VI.1 Kesimpulan
1. Prevalensi setiap jenis dari 7 ISR/IMS yang diteliti ternyata masih tinggi. 2. Sebagian besar kasus ISR/IMS tidak menunjukkan tanda dan gejala. 3. Konsistensi pemakaian kondom masih sangat rendah, bahkan perilaku sama sekali tidak menggunakan kondom masih tinggi. 4. Proporsi perilaku pencegahan yang didasarkan pada persepsi yang salah tentang antibiotik dan cuci vagina masih tinggi. 5. Proporsi perilaku pencarian pengobatan IMS yang salah (tidak diobati, diobati sendiri, dan obat tradisional) masih tinggi. 6. Pelanggan WPS ternyata bukan hanya kelompok lakilaki yang selama ini diasumsikan berperilaku seksual risiko tinggi (ABK, nelayan, sopir), melainkan juga kelompok lain yaitu TNI/Polri, PNS, pegawai swasta, buruh kasar, pedagang, pelajar/mahasiswa. 7. Jangkauan program penanggulangan IMSHIV/AIDS masih terbatasVI.2 Saran
1. Program pencegahan primer IMS di Palembang perlu diperkuat dan diperluas untuk meningkatkan jangkauan minimal 80% pada WPS langsung dan tidak langsung, serta menjangkau sebanyak mungkin kelompok lakilaki. 2. Program pencegahan sekunder IMS di Palembang berupa tatalaksana klinis IMS bagi mereka yang terinfeksi perlu diperkuat dan dipermudah aksesnya bagi mereka yang membutuhkan (pekerja seks, pelanggan pekerja seks).36
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI PALEMBANG, SUMATERA SELATAN, INDONESIA, 2005
>
3. Program pencegahan sekunder IMS berupa skrining dan pengobatan periodik terhadap pekerja seks perlu diperkuat dan diperluas untuk menjangkau WPS langsung dan tidak langsung. 4. Institusi penyedia layanan IMS perlu dilengkapi dengan fasilitas laboratorium sekurang kurangnya laboratorium sederhana untuk menegakkan diagnois IMS 5. Program penguatan komponen pendukung bagi penanggulangan IMS di Palembang perlu dilaksanakan untuk meningkatkan keberhasilan program pencegahan primer dan sekunder yang sudah ada.6. Peredaran antibiotika perlu diatur dengan lebih baik untuk mengurangi perilaku pencegahan dan pengobatan IMS yang salah.
7. Pendidikan Kesehatan Reproduksi perlu diberikan sedini mungkin melalui berbagai cara dan saluran di sekolah maupun luar sekolah.
8. Pengukuran prevalensi ISR di Palembang perlu terus dilakukan secara periodik (surveilans) agar didapat data guna memonitor, mengevaluasi dan merencanakan upaya penanggulangan IMSHIV/AIDS selanjutnya.
Referensi
1 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Surveilans HIV. Jakarta; 2004.
2 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Republik Indonesia. HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual Lainnya di Indonesia: Tantangan dan Peluang Untuk Bertindak. Jakarta: KPA Nasional RI; 2001.
3 Surjadi C, Pariani S, Sumampouw J, Arief H. Penilaian Kedua Studi Prevalensi Penyakit Menular Seksual pada Pekerja Seks Perempuan di Jakarta Utara, Surabaya, Manado/Semarang. Jakarta: HIV/AIDS Prevention Project (HAPP)FHI IndonesiaUSAID dan Jaringan Epidemiologi Nasional; 2000.
4 Silitonga N, Donegan E, Wignall FS, Moncada J, Scachter J. Prevalence of N. gonorrhoeae and C. trachomatis Infection among Commercial Sex Workers in Timika, Irian Jaya, Indonesia. Denver: PT Freeport Indonesia, Timika, Irian Jaya and University of California San Francisco; 1999.
5 Rosana Y, Sjahrurachman A, Sedyaningsih ER, Simanjuntak CH, Arjoso S, Daili SF, Judarsono J, Ningsih I. Studi resistensi N. gonorrhoeae yang diisolasi dari pekerja seks komersial di beberapa tempat di Jakarta (Antimicrobial susceptibility pattern of N. gonorrhoeae isolated from female commer cial sex workers in Jakarta). Jurnal Mikrobiologi Indonesia 1999, 4:2, 6063.
6 Presentasi Surveilans Sifilis dalam Pertemuan Evaluasi Surveilans, Ditjen PPM&PL, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 2005.
7 Miller P, Otto B. Prevalence of Sexually Transmitted Infections in Selected Populations in Indonesia. Jakarta: Indonesia HIV/AIDS and STD Prevention and Care Project – AusAID; 2001.
