Berisi kesimpulan dan saran yang sudah diperoleh dari hasil penulisan tugas akhir.
BAB II
TINJ AUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas teori tentang konsep bisnis ritel, minimarket, peningkatan standar pelayanan, perilaku konsumen, data mining, pengelompokan data mining, association rules, dan algoritma apriori. Aspek tersebut akan dijelaskan satu per satu oleh peneliti dalam sub bab berikut.
2.1 Konsep Bisnis Ritel
Kata “ritel” berasal dari kata kerja dalam bahasa perancis : retailer yang berarti “to cut of (bahasa inggris)” atau memotong. Bisnis ritel adalah aktivitas bisnis yang menjual jasa dan barang-barang ke konsumen untuk kegunaan pribadi, keluarga, atau konsumsi rumah tangga. Bisnis ritel atau eceran merupakan tahap terakhir dalam suatu rantai saluran distribusi, dimana para pengusaha dan masyarakat terlibat dalam perpindahan fisik dan kepemilikan jasa serta barang dari produsen ke konsumen. Pedagang ritel seringkali berperan sebagai pihak penghubung antara pabrik, tengkulak, dan konsumen. Konsep ritel adalah dengan memborong berbagai jenis barang dalam jumlah yang banyak dan menjualnya dalam jumlah yang kecil. Kita dapat mendefenisikan bisnis ritel sebagai suatu industri yang luas, cepat, dan menyediakan suatu keanekaragaman dalam karakter dan ukuran bisnis yang jarang ditemui di sektor industri yang lain.
Adapun jenis bisnis ritel secara umum meliputi gerai tradisional seperti warung dan toko tradisional dan gerai modern seperti minimarket dan
supermarket. Perbedaan antara gerai tradisional dan gerai modern terletak pada tata ruang gerai, teknologi informasi, dan pelayanan.
Gambar 2.1 berikut merupakan mata rantai dari alur distribusi barang dari produsen sampai kepada konsumen.
Gambar 2.1. Rantai perdagangan ritel
Dari rantai perdagangan pada gambar 2.1, dapat disimpulkan bahwa bisnis ritel berperan sebagai perantara perdagangan yang memiliki ketergantungan pasokan barang dan jasa kepada produsen/ pemasok.
Gambar 2.2. Penerapan Konsep Ritel (Evans & Berman, 2004) PRODUSEN
DISTRIBUTOR SUB DISTRIBUTOR
PENGUSAHA RITEL KONSUMEN Customer Orientation Coordinated Effort Value Driven Goal Orientation Retailing
Pada gambar 2.2, terdapat 4 prinsip dalam konsep bisnis ritel yang perlu diperhatikan dan diterapkan oleh para pedagang ritel (Joel R Evans, Barry Berman, 2004)”. Prinsip tersebut dijabarkan sebagai berikut :
a. Customer Orientation (berorientasi kepada konsumen), pedagang ritel
menentukan atribut dan kebutuhan konsumen dan berusaha untuk memuaskan kebutuhan tersebut sampai pada titik terpenuh.
b. Coordinated Effort (Usaha yang terkoordinir), pedagang ritel
mengintegrasikan semua aktivitas dan rencana demi memaksimalkan efisiensi.
c. Value-Driven (Harga yang terkendali), pedagang ritel menawarkan
harga yang baik kepada konsumen, apakah itu berupa promosi paket penjualan yang murah ataupun diskon harga barang.
d. Goal Orientation (berorientasi pada target), pedagang ritel menetapkan
target dan kemudian membentuk strategi untuk mencapainya.
Konsep ritel cukup mudah untuk diadopsi, yaitu dengan cara berkomunikasi dengan pembeli dan melihat keinginan mereka sebagai kepentingan bagi keberhasilan perusahaan, memiliki strategi yang konsisten (seperti menawarkan merek-merek desainer, jumlah pegawai yang cukup, tampilan menarik, dan harga yang lebih murah dari toko kelas atas), harga penawaran yang dianggap "adil" oleh pelanggan, serta bekerja untuk mencapai target yang berarti, spesifik, dan terjangkau. Bagaimanapun, konsep ritel hanya sebagai panduan strategi yang tidak berkaitan langsung dengan kemampuan
internal perusahaan atau keuntungan kompetitif, tetapi menawarkan kerangka perencanaan jangka panjang yang luas.
