• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan condition assessmentGIS 150 kV Glugur medan.

BAB II

GAS INSULATED SWITCHGEAR ( GIS )

2.1 SEJARAH GIS

GIS yang sekarang telah menggunakan Gas SF6 ( Sulfur Hexafluoride ) sebagai media isolasi, menjadikannya sebagai sebuah teknologi yang maju dan telah banyak dipakai di banyak gardu untuk melayani kebutuhan listrik dimulai tahun 1960. Pada awalnya GIS merupakan sebuah konsep dari “ ruang yang tertutup ” oleh bahan logam pada tahun 1920 dimana minyak digunakan sebagai bahan isolasi di dalamnya. Kemudian pada tahun 1930-an, digunakanlah gas untuk pertama kalinya sebagai media isolasi , dimana Freon merupakan gas pertama yang dipakai saat itu . Dengan munculnya teknologi untuk menghasilkan Gas SF6, maka digunakanlah gas SF6 sebagai media untuk mengisolasi sistem tegangan tinggi pada GIS, yang kemudian mulai diperkenalkan ke pasaran pada tahun 1968 sebagai pemadam busur api dan media isolasi. Tonggak sejarah yang kemudian membuat semakin berkembangnya teknologi GIS adalah pemasangan gardu 550 kV GIS di Kanada dengan kapasitas pemutusan tertinggi yang pernah dicapai senilai 100 kA. Kemudian adanya gardu 765 kV GIS di Afrika Selatan dan bahkan baru – baru ini adanya gardu 1000 kV GIS di Jepang.

Konsistensi dari penelitian, pembangunan, serta upaya yang inovatif membuat teknologi ini berkembang pesat dengan diciptakannya GIS yang bentuk nya semakin terpadu dan dioptimalkan secara keseluruhan. GIS biasanya didesain modular ( dapat dirakit perbagian ) dan sudah diisi dengan SF6 dengan kuantitas yang minimum per bagian ( compartment ). Sejak awal penerapannya, GIS telah

mengalami perkembangan yang sangat pesat, dengan perkiraan 80.000 bay yang ada sekarang dan pertambahannya kemudian diperkirakan mencapai 6.000 bay pertahun. Kunci keberhasilan teknologi GIS adalah dari desainnya yang dibuat semakin terpadu, ketahanan GIS terhadap lingkungan sekitarnya, keandalan, serta mudah dipahami dan didokumentasikan.

Pada saat sekarang ini dimana penilaian terhadap modal sebuah proyek didasarkan pada biaya total dari keseluruhan umur peralatan, menjadikan GIS bisa menjadi solusi yang lebih baik jika dibandingkan dengan AIS ( Air Insulated Switchgear ).

2.2 KOMPONEN - KOMPONEN GIS

GIS memiliki berbagai macam komponen dimana komponen – komponen tersebut memiliki fungsi dan tugas masing – masing dalam kerja GIS . Beberapa komponen umum yang ada pada GIS antara lain adalah :

a. Pemutus Tenaga ( Circuit breaker )

b. Saklar Pemisah ( Disconnecting switch ) c. Saklar Pembumian ( Earthing switch )

d. Trafo arus (Current transformer )

e. Trafo Tegangan (Voltage transformer ) f. Rel Daya (Busbar )

g. Sambungan kabel(Cable connection )

a. Pemutus Tenaga

Adalah alat pemutus arus listrik pada rangkaian yang dibuat untuk melindungi sistem dari kerusakan akibat beban lebih ataupun hubung singkat. Tidak seperti sekering, pemutus tenaga dapat di-set ulang baik secara manual ataupun otomatis untuk mengalirkan arus listrik. Pemutus tenaga dapat digerakkan dengan cara manual ataupun dengan mekanisme penggerak seperti motor, spring, pneumatik dan hidrolik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Pemutus Tenaga pada GIS dengan penggerak motor b. Saklar Pemisah

