• Tidak ada hasil yang ditemukan

Langkah-langkah Modifikasi

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan pada Bab IV tentang hasil implementasi model pembelajaran tari yang mengembangkan kreativitas siswa tunanetra dan tunarungu, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

Hasil implementasi model pembelajaran tari untuk meningkatkan kreativitas siswa berkebutuhan khusus dengan tahap-tahap uji coba yang dilakukan telah memberikan kontribusi dalam meningkatkan kualitas hasil pembelajaran siswa khususnya siswa tunanetra dan tunarungu. Hal tersebut terlihat dari peningkatan kreativitas siswa dari setiap pertemuan pada 3 tahap uji coba yang dilakukan. Dari segi keberhasilan pembelajaran melalui uji coba model pembelajaran sinektik menampakan hasil yang signifikan. Hal tersebut dapat dilihat dari data yang menggambarkan tentang tingkat kreativitas siswa tunanetra dan tunarungu diperoleh hasil data dari indikator-indikator kreativitas meningkat dengan baik. Kemampuan beranalogi dalam proses kreativitas pada siswa tunanetra dan tunarungu hampir sama walau cara mengungkapkannya yang sedikit berbeda. Hal tersebut menunjukan kemampuan kognitif siswa dapat terolah dengan baik melalui pembelajaran tari dengan menggunakan model sinektik. Siswa tunanetra karena belum pernah mengalami menari sedikit lambat dalam merespon stimulus untuk beranalogi, walaupun selanjutnya mereka mulai terbiasa untuk berekspresi gerak kreatif. Sedangkan pada siswa tunarungu kemampuan beranalogi sangat tinggi dan lancar walau memiliki keterbatasan dalam mengungkapkannya melalui bahasa, namun dari segi ekspresi gerak mereka lebih cepat untuk merespon secara kreatif dari setiap stimulus yang diberikan. Hal tersebut menunjukan kemampuan psikomotor dan afeksi dapat berkembang dengan baik. Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini memiliki kontribusi yang tinggi terhadap peningkatan kualitas proses belajar mengajar di Sekolah Dasar Luar Biasa

241

khususnya bagi siswa tunanetra dan tunarungu. Proses pembelajaran dengan menggunakan model tersebut mampu mengembangkan tidak hanya kreativitas dalam berfikir dan bergerak namun juga munculnya kecerdasan multi pada siswa tersebut. Kemampuan siswa dalam proses mengeksplor gerak, menyusun gerak dan menampilkan gerak melalui proses belajar dengan bermain analogi dan berinteraksi dengan lingkungan berdampak terhadap munculnya multi kecerdasan. Tidak hanya kecerdasan verbal bagi siswa tunanetra, namun kecerdasan kinestetik, musikal, matematis-logis, spasial, juga kecerdasan dalam interpersonal dapat dikembangkan. Begitupula dengan siswa tunarungu, kecerdasan yang berkembang hampir sama dengan siswa tunanetra yakni kecerdasan kinestetik, musikal, spasial, matematis logis, interpersonal, dan kecerdasan verbal melalui tulisan dan bahasa isyarat. Pengembangan model sinektik merupakan model pembelajaran yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran untuk meningkatkan kreativitas baik secara individual ataupun kelompok. Dalam kelompok siswa dapat saling belajar tetang bagaimana temannya bereaksi dalam mengembangkan ide saat memecahkan masalah. Selain itu sinektik melatih siswa mengembangkan kemampuan imajinasi melalui bermain analogi dalam proses berkreativitas.

Pengembangan stimulus berdasarkan pada modalitas dalam pembelajaran seni tari bagi siswa tunanetra dan tunarungu sangat diperlukan. Stimulus membantu sekali dalam mengembangkan kemampuan abstrak siswa tunanetra saat membayangkan gerak yang sebelumnya belum mereka ketahui melalui bermain analogi, dan sangat membantu siswa tunanetra dalam mengembangkan kemampuan beranalogi untuk mengembangkan gerak-gerak kreatif. Jadi peran stimulus yang sesuai dengan kondisi siswa tunanetra dan tunarungu sangat penting dan menentukan keberhasilan belajar. Dalam pelaksanaan pembelajaran tari dengan pengembangan model sinektik gerak-gerak yang dieksplorasi oleh siswa tunanetra dan tunarungu merupakan gerak sederhana yang ditemukan secara kreatif oleh siswa sendiri dengan dibantu stimulus raba melalui relief dan stimulus pendengaran melalui musik yang dikembangkan oleh guru. Gerak yang dikembangkan berorientasi pada gerak dari bagian anggota tubuh yang dapat