Satu cara untuk melihat perbedaan di antara jenis pedagang ritel adalah dengan melihat struktur organisasi dalam hal kepemilikan dan kendali. Kebanyakan organisasi ritel dapat dibagi ke dalam 4 kategori : pedagang ritel mandiri, pedagang ritel dalam grup yang kecil, pedagang ritel dalam grup yang besar, dan pedagang ritel konglomerat. Bentuk lain dari kepemilikan bisnis ritel meliputi Franchise (Waralaba), Dealership (Penyaluran), dan Network Marketing (Pemasaran lewat jaringan).
Pedagang ritel mandiri adalah organisasi ritel dalam ukuran kecil yang dimiliki dan diatur oleh perseorangan, dengan jaringan kurang dari 10 toko cabang. Pedagang ritel mandiri biasanya dijalankan oleh seorang wirausahawan yang memilih untuk bekerja untuk diri mereka sendiri, dan akan rentan terhadap kondisi perdagangan yang kurang baik karena mereka tidak memiliki dukungan dana dari organisasi yang besar. Pedagang ritel dalam grup kecil memiliki gerai toko berjumlah sekitar 10 – 50 toko cabang, sedangkan pedagang ritel dalam grup besar memiliki toko berjumlah sekitar 50 – 100 toko.
Sebagaimana bisnis ritel yang semakin meningkat dan membentuk perusahaan yang kuat, terdapat pertumbuhan jumlah pada aktivitas keuangan terorganisir dalam hal penggabungan (mergers), pengambil-alihan (takeovers), persekutuan (alliances) dan usaha patungan (joint ventures). Dalam banyak kesempatan, beberapa perusahaan digabungkan ke dalam satu merek perusahaan ritel, namun di pihak lainnya, beberapa perusahaan ritel dengan merek yang
berbeda dimiliki sebuah perusahaaan induk dengan identitas yang berbeda, yang membentuk sebuah konglomerat perusahaan ritel.
Terlepas dari ukuran besar toko dan jenis ritel yang digeluti, pedagang ritel perlu menerapkan 6 langkah perencanaan strategi sebagai berikut :
a. Menggambarkan jenis bisnis dalam hal kategori barang atau jasa serta tujuan spesifik perusahaan (seperti pelayanan yang penuh atau tanpa ada embel-embel)
b. Tetapkan tujuan jangka panjang dan jangka pendek untuk laba dan penjualan, penguasaan pasar, gambaran atau profil perusahaan, dan lain-lain.
c. Menetapkan target pasar pelanggan berdasarkan karasteristik (seperti jenis kelamin dan tingkat pendapatan) dan kebutuhan (seperti pilihan merek dan produk)
d. Memikirkan keseluruhan rencana panjang yang memberikan arahan secara umum kepada perusahaan dan karyawannya.
e. Menerapkan suatu strategi yang terintegrasi, yang mengombinasikan beberapa faktor seperti lokasi gudang, penyortiran jenis produk, penetapan harga, iklan, dan tampilan luar untuk mencapai target. f. Mengevaluasi pencapaian secara teratur dan mengoreksi kelemahan
atau permasalahan jika ditemukan.
