• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.2 Saran-saran

DAFTAR PUSTAKA 121 LAMPIRAN 126

Tabel 1. Perkembangan Luas Tanam, Luas panen dan Produksi Buah-buahan di Kabupaten Subang

Tahun 2000 dan tahun 2001 6

Tabel 2. Formulasi Model Policy Analysis Matrix (PAM) 62

Tabel 3. Konsekwensi Pahala dari Game Modelling 65

Tabel 4. Tujuan, Analisis, parameter, Data dan Output Penelitian Analisis Pengembangan nenas

di Kabupaten Subang 66

Tabel 5. Klasifikasi Ketinggian Tempat Kabupaten Subang 72

Tabel 6. Keadaan Tanah Pertanian Berdasarkan Topografinya

Di Kabupaten Subang 73

Tabel 7. Hasil Ekstraksi Komponen Utama dan Eigenvalue dari Berbagai Value Penduga Opsi Kelembagaan Tataniaga

Nenas 96

Tabel 8. Koefisien Loading Factor dari Berbagai Variabel Karakteristik

Petani dalam Opsi Tataniaga Nenas. 97

Tabel 9. Dugaan Koefisien Fungsi Logistik Opsi Kelembagaan

Informal Tataniaga Nenas 98

Tabel 10.Analisis Kelayakan Finansial (B/C, NPV dan IRR) Usaha Tani Nenas pada Tingkat Bunga 12 % dan 32 % dalam

Luasan 1 ha, 2003. 100

Tabel 11.Analisis Kelayakan Finansial (B/C, NPV dan IRR) Usaha Tani Nenas pada Tingkat Bunga 12 % dan 40 % dalam

Luasan 1 ha, 2003. 101

Tabel 12. Dugaan Koefisien Fungsi Harga Nenas di Kabupaten Subang 102 Tabel 13. Marjin Pemasaran dan Penyebaran Harga Hasil Nenas

Di Lokasi Penelitian 104

Tabel 16. Location Quotient Analysis Masing-masing Komoditi

Buah-buahan di Kabupaten Subang Tahun 2001 113 Tabel 17. Hasil Shift-Share Analysis Produksi Komoditas Tanaman

Buah-buahan di Kabupaten Subang pada titik waktu Tahun

1996 dan 2001 116

Bargaining Power dalam Pengaturan Kontrak-kontrak

Pertanian di Wilayah Pedesaan 34

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian Analisis Pengembangan

Komoditi Nenas di Kabupaten Subang 48

Gambar 3. Bagan Kelembagaan Kerjasama Antar Petani, Pedagang

Pengumpul Kebun, Pengumpul Desa dan Eksportir 84

Lampiran 1. Hasil Analisis Finansial Usaha Tani Komoditi Nenas

Untuk Luasan 1 Ha 126

Lampiran 2. Hasil Analisis Ekonomi Usaha Tani Komoditi Nenas

Untuk Luasan 1 Ha 127

Lampiran 3. Data untuk Analisis Opsi Kelembagaan

Pemasaran Nenas 128

Lampiran 4. Data Untuk Analisis Keterpaduan Pasar 131 Lampiran 5. Hasil Analisis Shazam untuk Regresi 132 Lampiran 6. Hasil Regresi Opsi Kelembagaan 136

Lampiran 7. Flow Chart Analiis 140

Lampiran 8. Peta Administrasi Pemerintah Kabupaten Daerah 141 Tingkat II Subang tahun 1996

