• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENERAPAN HUKUM PIDANA MATERIL

B. Analisis Kasus

Berdasarkan ruang lingkup berlakunya hukum pidana menurut tempat, kasus ini merupakan sebuah bentuk penerapan yurisdiksi mengadili berdasarkan asas teritorial. Tolak pangkal pemikiran untuk penerapan asas teritorial adalah bahwa di wilayah Indonesia, (undang-undang) hukum pidana Indonesia mengikat bagi siapa saja (penduduk atau bukan). Dasarnya adalah bahwa setiap negara yang berdaulatwajib memelihara sendiri ketertiban hukum dalam wilayahnya.76

1. Setiap Orang

Asas teritorial mengajarkan bahwa bahwa hukum pidana suatu negara berlaku berlaku di wilayah negara itu sendiri. Asas ini merupakan asas pokok dan dianggap asas yang paling tua karena dilandaskan kepada kedaulatan negara. Terdakwa Mr. Thanongsak warga negara Thailand didakwa melanggar pasal 93 ayat (2) jo. Pasal 102 UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 93 ayat (2) telah terpenuhi.

Jika dianalisa, maka unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 93 ayat (2) adalah sebagai berikut:

Unsur setiap orang dalam hal ini adalah subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban berupa orang perorangan, kelompok atau badan hukum. Berdasarkan alat bukti berupa keterangan saksi, keterangan ahli, barang bukti dan dan keterangan terdakwa dapat disimpulkan bahwa terdakwa Mr. Thanongsak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

76E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2012. hlm. 91.

2). Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing Berdasarkan keterangan para saksi dapat disimpulkan bahwa kapal KM. PKFB 1108 yang dinahkodai oleh Mr. Thanongsak tidak dilengkapi dengan surat izin penangkapan ikan (SIPI) yang sah. Hal ini diperkuat dengan keterangan ahli dari dinas Perikanan Marianus O. Brewon, S, St.Pi. selaku ahli dibidang perikanan, bertugas di Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan Kampung Nelayan Indah Medan Labuhan, berdasarkan fisik dari kapal KM. PKFB 1108 adalah kapal ikan asing Malasyia yang seharusnya memiliki izin yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. Per. 17/MEN/2006 Pasal 17 huruf (a), dengan demikian unsur memiliki dan/atau mengeporasikan kapal penangkap ikan berbendera asing telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

3). Melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI

Terdakwa Mr. Thanongsak tertangkap tangan oleh petugas Patroli pada pada posisi 040 36’10” N- 990 35’ 50”E yang merupakan wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (ZEE Indonesia Selat Malaka) dan tidak memiliki dokumen apapun juga termasuk Suarat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Dalam tuntutannya jaksa penuntut umum menuntut terdakwa dengan tuntutan denda sebesar Rp. 6.000.000.000,- (enam milyar rupiah), subsider 6 bulan penjara.

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, dalam sisitem KUHP yang sekarang berlaku, pidana denda dipandang sebagi jenis pidana pokok yang yang p[aling ringan. Pertama, hal ini dapat dilihat dari kedudukan urutan-urutan pidana pokok di dalam pasal 10 KUHP. Dan kedua, pada umumnya pidana denda dirumuskan sebagi pidana penjara atau kurungan. Sedikit sekali tindak pidana yang hanya diancam dengan denda. Ketiga, jumlah ancaman pidana denda didalam KUHP pda umumnya relatif ringan.77

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang hanya mencantumkan pidana denda saja merupakan ketentuan sebagaiman diatur dalam pasal 93 ayat (2) UU Tentang Perikanan, namun pidana yang denda yang didakwakan masih terlalu rendah karena dalam pasal 93 ayat (2) UU Perikanan memberikan ancaman pidana denda

Tuntutan denda sebesar 6.000.000.000,- (enanm milyar rupiah) kepada terdakwa terlalu ringan dan tidak tegas, sebab dalam pasal 93 ayat (2) UU tentang perikanan mengisyaratkan adanya kumulatif ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana, namun dengan adanya Pasal 102 “ketentuan pidana penjara dalam undang-undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf (b), kecuali telah ada perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Negara yang bersangkutan”. Penerapan sanksi pidana penjara terhadap terdakwa tidak dapat dilaksanakan disebabkan tidak ada perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Negara Thailand dalam penangkapan ikan di wilayah ZEEI.