8 Sedyaningsih ER, Rahardjo E, Lutam B, Oktarina, Sihombing S, Harun S. Validasi pemeriksaan infeksi menular seksualsecara pendekatan sindrom pada kelompok wanita berperilaku risiko tinggi. Buletin Penelitian Kesehatan (2001) 28: 34, 460472.
9 World Health Organization and UNAIDS. Guidelines for Second Generation Surveillance for HIV: The Next Decade. Geneva, World Health Organization (WHO/CDS/EDC/2000.05), 2000.
10 UNAIDS/WHO Working Group on Global HIV/AIDS/STI Surveillance. Guidelines for Effective Use of Data from HIV Surveillance Systems. Geneva: 2004.
11 Jazan S, Sedyaningsih ER, Tanudyaya FK, Anartati AS, Gultom M, Purnamawati KA, Sutrisna A, Nurjannah, Rahardjo E. Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi pada Wanita Penjaja Seks di Jayapura, Banyuwangi, Semarang, Medan, Palembang, Tanjung Pinang, dan Semarang, Indonesia, 2003. Jakarta: Direktorat Jendral PPMPLP Departemen Kesehatan Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Indonesia, dan Aksi Stop AIDS Program – FHI Indonesia– USAID; 2004.
12 Jazan S, Sedyaningsih ER, Tanudyaya FK, Anartati AS, Gultom M, Purnamawati KA, Sutrisna A, Nurjannah, Rahardjo E. Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi pada Wanita Penjaja Seks di Palembang,. Indonesia, 2003. Jakarta: Direktorat Jendral PPMPLP Departemen Ke sehatan Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Indonesia, dan Aksi Stop AIDS Program – FHI Indonesia – USAID; 2004.
13 Levy P & Lemeshow S. Sampling of populations: Methods and applications. New York, John Wiley & Sons, 1991.
38
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSIINFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI PALEMBANG, SUMATERA SELATAN, INDONESIA, 2005
>
14 Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual . Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan; 2004.
1 5 Guidelines for the Management of Sexually Transmitted Infections. WHO; 2001.
16 Schmid G, Markowitz L, Joesoef R, Koumans E. Bacterial Vaginosis and HIV. Sexually Transmitted Infection 2003; 76(1):34.
17 Ashley RL, Wald A. Genital Herpes: Review of the Epidemic and Potential Use of TypeSpecific Serology. Clinical Microbiology Reviews 1999, 12:1, 18.
18 Sulastomo E. Prevalens Serologik Imunoglobulin G Virus Herpes Simpleks1 dan Virus Herpes Simpleks2 Pada Pekerja Seks Komersial Wanita di Panti Rehabilitasi (Panti Sosial Karya Wanita “Mulya Jaya” Pasar Rebo, Jakarta Timur). Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2004.
19 Patrick DM, Money D. Should Every STD Clinic Patient Be Considered for Typespecific Serological Screening for HSV Herpes 2002; 9: 324.
20 Arya OP, Hart CA. Herpes Simplex Virus Infection. In O.P. Arya and C.A. Hart (eds). Sexually Transmitted Infections and AIDS in the Tropics. Cabi Publishing, Liverpool, 1998.
21 Butina M R. Genital Herpes. Acta Dermatologica 2000; 9(1).
22 Donovan B. Sexually Transmissible Infections Other Than HIV. Lancet 2004; 363: 54556.
23 Meheus A. Control of STI, HIV and AIDS. In O.P. Arya and C.A. Hart (eds). Sexually Transmitted Infections and AIDS in the Tropics. Cabi Publishing, Liverpool, 1998.
24 Sexually Transmitted Diseases: policies and principles for prevention and care. W orld Health Organi zation/UNAIDS. WHO/UNAIDS/97.6, 1997.
25 Sedyaningsih ER. Perempuanperempuan Kramat Tunggak. Seri Kesehatan Reproduksi, Kebudayaan, dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan – The Ford Foundation; 1999.
26 Thuy NTT, et al. HIV infection and risk factors among female sex workers in southern Viet Nam. AIDS 1998, 12:425432.
27 Taha T, Hoover D, Dallabetta G, et al. Bacterial Vaginosis and Disturbances of Vaginal Flora: Association with Increase Acquisition of HIV. AIDS 1998; 12:1699705.
28 Minimum standard for FHIIndonesia sponsored STI Clinic, FHI Indonesia 2002.
29 Studi Mengenai Perilaku Seksual Kawula Muda di 4 Kota Besar di Indonesia, Jakarta: DKT Indonesia, KfW, Bill and Melinda Gates Foundation, Synovate, Summer Rosenstock; 2005.