• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

BAB II

GAMBARAN UMUM BANK GARANSI SEBAGAI PENGALIHAN KEWAJIBAN

A. Bank Garansi Sebagai Bentuk Usaha Bank

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa defenisi Bank Garansi (BG) adalah jaminan yang diberikan oleh bank, maksudnya bank menyatakan suatu pengakuan tertulis yang isinya menyetujui mengikatkan diri kepada penerima jaminan dalam jangka waktu dan syarat-syarat tertentu apabila dikemudian hari ternyata si terjamin ternyata tidak memenuhi kewajibannya kepada si penerima jaminan.30

Berdasarkan pengertian dari Bank Garansi di atas tergambarkan bahwa mengenai pemberian Bank Ganransi ini sebenarnya terjadinya suatu pengalihan kewajiban karena dipersyaratkan adanya suatu perjanjian atau kontrak sebelumnya.

Dalam praktek perbankan, umumnya juga menuju kepada suatu pengertian dan maksud yang sama mengenai pengalihan kewajiban dimasud. Untuk lebih memahami mengenia pengalihan kewajiban dalam Bank Garansi ini, maka dikutip dari beberapa pengertian, antara lain sebagai berikut:

Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/88Kep./Dir tanggal 18 Maret 1991 Pasal 1 angka (3) memberikan pengertian yang dibagi ke dalam 3 (tiga) bagian yang luas yaitu:31

30 Muhammad Djumhana., Op. cit., hal. 460.

31 Pasal 1 angka (3 a) SK. Direksi Bank Indonesia Nomor 23/88/Kep./Dir tanggal 18

a. Garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank yang mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima garansi apabila pihak yang dijamin cidera janji (wanprestasi);

b. Garansi dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas surat-surat berharga seperti aval dan endosemen dengan hak regres yang dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank apabila pihak yang dijamin cidera janji (wanprestasi); dan

c. Garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat sehingga dapat menimbulkan kewajiban finansial bagi bank.

Sehubungan dengan hal itu, Y. Sunyoto memberikan defenisi mengani bank garansi yaitu:32

”Bank garansi itu merupakan jaminan dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank atau oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima jaminan apabila pihak yang dijamin cidera janji (wanprestasi).”

Sementara menurut OP. Simorangkir, ”Bank garansi artinya garansi atau jaminan yang diberikan oleh bank komersial, maksudnya bank menjamin si nasabah (terjamin) memenuhi kewajiban para pihak lain sesuai dengan persetujuan”.33

Pada Bank garansi menurut Bank Rakyat Indonesia Cabang Putri Hijau Medan itu sendiri menganut pengertian mengenai bank garansi yaitu:34

”Bank Garansi (BG) adalah jaminan yang diberikan oleh bank untuk kepentingan nasabah, yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepada penerima jaminan (pihak ketiga) bahwa bank akan memenuhi kewajiban nasabah kepada penerima jaminan (pihak ketiga) apabila nasabah wanprestasi (tidak memenuhi kewajiban) kepada penerima jaminan (pihak ketiga) sesuai dengan yang telah diperjanjikan.”

32 Y. Sunyoto., Hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: Sebelas Maret Unversity Press,

1995), hal. 32.

33 OP. Simorangkir., Seluk Beluk Bank Komersial, (Jakarta: Aksara Persada Indonesia,

1986), hal. 133.

34 Surat Edaran Nose: S.10-DIR/ADK/04/2003 tentang Bank Garansi, Surat Edaran ini

Dengan demikian perlu disadari bahwa dengan memberikan BG, berarti bank telah membuat pengakuan atau janji secara tertulis kepada penerima jaminan (pihak ketiga) untuk memenuhi kewajiban nasabah kepada penerima jaminan (pihak ketiga) apabila nasabah wanprestasi dengan membayar sejumlah uang tertentu. Dalam hubungan transaksi ini, jelas bahwa dengan pemberian BG, resiko yang dihadapi oleh penerima jaminan (pihak ketiga) diambil alih oleh bank. Sebagai kompensasi atas kesanggupan mengambil alih resiko ini, bank harus mendapatkan fee (provisi) dan meminta kontra garansi dari nasabah sebagai pihak yang dijamin oleh bank dalam jumlah yang memadai sesuai dengan perhitungan bisnis.

Di samping kesadaran akan adanya resiko, hal selanjutnya yang paling mendasar untuk difahami yaitu bahwa resiko BG akan terjadi apabila nasabah (sebagai pihak yang dijamin oleh bank) yang diberikan jaminan oleh bank melakukan perbuatan wanprestasi. Dengan demikian analisis resiko harus diawali dengan menilai kemampuan nasabah untuk memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga (penerima jaminan) yang mencakup aspek-aspek kualitatif (seperti karakter dan manajemen) dan aspek kuantitatif (kondisi finansial) nasabah.