2.1.1 Minimarket
Salah satu model bisnis ritel yang berkembang pesat pada saat ini adalah minimarket. Minimarket merupakan salah satu jenis toko ritel yang hanya
memiliki satu atau dua mesin kasir, dan hanya menjual berbagai jenis produk kebutuhan dasar rumah tangga (Basic necessities). Muncul dan menjamurnya minimarket saat ini dikarenakan perubahan orientasi berbelanja masyarakat, yang dulunya berorientasi pada harga murah, sekarang mulai memperhatikan aspek pelayanan, kenyamanan, dan keamanan dalam berbelanja. Di samping faktor kenyamanan, minimarket memiliki citra harga yang lebih murah, pelayanan yang ramah, kelengkapan jenis dan kualitas barang yang lebih baik, serta memberikan kemudahan bagi konsumen dalam memilih dan menentukan barang yang diinginkan. Selain itu, harga barang yang sudah pasti (fixed cost) sehingga tidak perlu ada kegiatan tawar menawar lagi, dan lokasi toko yang tersebar serta mudah ditemui, menjadi alasan bagi konsumen memilih minimarket sebagai tempat berbelanja untuk menghemat waktu dan tenaga (Harmaizar, dkk, 2006).
Secara kepemilikan, Minimarket dapat dimiliki oleh perorangan maupun secara kongsi. Karena itu, supplier akan sering berhadapan langsung dengan pemiliknya, meskipun pada kondisi tertentu dilayani oleh karyawan atau staf pembeliannya. Minimarket bisa berupa tunggal atau jejaring, dan biasanya berupa toko serba ada yang ukuran gedungnya dan luas tanahnya tidak lebih dari 20 × 20 meter. Karena ruangnya terbatas, isi barang dalam minimarket selalu tampak minimal, dimana setiap item produk hanya ditampilkan 3 unit saja (Frans M. Royan, 2009).
Perbedaan yang paling jelas diantara toko tradisional dengan minimarket ada dalam model pelayanan, bentuk toko, dan aspek kenyamanan. Di warung atau toko tradisional, konsumen masih harus menanyakan harga atas suatu barang yang akan dibeli. Sedangkan pada barang yang dijual di minimarket sudah tertera harga
yang tetap, sehingga konsumen dapat menghemat waktu dan tenaga dalam kegiatan belanja. Hal ini juga berdampak pada kegiatan transaksi oleh konsumen, barang yang dibeli bukan sekedar barang yang dibutuhkan tetapi juga diinginkan, sesuai dengan kemampuan atau daya beli konsumen. Dengan demikian, perlu perubahan orientasi agar warung dan toko tradisional mampu bersaing dengan minimarket modern, yaitu dengan menjadi minimarket mandiri.
Kita juga harus membedakan konteks kata kebutuhan dan keinginan dalam bisnis ritel. Kebutuhan konsumen akan suatu jenis barang bisa saja dicatat dan direncanakan ketika konsumen masih di rumah, tetapi keinginan membeli barang yang tidak direncanakan bisa saja secara tiba-tiba muncul ketika konsumen melihat suatu barang. Sehingga dapat kita simpulkan, transaksi pembelian yang dilakukan oleh konsumen di minimarket tidak hanya berdasarkan kebutuhan, tetapi juga berdasarkan keinginan. Karena itu, demi meningkatkan volume dan hasil keuntungan penjualan, pengusaha minimarket perlu menyediakan variasi layanan jasa dan produk dalam berbagai jenis, merek, serta ukuran.
2.1.2 Peningkatan Standar Pelayanan
Dalam rangka memberikan pelayanan kepada pelanggan, minimarket perlu menetapkan standar pelayanan. Standar pelayanan adalah ukuran pelayanan yang baik sebagai suatu proses yang harus dilakukan dalam melayani kebutuhan dan keinginan konsumen (Hartono, 2007).
Adapun standar pelayanan dalam fasilitas sebagai faktor penunjang kenyamanan yang dimaksud adalah sebagai berikut :
b. Peralatan dan perlengkapan minimarket yang memadai. c. Tata ruang yang enak dipandang dan tersusun rapi. d. Tempat parkir luas dan nyaman.
e. Pegawai yang berpenampilan menarik, ramah dan murah senyum.
f. Keanekaragaman dan kelengkapan jenis produk yang ditawarkan kepada pelanggan.