242

mengembangkan sensitivitas gerak juga membantu kemampuan orientasi mobilitas siswa tunanetra. Sedangkan pada siswa tunarungu gerak yang ditemukan secara kreatif diawali dengan mengapresiasi gambar dan mengekspresikannya melalui gerak kreatif yang mereka temukan dan sesuai dengan ekspresi gambar yang mereka lihat.Gerak-gerak sederhana muncul dari mengolah dan mengembangkan gerak tubuh secara estetis melalui stimulus visual baik untuk stimulus gerak maupun musik.

Hasil penelitian lainnya adalah pengaruh hasil penelitian terhadap perubahan pandangan yang positif guru kelas SDLB A dan B Padjajaran dan Cicendo tentang pelaksanan proses belajar mengajar pendidikan seni di sekolah dasar luar biasa yang mereka bina untuk mau membelajarkan pembelajaran seni tari. Guru-guru yang bersangkutan berupaya menerapkan dan mengembangkan model pembelajaran pendidikan seni dengan menggunakan konsep metodologi yang dikembangkan pada model yang dilaksanakan dalam penelitian ini. Pengembangan model pembelajaran seni tari bagi siswa tunanetra dan tunarungu yang dikembangkan berlandaskan pada model sinektik dapat menjadi tawaran metodologis bagi para guru pendidikan luar biasa dalam mengembangkan kreativitas siswa berkebutuhan khusus. Strategi dalam sinektik dirancang untuk membantu para siswa memahami masalah, ide, dalam mengenalkan sesuatu yang baru. Berdasarkan hal tersebut, kenyataan di lapangan bahwa seni tari tidak diajarkan di SDLB A kelas tunanetra berdasarkan berbagai pertimbangan antara lain (a) siswa tunanetra dianggap tidak dapat diajarkan menari karena keterabatasan mereka, (b) tidak tersedia pembelajaran tari dalam kurikulum bagi siswa tunanetra, (c) guru tidak memiliki kemampuan metodologis dalam mengajarkan seni tari. Adapun dalam kasus tunarungu, tari diajarkan namun kurang mengembangkan kemampuan kreativitas siswa karena hanya bersifat imitatif, kedua masalah tersebut dapat terminimalisir dengan pembuktian hasil penelitian yang dilakukan. Dengan demikian hasil pengembangan model sinektik dalam pembelajaran tari dapat menjadi bukti bahwa siswa tunanetra dapat mengembangkan kreativitasnya dan dapat menjadi masukan dan orientasi guru

243

SLB dalam mengajarkan seni tari bagi siswa tunanetra begitupula dengan siswa tunarungu.

Faktor pendukung yang mendorong keberhasilan pelaksanaan model sinektik adalah antusiasme siswa mengikuti pembelajaran, suasana kelas yang kondusif, sarana yang memadai dan dukungan guru serta kepala sekolah. Hal yang dinilai menghambat pelaksanaan model pembelajaran tersebut adalah ketidaksiapan guru dalam melaksanakan model dan menganggap pembelajaran seni tari di kelas tunarungu dan tunanetra hanya dapat diajarkan oleh pihak tertentu bukan oleh guru di sekolah tersebut.Hasil penelitian memiliki implikasi teoritis maupun praktis. Implikasi teoretis menghasilkan dalil dalam studi Pendidikan Seni terutama Seni tari. Dalil tersebut adalah (1) pendidikan seni tari tidak hanya dapat diajarkan kepada siswa normal saja namun juga pada siswa berkebutuhan khusus dengan model pembelajaran tertentu, (2) pembelajaran seni tari tidak hanya berkontribusi terhadap perkembangan kemampuan motorik (gerak) siswa semata namun juga berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan afektif dan kemampuan kognitif siswa, serta kecerdasan majemuk siswa, (3) pembelajaran seni tari yang menekankan kepada pengembangan kreativitas lebih memberikan keleluasaan kepada siswa untuk menemukan pemahaman kreatif berupa apa dan bagaimana bergerak, (4) pembelajaran tari dengan model sinektik dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam mengkomunikasikan gerak sebagai bahasa tubuh yang bebas dan kreatif , (5) modalitas siswa merupakan kemampuan dasar siswa tunanetra dan tunarungu yang dapat menjadi orientasi guru dalam melaksanakan pembelajaran secara efektif dan efisien.