Dengan memperhatikan pengertian di atas dapat dipahami bahwa lahirnya BG didahului adanya proses transaksi antara nasabah dengan pihak ketiga (penerima jaminan), sehingga BG merupakan perjanjian accesoir dan perjanjian pokoknya yaitu transaksi antara nasabah dengan pihak ketiga (penerima jaminan).

Ditinjau dari segi hukum BG termasuk perjanjian penggunaan (borgtocht), yang diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata, yang

mengatur mengenai penangguhan hutang secara umum. Sedangkan ketentuan yang mengatur bentuk dan syarat-syarat minimal BG, ditentukan oleh Bank Indonesia yang akan dijelaskan pada bab III penelitian ini.

Dalam ketentuan yang mengatur materi BG, antara lain diatur mengenai klausula yaitu ketentuan yang mengatur bahwa dalam fungsinya sebagai penanggung (borg), bank melepaskan hak-hak istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 1831 KUH Perdata, sehingga dengan demikian bank harus membayar klaim yang diajukan oleh penerima BG apabila nasabah wanprestasi.

Sejalan dengan pengertian di atas, pemberian BG harus dilakukan sesuai dengan filosofis dan proses pemberian kredit, baik menyangkut analisis kelayakan dan analisis resiko maupun ketentuan kewenangan memutus.35

Dilihat dari keentuan KUH Perdata, garansi bank adalah perjanjian penangguhan utang (borgtoch) sebagaimana diatur dalam Buku III Bab XVII, yakni Pasal 1820 sampai dengan 1850, dimana bank dalam hal ini bertindak sebagai penanggung.

Pengaturan Bank Garansi semula diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 11/110/KEP/DIR/UPPB tentang pemberian jaminan oleh bank dan pemberian jaminan oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank, tanggal 29 Maret 1977. Mengungat perkembangan perbankan Indonesia setelah Paket Kebijakan 1988, maka peraturan mengenai pemberian Bank Garansi tersebut perlu disempurnakan sehingga keluarlah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/88/KEP/DIR tentang Pemberian Garansi Bank tanggal 18 Maret 1999.

Bentuk Bank Garansi menurut Pasal 1 Ayat (3) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/88/KEP/DIR tersebut di atas adalah:

1. Garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank yang mengakibatkan kewajiban membayar terhadap yang menerima garansi apabila pihak yang dijamin cidera janji (wanprestasi);

2. Garansi dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas surat berharga, seperti aval dan endosemen dengan hak regres yang dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank apabila yang dijamin cidera janji (wanprestasi); dan

3. Garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat sehingga dapat menimbulkan kewajiban finansial bagi bank.

Bentuk dari garansi sebagaimana yang diuraikan pada Angka 1 tersebut berupa Bank Garansi atau disebut sebagai Standby Letter of Credit (Standby L/C atau SBLC). Menyangkut penerbitan garansi ini, bank dapat menerbitkannya, baik dalam mata uang rupiah maupun mata uang asing. Hal yang harus diperhatikan pula oleh bank yang menjalankan kegiatan pelayanan atau penerbitan garansi, yaitu:

1. Penerbitan garansi terkena ketentuan tentang batas maksimum pemberian kredit dan Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (KPMM), dimana penghitungannya dilakukan secara gabungan sehingga meliputi pemberian garansi oleh kantor bank, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/88/KEP/DIR tersebut di atas;

2. Penerbitan Bank Garansi atau Standby L/C atas permintaan bukan penduduk hanya diperkenankan apabila disertai dengan kontrak garansi dari bank di laur negeri yang bonafid (dalam pengertian bank tersebut tidak termasuk cabang bank yang bersangkutan di luar negeri), atau setoran sebesar 100% dari nilai garansi yang diberikan, hal ini sesuai denga ketentuan dalam Pasal 8 Ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/88/KEP/DIR tersebut di atas; dan

3. Bank dilarang bertindak sebagai Pnejamin Emisi Efek, ditentukan dalam Pasal 8 Ayat (2) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/88/KEP/DIR tersebut di atas.

Dalam kegiatan pelayanan jasa berupa penerbitan garansi, maka bank penerbit akan menerima imbalan jasa dari si terjamin berupa provisi (keuntungan berupa fee). Di samping pembebanan provisi, semua biaya yang timbul akibat pemberian Bank Garansi menjadi beban pihak yang diberi jaminan sebagaimana juga yang berlaku dalam pemberian kredit.