77Muladi dan Barda Nawawi A. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Ed.Rev. Alumni, Bandung, 1992, hlm. 177-178.

paling banyak Rp. 20.000.000.000,.- (dua puluh milyar rupiah), namun dalam dakwaanya Penuntut Umum hanya menuntut terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp. 6.000.000.000 (enam milyar rupiah). Seharusnya jaksa penuntut umum dalam dakwaan nya mencantumkan pidana denda yang lebih tinggi atau menjatuhkan pidana denda paling banyak/maksimal terhadap terdakwa pelaku tindak pidana perikanan. Dikaitkan dengan tujuan pemidanaan maka pidana denda juga seharusnya dapat dirasakan sifat penderitaanya bagi mereka yang dijatuhinya.78

Dengan adanya penegakan hukum dari lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan hukum dalam kasus tindak pidana perikanan maka yang diuntungkan adalah masyarakat Indonesia, sebab kekayaan alam yang terkandung dalam dinikmati hasilnya oleh warga negara Indonesia sendiri sesuai dengan Pasal Apabila kita cermati hingga saat ini tindak pidana perikanan khusunya pencurian ikan (illegal fishing) masih begitu marak terjadi di wilayah peengelolaan perikanan Indonesia, khususnya di ZEEI yang dilakukan oleh kapal-kapal berbendera asing. Seharusnya penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh warga negara asing dilakukan dengan tegas sesuai dengan tujuan pemidanaan teori relatif atau teori tujuan beranggapan bahwa tujuan pidana ialah mengamankan masyarakat dengan jalan menjaga serta memberi rasa aman dan mempertahankan tata tertib masyarakat atau teori yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan dan menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana perikanan di wilayah perairan Indonesia.

78Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 60.

33 ayat (3) UUD Tahun 1945.79

a. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Oleh sebab itu dengan diprosesnya pelaku dengan menggunakan hukum postif yang berlaku di Indonesia oleh penegak hukum sudah tepat, namun penerapan sanksi pidana nya harus lebih tegas terhadap pelaku tindak pidana perikanan oleh warga negara asing.

Untuk menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana perikanan hakim membuat pertimbangan-pertimbangan. Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perikanan menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis dan non-yuridis. Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap didalam Keterangan terdakwa persidangan atau faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh Undang-Undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat didalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis ialah sebagai berikut :

b. Keterangan saksi c. Barang-barang bukti

d. Pasal-pasal dalam UU Perikanan

Disamping pertimbangan yang bersifat yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat nonyuridis. Pertimbangan non-yuridis ialah antara lain sebagai berikut :

a. Akibat perbuatan terdakwa b. Kondisi diri terdakwa

79 Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Setiap putusan hakim senantiasa dimuat hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana. Oleh karena itu, dalam putusannya Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Terdakwa.

Berat ringannya pidana yang dijatuhkan tentu bagi seorang hakim disesuaikan dengan apa yang menjadi niat, motivasi, dan akibat perbuatan si pelaku. Tiap putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim kepada terdakwa tentunya harus sesuai dengan pasal yang didakwakan dalam arti batas maksimal dan batas minimal sehingga hakim dianggap telah menjalankan dan menegakkan Undang-undang dengan benar dan tepat. Putusan Majelis Hakim yang menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda sudah tepat, karena ada juga keyakinan Hakim, dimana Hakim juga mempertimbangkan kondisi diri Terdakwa baik secara sosiologis dan psikologis serta status sosial terdakwa.

