• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

TERCIPTANYA MASYARAKAT TANI MARGINAL

Proses terbentuknya masyarakat tani Kampung Pel Cianten di tengah kegiatan ekonomi perkebunan nasional dalam skala besar tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik agraria yang terjadi di kawasan tersebut. Jauh hari sebelum dibuka sebagai wilayah perkebunan oleh Pemerintah Hindia Belanda, warga Kampung Pel Cianten telah memanfaatkan wilayah tersebut sebagai lahan pertanian mereka. Masyarakat setempat mulanya terbiasa menanam padi gogo dan padi ranca dalam pola pertanian ladang huma. Pola pertanian warga kemudian berubah menjadi pertanian menetap dalam suatu luasan lahan pertanian sempit sebagai implikasi dari resettlement ke dalam area perkebunan yang menyertai kebijakan pembukaan perkebunan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Efek lain dari kegiatan pemindahan warga kedalam settlement didalam komplek perkebunan menjadi awal pembentukan masyarakat tenaga kerja perkebunan yang terus berlangsung hingga saat ini.

Klaim akses warga atas tanah didapat dari traktat mengenai perjanjian antara tokoh pendiri kampung dan Pemerintah Hindia Belanda dalam proses pelimpahan kekuasaan atas lahan yang kemudian dijadikan kawasan perkebunan teh. Pemerintah Hindia Belanda mendapatkan lahan pertanian warga untuk kegiatan perkebunan dan warga lokal mendapatkan kompensasi berupa hak mukim dan garap hingga generasi berikutnya. Justifikasi sejarah inilah yang kemudian digunakan warga Kampung Pel Cianten sebagai dasar pemanfaatan sumberdaya agraria. Bila dicermati lebih jauh, sebenarnya telah terjadi perebutan akses lahan warga secara permanen sejak diberlakukannya kebijakan pembukaan lahan perkebunan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dalam pandangan Ribot&Pelusso (2003) maka faktor identitas menjadi penentu akses warga terhadap lahan. Faktor lainnya yang menentukan akses warga terhadap lahan adalah penguasaan faktor modal dan faktor relasi sosial.

Saat ini, area perkebunan tersebut dikuasai oleh Negara dibawah pengelolaan PTP. Nusantara VIII. Sementara itu posisi warga tidak mengalami

perubahan sejak awal pembukaan perkebunan, dimana mayoritas warga tetap menjadi tenaga kerja buruh di perusahaan perkebunan. Upah yang diterima sangat minim dan jauh dari mencukupi kebutuhan sehari-hari, dimana rata-rata penghasilan yang diterima warga sebagai tenaga buruh perkebunan berkisar antara Rp 350.000,00 hingga Rp 500.000,00. Jumlah ini berada jauh di bawah standar Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Bogor pada tahun 2010 sebesar Rp 1.056.914,00. Dengan kata lain upah yang didapat warga dari pekerjaan di perusahaan perkebunan hanya berkisar 30 persen hingga 45 persen dari batas minimum standar kebutuhan hidup layak.

Dorongan ekonomi dalam rangka mencukupi kebutuhan hidupnya, membuat warga mencari penghidupan di luar perkebunan dengan membuka lahan pertanian pada area-area sempit dan marginal yang dikuasai pihak perkebunan. Seiring dengan peningkatan jumlah kebutuhan akan lahan pertanian oleh warga, maka kondisi ketersediaan lahan perkebunan yang juga semakin terbatas baik kuantitas ataupun kualitasnya. Kondisi kekurangan akibat struktur penguasaan perkebunan seperti itu membuat warga memanfaatkan sumberdaya di daerah hutan yang dikuasai Taman Nasional. Dengan demikian, lahan kehutanan berfungsi sebagai buffer atau penyeimbang ketidakmampuan perkebunan dalam memenuhi kebutuhan warga.