2.1.3 Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen dapat diartikan sebagai tindakan langsung yang terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusul tindakan tersebut (James F. Engel, 1994). Keseluruhan konsumen adalah konsumen yang berpotensi dalam bisnis ritel, dimana para pengusaha ritel sepantasnya menganalisa dan mengenali kelompok konsumen yang mungkin menjadi konsumen atau pelanggan tetap bagi toko mereka. Sebagai contoh, kelompok masyarakat tersebut dapat digambarkan dalam lokasi geografis mereka, atau dapat dikelompokkan berdasarkan kebutuhan akan jasa maupun produk tertentu. Pertanyaan yang mungkin dapat dianalisis oleh pengusaha ritel berupa : “siapa mereka ?”, “dimana mereka tinggal ?”, “apa yang mereka butuhkan ?”, “apa jenis produk yang mereka sukai ?”, “berapa kisaran usia mereka ?”, “berapa banyak yang dapat mereka belanjakan ?”, “bagaimana cara berbelanja yang mereka sukai ?” (Retail Management Self-Learning Manual).
Saat ini persepsi masyarakat terhadap belanja telah mengalami perubahan signifikan, yakni yang dulunya hanya dilihat dari perspektif fungsionalitasnya,
sekarang telah berperan secara emosional. Konsumen merupakan titik sentral dan barometer bagi pengusaha dalam menentukan kebijakan atau strategi pemasaran pada usaha ritel. Oleh karena itu, industri ritel dituntut agar dapat menciptakan gerai multiformat untuk menangkap seluruh peluang pasar.
Adapun perilaku konsumen dalam bisnis ritel dapat dibagi ke dalam tujuh kategori yang saling berkaitan (Peter & Olson, 1999), yaitu : kontak informasi (information contact), akses dana (fund access), kontak toko (store contact), kontak pada produk (product contact), transaksi (transaction), konsumsi (consumption), dan komunikasi (communication). Aspek kenyamanan dalam toko retail yang menjadi kriteria konsumen dalam memilih tempat berbelanja dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu :
a. Store Image, berkaitan dengan penempatan lokasi, arsitektur,
penempatan logo dan pintu masuk, serta etalase.
b. Store Athmospherics, berkaitan dengan keseluruhan efek emosional
yang diciptakan oleh atribut fisik toko seperti penampilan visual, suara musik, dan aroma ruangan yang menarik.
c. Store Teatrics, berkaitan dengan tema ruangan yang menarik dan
memberikan suasana rekreasi yang spesial bagi konsumen.
Dengan menganalisa perilaku konsumen pada umumnya secara berkala, maka pengusaha ritel dapat menentukan strategi dan arah kebijakan yang tepat dalam perusahaannya. Strategi dan arah kebijakan pengusaha akan berpengaruh pada tingkat kepuasan dan frekuensi belanja konsumen.
2.2 Data Mining
Seiring dengan perkembangan teknologi, kemampuan manusia dalam mengumpulkan dan mengolah data juga mengalami kemajuan. Data mining dapat diartikan sebagai suatu proses ekstraksi informasi yang berguna dan potensial dari sekumpulan data yang secara implisit terdapat dalam suatu database. Informasi yang ditemukan ini selanjutnya dapat diterapkan untuk aplikasi manajemen, melakukan query processing, pengambilan keputusan, dan lain-lain.
Gambar 2.3 merupakan gambaran proses evolusi dari basis data mulai dari tahap pembuatannya pada tahun 1960 sampai dengan saat ini.
Gambar 2.3. Evolusi teknologi basis data (Jiawei Han & Micheline Kamber, 2000)
Pengumpulan data dan pembuatan basis data (1960’an) - pemrosesan file primitif
Sistem manajemen database (1970’an) -sistem jaringan dan dan basis data yang berhubungan
-peralatan pemodelan data
- teknik pengindeksan dan pengelompokan data - bahasa dan pemrosesan kueri
- hubungan antar-muka dengan pengguna - metode optimalisasi
- On-Line Transaction Processing (OLTP)
Sistem basis data lanjutan (pertengahan 1980 - sekarang)
- Model data lanjutan - Aplikasi terorientasi
Pergudangan data (data warehousing) dan data mining (Akhir 1980’an - sekarang) - Teknologi data warehouse dan OLAP - Data mining dan penemuan pengetahuan
Generasi baru dalam sistem informasi (2000 - ….)