5.2Saran

Berdasarkan pernyataan tentang pentingnya peningkatan mutu dan kualitas proses belajar mengajar pendidikan seni tari di SDLB A dan SDLB B, maka dengan dilakukan penelitian pengembangan model pembelajaran tari bagi siswa tunanetra dan tunarungu diharapkan hasil yang diperoleh dapat dijadikan referensi

244

bagi pengembangan inovasi metodologi pendidikan seni khususnya pendidikan seni tari bagi siswa berkebutuhan khusus. Bagi guru serta mahasiswa calon guru, konsep metodologi tari dari model pembelajaran ini dapat dijadikan rujukan untuk mengembangkan model-model tari lainnya.

Bagi para peneliti pendidikan seni, pengembangan model pembelajaran tari untuk meningkatkan kreativitas bagi siswa berkebutuhan khusus ini dijadikan motivasi dalam mengembangkan penelitian metodologi pembelajaran tari selanjutnya. Harapan yang lebih besar, semoga pihak sekolah dengan diperkenalkan inovasi model pembelajaran tari, akan lebih memberikan perhatian terhadap pentingnya pendidikan seni tari dalam perannya bagi perkembangan peserta didik khususnya peserta didik berkebutuhan khusus.

Kemampuan guru dalam mengelola kelas harus diperhatikan. Bagaimana mengatur sebuah proses pembelajaran dari mulai perencanaa, pelaksanaan, sampai evaluasi sangat menentukan keberhasilan. Bagaimana guru menemukan ide dalam membuat sebuah pembelajaran yang bermakna dan berkontribusi bagi peserta didiknya sangatlah perlu diperhatikan. Tahapan metodologis yang dirancang oleh guru secara inovatif akan menentukan hasil pembelajaran yang optimal. Hal tersebut sangat dirasakan peneliti dalam mengelola berbagai aspek yang berhubungan dengan pembelajaran. Pada setiap tahap ujicoba peneliti menemukan berbagai kendala yang harus ditemukan solusinya. Misalnya ketika peneliti menemukan pada uji tahap 3 bahwa peneliti perlu mengefektifkan pertemuan dari lima pertemuan menjadi 4 pertemuan, atau ketika peneliti harus merubahan tahapan materi untuk memahamkan gerak kepada anak. Hal tersebut membuktikan bahwa untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal, seorang guru harus memperhatikan faktor-faktor yang berkaitan dengan pembelajaran dan tentunya berorientasi pada kondisi dan karakteristik siswa yang dihadapi yakni siswa tunanetra dan tunarungu. Penggalian kretivitas pada siswa dengan kondisi tertentu pulu pula treatmen yang tepat dari seorang guru. Hal tersebut membuktikan teori yang diungkapkan oleh Dean (2006:2), tentang pentingnya kreativitas bagi anak serta bagaimana melibatkan anak dalam proses kreatif.

245

Hasil penelitian tentang pengembangan model sinektik ini diharapkan dapat menjadi model rujukan bagi pengembangan model pembelajaran seni tari selanjutnya khususnya bagi siswa berkebutuhan khusus. Model pembelajaran yang dikembangkan dapat dipertimbangkan sebagai alternatif pengembangan kreativitas melalui pembelajaran tari khususnya bagi guru di SLB, sekolah inklusi ataupun para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.