Pada hakekatnya pembangunan nasional ditujukan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian segala upaya pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangunan diarahkan untuk memanfaatkan sumberdaya nasional bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pendapatan. Sejak tahap permulaan pembangunan sampai sekarang, sektor pertanian adalah sektor yang selalu menjadi pusat perhatian karena merupakan sektor penting yang mendukung pembangunan perekonomian nasional Indonesia. Namun selama ini pembangunan sektor pertanian lebih tertuju kepada pengembangan hasil (produksi) atau pada on-farmnya dan pada pengembangan off- farm lebih tertuju kepada industri pengolahan hasil pertanian yang berskala besar yang diharapkan mampu memberikan devisa besar serta penyerapan tenaga kerja yang besar pula, sehingga perhatian kepada industri pengolahan hasil pertanian berskala kecil diabaikan.Di samping itu, sektor pertanian sebagai bagian yang integral dari sistem perekonomian nasional menjadi pemasok input-input bagi sektor–sektor lainnya, seperti untuk keperluan sektor agro-industri, sehingga dengan demikian akan meningkatkan nilai tambah sektor yang bersangkutan.

Pembangunan dan pengembangan sektor pertanian dalam arti luas ditujukan untuk menghasilkan produk-produk unggulan, menyediakan bahan baku bagi keperluan industri, memperluas kesempatan kerja dan berusaha melalui upaya peningkatan usaha pertanian secara terpadu yang berbasiskan pada agroindustri dan agribisnis yang tangguh dan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas,

dan nilai tambah yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani yang didukung dengan ketersediaan modal, tenaga kerja, faktor kelembagaan serta sarana dan prasarana pendukung lainnya.

Menurut Anwar (2000), meskipun perekonomian Indonesia sekarang telah mengalami perubahan struktural, dimana peranan relatif sektor pertanian telah menyusut (dalam menyumbang PDB/Produk Domestik Bruto dan penyerapan tenaga kerja), tetapi sektor ini masih memainkan peranannya dalam perekonomian Indonesia. Tambahan pula selama krisis ekonomi, sektor pertanian menjadi sektor penyelamat ekonomi nasional menuju kepada pemulihan ekonomi. Sektor ini masih menyumbang sebesar 20 persen kepada PDB, 55 persen kepada sektor non migas. Walaupun dengan upaya pembangunan telah banyak dicapai kemajuan melalui penerapan teknologi dan kemampuan dalam manajemen, sehingga manusia telah mampu untuk mengendalikan banyak aspek dalam mengatasi persoalan kehidupan, tetapi di dalam sektor pertanian yang menghasilkan beragam produk-produk pertanian yang telah memberikan manfaat.

Kebijaksanaan nasional dapat diorientasikan ke arah sisi penawaran (mobilitas sumberdaya) atau ke arah sisi permintaan (distribusi manfaat) daripada proses pembangunan atau integrasi keduanya. Tipe masalah regional di negara – negara berkembang termasuk Indonesia adalah bagaimana menciptakan pembangunan ekonomi dengan memodernisasikan daerah-daerah kurang berkembang yang didasarkan atas perekonomian pertanian dan terkonsentrasi di wilayah perdesaan. Terdapat indikasi bahwa orang-orang miskin di perdesaan seringkali gagal memperoleh manfaat , bahkan tidak jarang menjadi penanggung

beban dari usaha – usaha pembangunan. Adapun penyebab dari kegagalan pembagian manfaat-manfaat pembangunan tersebut adalah akibat dari kegagalan sistem pasar di dalam mengalokasikan sumberdaya yang ada sehingga pareto optimum tidak pernah dicapai (Anwar, 1997).

Fenomena umum yang dihadapi masyarakat perdesaan adalah (a) adanya proses pengalihan yang lamban dari penduduk untuk keluar dari produktivitas rendah di bidang pertanian, (b) massa penduduk di wilayah perdesaan terdiri dari berbagai derajat kemiskinan dengan terbatasnya sumberdaya, teknologi dan institusional, (c) daerah perdesaan memiliki tenaga kerja melimpah, lahan relatif sempit dan sedikit modal yang jika dimobilisasikan dapat mengurangi kemiskinan dan memperbaiki kualitas hidup. Oleh karena itu pembangunan juga diharapkan merupakan perlakuan terhadap orang-orang miskin agar dapat keluar dari keseimbangan lingkaran kemiskinannya (Napitupulu, 1987 ).