Data mining dapat dipandang sebagai sebuah hasil evolusi alami dari teknologi informasi (gambar 2.3). Sebuah alur evolusi dapat disaksikan pada perkembangan kemampuan industri database dalam hal pengumpulan data (data
collection) dan pembuatan basis data (database creation), manajemen data (data management), serta analisis dan pemahaman data (data analysis and understanding).
Gambar 2.4. Knowledge Discovery in Databases atau Data mining sebagai sebuah proses dalam penemuan pengetahuan (Jiawei Han & Micheline Kamber, 2000)
Menurut Jiawei Han dan Micheline Kamber (Data Mining : Concept and Techniques, 2000), data mining dalam perannya sebagai proses penemuan pengetahuan memiliki langkah terurut (Gambar 2.4) sebagai berikut :
a. Data Cleaning (untuk menghilangkan data yang kabur atau noise dan tidak relevan)
b. Data Integration (dimana sumber data yang banyak dapat digabungkan)
c. Data Selection (dimana data yang relevan terhadap proses analisis dikembalikan dari basis data)
d. Data Transformation (dimana data diubah atau diperkuat ke dalam format yang sesuai untuk penggalian data dengan membuat ringkasan atau pengumpulan data)
e. Data Mining (sebuah proses yang penting dimana metode pintar diterapkan dengan tujuan untuk menyaring pola data)
f. Pattern Evaluation (untuk mengenali pola menarik yang menyajikan
pengetahuan berdasarkan beberapa tolak ukur ketertarikan)
g. Knowledge Presentation (dimana visualisasi dan teknik penyajian
pengetahuan dipergunakan untuk menghasilkan pengetahuan tergali bagi user).
Dewasa ini, data mining sering dipergunakan oleh berbagai jenis perusahaan untuk mendapatkan informasi yang berharga dari gudang data mereka. Hal ini dikarenakan data mining dapat menghasilkan gambaran nyata tentang tren dan sifat-sifat perilaku bisnis yang sangat berguna untuk mengambil keputusan penting, berupa strategi dan kebijakan yang berdampak positif bagi pertumbuhan suatu perusahaan. Data mining mengekplorasi basis data untuk menentukan pola-pola yang tersembunyi, mencari informasi sebagai dasar untuk memprediksi perilaku para pengusaha dan konsumen secara umum.
Data mining merupakan analisis dari peninjauan kumpulan data untuk menemukan hubungan yang tidak diduga dan meringkas data dengan cara yang berbeda dengan sebelumnya, yang dapat dipahami dan bermanfaat bagi pemilik data (Daniel T. Larose, 2005).
Perkembangan teknologi informasi yang pesat menimbulkan dampak yang cukup besar dalam hal pengumpulan dan akumulasi data. Tanpa manajemen data yang baik, akan tercipta suatu kondisi yang sering disebut sebagai “rich of data
but poor of information” (Jiawei Han dan Micheline Kamber, 2000), yaitu kondisi
dimana data yang terkumpul dalam suatu basis data hanya dibiarkan begitu saja dan tidak dipergunakan dengan baik untuk menciptakan suatu aplikasi yang bermanfaat dalam memperoleh informasi yang berharga. Gambar 2.5 berikut merupakan gambaran dimana terjadi kondisi “rich of data but poor of information”.
Gambar 2.5. Kondisi “rich of data but poor of information” (Jiawei Han & Micheline Kamber, 2000)
Data mining adalah suatu proses untuk menguraikan penemuan pengetahuan di dalam database untuk melihat keterkaitan penjualan antar item, dengan menggunakan statistik, matematika, dan kecerdasan buatan yang terkait dengan basis data yang besar. Data mining merupakan konsep utama dalam kecerdasan bisnis (business intelligent) serta pemrosesan analisis secara online (online analytical processing). Data mining memiliki banyak model algoritma yang dapat diterapkan dalam proses bisnis, sebagai metode efektif untuk mencapai nilai positif dalam peningkatan kinerja proses dan keuntungan.