Keputusan pidana selain merupakan pemidanaan juga merupakan dasar untuk memasyarakatkan kembali si terpidana agar di kemudian hari si terpidana tidak melakukan kejahatan atau tindak pidana di kemudian hari sehingga dapat menjaga kelestarian sumber daya ikan. Dengan adanya pidana denda yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana perikanan dapat menimbulkkan efek jera dan memberi kesadaran kepada para pihak lain agar tidak melakukan tindak pidana perikanan di Indonesia. Disamping itu putusan Hakim juga diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana perikanan. Sehingga putusan hakim yang dijatuhkan kepada terdakwa Mr Thanongsak dalam Putusan No.12/Pid.P/2011/PN.MDN sudah sesuai.

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, maka kesimpulan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Pengaturan tentang tindak pidana perikanan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tetang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 Tentang Perikanan yakni dalam Pasal 84 sampai dengan Pasal 105, tindak pidana perikanan dapat berupa kejahatan dan pelanggaran. Ketentuan tentang penangkapan ikan tanpa izin (pencurian) diatur dalam pasal 92 sampai dengan pasal 95 dan pasal 98. Pasal 92 mengatur tentang setiap orang yang melakukan usaha perikanan dibidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan yang tidak memiliki Surat Usaha Penangkapan Ikan (SIUP). Pasal 93 mengatur tentang kapal penangkapa ikan baik yang berbendera Indonesia atau berbendera asing yang tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Pasal 94 mengatur tentang pengoperasian kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Pasal 95 mengatur tentang tindakan membangun, mengimpor atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan. Pasal 98 mengatur tentang sanksi pidana bagi nahkoda yang tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar.

2. Penerapan hukum pidana materil terhadap kasus tindak pidanaperikanan dalam putusan nomor 12/Pid.P/2011/PN.MDN sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tetang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 Tentang Perikanan. Berdasarkan fakta-fakta hukum baik keterangan para saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa dan terdakwa dianggap sehat jasmani dan rohani, tidak terdapat gangguan mental sehingga dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya.Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidanaterhadap pelaku dalam Putusan Nomor 12/Pid.P/2011/PN.MDN telah sesuai. Berdasarkan penjabaran keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan alat bukti serta adanya pertimbangan-pertimbangan yuridis, pertimbangan-pertimbangan-pertimbangan-pertimbangan non-yuridis, hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan terdakwa, serta memperhatikan undang-undang yang berkaitan yang diperkuat dengan keyakinan hakim.

B.Saran

1. Perlu dalam penjatuhan sanksi aparat penegak hukum (Jaksa Penuntut Umum dan Hakim) lebih mempertimbangkan efek jera bagi si pelaku dan mencegah orang lain atau siapa saja untuk melakukan tindak pidana perikanan sehingga mungkin dalam tuntutannya menuntut sanksi yang maksimal, dan menjatuhkan putusan yang semaksimal mungkin. Hal ini diharapkan dapat meminimalisir tindak pidana di bidang perikanan.

2. Perlu ada tindakan dari aparat hukum atau instansi terkait yang lebih berperan pada pencegahan sebelum tindak pidana itu dilakukan. Misalnya, dengan seringnya mengadakan penyuluhan atau seminar kepada masyarakat tentang pengertian hukum serta konsekuensi yang didapatkan apabila melanggar hukum dan Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah lebih menggalakakn Patroli dan pengawasan di Perairan wilayah Indonesia sehingga penanganan tindak pidana perikanan dan kedaulatan yurisdiksi Indonesia di laut dapat ditegakkan.