Hasil penelitian tentang pengembangan model sinektik yang membuktikan bahwa siswa tuna tunanetra dan tunarungu dapat meningkatkan kreativitas dengan media tari dapat menjadi masukan pada dinas provinsi dan Direktorat Jendral Pendidikan Luar Biasa, sebagai bahan untuk pembelajaran pendidikan seni di sekolah-sekolah luar biasa di Indonesia. Bahkan pertimbangan bagi kurikulum pendidikan seni tari pada pendidikan SLB dan pendidikan inklusi yang diberlakukan secara nasional. Perlu satu pertimbangan untuk dapat memasukan pembelajaran tari untuk siswa tunanetra karena pada kurikulum yang berkembang siswa tidak mendapatkan pembelajaran tari dengan kata lain dibedakan, padahal berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan tari dapat berkontribusi tinggi bagi siswa tunanetra. Harapan peneliti hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat terhadap pengembangan pembelajaran tari bagi siswa berkebutuhan khusus pada lingkup Nasional maupun Internasional.

240

DAFTAR PUSTAKA

Aditama.Siegel, (1997). Statistik non parametrik untuk ilmu-ilmu sosial, Jakarta: Gramedia.

Anurrahman. (2009). Belajar dan pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Ariswati, I. (2012). Pembelajaran seni tari bagi anak berkebutuhan khusus. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Ayan, E. J. (2002). Bengkel kreativitas. Bandung:Kaifa.

Brog, R. dan Gall, D. M. (1979). Educational research. america: Longman.

Cahyo, N. A. (2013). Panduan aplikasi teori- teori belajar mengajar teraktual dan terpopuler. Yogyakarta: Diva Press.

Dahar, W.R. (1996). Teori-teoribelajar: Jakarta: Erlangga.

Dahlan, M. D. (1984). Model-model mengajar: Synectyc, model pengembangan kreativitas. Bandung: CV. Dipenegoro.

Danim, S. (2010). Perkembangan peserta didik. Bandung: Alfabeta.

Dean, Joan. (2006). Meeting the learning needs of allchildren. USA: Routledge. Delphie, B. (2009). Pembelajaran anak berkebutuhan khusus dalam setting

pendidikan inklusi. Jakarta: KTSP

Delphie, B. (2006). Gerak irama sebuah pengantar penyusunan program pembelajaran individual special needs student melalui pola gerak irama. Bandung: Rizqi Press.

Djohan. (2006). Terapi music. Yogyakarta: Galang Press.

Deporter,B. and Hernacki, M. (2003). Quantum learning. Bandung: Kaifa.

Desfina. (2014). Kajian tari kreatif di sekolah menengah pertama negeri Jawa Barat Indonesia. (Disertasi). Universitas Malaya Kualalumpur,Malaysia. Dewey, John. (2004). Experience and education/pendidikan berbasis

pengalaman. Jakarta: Teraju.

Efendi,M. (2006). Pengantar psikopedagogik anak berkelainan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

241

Fogarty, R. (1991). How to integratedthe curricula. New York: IRI/Skylight Publishing,Inc.

Gardner, H. (2003). Multiple intelegences, kecerdasan majemuk,. Batam: Interaksara.

Gufhron, N. danRisnawita, R. (2012). Gaya belajar: kajian teoritik. Yogyakarta: PustakaPelajar

Hadkinson, A. dan Vickerman, P. (2009). Key issues in special education needs and inclusion. London: Sage Publication.

Harijanto, Sutji.(2011). Kurikulum dan pendidikan inklusif. [Online]. Tersedia di:

http://sepucuktunasbangsa.blogspot.com/2011/01/kurikulum-dan-pendidikan-inklusif-bagi.html. Diakses 3 Januari 2011.

Hawkins, M. A. (2003). Bergerak menurut kata hati. Jakarta: Ford Foundation dan Masyarakat seni pertunjukan Indonesia ( MSPI).

Hidajat, R. (2005). Menerobos pembelajaran tari pendidikan. Malang: Belajar Seni Gantar Gumelar.

Hidayat, H, Y. danSetiawan, A. (2006). Bimbingan anak berkebutuhan khusus. Bandung: UPI Press.

Joyce, B. dan Wiel, M. (2009). Models of teaching, model-model pengajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Joyce, Mary. (1994). First step in teacing creative dance to children, California: Mayfield Publishing Company.

