• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

yang penulis berikan adalah berupa sumbang pikiran yang diharapkan bermanfaat dalam operasional bank perkreditan sehingga tujuan pemberian kredit dapat dipenuhi oleh pihak bank.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KENDARAAN BERMOTOR

A. Pengertian Kendaraan Bermotor

Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik untuk pergerakannya, dan digunakan untuk transportasi darat. Umumnya kendaraan bermotor menggunakan mesin pembakaran dalam (perkakas atau alat untuk menggerakkan atau membuat sesuatu yg dijalankan dengan roda, digerakkan oleh tenaga manusia atau motor penggerak, menggunakan bahan bakar minyak atau tenaga alam). Kendaraan bermotor memiliki roda, dan biasanya berjalan di atas jalanan.10

Berdasarkan UU No. 14 tahun 1992 , yang dimaksud dengan peralatan teknik dapat berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.Pengertian kata kendaraan bermotor dalam ketentuan ini adalah terpasang pada tempat sesuai dengan fungsinya. Termasuk dalam pengertian kendaraan bermotor adalah kereta gandengan atau kereta tempelan yang dirangkaikan dengan kendaraan bermotor sebagai penariknya.11

B. Kendaraan Bermotor Sebagai Benda Bergerak

10

http://id.wikipedia.org/wiki/kendaraan_bermotor

11

Indonesia, Undang - Undang Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Lembaran Negara No.182

Pengertian benda dalam KUH Perdata berasal dari dua istilah yaitu benda (Zaak) dan barang (goed).12

Dalam hukum perdata terdapat jenis dan macam - macam pembagian benda , yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak ,benda berwujud (lichamelijk) dan benda tidak berwujud (onlichmamelijk), benda yang dapat dipakai habis (vebruikbaar) dan benda yang tidak dapat dipakai habis (onvebruikbaar), barang yang sudah ada dan barang yang masih akan ada, barang yang ada dalam perdagangan dan barang yang ada di luar perdagangan , barang yang dapat dibagi dan barang yang tidak dapat dibagi dan lain sebagainya. Namun dalam berbagai pembagian benda tersebut yang utama dan mempunyai dampak yang luas berkaitan dengan pengikatan agunan adalah pembagian benda yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak.

Pengertian benda secara sempit adalah sebagai barang yang dapat terlihat saja. Benda atau kebendaan atau “zaak” (dalam bahasa Belanda) menunjuk pada sesuatu yang dapat dimiliki.

13

Pada umumnya yang diartikan dengan benda (berwujud,bagian kekayaan,hak) ialah segala sesuatu yang dapat dikuasai manusia dan dapat

Pengertian benda secara luas dapat di lihat dalam Pasal 499 KUH Perdata yang menyebutkan :

“ Menurut paham Undang - Undang yang dinamakan kebendaan adalah tiap-tiap barang dan tiap - tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik”.

12

Mariam Darus Badrulzaman,1997,Mencari Sistim Hukum Benda Nasional,Bandung,Alumni,hal 35

13

Try Widiyono,2009,Agunan Kredit Dalam Financial Engineering,Bogor,Ghalia Indonesia,hal 106

dijadikan objek hukum. Disini benda berarti sebagai lawan dari subjek “orang” dalam hukum.

Untuk menjadi objek hukum ada syarat yang harus dipenuhi yaitu penguasaan manusia dan mempunyai nilai ekonomis dan karena itu dapat dijadikan sebagai objek (perbuatan) hukum.14

Jika perkataan benda dipakai dalam arti kekayaan seseorang maka perkataan itu meliputi juga barang-barang yang tidak dapat terlihat yaitu hak-hak, misalnya hak piutang atau penagihan.15

1. Kebendaaan berwujud dan tidak berwujud;

Kebendaan merupakan suatu istilah dalam ilmu hukum yang berkonotasi secara langsung dengan istilah “benda”. Berbeda dengan istilah “perikatan” atau verbintenis. Benda atau kebendaan (zaak) menunjuk kepada sesuatu yang dapat dimiliki. Jika hukum yang mengatur mengenai perikatan diatur dalam Buku III Kitab Undang - Undang Hukum Perdata , hukum tentang kebendaan diatur dalam Buku II Kitab Undang - Undang Hukum Perdata. Dalam Buku II Kitab Undang - Undang Hukum Perdata, benda (kebendaan) dibedakan ke dalam :

2. Kebendaan bergerak dan tidak bergerak;

3. Kebendaan yang habis dipakai (vebruikbaar) dan kebendaan yang tidak habis dipakai(onverbruikbaar);

Selain itu ilmu hukum juga membedakan kebendaan ke dalam kebendaan yang sudah ada (tegen woordige zaken) dan kebendaan yang akan ada (toekoemstige zaken).16