Adalah alat pengamanan yang digunakan untuk memisahkan peralatan yang ada di gardu dari arus dan tegangan yang ada pada jaringan listrik, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan atau perawatan pada gardu oleh operator dalam keadaan aman, dimana saklar pemisah baru dapat dioperasikan setelah pemutus tenaga pada kondisi terbuka, seperti yang ditunjukkan Gambar 2.2

c. Saklar Pembumian

Adalah alat pengaman yang digunakan untuk membumikan peralatan - peralatan gardu induk selama proses perbaikan atau perawatan sehingga arus sisa yang masih ada di dalam peralatan gardu disalurkan ke bumi untuk menjaga keselamatan operator. Saklar pembumian hanya dapat dioperasikan apabila saklar pemisah sudah dalam kondisi terbuka seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.3 dibawah ini

Gambar 2.3 Saklar pembumian pada GIS d. Trafo Arus

Adalah peralatan yang digunakan untuk mengukur arus pada jaringan listrik gardu dimana Trafo Arus dapat digunakan sebagai peralatan pengukuran maupun proteksi, seperti pada Gambar 2.4

e. Trafo Tegangan

Merupakan peralatan yang digunakan untuk mengukur tegangan pada jaringan listrik gardu dimana Trafo Tegangan dapat digunakan untuk pengukuran dan proteksi serta digunakan sebagai penyuplai tegangan pada peralatan relay proteksi yang ada pada gardu seperti telihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Trafo Tegangan pada GIS f. Rel Daya

Merupakan bagian dari GIS sebagai titik pertemuan atau penghubung dengan transformator – transformator tenaga seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.6.

GIS dapat dibedakan dalam beberapa klasifikasi umum yaitu :

A. Berdasarkan jumlah fasa per tabung, yaitu GIS dengan satu fasa per tabung atau GIS dengan tiga fasa per tabung.

B. Berdasarkan lokasi instalasi, yaitu GIS dengan instalasi indoor atau GIS dengan instalasi outdoor dan GIS bergerak ( mobile ).

C. Berdasarkan jenis penggerak, yaitu penggerak motor,

hydraulic, pneumatic, dan spring.

2.3 DIAGRAM SATU GARIS GARDU INDUK GIS 150Kv GLUGUR

MEDAN

2.4 PARAMETER TERUKUR DARI GIS

Pada GIS terdapat beberapa parameter yang dapat diukur, meliputi kondisi fisik isolasi gas SF6 dan fenomena listrik berupa partial discharge, untuk kondisi fisik isolasi gas SF6 dapat dipengaruhi oleh beberapa hal berikut :

a. Tekanan ( pressure ) b. Kemurnian ( purity ) c. Titik embun ( dew point )

d. Produk hasil dekomposisi ( decomposition product ) e. Suhu lingkungan ( ambient temperature )

a. Tekanan ( pressure )

Tekanan isolasi gas SF6 berkaitan dengan kerapatan partikel gas di dalam kompartemen GIS, dimana nilai tekanan ini sangat berpengaruh pada kekuatan dielektrik dari gas SF6 itu sendiri. Jika terjadi penurunan kekuatan dielektrik gas SF6 maka pada saat menahan medan listrik homogen yang tinggi akan rentan terjadi breakdown. Tekanan ini dapat berkurang jika terjadi kebocoran pada kompartemen GIS dan terdapat celah pada sambungan antar kompartemen yang bisa diakibatkan oleh korosi tabung yang terbuat dari logam ataupun kesalahan pada saat pemasangan GIS itu sendiri .

b. Kemurnian ( purity )

Kemurnian dapat dinyatakan sebagai persentase jumlah gas SF6 murni dalam suatu kompartemen GIS. Semakin tinggi persentase ini maka akan semakin sedikit ditemukan zat lain dalam gas SF6 tersebut. Untuk gas SF6

yang baru, nilai kemurnian yang disyaratkan dalam standar IEC 60376 adalah > 97 %.