Pada saat ini, data dapat disimpan ke dalam beberapa jenis basis data. Salah satu arsitektur basis data yang muncul adalah gudang data (Data
Warehouse), yaitu sebuah tempat penyimpanan dari suatu sumber data heterogen,
yang terorganisir di bawah sebuah skema gabungan pada lokasi tunggal dengan tujuan mempermudah manajemen dalam pengambilan keputusan (Jiawei Han & Micheline Kamber, 2000).
Arsitektur dari suatu sistem basis data tertentu memiliki komponen utama sebagai berikut (Jiawei Han & Micheline Kamber, 2000) :
a. Basis data (database), gudang data (data warehouse), atau tempat penyimpanan informasi (information repository). Komponen ini memungkinkan adanya penggabungan dan pembersihan pada data. b. Basis data, atau server gudang data. Komponen ini bertanggung jawab
dalam pengambilan data yang relevan, berdasarkan permintaan user. c. Basis pengetahuan (knowledge base), merupakan daerah pengetahuan
d. Mesin data mining (data mining engine), merupakan hal yang penting dalam sistem data mining dan biasanya terdiri atas sejumlah modul fungsional yakni dalam karakterisasi (characterization), analisis asosiasi (association analysis), klasifikasi (classification), analisis penyimpangan dan evolusi (evolution and deviation analysis).
e. Modul evaluasi pola (pattern evaluation module). Komponen ini secara khusus mengerjakan ukuran ketertarikan (interestingness
measures) dan berhubungan dengan modul data mining agar
memusatkan pencarian ke arah pola yang menarik. Modul evaluasi pola dapat digabungkan dengan modul penggalian (mining), tergantung pada implementasi metode data mining yang digunakan.
f. Grafis hubungan antar muka (graphical user interface). Modul ini memperbolehkan user untuk berinteraksi langsung dengan sistem data mining, menyediakan informasi pengarah dalam pencarian, dan melakukan penjelajahan data.
2.2.1 Pengelompokan Data Mining
Data mining dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori berdasarkan tugas dan fungsinya, yaitu : Deskripsi (Description), Estimasi (Estimation), Prediksi (Prediction), Klasifikasi (Classification), Klasterisasi (Clustering), dan Asosiasi (Association) (Daniel T. Larose, 2006).
Klasifikasi adalah proses dalam menemukan sejumlah model atau fungsi yang menguraikan dan mengelompokkan kelas-kelas data atau konsep, dengan tujuan agar mampu menggunakan model tersebut untuk meramalkan kelas dari
objek, dimana label kelas tidak dikenali. Model yang diperoleh dapat diwakilkan dalam beberapa bentuk, seperti aturan klasifikasi (classification rules : if - then), pohon keputusan (decision tree), rumus matematika (mathematical formulae), atau jaringan syaraf tiruan (neural networks).
Klasifikasi dapat digunakan untuk menemukan label kelas dari data objek. Bagaimanapun, dalam sejumlah aplikasi, ada sebuah kemungkinan dimana seseorang lebih memilih untuk meramalkan nilai data yang hilang daripada mencari label kelas. Biasanya pada kasus ini, nilai yang diramalkan adalah data berupa angka secara terperinci disebut dengan prediksi (prediction).
Berbeda dengan klasifikasi dan prediksi, yang menganalisis label kelas pada data, klasterisasi menganalisis objek data tanpa berhubungan dengan suatu label kelas yang dikenal. Objek-objek dikelompokkan berdasarkan prinsip dalam memaksimalkan persamaan dalam kelas (intraclass) dan meminimalkan persamaan antar kelas (interclass). Karena itu, klaster dari objek dibentuk agar sebuah objek di dalam sebuah klaster memiliki persamaan yang tinggi dengan objek lainnya, tetapi akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan objek dalam klaster lainnya. Setiap kluster yang terbentuk dapat juga kita defenisikan sebagai kelas dari objek-objek.