BAB II

TINDAK PIDANA PERIKANAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A. Landasan Hukum Terhadap Penegakan Hukum di Perairan Indonesia

Status negara kepulauan yang diperoleh Indonesia sejak adanya Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 yang diberi landasan bentuk hukum dengan Undang-Undang Nomor. 4 Prp Tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor. 6 Tahun 1996. Demikian juga dengan diratifikasinya UNCLOS 1982, semakin membuktikan bahwa status NKRI telah diterima dan diakui dunia Internasional dengan segala konsekuensinya.49

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia mengatur tentang kedaulatan, yurisdiksi, hak dan kewajiban serta kegiatan di perairan Indonesia dalam rangka pembangunan nasional berdasarkan wawasan nusantara, maka penegakan kedaulatan dan penegakan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan menurut ketentuan Konvensi dan ketentuan hukum internasional lainnya serta peraturan hukum nasional atau undang-undang yang berlaku.50

1. Landasan Hukum Penegakan Hukum di Laut

50

Pasal 24 ayat (2) UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia menyebutkan Yurisdiksi dalam penegakan kedaulatan dan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan konvensi hukum internasional dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Di Indonesia landasan hukum dalam penegakan hukum dilaut, yaitu hukum nasional dan hukum internasional. Hukum nasional terdiri atas produk hukum peninggalan jaman Pemerintahan Hindia Belanda dan hukum laut produk hukum nasional. Berdasarkan Pasal I aturan peralihan UUD Tahun 1945, bahwa peraturan–peraturan produk Hindia Belanda masih berlaku sepanjang belum dibuat penggantinya yang baru.51

1. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1962 Tentang Lalu Lintas Kapal Asing dalam Perairan Indonesia;

Satu-satunya produk hukum Pemerintahan Hindia Belanda yang masih berlaku hingga saat ini adalah Ordonansi 1939.Pasal 13 ordonansi tersebut menyatakan penyelenggaraan penegakan hukum di laut pada dasarnya dilakukan dibawah satu instansi yaitu Angkatan Laut dimana KSAL adalah sebagai penanggung jawabnya. Dalam hal ini KSAL membawahi Perwira AL, Pandu-pandu laut, Syahbandar, dan pegawai-pegawai semacam itu serta orang-orang yang ditunjuk untuk kepentingan tersebut.

Sedangkan landasan hukum yang merupakan produk hukum nasional yang berkaitan dengan bidang pelayaran yaitu:

2. Pengumuman Pemerintah RI 17 Februari 1969 Tentang Landasan Kontinen Indonesia.

3. Surat Keputusan Men/ Pangal 23 September 1961 Tentang Penunjukan Pejabat-Pejabat yang Diberi Wewenang untuk Mengadakan Penyidikan terhadap Kejahatan di Laut;

51Pasal I Aturan Peralihan UUD Negara RI Tahun 1945 menyebutkan: segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.

4. Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep. 056 /D.A/7/1969 Tentang Penyelesaian Perkara-Perkara Tindak Pidana yang Menyangkut Perairan Indonesia;

5. Surat Keputusan Pangal No. 5810.3 Tahun 1969 Tentang Penunjukan Pejabat-Pejabatdi Lingkungan ALRI untuk melaksanakan wewenang Pangal dalam menyelesaikan perkara-perkara Tindak Pidana yang menyangkut perairan Indonesia;

6. Kep. Menhankam/ Pangab. No. Inst.B/92/1969/Tentang Pengamanan Pelabuhan di Wilayah RI;

7. Keppres RI Nomor 6 Tahun 1971 Tentang Wewenang Pemberian Izin Berlayar bagi segala kegiatan kerderaan asing dalam wilayah Perairan Indonesia;

8. Kep. Menhankam/ Pangab. No.Kep/17/IV/75 Tentang Penetapan Alur Pelayaran Kusus bagi Kapal-kapal Penanggkap ikan asing;

9. Surat Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep/009/DA/12/71 Tentang Pendelegasian wewenang penyelesaian perkara–perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia;

10.Instruksi Jakasa Agung RI No. Inst.006/DA/12/72 Tentang Jumlah dan Cara-cara Penetapan Serta Penyetoran Densa Damai;

11. Surat Keputusan Bersama Antara Menhankam Pangab, Menhub, Menkeh, Jaksa Agung No. Kep/B/45/XII/75, SK/901/B/1972, Kep/779/12/1972, JS.B/72/1 dan Kep/085/JA/12/1972 Tentang Pembentukan Bakormala.