c. Titik embun ( dew point )

Titik embun menunjukkan titik dimana gas berubah menjadi air. Hal ini berkaitan dengan tingkat kelembaban dari gas SF6, yaitu berapa banyak partikel air yang terkandung dalam isolasi gas SF6. Nilai titik embun ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan terutama suhu, dimana semakin tinggi suhu maka semakin tinggi pula kandungan uap air yang berada di dalam tabung GIS.

d. Produk hasil dekomposisi ( decomposition product )

Produk hasil dekomposisi terjadi karena ketidaksempurnaan pembentukan kembali gas SF6, hal ini bisa terjadi karena adanya pemanasan berlebihan, percikan listrik, serta busur api yang terjadi. Beberapa produk hasil dekomposisi beserta sumber penyebabnya dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1 Produk hasi dekomposisi SF6

GAS SENYAWA SUMBER

Udara N2, O2 Bocor / intrusi dari luar Moisture H2O Bocor / intrusi dari luar Hydrofluoric acid HF Terbentuk di gas SF6 jika

terjadi busur api

Sulfur dioxide SO2 Terbentuk jika SOF2

berekasi dengan air

Sulfur diflouride SF2 Mudah bereaksi

Sulfur tetraflouride SF4 Mudah bereaksi

Jika produk hasil dekomposisi ini terjadi dalam jumlah yang besar, maka kekuatan dielektrik dari isolasi gas SF6 akan mengalami penurunan.

e. Suhu lingkungan ( ambient temperature )

Suhu lingkungan memiliki kaitan yang sangat erat dengan titik embun. Untuk lingkungan dengan temperature yang tinggi maka kandungan uap air yang ada di dalam tabung pun akan menjadi tinggi pula. Hal ini akan membuat kemungkinan untuk terjadinya intrusi uap air kedalam isolasi gas akan menjadi lebih tinggi.

Sedangkan untuk fenomena listrik berupa partial discharge adalah peluahan elektrik pada medium isolasi yang terdapat diantara dua elektroda berbeda tegangan, dimana peluahan tersebut tidak sampai menghubungkan kedua elektroda secara sempurna. Peristiwa seperti ini dapat terjadi pada bahan isolasi padat. Sedangkan pada bahan isolasi gas, partial discharge terjadi disekitar elektroda yang runcing seperti pada Gambar 2.7. Adanya aktivitas partial discharge di GIS menandakan terdapat gangguan dalam kompartemen GIS. Sumber partial discharge

tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut :

• Partikel bebas

• Partikel bebas yang menempel pada permukaan

• Tonjolan atau ketidakrataan permukaan ( protrusi )

• Sambungan antar kompartemen yang tidak erat

konduktor

Partikel pada spacer

spacer

duct

Void pada spacer Protrusi pada potensial tanah Partikel bebas

protrusi

Gambar 2.8 Ilustrasi gangguan umum yang terjadi pada GIS

Aktivitas partial discharge pada isolasi SF6 dapat kita deteksi melalui beberapa teknik yang lazim digunakan, yaitu sebagai berikut :

a. IEC 60270

pada teknik ini yang dideteksi untuk mengetahui adanya aktivitas partial discharge adalah muatan pada saat timbulnya aliran listrik sesaat ( satuan yang digunakan adalah pC, nC )

b. Ultra High Frequency / Very High Frequency (UHF / VHF) Mendeteksi timbulnya gelombang elektromagnetik yang terjadi ( satuan yang digunakan μV, mV ). Teknik ini biasanya digunakan pada bagian non metal dari GIS.

c. Teknik emisi akustik

Mendeteksi timbulnya gelombang akustik / suara ( satuan

yang digunakan adalah μV, mV ). Teknik ini biasanya digunakan pada bagian metal dari GIS.