Menurut Garcia (2000) bahwa pola pembangunan yang selama ini dijalankan pemerintah lebih bersifat Jawa sentris, bias perkotaan, bias pada usaha berskala besar dan mengandalkan penggunaan sumberdaya alam. Pola pembangunan yang sangat Jawa sentris dan bias perkotaan telah menyebabkan prioritas pembangunan lebih didasarkan pada potensi keunggulan alami baik dari segi demografi, limpahan sumberdaya maupun lokasi pemusatan alokasi sumberdaya pada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi menyumbang pada pertumbuhan ekonomi menyebabkan terjadinya net transfer sumberdaya alam, pemusatan sumberdaya man-made capital, dan sumberdaya manusia daerah ke pusat kekuasaan atau kota-kota pusat pertumbuhan seperti mega urban Jabotabek, Gerbang Kartosusilo.

Sedangkan pembangunan yang bias usaha berskala besar seperti dikutip dari Lipton (1993) meskipun secara sosial investasi kapital (human capital, social capital, natural capital dan physical capital) akan lebih menguntungkan di wilayah perdesaan dibandingkan di kawasan perkotaan tetapi karena insentif yang diperoleh oleh elit lebih kecil maka investasi lebih berkonsentrasi di kawasan perkotaan. Keuntungan yang diperoleh oleh elit kota melalui kerjasama dengan konglomerat dan mempertahankan wilayah perdesaan dalam status quo ketidakmajuan secara ekonomi, sehingga muncul perbedaan yang mencolok pada tingkat pertumbuhan ekonomi dan politik antar wilayah perdesaan dan kawasan perkotaan (Anwar, 1991).

Ciri-ciri ketidakseimbangan perkembangan atau pertumbuhan perkonomian merupakan salah satu faktor yang menimbulkan dan menyebabkan adanya goncangan ekonomi, seperti yang sedang dialami Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 sampai saat ini. Krisis ekonomi yang berkepanjangan ini sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi dan kondisi masyarakat sehingga dalam menghadapi permasalahan ini, kepentingan peranan setiap wilayah hendaknya disesuaikan dengan tujuan pembangunan wilayah yang merupakan paradigma pembangunan wilayah yang diarahkan untuk mencapai pertumbuhan (growth), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainable).

Pentingnya industri pengolahan hasil pertanian skala kecil di negara-negara berkembang, seperti di Indonesia sering dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi dan sosial di dalam negeri, seperti tingkat kemiskinan yang tinggi, jumlah pengangguran yang besar, terutama dari golongan masyarakat berpendidikan rendah, ketimpangan distribusi pendapatan, proses pembangunan yang tidak

merata antara urban dan rural, serta masalah urbanisasi dengan segala macam aspek negatifnya. Kesempatan kerja, dalam hal ini merupakan salah satu aspek yang penting dari pembangunan ekonomi dan masalah kesempatan kerja ini menjadi permasalahan serius sejak munculnya krisis ekonomi.

Banyak perusahaan di dalam negeri yang berskala besarpun dengan kepemilikan modal yang tidak terlalu kuat dan menggantungkan pada bahan baku impor melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga pengangguran terbuka maupun terselubung semakin meningkat.

Industri pengolahan hasil pertanian skala kecil dapat mengatasi hal tersebut, mempunyai potensi untuk dapat menimbulkan dampak pembangunan yang strategis dalam ekonomi terutama dalam aspek peningkatan nilai tambah, aspek pemerataan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, penyerapan tenaga kerja dalam mengatasi pengangguran, kemiskinan dan urbanisasi, pelestarian budaya daerah dan bangsa serta aspek penguasaan teknologi dan keterampilan serta diharapkan dapat mengisi dan mewujudkan ke dalam struktur industri yang pada gilirannya memperkokoh struktur ekonomi.