Dalam KUH Perdata secara umum mengenal bentuk perjanjian semacam garansi bank atau Bank Garansi. Dengan demikian ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata berlaku pula dalam perjanjian Bank Garansi. Tetapi mengenai bentuk dan syarat-syarat yang lebih rinci diserahkan kepada para pihak. Hanya saja karena Bank Garansi ini perjanjiannya sering dilakukan dan banyak digunakan, maka agar bank-bank memiliki pedoman yang lengkap dalam pelaksanaan pemberian Bank Garansi sesuai dengan Pasal 2 Ayat (2) ditetapkan

syarat-syarat pemberian Bank Garansi yang dalam penelitian ini dibahas pada sub bab selanjutnya.36

Telah disebutkan terdahulu bahwa Bank Garansi merupakan bagian dari pemberian kredit yang juga merupakan salah satu bentu fasilitas usaha yang diperbolehkan dikelola oleh bank-bank. Dalam pemberian garansi, di samping pemberian Bank Garansi, ada bentuk lain yang berhubungan dengan Bank Garansi ini yaitu:

1. Garansi yang berhubungan dengan surat berharga. Bentuk lain dari garansi yang diterbitkan bank dapat berbentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas surat berharga seperti aval dan endosemen dengan hak regres yang dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank apabila yang dijamin cidera janji (wanprestasi). Menurut ketentuan dalam Pasal 3 Ayat (2) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/88/KEP/DIR, pemberian Bank Garansi ini berlaku sejak tanggal dilakukannya pembubuhan tanda tangan oleh bank dan berakhir apabila:

a. Telah ada pembayaran dari debitur, baik dalam hal tidak terjadi protes maupun dalam hal terjadi protes yang kemudian diterima; b. Tidak diterima pemberitahuan protes dalam tenggang waktu dan

menurut ketetuan yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang; dan

c. Tenggang waktu penuntutan pembayaran menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan KUH Perdata telah kadaluarsa, dalam

36 HR. Daeng Naja., Hukum Kredit dan Bank Garansi, (Bandung: Citra Adtya Bakti,

hal diterima pemberitahuan protes sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. 2. Garansi yang berhubungan dengan perjanjian bersyarat. Bentuk lain dari

garansi yang diterbitkan oleh bank dapat berbentuk garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat sehingga dapat menimbulkan kewajiban finansial bagi bank. Adapun konkritnya dapat berupa surat yang dapat menimbulkan kewajiban membayar suatu jumlah tertentu apabila pihak yang dijamin tersebut cidera janji (wanprestasi) atau berupa Letter of Credit (L/C). Penerbitan L/C tunduk pada ketentuan Uniform Customs and Practices for

Documentary Credit (UCP). Menurut ketentuan Pasal 4 Ayat (2) Surat

Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/88/KEP/DIR, pemberian garansi ini berlaku sejak saat penandatanganan garansi dan berakhir pada saat realisasi garansi dalam hal syarat perjanjian dipenuhi atau pada saat tidak dipenuhi syarat perjanjian.

Menurut Widjanarto, jenis Bank Garansi (BG) yang dapat diberikan oleh bank, antara lain adalah:37

a. Bank garansi untuk jaminan tender dalam negeri (tender bid bond). Bank garansi jenis ini diberikan kepada peserta tender yang diadakan oleh pihak-pihak di Indonesia dalam rangka suatu proyek atau suatu pesanan. Bank Garansi tersebut tidak dapat dipakai sebagai jaminan bank untuk penarikan uang muka dan berlaku untuk satu kali tender saja;

b. Bank Garansi untuk jaminan penerimaan panjar/uang muka atau

voorschot. Dalam suatu kontrak kerja/pembelian suatu proyek/barang,

adakalanya pemilik proyek/pembeli barang lebih dahulu sehingga atas uang muka/penyerahan barang tersebut diperlukan adanya Bank Garansi; c. Bank Garansi untuk bea cukai guna penangguhan bea masuk. Bank

Garansi jenis ini diberikan kepada importir yang memasukkan barang ke dalam negeri. Bank Garansi untuk importir tersebut biasanya hanya dapat

diberikan apabila L/C importirnya dibuka melalui bank penerbit Bank Garansi;

d. Bank Garansi untuk bea dan cukai guna penangguhan pembayaran pita cukai/tembakau. Bank Garansi jenis ini biasanya diberikan kepada perusahaan-perusahaan rokok besar yang bonafid;

e. Bank Garansi untuk penyalur/agen/dealer/depot holder sehubungan dengan transaksi yang bertalian dalam rangka penunjukan oleh produsen maupun yang bukan produsen; dan

f. Lain-lain jenis Bank Garansi yang diperkenankan oleh peraturan Bank Indonesia maupun pemerintah.

