang tua dianggap memiliki bagian dalam harta anaknya, sehingga terdapat syubhat dalam hak milik.
Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Maliki bahwa Rosulullah saw. Bersabda :
كىل كلمو تنا
Artinya : Engkau dan hartamu milik ayahmu 44
Orang yang mencuri juga tidak dikenai hukuman had apabila ia mencuri harta yang dimiliki Bersama-sama dengan orang menjadi korban, karena hal itu dipandang sebagai syubhat.
Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan golongan Syi’ah. Akan tetapi, menurut Imam Malik, dalam kasus pencurian harta milik Bersama, pencuri tetap dikenai hukuman
44 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. M. A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, “Bidayatu’l Mujtahi”, Semarang: Asyifa, Cet. I, 1990, hlm. 660.
37
had apabila pengambilannya itu mencapai nisab pencurian yang
jumlahnya lebih besar dari pada hak miliknya.
Pencurian hak milik umum menurut Imam Abu Hanifah, ImamSyafi’I, Imam Ahmad, dan golongan Syi’ah Zaidiyah, sama hukumannya dengan pencurian hak milik Bersama, karena dalam ini pencuri dianggap mempunyai hak sehingga hal ini juga dianggap syubhat, akan tetapi menurut Imam Malik, pencuri tetap dikenai hukuman had.
Adanya niat yang melawan hukum ( mencuri ) Unsur yang keempat dari pencurian yang harus dikanai hukuman had adalah adanya niat yang melawan hukum. Unsur ini terpenuhi apabila pelaku pencurian mengambil suatu barang bahwa ia tahu bahwa barang tersebut bukan miliknya, dan karenanya haram untuk diambil.
Dengan demikian, apabila seseorang mengambil barang dengan keyakinan bahwa barang tersebut adalah barang mubah maka ia tidak dikenai hukuman, karena dalam hal ini tidak ada maksud untuk melawan