Program peningkatan produksi hortikultura yang dicanangkan pemerintah perlu didukung dengan ketersediaan lahan yang cocok digunakan sebagai lahan usaha pertanian. Peningkatan produksi melalui perluasan penggunaan lahan merupakan suatu alternatif di samping usaha-usaha peningkatan produksi melalui intensifikasi. Hal ini karena potensi lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal masih cukup luas, baik lahan sawah maupun lahan kering.

Salah satu sub sektor hortikultura yang sedang dikembangkan adalah komoditi nenas. Dalam upaya peningkatan pendapatan petani, penigkatan produksi hendaknya diimbangi dengan harga jual dari petani yang memadai, agar petani dapat bergairah dalam mengelola usaha taninya. Untuk itu perlu diupayakan peningkatan dan efisiensi tataniaga hasil usaha tani.

Kabupaten Subang memiliki areal pertanaman dan produksi yang potensil di komoditi Buah-buahan. Berikut ini disajikan Perkembangan Luas tanam, Luas panen dan produksi di Kabupaten Subang tahun 2000 dan 2001.

Tabel 1. Perkembangan Luas Tanam, Luas Panen dan Produksi Komoditas Buah-buahan di Kabupaten Subang Tahun 2000 dan Tahun 2001.

Luas Tanam (Ha) Luas panen (Ha) Produksi (Ton) No. Komoditi 2000 2001 2000 2001 2000 2001 1. Adpokat 102 72 56 42 209 332 2. Durian 372 271 203 165 652 2.099 3. Duku 18 27 8 17 30 100 4. Mangga 2.998 1.725 2.774 90.095 5.231 3.016 5. Nenas 2.502 2.012 3.060 1.534 5.998 59.850 6. Pisang 4.293 1.780 5.410 1.861 30.000 22.444 9. Rambutan 6.896 4.875 5.315 3.851 23.280 360 10. Nangka 239 381 269 212 1.001 1.968 11. Manggis 136 168 44 35 275 802

Permintaan dunia terhadap nenas kalengan pada 1987 mencapai 667.667 metrik ton dan pada 1989 meningkat menjadi 814.790 metrik ton. Sedangkan permintaan untuk tahun 1994 naik sampai 1.159.890 metrik ton1), sementara itu pangsa pasar nenas kalengan dunia dikuasai Thailand (42 %) dan Philipina (22,5%), Indonesia hanya menguasai 3,3 % . Namun sepanjang tahun 1987 sampai 1989 pertumbuhan ekspor nenas Indonesia mencapai 38,86 %, sedangkan Philipina dan Thailand hanya 2,68 % dan 16,40 %. Di dalam negeri sendiri, produksi nenas kalengan dikuasai satu perusahaan multinasional di Lampung yang mendapat pasokan utama bahan bakunya dari kebun sendiri.

Penanganan nenas dengan pola contract farming nenas merupakan sumber penambahan pendapatan keluarga petani , baik yang memiliki lahan sedikit luas maupun terutama yang memiliki lahan relatif sempit. sistem kontrak pertanian dan industri kecil, khususnya yang terjadi di wilayah perdesaan. Permasalahan daam sistem kontrak ini adalah proses tawar-menawar (bargaining process) antara beberapa agen-agen (stakeholders) yang terlibat sebelum kontrak pertanian dilaksanakan (contractual problems). Karena pada masingmasing pihak, baik para petani maupun para pedagang/tengkulak biasa terkena pengalaman oleh keadaan kekurangan informasi sebelum kontrak disetujui, merupakan bagian yang penting dimana apabila hal ini terjadi, maka didalam sistem kontrak tersebut akan terjadi masalah-masalah yang akan menimbulkan pertentangan setelah kontrak disetujui (post contractual disputes), dan karenanya persoalan yang timbul bagaimana konflik tersebut dapat dicarikan solusi-solusinya. Adakah konflik-konflok tersebut muncul se 1) Majalah Prospek 31 agustus 1991 halaman 30.

telah kontrak tersebut dilakukan dalam kontrak-kontrak pertanian dan industri kecil di wilayah perdesaan, maka kami menganggap bahwa permasalahan ini mempunyai bagian yang penting sebagai sumber informasi yang berharga untuk para pelaku sistem agribisnis, baik bagi para peneliti di bidang ini maupun untuk keperluan penentuan kebijaksanaan.

Sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah yang dimulai pada awal tahun 2001, maka peranan pemerintah daerah sangat penting dalam menggali potensi lokalnya sebagai sumber keuangan dalam membantu membiayai pembangunan daerahnya secara mandiri. Untuk itu pemerintah kabupaten Subang dalam hal peningkatan sisi penerimaan perlu berupaya bagaimana potensi lokal yang ada dapat meningkatkan pemasukan kas daerah atau dengan kata lain sebagai kontribusi bagi pendapatan asli daerah (PAD) menyongsong era perdagangan bebas, kita dituntut untuk mampu bersaing/berkompetitif maka perlu adanya perhatian dan pemanfaatan potensi lokal yang ada seperti produk unggulan daerah untuk sub sektor industri kecil pengolahan hasil pertanian seperti pengolahan nenas, yang merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang dapat berperan atau diperbesar peranannya sehingga nantinya output industri tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam peningkatan PAD serta kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini akan dikaji beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Sistem kontrak pertanian yang terjadi dalam pertanian nenas di Kabupaten Subang,

2. Apa dan bagaimana peran lembaga tata niaga yang menjadi opsi petani dalam tata niaga nenas di Kabupaten Subang, serta siapa yang membuat sustaine lembaga tersebut,

3. Bagaimana kinerja ekonomi usaha tani nenas di kabupaten Subang,

4. Bagaimana peran pemerintah terhadap proteksi harga input dan output dalam usaha tani nenas di Kabupaten Subang,

5. Bagaimana keunggulan komparatif, kompetitif dan pemusatan wilayah serta penyebaran komoditi nenas di Kabupaten Subang.

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian.

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini mencakup :

1. Mengidentifikasi dan mengkaji sistem kontrak pertanian nenas di Kabupaten Subang,

2. Mengidentifikasi dan mengkaji peran lembaga tata niaga yang menjadi opsi petani dalam tata niaga nenas di Kabupaten Subang, serta siapa yang membuat sustain lembaga tersebut,

3. Menelaah kinerja ekonomi usaha tani nenas di Kabupaten Subang,

4. Menelaah peran pemerintah terhadap proteksi input dan output dalam usaha tani nenas di Kabupaten Subang,

5. Mengkaji keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dan pemusatan wilayah serta penyebaran komoditi nenas di Kabupaten Subang.

Manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi para pembuat kebijakan dan para pengambil keputusan dalam memberikan arah pembangunan industri kecil beserta kelembagaan tataniaganya khususnya home industry nenas (khususnya Departemen/instansi pemerintah dan swasta) yang terlibat secara langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan home industry nenas sehingga dapat memberikan efek pengganda yang sebesar-besarnya di Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pembangunan Ekonomi

Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi. Pengertian pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada. Paling tidak menurut Goulet dalam Todaro (1999) pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu kecukupan (sustenance), jatidiri (self-esteem) serta kebebasan (freedom). Artinya pembangunan dalam berbagai skala baik lokal, regional, nasional maupun internasional meliputi suatu wilayah dan mempunyai tekanan utama pada perekonomian, keadaan fisik dan non fisik (Jayadinata, 1999).