Selain yang telah disebutkan di atas mengenai bentuk-bentuk lain yang berhubungan dengan Bank Garansi, maka terdapat pula usaha bank lain seperti Bank Perspesi, dan Swap Bunga.

Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi adalah bank yang ditunjuk Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Penunjukan bank sebagai Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi baik bagi kantor pusat maupun seluruh cabang bank yang bersangkutan. Untuk dapat ditunjuk sebagai Bank Perspesi Direksi bank yang bersangkutan mengajukan surat permohonan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Anggaran dengan tembusan disampaikan kepada Direksi Bank Indonesia.38

Swap Bunga merupakan salah satu bentuk dari transaksi derivatif sebagaimana digambarkan dalam pengertian transaksi derivatif yang terdapat dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR

tentang Transaksi Derivatif tanggal 29 Desember 1995.39 Menurut ketentuan yang baru, transaksi derivatif adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari, seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks baik yang diikuti dnegan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrumen, tetapi tidak termasuk transaksi derivatif kredit.40

Penggunaan instrument Bank Garansi dalam bertransaksi saat semakin hari semakin banyak digunakan bukan saja dalam bertransaksi secara lokal namun sudah menggapai secara internasional. Bahkan dalam kondisi dan transaksi tertentu Bank Garansi sering juga digunakan sebagai pengganti Letter of Credit.

Dalam tranksasi Bank Garansi di Indonesia terdapat dua landasan hukum yang umum dipakai yakni Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga Bab XVII dari pasal 1820 s/d pasal 1850 yakni perihal Penjaminan dan Peraturan Bank Indonesia dalam bentuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.23/88/KEP/DIR tanggal 18 Maret 1991 yang diedarkan melalui Surat Edaran No.23/7/UKU tanggal 18 Maret 1991 tentang Pemberian Bank Garansi oleh Bank. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tersebut di atas mengikat bagi seluruh perbankan yang beroperasi dan di bawah pengawasan Bank Indonesia dan bagi pelanggarnya akan dikenakan sanksi dalam rangka pembinaan dan pengawasan dan bahkan untuk pelanggaran pada pasal-pasal tertentu dapat dikenakan sanksi tambahan berupa denda 3% dari nilai nominal pelanggaran (SE

39 Peraturan ini termasuk peraturan yang sudah lama dan saat ini sudah diganti dengan

peraturan yang baru yakni Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/31/PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif.

40 Pasal 1 Angka 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/31/PBI/2005 tentang Transaksi

Bank Indonesia No.23/7/UKU tanggal 18 Maret 1991 butir 13.1 dan 13.2 dan Keputusan Direksi Bank Indonesia No.23/88/KEP/DIR tanggal 18 Maret 1991 pasal 5 ayat 1 dan 2).

Dari kedua landasan hukum tersebut di atas masing-masing bank akan membuat ketentuan internal yang wajib dilaksanakan oleh para pegawai yang ada di bank tersebut. Dalam membuat ketentuan internal tentunya bank akan menafsirkan kedua dasar hukum dimaksud berdasarkan persepsi dan pendapatnya masing-masing sehingga tidak mengherankan jika ketentuan tentang Bank Garansi dari satu bank dengan bank lainnya akan berbeda.

Dalam Keputusan Direksi Bank Indonesia No.23/88/KEP/DIR tanggal 18 Maret 1991 pasal 2 dan atau SE Bank Indonesia No.23/7/UKU tanggal 18 Maret 1991 butir 4 disebutkan bahwa dalam penerbitan Bank Garansi pihak penerbit Bank Garansi (Bank) sekurang-kurangnya memuat 8 (delapan) hal sebagai berikut:

1. Judul “Garansi Bank” atau “Bank Garansi” 2. Nama dan alamat bank pemberi

3. Tanggal penerbitan

4. Transaksi antara pihak yang dijamin dengan penerima jaminan (sesuai dengan jenis bank garansi)

5. Jumlah uang yang dijamin

6. Tanggal mulai berlaku dan berakhir 7. Penegasan batas waktu poengajuan klaim

8. Dengan tegas menyebutkan tunduk pada pasal 1831 atau pasal 1832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas khususnya butir 4 dan adanya pemahaman bahwa Garansi Bank merupakan perjanjian buntut (accessoir) yang ditinjau dari segi hukum merupakan perjanjian penanggunan (borgtocht) maka Bank Garansi akan ada atau dapat diterbitkan jika ada perjanjian induk yang mendahuluinya. Dengan demikian, Bank Garansi juga akan berakhir secara hukum jika perjanjian induk yang mendahuluinya tersebut berakhir.