14

Ibid, hal 35

15

R.Surbekti,1982,Pokok-Pokok Hukum Perdata,Bandung,PT. Inter Masa Bandung,hal. 60

16

Berbeda dengan pembagian kebendaan ke dalam kebendaan berwujud dan tidak berwujud, Kitab Undang - Undang Hukum Perdata memberikan perumusan dan pengaturan yang tegas atas kebendaan - kebendaan mana saja yang digolongkan ke dalam kebendaan bergerak.Kebendaan bergerak dapat dilihat pada pasal 509 sampai pasal 518 BAGIAN KEEMPAT BUKU II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan kebendaan yang digolongkan sebagai benda tidak bergerak dapat dilihat pada pasal 506 hingga pasal 508 BAGIAN KETIGA BUKU II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Kendaraan bermotor kita masukkan menjadi suatu benda bergerak karena memenuhi beberapa unsur - unsur dari kebendaan bergerak seperti :

1. Benda - benda yang karena sifatnya dapat berpindah atau yang dapat dipindah-pindahkan ;

2. Kapal-kapal dan perahu-perahu serta tongkang-tongkang selain dari yang termasuk dalam kebendaan tidak bergerak;

3. Hak-hak yang terbit atas pemakaian dan penggunaan serta penuntutan kembali atas kebendaan bergerak;

4. Sero-sero atau saham-saham atau andil-andil yang diterbitkan oleh Perusahaan.17

C. Asas - asas Umum Hukum Benda

Menurut Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan, setidaknya ada sepuluh asas umum dari hukum kebendaan meliputi :

1. Merupakan hukum pemaksa.

17

Artinya, berlakunya aturan - aturan hukum tidak dapat disimpangi oleh para pihak . Sebagaimana telah diketahui atas sesuatu benda itu hanya dapat diadakan hak kebendaan sebagaimana telah disebutkan dalam Undang-Undang .Hak - hak kebendaan tidak akan memberikan wewenang yang lain daripada apa yang sudah ditentukan dalam Undang-Undang.

2. Dapat dipindahkan.

Dengan pengertian bahwa kecuali dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum , hak milik atas kebendaan dapat dialihkan dari pemiliknya semula kepada pihak lainnya dengan segala akibat hukumnya.

3. Asas individualitit.

Objek dari hak kebendaan selalu adalah barang yang individuil bepaald, yaitu suatu barang yang dapat ditentukan. Artinya orang hanya dapat sebagai pemilik dari barang yang berwujud yang merupakan kesatuan : rumah, mebel, hewan, tidak dapat atas barang yang ditentukan menurut jenis dan jumlahnya.

4. Asas totaliteit.

Hak kebendaan selalu meletak atas keseluruhan objeknya (Pasal 500, 588, 606 KUH Perdata dan sebagainya). Siapa yang mempunyai zakelijkrecht atas suatu zaak , ia mempunyai zakelijkrecht itu atas keseluruhan zaak itu, jadi juga atas bagian - bagiannya yang tidak tersendiri.

5. Asas tidak dapat dipisahkan.

Yang berhak tak dapat memindahtangankan sebagian wewenang yang termasuk suatu hak kebendaan yang ada padanya , misalnya pemilik.Pemisahan zaaklijkrechten itu tidak diperkenankan tetapi pemilik dapat membebani hak

miliknya dengan iura in realiena. Ini kelihatannya seperti melepaskan sebagian dari wewenangnya . Tetapi itu hanya kelihatannya saja , hak miliknya tetap utuh.

6. Asas prioriteit.

Semua hak kebendaan memberi wewenang yang sejenis dengan wewenang dari eigendom sekalipun luasnya berbeda-beda. Oleh karena itu

perlu diatur urutannya. Ius realiena meletak sebagian beban atas eigendom. Sifat ini membawa serta bahwa ius realiena didahulukan.

7. Asas percampuran (Vermenging)

Hak kebendaan yang terbatas , jadi selainnya hak milik hanya mungkin atas benda orang lain. Seseorang yang untuk kepentingannya sendiri,tidak dapat memperoleh hak gadai (menerima gadai) hak memungut hasil atas barangnya sendiri. Jika hak yang membebani dan yang dibebani itu terkumpul dalam satu tanah,maka hak yang membebani itu menjadi lenyap. Jadi jika orang mempunyai hak memungut hasil atas tanah kemudian membeli tanah itu maka hak memungut hasil itu menjadi lenyap.