Pada tabel 2.2 di bawah ini dapat kita lihat perbandingan dari beberapa teknik diagnosis partial discharge pada GIS

Tabel 2.2 perbandingan teknik diagnosis partial discharge IEC 60270 VHF / UHF Accoustic

Emission Kondisi GIS Off – line On – line

Off – line

On – line Off – line

Kalibrator Ada Tidak ada Tidak ada

Peredaman noise Buruk Sangat baik Baik

Sensitivitas 10% atau 1pC 5pC 5pC Jangkauan pengukuran - Luas Sempit Lokasi pemasangan sensor - Bagian non – metal Bagian metal Besaran partial discharge PRPD Frequency spectrum Individual pulses

BAB III

CONDITION ASSESSMENT

3.1 LATAR BELAKANG CONDITION ASSESSMENT

Condition assessment merupakan tindakan penilaian / pengkajian yang dilakukan untuk menilai kondisi dari objek yang dikaji baik itu secara khusus ataupun secara umum, guna mengetahui kondisi terkini dari objek yang dikaji dan juga dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan terhadap objek tersebut, apakah kondisi objek masih layak pakai atau dilakukan perawatan pada objek atau bahkan penggantian objek itu sendiri.

Condition assessment dapat diterapkan untuk berbagai macam objek kaji dimana objek yang dikaji tentunya memiliki keterbatasan dalam umur pakai. Sehingga pada akhirnya dapat diambil keputusan yang tepat untuk sistem yang tekait dengan objek tersebut, condition assessment dapat juga diterapkan pada berbagai macam bangunan, sistem kelistrikan, jalan, hutan dll.

Condition assessment dapat dijadikan sebagai dasar dalam mengambil keputusan untuk melakukan maintenance / perawatan pada suatu objek. Secara umum maintenance / perawatan dapat kita artikan sebagai :

“ semua tindakan yang tepat yang bertujuan untuk mempertahankan atau mengembalikan suatu sistem atau peralatan pada kondisi tertentu “

dimana dengan melakukan perawatan diharapkan sistem ataupun peralatan tidak memiliki gangguan yang dapat mempengaruhi proses kerjanya sehingga tercapai hasil yang diinginkan dan umur sistem atau peralatan tersebut diharapkan akan semakin bertambah.

Strategi perawatan dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu a. Corrective maintenance ( perbaikan )

Strategi corrective maintenance merupakan strategi dimana perawatan dilakukan setelah terjadi masalah atau kerusakan pada peralatan maupun sistem

b. Preventive maintenance ( pencegahan )

Strategi preventive maintenance merupakan strategi dimana perawatan dilakukan sebelum terjadi masalah atau kerusakan pada peralatan maupun sistem, dimana pengkajian terlebih dahulu dilakukan untuk memberikan kriteria kelayakannya, sehingga dapat diambil keputusan yang terbaik terkait sistem ataupun peralatan tersebut.

c. Predictive maintenance ( perkiraan )

Strategi predictive maintenance merupakan strategi dimana perawatan dilakukan sesuai jadwal yang sudah ditetapkan sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan umur pakai sistem atau peralatan yang sudah diperkirakan sebelumnya.

ke-tiga strategi perawatan diatas dapat diterapkan pada berbagai macam sistem atau peralatan, tentunya dengan berdasarkan kajian yang sudah dilakukan sebelumnya mengenai strategi perawatan apa yang paling tepat dilakukan untuk suatu sistem ataupun peralatan tersebut agar berjalan dengan baik dan lancar. Dimana hal ini akan sangat berpengaruh terhadap penggunaan biaya yang akan digunakan untuk perawatan tersebut.

Condition Assessment ini terkait hubungannya dengan perawatan berbasis kondisi ( Condition Based Maintenance ), dimana obyek yang diamati kondisinya ini kemudian ditentukan tingkat unjuk kerjanya lalu kemudian diberikan perawatan berdasarkan kondisinya tersebut. Secara umum condition assessment memberikan sebuah penilaian kondisi atas fenomena-fenomena yang terjadi dan berpengaruh pada parameter yang terukur pada obyek.