Indonesia sebagai negara yang dibangun di atas konstitusi UUD 1945, haruslah mendasarkan pembangunannya termasuk pembangunan ekonomi pada amanat konstitusi dasar. Dengan demikian, ekonomi modern yang dibangun di atas bumi Indonesia tetap konsisten dengan tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam bidang ekonomi, pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa sistem perekonomian yang dikembangkan di Indonesia adalah demokrasi ekonomi yakni pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan. Pembangunan ekonomi haruslah menggunakan sumberdaya yang dimiliki dan atau dikuasai oleh rakyat banyak. Sumberdaya yang dimiliki atau dikuasai oleh rakyat Indonesia adalah sumberdaya

manusia (tenaga, pikiran, waktu nilai-nilai, dan sebagainya) dan sumberdaya alam (lahan, keanekaragaman hayati, agroklimat tropis, dan lain-lain). Kedua sumberdaya tersebut merupakan keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dimiliki Indonesia. Hal ini berarti bahwa pembangunan ekonomi Indonesia berbasiskan kerakyatan dimungkinkan jumlah penduduk, keanekaragaman sosial budaya masyarakat, dan sumberdaya alam dapat menjadi subyek dan modal pembangunan.

Pembangunan ekonomi nasional ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat luas. Hal ini merupakan konsekuensi langsung pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan yakni melalui pendapatan atas faktor produksi yang dimiliki rakyat dan keuntungan pelaku ekonomi (organisasi ekonomi). Bila pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumberdaya domestik dalam kerangka organisasi ekonomi kerakyatan, maka hasil pembangunan berupa gaji, upah, sewa, royalty, rent, profit secara otomatis akan diminati rakyat Indonesia.

2.2 Pembangunan Wilayah

Tantangan ekonomi utama yang dihadapi saat ini dan mempunyai keterkaitan penting dengan stabilitas sosial dan politik baik dalam jangka pendek maupun untuk jangka panjang terdiri dari dua permasalahan yang saling berkaitan, yaitu : (a) mempertahankan tingkat pendapatan nyata, dan jika mungkin meningkatkannya di tengah-tengah kendala sumberdaya dan dana yang terbatas, (b) meningkatkan lapangan kerja produktif bagi penduduk yang semakin bertambah terutama di wilayah perdesaan. Karena itu kebijaksanaan wilayah harus ditujukan untuk memperbaiki ketimpangan dan kesenjangan strukural sebagai proses penyesuaian

terus – menerus.

Dalam paradigma pembangunan wilayah yang menyeimbangkan antara mengejar pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan distribusi pendapatan diantara anggota masyarakat serta keberlanjutan pembangunan ekonomi.

Menurut Todaro (1999) bahwa pembangunan harus dipandang sebagai proses multi dimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya, pembangunan itu harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok – kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spritual.

2.3 Kelembagaan

Kelembagaan petani atau kelembagaan ekonomi masyarakat yang telah ada di lokasi merupakan modal bagi pengembangan kelompok agribisnis hortikultura. Upaya yang diperlukan adalah memberdayakan kelompok tani/agribisnis tersebut melalui pembinaan dan bimbingan intensif, sehingga dapat merubah cara pandang atau pola fikir menjadi pengelola kegiatan agribisnis secara baik dalam bentuk koperasi agribisnis, kelompok usaha agribisnis, kelompok usaha lainnya.

Pengembangan kelembagaan dilakukan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh petani atau kelompok tani dalam meningkatkan kemampuannya dalam penguasaan dan pemanfaatan potensi dan sumberdaya yang ada secara baik dan bijaksana. Kelompok tani merupakan kelompok swadaya masyarakat, terbentuk dan berkembang berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk anggota, yang dibangun atas dasar kekuatan, kebutuhan dan tujuan bersama. Sebagai kelompok usaha, maka kelompok tani diarahkan agar mampu memanfaatkan berbagai peluang dan kesempatan berusaha serta meningkatkan usaha ke arah komersial, efisien dan profesional. Dengan demikian maka selanjutnya kelompok tani ini dapat berkembang menjadi kelompok agribisnis. Pengembangan kelembagaan usaha dalam rangka mengembangkan kelembagaan usahatani yang ada di masyarakat menjadi suatu kelembagaan usaha agribisnis. Beberapa komponen kegiatan yang tercakup dalam kegiatan pengembangan kelembagaan usaha adalah; 1) Inventarisasi kelembagaan usaha, 2) Penguatan/Pemberdayaan kelembagaan usaha, 3) Fasilitasi penumbuhan kelembagaan usaha.