Analisis asosiasi adalah salah satu teknik data mining untuk menemukan aturan asosiatif (associative rules) antara suatu kombinasi item dalam suatu basis data relasional. Karena kegunaannya secara luas dapat dipergunakan untuk kepentingan bisnis dan menganalisa data transaksi, analisis asosiasi sering juga disebut dengan Market Basket Analysis (Michael J.A Berry & Gordon S. Linoff, 2004).
2.2.2 Association rules
Association rules (aturan asosiasi) merupakan salah satu dari pengetahuan
yang paling penting dalam data mining yang dapat diartikan sebagai hubungan dan ketergantungan antara sejumlah item (itemsets) dengan menentukan nilai
support dan confidence pada basis data. Aturan asosiasi ingin memberikan
informasi tersebut dalam bentuk hubungan “if-then” atau “jika-maka”.
Penting tidaknya suatu aturan assosiatif dapat diketahui dengan dua parameter, support (nilai penunjang) yaitu prosentase kombinasi item tersebut dalam database, dan confidence (nilai kepastian) yaitu kuatnya hubungan antar item dalam aturan assosiatif. Dalam bidang ekonomi, aturan asosiatif telah dipergunakan secara luas dalam mengukur pola konsumsi pelanggan berdasarkan data keranjang belanja (Market basket data), sehingga sering disebut juga dengan analisa keranjang belanja (Market basket analysis). Penggalian aturan asosiatif (associative rules mining) berfungsi untuk menemukan aturan asosiasi yang paling penting dari basis data berukuran besar.
Ada beberapa model aturan asosiasi (association rule) yang sering dipergunakan selama ini, yakni (Jiawei Han & Micheline Kamber, 2000) :
a. Single level association rule, contoh :
komputer software antivirus
b. Multilevel association rule, contoh :
IBM komputer Canon Printer
c. Interdimensional association rule, contoh :
d. Hybrid-dimensional association rule, contoh :
Age (x, 19,..,25), Buys (x, laptop) buys (x, canon printer)
Perbedaan antara interdimensional association rule dan
hybrid-dimensional association rule terdapat pada pengulangan predikat pada sebuah rule, dimana interdimensional tidak memperbolehkan sementara hybrid-dimensional memperbolehkan adanya pengulangan predikat.
Rumus untuk mencari nilai support dan confidence pada suatu item adalah sebagai berikut :
a. Support
Support (A B) = jumlah transaksi mengandung A dan B *100 jumlah total transaksi
b. Confidence
Confidence (A B) = jumlah transaksi mengandung A dan B *100
jumlah total A dalam transaksi
c. Gabungan (Combination) = Support * Confidence
Langkah pertama pada association rule adalah menghasilkan semua
itemset yang memungkinkan dengan kemungkinan itemset yang muncul dengan m-item adalah 2m.
2.2.3 Algoritma Apriori
Di antara jenis-jenis algoritma yang ada dalam penggalian aturan asosiasi (association rules mining), algoritma apriori merupakan algoritma pendahulu
yang pertama kali ditawarkan oleh Rakesh Agrawal pada tahun 1993. Ide utama pada algoritma apriori adalah dengan membaca database secara berulang. Langkah pada algoritma apriori adalah : pertama - mencari frequent itemset dari basis data transaksi, kedua – menghilangkan itemset dengan frekuensi yang rendah berdasarkan level minimum support yang telah ditentukan sebelumnya, dan terakhir - membuat aturan asosiasi (association rule) dari itemset yang memenuhi ketentuan nilai minimum confidence dalam basis data (Agrawal dan Srikant, 1994).
Algoritma apriori merupakan suatu bentuk algoritma dalam data mining yang akan memberikan informasi tentang hubungan antar item dalam database yang dapat dimanfaatkan secara luas dalam proses bisnis khususnya dalam proses