Di dalam condition assessment terdapat dua aspek yang terlibat yaitu risk assessment dan monitoring diagnosis. Risk assessment disini berarti penilaian terhadap kemungkinan- kemungkinan resiko yang bisa terjadi pada obyek tersebut. Dalam risk assessment ini ditentukan kemungkinan-kemungkinan resiko yang terjadi pada obyek serta penyebabnya. Salah satu metode yang digunakan dalam risk assessment adalah FMEA ( Failure Mode Effect Analysis ), dimana dalam FMEA ditentukan runtutan dari sebuah resiko yang terjadi sebelumnya hingga ke penyebabnya, sehingga dari sebuah kegagalan yang terjadi ( resiko ) bisa ditentukan gangguan awal yang menyebabkannya. Pembahasan mengenai FMEA akan dibahas lebih lanjut di sub-bab berikutnya. Aspek lain yang penting dalam condition assessment adalah monitoring diagnosis. Monitoring diagnosis berarti melakukan suatu pemantauan terhadap parameter-parameter yang berpengaruh pada suatu obyek dan kemudian menentukan fenomena apa yang terjadi. Hasil monitoring diagnosis ini dikombinasikan dengan faktor-faktor penyebab resiko yang ada pada risk assessment ( FMEA ) sehingga bisa ditentukan gangguan yang terjadi serta pengaruhnya pada kondisi obyek. Pada akhirnya kondisi obyek tersebut dapat ditentukan dengan memperhatikan parameter - parameter yang ada, gangguan yang terjadi serta kemungkinan

penyebab gangguan tersebut. Gambar 3.2 di bawah berikut merupakan bentuk hubungan antara condition assessment, risk assessment dan monitoring diagnosis.

RISK ASSESSMENT CONDITION ASSESSMENT

MONITORING DIAGNOSIS

Gambar 3.2 Hubungan antar condition assessment

Ada beberapa keuntungan yang didapat dengan melakukan condition assessment antara lain :

a. Dapat mengurangi biaya operasi dan perawatan, hal ini disebabkan pengubahan metode perawatan dari pola berbasis waktu ( time base ), menjadi pola berbasis kondisi ( condition based )

b. Meningkatkan ketersediaan dan keandalan obyek. Dengan melakukan condition assessment maka dapat dianalisis kemungkinan gangguan-gangguan yang terjadi serta parameter yang terlibat dalam gangguan tersebut sehingga dapat dilakukan tindakan preventif untuk mencegah hal-hal yang mengarah pada kegagalan. Hal ini akan meningkatkan ketersediaan serta keandalan obyek tersebut

c. Mengevaluasi umur penggunaan komponen pada obyek. Berdasarkan kondisi sebenarnya yang ada di lapangan maka dapat

ditentukan kelayakan suatu komponen untuk tetap digunakan atau harus diganti

d. Estimasi umur pakai suatu obyek berdasarkan kondisi sebenarnya. Jika kondisi obyek telah diketahui serta gangguan yang ada dapat dimonitor dengan baik maka dapat diestimasi berapa lama obyek dapat bertahan dalam menghadapi gangguan tersebut

3.2 CONDITION ASSESSMENT DALAM SISTEM KELISTRIKAN

Dalam hal sistem kelistrikan condition assessment dapat diterapkan pada gardu, trafo, kabel, mesin – mesin, berbagai macam isolasi yang tentunya memiliki batas umur dalam pemakaiannya. Penerapan condition assessment pada tiap – tiap objek tentunya berbeda beda dikarenakan adanya perbedaan dalam beberapa parameter yang harus diukur dari objek yang satu dengan yang lainnya. Contohnya condition assessment pada kabel listrik berbeda dengan condition assessment pada trafo, hal ini karena adanya perbedaan isolasi kabel dengan trafo: yaitu minyak pada trafo dan bahan Polyvinyl chloride (pvc) pada kabel, dan akan masih banyak berbagai hal yang dapat dijadikan parameter untuk melakukan condition assessment pada suatu objek.