Kaufmann, K, A. (2006). Inclusive creative movement dance. America: Versa press.

Kassing, G. dan Jay, M. D. (2003). Dance teaching methods and curriculum design. Amerika: Human Kinetics.

Lusli, M. (2009). Membantu anak dengan kehilangan penglihatan. Jakarta: PT Ikrar Mandiri abadi

Masunah, J. A case study of the multicultural practice of two united states dance educators: implications for Indonesian K-9 dance education (2008). Laporan penelitian mandiri Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

242

Masunah, J. (2011). Konsep dan praktik pendidikan multikultural di amerika serikat dan Indonesia. Jurnal Ilmu Pendidikan. LPTK dan ISPI, 17 (4), hlm. 298-306.

Masunah, J, dkk. Pengembangan model pendidikan seni bagi siswa berkebutuhan khusus (2012). Laporan hasil penelitian. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Masunah, J, dan Narawati,T. (2003). Seni dan pendidikan seni. Bandung: P4STUPI Press.

Mulyadiprana, A. (1997). Penerapan model sinetik dalam mengembangkan kreativitas siswa (studi pengembangan PBM pada masa sd kelas 5), (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Mulyati, L. (2002). Penerapan metode pembelajaran sinetik dalam mengapreasiasi drama untuk mengembangkan kreativitas berpikir dan meningkatkan hasil belajar siswa, (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Munandar, U. (2009). Pengembangan kreativitas anak berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.

Nalini, H. (2012) Effectivenes of synectics model of teaching in enhancing language creativity learners. [Online]. Tersedia di: http://theglobaljournals.com/ijsr/file.php?val=June_2013_1370004897_b7b

23_47.pdf. Diakses 3 Juli 2014.

Oliva, F.P. (1992). Developing the curriculum. New York: Haper Colins Publisher, Inc.

Ostroff, L. W. (2013). Memahami cara anak-anak belajar. Jakarta: PT. Indeks. Prasasti. (2010). pembelajaran seni musik di SLB B, (Tesis). Sekolah

Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Pondok Bahasa. (2008).Penerapan sinektik dalam meningkatka kreativitas

menulis. [Online]. Tersedia di

pondokbahasa.wordpress.com/2008/12/15/penerapan- model-sinektik-dalam-meningkatkan-kreativitas-menulis/. Diakses 30 Juli 2014.

Poole, M.(1980). Creativity across curriculum. Australia: George Allen & Unwin Australia Pty. Ltd.

243

Rusman.(2009). Manajemen kurikulum.Jakarta: PT.Rajagrafindo.

Sadja’ah, E. (2013). Bina bicara persepsi bunyi dan irama. Bandung: Refika

Sanjaya,W. (2002). Kurikulum dan pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Seto, M. (2004). Bermain dan kreativitas. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.

Somantri, T. Sutjihati. (2006). Psikologi anak luar biasa. Bandung: PT. RefikaAditama.

Sudarma, M. (2013). Mengembangkan keterampilan berfikir kreatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Sugiono. (2007). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Jakarta:IKAPI.

Sutjihati-Somantri, T. (2006). Psikologi anak luar biasa. Bandung: RefikaAditama.

Syaodih, N. (2005). Metode penelitian pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Syaodih , N. (2000). Pengembangan kurikulum teori dan praktik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Tarsidi, D. (2002). Kompetensi sosial anak tunanetra, (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Trianto, (2007). Model-model pembelajaran inovatif berorientasi konstruktivistik. Prestasi Pustaka: Jakarta.

Trihendradi, C. (2009). 7 Langkah mudah melakukanan alisis statistic menggunakan SPSS 17. Yogyakarta: ANDI.

Wati, S. (2002). Penerapan modelsinektik dalam meningkatkan kreativitas menulis kelas 1 SMP, (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Willis, M, C. (2004). Dance education tips from the trenches. America: United Grafics.

244

Yulaelawati, E. (1993). Kurikulum dan pembelajaran filosofi, teori dan aplikasi. Bandung:Pakar Raya Pustaka.

UPI. (2013). Pedoman penulisan karya ilmiah Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: UPI Press.

Dokumen terkait