Menurut Anwar (2000a) menyatakan bahwa kelembagaan (institution), sebagai aturan main (rule of the game) dan organisasi, berperanan penting dalam mengatur penggunaan/alokasi sumberdaya secara efisien, merata, dan berkelanjutan (sustainable). Langkah awal guna mencapai efisiensi dalam alokasi sumberdaya yang optimal adalah perlunya pembagian pekerjaan (division of labour), sehingga setiap pekerja dapat bekerja secara professional dengan produktivitas tinggi. Peningkatan pembagian pekerjaan selanjutnya akan mengarah kepada spesialisasi ekonomi, sedangkan spesialisasi yang berlanjut akan mengarah kepada

peningkatan efisiensi dengan produktivitas yang semakin tinggi. Sebagai hasil dari pembagian pekerjaan dan spesialisasi pada sistem ekonomi maju sering mengarah kepada keadaan dimana orang-orang menjadi hampir tidak mampu lagi berdiri sendiri, dalam arti mereka tidak dapat menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan untuk kebutuhan kehidupan (konsumsinya) sehingga pemenuhan kebutuhannya diperoleh dari orang/pihak lainnya yang berspesialisasi melalui pertukaran (exchange atau trade) yang dalam ekonomi disebut transaksi ekonomi. Barang dan jasa tersebut akan dapat dipertukarkan apabila hak-hak (property right) dapat ditegaskan, sehingga dapat ditransfer kepada pihak lain. Agar transaksi ekonomi tersebut dapat berlangsung perlu adanya koordinasi antar berbagai pihak dalam sistem ekonomi, yang mencakup “aturan presentasi” dari pihak-pihak yang berkoordinasi tersebut. Pada dasarnya ada dua bentuk koordinasi yang utama yaitu koordinasi untuk keperluan :i) Transaksi melalui sistem pasar, dimana harga-harga menjadi panduan dalam mengkoordinasikan alokasi sumber-sumberdaya tersebut. Pengertiannya dalam hal ini harga-harga berperan sebagai pemberi isyarat (signals) dan sebagai pembawa informasi yang mengatur koordinasi alokasi sumberdaya kepada pembeli dan penjual. ii) Transaksi tersebut dilakukan dalam sistem organisasi-organisasi yang berhirarki di luar sistem pasar (extra market institution).

Salah satu aspek industrialisasi perdesaan yang banyak dikembangkan dan diharapkan menjadi motor dalam proses pembangunan perdesaan sekaligus diharapkan dapat menambah devisa negara adalah agroindustri. Menurut Wilson (1986), secara umum pola contract farming memiliki kemiripan yang mencolok dengan usaha industri rumah tangga di luar sekor pertanian yang melakukan sub kontrak. Pada konteks ini, menurut Wilson, ada bentuk-bentuk hubungan dalam contract farming yang perlu diamati secara cermat, yaitu hubungan kontrak pemasaran, hubungan kontrak produksi, dan integrasi vertikal (Wilson, 1986: 50-51). Implikasinya, kita dapat memiliki kejelasan mengenai kontrol yang diterapkan pemberi kontrak kepada petani produsen dan melihat keterlibatan inti atau pemberi kontrak dalam keputusan-keputusan produksi di tingkat petani-petani plasmanya.

Jadi dalam model contract farming ada hubungan produksi yang mengikat petani untuk menyediakan /menjual sejumlah hasil pertaniannya dalam

Dokumen terkait