3.3 CONDITION ASSESSMENT PADA GIS

Penerapan condition assessment pada GIS dengan melakukan assessment pada parameter terukur pada GIS yang sudah dibahas pada bab sebelumnya. Parameter ini didefinisikan sebagai kondisi fisik dari gas SF6 dan fenomena listrik yang terjadi. Parameter tersebut antara lain:

a. Tekanan ( pressure ) b. Kemurnian (purity ) c. Titik embun ( dew point )

d. Produk hasil dekomposisi ( decomposition product ) e. Suhu lingkungan ( ambient temperature )

f. Aktivitas Partial Discharges

Gabungan kondisi dari semua parameter ini akan menunjukkan tingkat unjuk kerja dari GIS. Ada beberapa faktor yang menjadi indikator kunci pada GIS berdasarkan CIGRE 309 Technical Brochure 150, yaitu antara lain :

a. Kekuatan dielektrik

b. Kemampuan membuka / menutup pengaman berdasarkan perintah c. Kemampuan membawa arus ( pada konduktor )

d. Kekuatan mekanis ( struktur ) e. Kondisi fisik gas SF6

f. Kekuatan tabung

g. Tidak ada aktivitas partial discharges h. Keadaan tidak terkunci

Indikator ini menunjukkan hal-hal yang harus dipenuhi oleh GIS untuk dapat bekerja secara baik. Jika ada point yang tidak terpenuhi maka GIS tersebut rentan terhadap kegagalan kerja. indikator tersebut dapat kita klasifikasikan menjadi 3 kategori yang lebih umum yaitu:

1. Struktur dan material GIS: meliputi kekuatan mekanis, kekuatan tabung serta kemampuan membawa arus pada konduktor

2. Gas isolasi SF6: meliputi kekuatan dielektrik, kondisi fisik gas SF6 serta tidak ada aktivitas partial discharges.

3. Mekanisme operasi GIS : kemampuan membuka / menutup dan keadaan tidak terkunci.

Ketiga kategori diatas dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan risk assessment dengan menggunakan metode FMEA( Failure Mode Effect Analysis ). Disisi lain akan dilakukan monitoring diagnosis pada parameter terukur GIS, sehingga akan didapat keterkaitan antara penyebab kegagalan dengan parameter fisik yang ada.

3.3.1 Risk Assessment menggunakan Failure Mode Effect Analysis (FMEA)

Kegagalan pada GIS dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Untuk menentukan faktor-faktor tersebut diperlukan sebuah risk assessment. Metode yang umum digunakan dalam risk assessment adalah FMEA. Dalam FMEA dilakukan analisis dengan cara mencari hubungan antara kegagalan dan faktor-faktor penyebabnya. Faktor penyebab ini lalu diurai menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sehingga dapat ditemukan parameter apa yang terkait dalam memicu terjadinya kegagalan. Selain mencari parameter yang berpengaruh dalam kegagalan, dalam FMEA kita juga dapat menentukan besarnya resiko akibat penyebab kegagalan berdasarkan frekuensi terjadinya gangguan, pengaruh gangguan pada sistem serta level keselamatan saat gangguan terjadi.