Meski hasil yang didapat dari kegiatan mengolah tanah seringkali sangat tidak memuaskan, namun kegiatan pertanian masih bertahan. Lebih dari setengah responden, yaitu sebanyak 75,76 persen menjadikan pertanian sebagai penghidupannya, sedang sisanya menunjukkan kondisi sebaliknya dimana mereka memilih untuk beranjak ke sektor non pertanian. Aktivitas penghidupan warga di sektor non pertanian atau dengan kata lain menguatnya relevansi aspek non lahan muncul sebagai respon terhadap keterbatasan akses akibat struktur penguasan Negara yang dominan dibawah rezim pengelolaan sumberdaya oleh pihak PTP. Nusantara VIII dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Adapun relevansi aspek non lahan yang dimaksud adalah: Melakukan kegiatan perambahan di kawasan Taman Nasional dengan resiko konflik vertikal dengan Taman Nasional. Pilihan ini hanyalah bentuk solusi yang bersifat sementara. Selain itu, terdapat kecenderungan warga yang bekerja di perusahaan

perkebunan memilih untuk memperbaiki posisi pekerjaan di perusahaan perkebunan. Pilihan ini hanya bisa dijangkau oleh segolongan kecil warga yang mempunyai kualifikasi pendidikan lebih baik diantara warga lainnya dan relasi sosial yang lebih baik dengan para mandor.

Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa struktur penguasaan dan manajemen sumberdaya agraria oleh PTP. Nusantara VIII dan TNGHS, membuat warga tidak mempunyai ruang gerak yang cukup untuk memperbaiki kondisi hidup. Kondisi warga menjadi sangat tergantung terhadap pihak perkebunan dan Taman Nasional. Meski begitu, kegiatan pertanian masih dipertahankan. Hingga saat ini, tanah masih mempunyai peranan yang penting bagi kehidupan warga setempat. Kegiatan pertanian yang dilakukan warga masih sangat dipengaruhi oleh tradisi yang dipertahankan sejak masa dulu. Sejarah panjang ini yang membuat warga mempunyai ciri agraris yang kuat dan tetap bertahan hingga saat ini, meski dalam kondisi tanpa akses tanah yang cukup.

DAFTAR PUSTAKA

Annonymous. 2010. Revisi Permenhut tentang Implementasi REDD.

http://www.aman.or.id/berita-aman/199.html?lang=en%20GB.utf8. Diakses Pada Tanggal 4 Desember 2010.

Arief. 2001.Hutan & Kehutanan.Yogyakarta: Kanisius.

Billah, M.M, Loehoer Widjajanto dan Aries Kristyanto. 1984. “Segi Penguasaan Tanah dan Dinamika Sosial di Pedesaan Jawa (Tengah)” dalam Sediono M.T Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (ed.), Seri Pembangunan Pedesaan: Dua Abad Penguasaan Tanah (Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa).PT. Gramedia. Jakarta.

Emila. 2006. Artikel Kajian dan Opini “Memahami Terminologi Tenure”. Warta Tenure No.1 Edisi 1 Januari 2006.

Emila. 2006. Pemantapan Kawasan Hutan: Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan.Warta Tenure No.1 Edisi 1 Januari 2006.

Galudra, et.al. 2005. “Kondisi Ketahanan Pangan Masyarakat dalam Cengkeraman Kebijakan Tata Ruang dan Penetapan Kawasan Halimun: Studi Kasus Desa Mekarsari (Lebak) dan Desa Malasari (Bogor)” dalam “Tanah Masih di Langit (Penyelesaian Masalah Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Tak Kunjung Tuntas di Era Reformasi). Yayasan Kemala. Jakarta.

Hardi, Fahrozi. 2009. Strategi Petani Lapisan Atas dalam Akumulasi Modal: Kasus di Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Departemen Sain Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor.

Li, Tania Muray. 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Ribot&Peluso, NL. 2003. A theory of Acces. Feature Rural Sociology. Vol.02. No.02, 30 Juni 2003. USA: Rural Sociological Society. Hal. 153-181. Pelusso. 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan

Perlawanan di Jawa.Konpahalindo. Jakarta.

Prabowo, Sapto Aji.2010. Analisis Kebijakan dan Permasalahan Pemukiman di Dalam Taman Nasional: Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Halimun Salak.Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Rajati, Tati. 2006. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kehutanan dalam Rangka

Masyarakat Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus di Kabupaten Sumedang). Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.

Sitorus, MT Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Bogor: Kelompok Dokumentasi Ilmu-Ilmu Sosial.

Sitorus, MT Felix. 2002. Struktur Agraria, Proses Lokal dan Pola Penguasaan dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung: Yayasan Akatiga.