Mengingat sumber daya ikan yang dimiliki Indonesia cukup banyak diwilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan-peraturan pokok yang mengatur perikanan Indonesia:

1. Undang-Undang No.5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara 1983 No. 44)

2. Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara 1984 No.23)

3. Undang-Unadng No. 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan Yang Diganti Dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Dan Disempurnakan Lagi Dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009.

4. Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1990 Tentang Usaha Perikanan (Lembaran Negara 1990 No. 19)

5. Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing Sepanjang Yang Berkaitan Dengan Join Ventura Bidang Perikanan.

6. Beberapa surat Keputusan Menteri, diantaranya adalah:52

a. SK Menteri Pertanian No. 475/Kpts/IK.120/7/1985 Tentang Perizinan Bagi Orang Asing Untuk Menangkap Ikan di ZEEI Tanggal 1 Juli 1985.SK Menteri Pertanian No. 476/Kpts/IK.120/7/1985 Tentang Penetapan Tempat Melapor Bagi Kapal Perikanan Asing Yang Mendapat Izin Penangkapan Ikan di ZEEI Tanggal 1 Juli 1985

52 Chairul Anwar, ZEE Di Dalam Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm 167-168

b. SK Menteri Pertanian No. 477/Kpts/IK.120/7/1985 Tentang Pungutan Perikanan Yang Dikenakan Kepada Orang atau Badan Hukum Asing Yang Melakukan Penangkapan Ikan di ZEEI Tanggal 1 Juli 1985 c. SK Menteri Pertanian No. 277/Kpts/IK.120/5/1987 Tentang Perizinan

Usaha Di Bidang Penangkapan Ikan di Perairan Indonesia dan ZEEI Tanggal 6 Mei 1987.

d. SK Menteri Pertanian No. 417/Kpts/IK.250/6/1988 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di ZEEI Tanggal 23 Juni 1989

e. SK Menteri Pertanian No. 477/Kpts/IK.120/7/1988 Tentang Perubahan Besarnya Pungutan Penangkapan Ikan Bagi Orang Atau Bdan Hukum Asing Yang Melakukan Penangkapan Ikan di ZEEI Tanggal 16 Juli 1988

f. SK Menteri Pertanian No. 900/Kpts/IK.250/12/1985 Tentang Kewajiban Mengekspor atau Menjual di dalam Negeri Ikan Hasil Tangkapan Kapal Perikanan Asing Tanggal 16 Desember 1988

g. SK Menteri Pertanian No. 816/Kpts/IK.120/11/1990 Tentang Tentang Penggunaan Kapal Perikanan Bebendera Asing Dengan Cara Sewa Untuk Menangkap Ikan di ZEEI Tanggal 1 November 1990

h. SK Menteri Pertanian No. 47A/Kpts/IK.250/6/1985 Tentang Jumlah Tanggkapan Ikan Yang Dipebolehkan di ZEEI

i. SK Menteri Pertanian No. 815/Kpts/IK.120/11/1990 Tentang Tentang Perizinan Usaha Perikanan.53

j. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. PER.03/MEN/2009 Tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas.

B.Tindak Pidana Perikanan Sebagai Salah Satu Bentuk Tindak Pidana Kelautan.

Tindak pidana perikanan merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang marak terjadi di perairan Indonesia. Lebih jelasnya berbagai tindak pidana dibidang perairan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pelanggaran Wilayah54

Kejahatan di sektor kelautan dan perikanan adalah sebuah kejahatan yang saling berkaitan dengan kejahatan lain, kejahatan perikanan transnasional yang merupakan kejahatan terorganisir, kejahatan di sektor kelautan dan perikanan kerap disebut juga kejahatan transnasional karena beberapa alasan, yaitu sering melibatkan lebih dari satu negara, mempengaruhi jumlah stok ikan di global karena tidak bertanggung jawab dan menggunakan metode penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan dan juga biasanya beroperasi di bawah instruksi, kontrol, ilmu atau untuk sebuah perusahaan yang berada di negara lain.55

53 Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 28.