8. Perlakuan terhadap benda.

Perlakuan terhadap benda bergerak dan tidak bergerak itu berlainan mengenai aturan - aturan pemindahan , pembebanan, bezit dan verjaring.

9. Asas publisitas.

Mengenai benda-benda yang tidak bergerak mengenai penyerahan dan pembebanannya, berlaku asas publisitas yaitu dengan pendaftaran dalam register umum. Sedang mengenai benda bergerak cukup dengan penyerahan nyata tanpa pendaftaran dalam register umum.

Orang yang mengadakan hak kebendaan itu yaitu misalnya mengadakan hak memungut hasil, gadai, hipotik dan lain - lain itu mengadakan perjanjian. Sifat pejanjiannya disini adalah perjanjian zakelijk yaitu perjanjian untuk mengadakan hak kebendaan.18

18

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,1974,Hukum Perdata: Hukum Benda,Jogjakarta Penerbit Liberty,hal 36.

BAB III

GAMBARAN UMUM JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

A. Tentang Perjanjian Kredit Bank

Ad.1 Perjanjian Kredit Sebagai Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian.

a. Tentang perikatan pada umumnya

Perikatan merupakan suatu perkataan yang memiliki pengertian yang abstrak. Kata “perikatan” berasal dari terjemahan kata “verbintenis” (dalam Bahasa Belanda) , yang dibedakan dari “overeenkomst” (dalam Bahasa Belanda) yang diterjemahkan sebagai “perjanjian”. Aturan-aturan hukum yang berhubungan dengan perikatan atau”verbintenis” ini dapat kita temui dalam ketentuan Buku III Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Dalam teori ilmu hukum, Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dikatakan memiliki sifat terbuka , dengan pengertian bahwa terhadap ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukum yang dimuat dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , kecuali yang bersifat “memaksa” dapat diadakan penyimpangan - penyimpangan seperlunya oleh pihak-pihak yang berhubungan hukum selama dan sepanjang penyimpangan tersebut terjadi dengan “kesepakatan “ bebas di antara para pihak tersebut.

Ketentuan pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengawali ketentuan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan menyatakan bahwa “ Tiap - tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian , maupun karena undang-undang”

Selanjutnya dalam ketentuan berikutnya, yaitu dalam pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu,untuk berbuat sesuatu , atau untuk tidak berbuat sesuatu”

Dari kedua rumusan sederhana tersebut dapat kita katakan bahwa perikatan melahirkan “kewajiban” , kepada orang perorangan atau pihak tertentu yang dapat terwujud dalam salah satu dari tiga bentuk berikut, yaitu :

1. Untuk memberikan sesuatu

2. Untuk melakukan suatu perbuatan tertentu; dan 3. Untuk tidak melakukan suatu tindakan tertentu .

Istilah “kewajiban” itu sendiri dalam ilmu hukum dikenal dengan nama “prestasi”. Selanjutnya pihak yang berkewajiban dinamakan “debitur” , dan pihak yang berhak untuk menuntut pelaksanaan kewajiban atau prestasi disebut dengan “kreditur”.

Kewajiban atau prestasi yang diberikan dalam perikatan tersebut dapat lahir atau terjadi dari perjanjian atau karena sebab - sebab tertentu yang diwajibkan oleh undang-undan. Untuk yang terakhir, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakannya lagi ke dalam yang lahir dari undang-undang semata-mata; dan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang. Dari perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang , Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakannya lagi ke dalam perikatan yang lahir sebagai akibat dari perbuatan yang halal dan yang lahir sebagai akibat perbuatan yang melawan hukum.

b. Perikatan yang lahir dari perjanjian

Perjanjian menurut pasal 1313 KUHPerdata didefenisikan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Jika kita perhatikan dengan seksama , rumusan yang diberikan dalam pasal 1313 KUH Perdata tersebut menyiratkan bahwa sesungguhnya dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang(pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya , yang berhak atas prestasi tersebut memberikan konsentrasi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.

Selanjutnya jika kita baca dan simak dengan baik rumusan yang diberikan dalam pasal 1314 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , rumusan pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut dikembangkan lebih jauh , dengan menyatakan bahwa atas prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur dalam perjanjian tersebut, debitur yang berkewajiban tersebut dapat meminta dilakukannya “kontra prestasi”19

19

Pengertian kontra prestasi dalam KUHPerdata yang diterjemahkan oleh Prof R.Surbekti dan R. Tjitrosoebono disebut dengan istilah dengan atau tanpa beban

. Kedua rumusan tersebut memberikan banyak arti bagi ilmu hukum. Dengan adanya kedua rumusan yang saling melengkapi tersebut dapat kita katakan bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan

perikatan yang bersifat sepihak (dimana hanya satu pihak yang wajib berprestasi ) dan penarikan yang bertimbal balik (dengan kedua belah pihak saling berprestasi).