Sondakh, Joula Olvy Maya. 2002. Pola Pengaturan Pemanfaataan Sumber- Sumber AgrariaSerta Implikasinya pada Keberlanjutan Kelompok Sosial dan Kelestarian Alam: Studi Kasus pada Masyarakat di Dua Desa di Sekitar TNLL Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tenggara. Tesis. Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Syahyuti. 2002. Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan: Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tenggara. Tesis. Pasaca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Wahyuni & Muljono. 2009.Metode Penelitian Sosial.Bahan Kuliah. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wiradi. 2008. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria dalam Dua Abad Penguasaan Tanah.Jakarta: Gramedia

Wiradi & White. 2009.Pola-Pola Penguasaan Tanah di DAS Cimanuk: Beberapa Catatan Sementara dalam Ranah Studi Agraria: Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraris.Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.

Lampiran.1Kebutuhan Data dan Metode Pengumpulan Data NO Informasi Sub-topik Metode Pengumpulan Data Sumber Data 1 Gambaran umum Desa Purasari

1. Keadaan umum dan letak geografis Desa Purasari 2. Topografi Desa 3. Sejarah Desa Purasari 4. Kondisi Demografi  Analisa dokumen  Observasi  Wawancara mendalam  Data pemerinta han desa  Aparat desa  Informan kunci 2 Sarana dan Prasarana fisik Desa

1. Fasilitas transportasi dan komunikasi

2. Fasilitas Listrik dan air 3. Kelembagaan masyarakat 4. Pasar  Analisa dokumen  Observasi  Wawancara mendalam  Data pemerinta han desa  Aparat desa  Informan kunci 3 Proses awal pembentukan struktur agraria lokal (sejarah lokal)

1. Sejarah pembukaan lahan oleh komunitas

2. Cara memperoleh tanah, mekanisme akses, transaksi perolehan tanah

3. Kategori penduduk yg mempunyai hak istimewa

 Wawancara mendalam Responde n dan informan kunci 5 Struktur agraria lokal

1. Data kepemilikan lahan dan pengunaan wilayah 2. Jenis tanah, pemanfaatan

tanah, jenis flora dan fauna, sistem pertanian

3. Pemetaan stakeholder pemanfaat sumber agraria 4. Prosedur pemanfaatan sumberdaya agraria  Analisa dokumen  Observasi  Wawancara mendalam  Survey  Data pemerinta han desa  Aparat desa  Pihak PTPN VIII  Pihak TNGHS  Informan kunci Mekanisme Akses terhadap SDA 1. Mekanisme akses: 2. Tanah desa

3. Tanah di kawasan hutan 4. Tanah Perkebunan  Observasi  Wawancara mendalam Informan kunci 5 Faktor mempengaru hi akses 1. Faktor-produksi: Modal, Teknologi, tenaga-kerja. 2. Faktor-sosial/politik: Jaringan

kekerabatan, jaringan sosial- kekuasaan (status & jaringan wewenang, jaringan dengan TN & PTPN)

3. Faktor Budaya: status sosial tradisional, jaringan tradisional.  Observasi  Wawancara mendalam  Survey  Responde n dan informan kunci 6 Aspek budaya

Sistem religi, pengetahuan lokal, nilai dan aturan dalam 

Observasi  Wawancara

 Informan kunci

pemanfaatan sumberadaya agraria. mendalam Tokoh masyarak at 8 Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria

1. Aktivitas pemanfaatan oleh masyarakat dikawasan hutan 2. Cara-cara & pola pemanfaatan

dari berbagai bentuk ekosistem dan di berbagai status tanah (tanah desa, kawasan BTN, PTPN VII) pola kegiatan bertani dan teknologinya 3. Cara pandang antar subyek

agraria terhadap obyek agraria (nilai tanah bagi masyrakat, PTPN, dan TNGHS) 4. Zonasi (sejarah zonasi dulu

dan sekarang)  Observasi  Wawancara mendalam  Informan kunci (Pihak TNGHS dan PTPN VII)  Tokoh masyarak at

Lampiran 3. Peta Wila Kabupaten

ilayah Desa Purasari, Kecamatan Leuwil en Bogor

Lampiran 4. Contoh Surat PTP. Nusantara VIII dan W

rat Perjanjian Pinjam Pakai Lahan HGU antara n Warga