54Pelanggaran wilayah adalah: penyalahgunaan atau mengeksploitasi di suatu lingkup wilayah dimana suatu negara tidak memiliki hak atau berada diluar batas negaranya sehingga melanggar batas wilayah negara lain. (lihat:http:// brainly.co.id/tugas/212887)

55

http://kkp.go.id/index.php/berita

Instansi pertama yang berwenang dan bertanggung jawab melakukan pengamanan wilayah laut, yang semula berdasar UU No. 2 Drt 1949 Berada di tangan KASAL, Kemudian berdasarkan Keppres No. 7 Tahun 1974 beralih ketangan Menhankam /Pangab. Berdasarkan Skep/B/371/V/1972 Menhankam Pangab telah menunjuk pejabat-pejabat untuk melaksanakan wewenang Menhankam/Pangab, Menhub, Menkeu, Jaksa Agung No. Kep/B.45/XII/1972; SK/901/B/1972, Kep/779/12/1972, JS.B/72/1 dan Kep/085/JA/12/1972 tanggal 19 Desember 1972 dibentuk Badan Kordinasi Keamanan Laut (Bakormala) dan komando.Pelaksanaan bersama keamanan di laut, sebagai usaha peneingkatan keamanan di laut.

2. Pencurian Ikan56

Berdasarkan UU No.4/Prp/1960 Tentang Perairan, Indonesia berdaulat penuh atas kekayaan alamnya di perairan Indonesia.Ketentuan tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 5 PP No. 8 Tahun 1962 mengharuskan kendaraan air penangkap ikan selama ada atau melintas laut wilayah dan perairan pedalaman Indonesia, dan kapal-kapal penangkap ikan asing diharuskan berlayar melalui alur-alur yang telah ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan Kep.Menhankam/Pangab Nomor Kep/17/IV/1975. Selanjutnya dengan ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1983 , Indonesia memiliki hak berdaulat atas kekayaan alamnya dalam hal ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yaitu diluar laut teritorial

56Menurut Divera Wicaksono, pencurian ikan adalah “tindak pidana penangkapan ikan secara ilegal atau yang dikenal dengan illegal fishing adalah memakai Surat Penangkapan Ikan (SPI) palsu, tidak dilengkapi dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), isi dokumen tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap jenis dan ukurn ikan yang dilarang. (Lihat: Divera Wicaksono, Menutup Celah Pencurian Ikan, Yayasan Penerbit Nusantara, Jakarta, 2011, hlm. 18).

yaitu 200 mil yang diukur dari garis pangkal laut teritorial. Di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEEI), negara lain tidak boleh melakukan penangkapan ikan yang dijamin dengan Hukum Laut Internasional atau berdasarkan Pasal 5 UU No. Tahun 1983 terhadap sisa penangkapan yang diperbolehkan.Terhadap pelanggar ketentuan ini dapat dituntut pidana terhadap orang-orangnya serta penyitaan kapal oleh pihak Kejaksaan Pengadilan Negeri Setempat.

3. Pemberantasan Pembajakan57

Ketentuan yang mengatur pemberantasan pembajakan yang terjadi di lautdalam ordonansi 1939 pasl 14 menyebutkan beberapa pasal KUHP yang mengatur mengenai kejahatan pembajakan yang terjadi di laut, yaitu pasal 483 sampai dengan pasal 451. Dalam pasal-pasal ini membedakan empat macam jenis pembajakan menurut tempat diman kejahtan terjadi, yaitu pembajakn di laut, pembajakan di tepi laut, pembajakn di tepi pantai dan pembajakan di sungai.Ordonansi ini masih dalam pengertian hukum laut tradisional, oleh karena itu pengaturan dalam pasal-pasal tersebut belum dapat menampung permasalahan hukum di bidang pemberantasan penyeludupan di perairan Indonesia dengan konsepsi negara menurut UU No. 4/Prp/1960. Selain itu juga ditemukan dalam UU No.19 Tahun 1961 Tentang Persetujuan tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958,

Dokumen terkait