Meskipun bukan yang paling dominan , namun pada umumnya , sejalan dengan sifat dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang bersifat terbuka , perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari , dan yang juga ternyata banyak dipelajari oleh ahli hukum , serta dikembangkan secara luas menjadi aturan-aturan hukum positif yang tertulis oleh para legislator.20

1. Syarat subjektif yaitu syarat yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian, Unsur subjektif digantungkan pada dua macam keadaan yaitu :

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan dua syarat yang dibagi lagi dalam dua keadaan yang melatarbelakanginya yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,pengertiannya dapat dilihat lebih lanjut dalam pasal 1321 sampai dengan pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian, pengertiannya dapat dilihat lebih lanjut dalam pasal 1329 sampai dengan pasal 1331 Kitab Undang-Undang huku

2. Syarat objektif yaitu syarat yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian yaitu :

20

a. Mengenai suatu hal tertentu, pengertiannya dapat dilihat lebih lanjut dalam pasal 1332 sampai dengan pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai keharusan adanya suatu objek dalam perjanjian.

b. Suatu sebab yang halal, pengertiannya dapat dilihat lebih lanjut dalam pasal 1335 sampai dengan pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai kewajiban adanya suatu causa yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

Apabila dalam melakukan perjanjian, salah satu unsur dari keempat unsur tersebut tidak terpenuhi , maka dapat menyebabkan cacat dalam perjanjian. Dalam hal ini, apabila pelanggaran terjadi dengan tidak memenuhi salah satu unsur subjektif, maka perjanjian yang dibuat tersebut dapat dimintakan pembatalannya dengan mengajukannya ke pengadilan. Dan apabila pelanggaran terjadi dengan tidak memenuhi salah satu unsur objektif, maka perjanjian yang dibuat tersebut batal demi hukum.

Asas - asas umum dalam perjanjian , meliputi : a) Asas Kebebasan Berkontrak

Seperti telah dapat kita lihat dari uraian di atas , Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan hak kepada para pihak untuk membuat dan melakukan kesepakatan apa saja dengan siapa saja , selama mereka memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut . Setiap perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Rumusan ini dapat kita temukan

dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dipertegas kembali dengan ketentuan ayat (2) yang menyatakan bahwa perjanjian yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian tanpa adanya persetujuan dari lawan pihaknya dalam perjanjian , atau dalam hal-hal di mana oleh undang-undang dinyatakan cukup adanya alasan untuk itu.

Secara umum, kalangan ilmuwan hukum menghubungkan dan memperlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam 1320 Kitab Undang-Undang Perdata jo pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai asas kebebasan berkontrak dalam Hukum Perjanjian

b) Asas Konsensualitas

Maksudnya adalah hukum perjanjian , diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para pihak untuk membuat perjanjian yang akan mengikat mereka sebagai undang-undang yang akan mengikat mereka sebagai undang-undang selama dan sepanjang dapat dicapai kesepakatan oleh para pihak. Suatu kesepakatan liasan diantara para pihak telah mengikat para pihak yang bersepakat secara lisan tersebut. Dan oleh karena ketentuan umum mengenai kesepakatan lisan ini diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka rumusan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dianggap sebagai dasar asas konsensualitas dalam Hukum Perjanjian.

c) Asas Personalia

Asas personalia merupakan dasar dari Hukum Perjanjian, dalam ilmu hukum , berdasarkan pada sifat perseorangan dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga dikenal asas personalia.

Asas personalia ini dapat kita temui dalam rumusan pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dipertegas lagi oleh ketentuan pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari kedua rumusan tersebut dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya perjanjian hanya akan melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban diantara para pihak yang membuatnya. Pada dasarnya seseorang tidak dapat mengikatkan dirinya untuk kepentingan maupun kerugian bagi pihak ketiga, kecuali dalam hal terjadinya peristiwa penanggungan (dalam hal yang demikian pun penanggung tetap berkewajiban untuk membentuk perjanjian dengan siapa penanggungan tersebut akan diberikan dan dalam hal yang demikian maka perjanjian penanggungan akan mengikat penanggung dengan pihak yang ditanggung dalam perjanjian penanggungan). Ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut , demi hukum hanya akan mengikat para pihak yang membuatnya.21

Perjanjian Kredit menurut Hukum Perdata Indonesia merupakan salah satu dari bentuk perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Buku Ketiga KUH Perdata. Dalam bentuk apa pun juga pembagian kredit itu pada hakikatnya merupakan salah satu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam pasal 1754 sampai dengan 1769 KUH Perdata. Namun demikian dalam praktek perbankan yang modern, hubungan hukum dalam kredit tidak lagi semata-mata berbentuk hanya perjanjian pinjam-meminjam saja melainkan adanya campuran dengan bentuk perjanjian yang lainnya seperti perjanjian pemberian kuasa, dan perjanjian lainnya. Dalam bentuk yang campuran demikian maka selalu tampil

Ad. 2 Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Baku.