Gambar 3.3 dibawah ini adalah diagram pemetaan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat unjuk kerja GIS:

Kebocoran Gas

Usia komponen Kesalahan desain

Arc / Spark

Partial discharge

Kesalahan operasi Gangguan pada line

Prilaku operasi Cacat komponen

Jumlah isolasi gas menurun

Intrusi gas lain Kemurnian Produksi hasil dekomposisi Kandungan kelembaban Titik embun Kondisi Lingkungan Iklim Polutan

Dengan menganggap resiko kegagalan yang terjadi adalah tembus listrik (electrical breakdown), maka dapat dibuat bagan FMEA yang dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian:

• Bagian yang terganggu

• Penyebab gangguan

• Efek gangguan

• Kegagalan yang terjadi

• Parameter yang terlibat

Selain itu ada beberapa hal yang perlu diamati untuk mengetahui sejauh mana gangguan tersebut terjadi, yaitu:

• Frekuensi gangguan

• Pengaruh gangguan pada sistem

• Level keselamatan

Dari FMEA di atas terlihat parameter-parameter yang terlibat dalam kegagalan yang terjadi pada GIS . Kemudian pengaruh parameter ini akan dijadikan sebagai sebuah acuan dalam menentukan faktor pembobotan ( weighting factor ) pada langkah selanjutnya. Setiap parameter akan mendapatkan bobot yang berbeda-beda, bergantung pada level resiko dan frekuensi kegagalan yang terjadi. Hal ini akan dibahas lebih detail pada pembahasan tentang faktor pembobotan.

3.3.2 Monitoring Diagnosis Pada GIS

Monitoring diagnosis yang dilakukan pada GIS meliputi pengamatan parameter. Dari pengamatan parameter ini akan ditentukan karakteristik yang dapat dimonitor sehingga didapatkan informasi-informasi parameter yang diukur.

Berikut ini adalah bagan hubungan antara monitoring diagnosis dengan teknik diagnosis dan parameter yang diamati seperti pada gambar 3.4 di bawah ini

Monitoring diagnosis GIS

Partial discharges

UHF/VHF dan emisi akustik ( AIA )

Pengukuran suhu

lingkungan Suhu lingkungan

Pengukuran produk hasil dekomposisi

Decomposition product Pengukuran titik

embun Titik embun

Pengukuran tekanan gas tekanan

Pengukuran kemurnian

kemurnian

Gambar 3.4 Hubungan antara monitoring diagnosis dengan teknik diagnosis dan parameter yang diamati.

3.4 FAKTOR-FAKTOR YANG DITENTUKAN DALAM CONDITION ASSESSMENT PADA GIS

Setelah melakukan risk assessment dan monitoring diagnosis dalam

condition assessment, maka akan didapat sejumlah data yang dimiliki oleh parameter-parameter yang telah diukur sebelumnya dari hasil monitoring diagnosis. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal pengolahan data ini adalah penentuan nilai batas ( boundary values ) serta penentuan faktor pembobotan ( weighting factor ).

3.4.1 Penentuan nilai batas ( boundary values )

Dalam menentukan suatu kondisi suatu obyek maka diperlukan sebuah nilai batas yang membedakan antara kondisi baik, sedang atau buruk . Nilai batas ini akan menjadi sebuah pembeda antara level kondisi satu dengan yang lainnya. Pada penentuan nilai batas ini perlu dibatasi area atau lokasi dimana nilai batas ini dapat diterapkan. Dalam konteks condition assessment pada GIS ini, GIS dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal :

a. Jumlah fasa dalam tabung. Dalam hal ini dipisahkan menjadi GIS 1 fasa dan GIS 3 fasa. Untuk GIS 1 fasa sendiri dibagi lagi berdasarkan fasanya ( R,S atau T )

b. Kompartemen dari GIS berdasarkan kemampuan switching atau non-switching yang dimiliki. Untuk kompartemen dengan kemampuan switching dipisahkan menjadi 2 bagian yaitu disconnecting switch dan circuit breaker. Sedangkan untuk kompartemen lain selain itu dikelompokkan dalam kompartemen

non-switching. Yang termasuk dalam kompartemen non-switching ini antara lain: CT, PT dan Sealing End

Setelah memiliki batasan area yang jelas, maka dapat melakukan standardisasi terhadap data dari setiap parameter yang kita miliki.

Dokumen terkait