21

adanya suatu jalinan diantara perjanjian yang terkait tersebut. Namun demikian dalam praktek perbankan, pada dasarnya bentuk dan pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam yang ada dalam KUH Perdata tidaklah sepenuhnya identik dengan bentuk dan pelaksanaan suatu perjanjian kredit perbankan , diantara keduanya ada perbedaan -perbedaan yang gradual bahkan dapat pula merupakan perbedaan yang pokok.

Sesuai dengan asas yang utama dari suatu perikatan atau perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak , maka pihak-pihak yang akan mengikatkan diri dalam perjanjian kredit tersebut dapat mendasarkan kepada ketentuan-ketentuan yang ada pada KUH Perdata , tetapi dapat pula mendasarkan kepada kesepakatan bersama , artinya dalam hal - hal ketentuan yang memaksa, maka harus sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata , sedangkan dalam hal ketentuan yang tidak memaksa diserahkan kepada para pihak. Sehingga perjanjian kredit selain dikuasai oleh asas-asas umum hukum perjanjian , juga dikuasai oleh apa yang secara khusus disepakati oleh kedua belah pihak.Oleh karena itu perjanjian kredit dapat dikatakan sebagai perjanjian baku.Dengan bentuk perjanjian yang baku tersebut, tidaklah menjadi suatu pengingkaran atas asas kebebasan berkontrak sepanjang tetap ditegakkannya asas-asas umum perjanjian , seperti syarat-syarat yang wajar dengan menjunjung keadilan dan adanya keseimbangan para pihak dengan menghilangkan suatu penekanan kepada pihak lainnya karena kekuatan yang dimiliki salah satu pihak. Sehingga dengan demikian rumusan perjanjian baku tersebut harus terhindar dari kandungan unsur-unsur yang akan mengakibatkan kecurangan yang sangat berlebihan , dan terjadinya suatu pemaksaan karena adanya ketidakseimbangan kekuatan para

pihak , juga harus dihindarkan pula syarat perjanjian yang hanya menguntungkan sepihak ,atau resiko yang hanya dibebankan kepada sepihak pula, serta pembatasan hak dalam menggunakan upaya hukum.

Dalam ruang lingkup pembahasan perjanjian kredit ini sering pula dalam prakteknya debitur diminta memberikan beberapa hal, yakni :

a. Representations yaitu keterangan - keterangan yang diberikan oleh debitur guna pemrosesan pemberian kredit.

b. Warranties yaitu suatu janji , misalnya janji bahwa si debitur akan melindungi kekayaan perusahaannya atau aset yang telah dijadikan jaminan untuk mendapatkan kredit tersebut.

c. Covenant yaitu janji untuk tidak melakukan sesuatu seperti misalnya janji bahwa si debitur tidak akan mengadakan merger dengan perusahaan lain, atau menjual atau memindahtangankan seluruh atau sebagian besar asetnya tanpa seizin kreditur.

Perjanjian kredit yang merupakan suatu perjanjian baku, pada umumnya mengandung klausul yang tidak setara antara pihak yang mempersiapkan dan pihak lainnya. Isi , aturan dan syarat-syarat klausul terlebih dahulu dipersiapkan dan ditetapkan secara sepihak oleh yang membuat perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh pihak lainnya. Dengan sendirinya pihak yang mempersiapkan akan akan menuangkan sejumlah kewajiban.

2. Bentuk Perjanjian Kredit Bank

Dalam Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 sebagai perubahan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tidak menyebutkan atau

menentukan bentuk perjanjian kredit bank, berarti pemberian kredit bank dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan.

Dalam praktek perbankan , guna mengamankan pemberian kredit atau pembiayaan, umumnya perjanjian kreditnya dituangkan dalam 2 bentuk yaitu :

1. Perjanjian dalam bentuk Akta Bawah Tangan (diatur dalam Pasal 1874 KUHPerdata). Akta bahwa tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian apabila tanda tangan yang ada dalam akta tersebut diakui oleh yang menandatanganinya. Supaya akta bawah tangan tidak mudah dibantah maka

Dokumen terkait