Berdasarkan hal tersebut maka setiap penerbitan Bank Garansi wajib didukung adanya dokumen yang menjadi dasar diterbitkannya Bank Garanis dimaksud seperti : Undangan Tender (untuk Tender Bond), Kontrak/Sales

Agreement/Agreement lainnya (untuk Performance Bond) dan dokumen-dokumen

lain sebagai dasar penerbitan Bank Garansi (underlying transaction).

Permasalahan yang ada saat ini adalah, bahwa sesuai Keputusan Presiden No.80 tahun 2003 (untuk pengadaan barang/jasa yang bersumber pada APBN/APBD) pada pasal 31 ayat (1) menyebutkan, ”Para pihak menandatangani kontrak selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya Surat Keputusan Penetapan Pengadaan Barang/Jasa dan setelah

penyedia barang/jasa menyerahkan surat jaminan pelaksanaan sebesar 5%”.

Artinya, penyedia barang/jasa wajib menyerahkan Bank Garansi Pelaksaan terlebih dahulu sebelum kontrak ditandatangani. Dihadapkan pada SE Bank Indonesia No.23/7/UKU tanggal 18 Maret 2008 maka terdapat pertentangan khususnya tentang kapan Bank Garansi harus diterbitkan.

Sesuai Bank Indonesia, Bank Garansi merupakan acessoir dari perjanjian/kontrak yang ada yakni Bank Garansi akan ada/diterbitkan apabila ada kontrak/perjanjian yang mendahuluinya sebagai underlying transaction. Sedangkan Keppres mengatur bahwa Bank Garansi harus ada sebelum kontrak ditandatangani. Jadi jika kedua ketentuan dimaksud saling dihadapkan maka seperti halnya menentukan mana yang lebih dahulu antara telur atau ayam.

Dengan adanya pertentangan kedua peraturan dimaksud maka bank dihadapkan kepada masalah yang dilematis:

1. Jika mengikuti Keppres No.80 tahun 2003 maka Bank sebagai penerbit Bank Garansi dapat dianggap melanggar ketentuan SE Bank Indonesia No.23/7/UKU tanggal 18 Maret 1991.

2. Jika mengikuti SE Bank Indonesia No.23/7/UKU tanggal 18 Maret 1991 sebagai ketentuan yang sifatnya wajib diikuti oleh seluruh perbankan di Indonesia, maka kemungkinan besar Bank Garansi tidak akan dapat diterbitkan karena sifatnya yang accessoir dimaksud. Dengan demikian bank tidak dapat melayani kepentingan nasabahnya dan akan kehilangan bisnisnya.

Demikian pula kontraktor/supplier penyedia jasa pada proyek-proyek yang bersumber pada APBN/APBD akan menghadapi dilema yang sama dimana posisinya menjadi sulit, apalagi dihadapkan pada kenyataan bahwa kontraktor/supplier pada posisi tawar yang lebih rendah/lemah dibandingkan pemberi kerja.

Menghadapi kondisi dimaksud dan demi pelayanan kepada nasabahnya maka banyak bank melakukan kebijakan yang disesuaikan dengan kepentingannya untuk dapat memenuhi kebutuhan nasabah antara lain dengan menerima Surat Perintah Kerja dari pemberi kerja sebagai underlying transaction dalam penerbitan Bank Garansi. Apakah dengan diterbitkannya Bank Garansi yang mengacu kepada Surat Perintah Kerja dimaksud permasalahan Bank Garansi dapat selesai dan teratasi? Jawabnya tentu belum. Hal ini mengingat Surat Perintah Kerja bukanlah perjanjian/agreement yang menjelaskan hak dan kewajiban masing-masing pihak namun baru sepihak saja.

Memperhatikan semakin banyaknya penggunaan instrument Bank Garansi dalam bertransaksi dan dikaitkan dengan 2 ketentuan yang ada tersebut di atas, mungkin perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian baik terhadap SE Bank Indonesia No.23/7/UKU tanggal 18 Maret 1991 yang saya annggap sudah cukup lama (sejak tahun 1991) maupun terhadap Keputusan Presiden No.80 tahun 2003 itu sendiri.

Khusus untuk perbaikan terhadap SE Bank Indonesia mungkin perlu pula diatur dapat tidaknya penggunaan Uniform Rules for Demang Guarantee Pub.458 di wilayah Indonesia, karena hal ini juga sering menjadi permasalahan dalam transaksi Bank Garansi.

Sebagaimana telah dimaklumi bahwa bank garansi merupakan perjanjian buntut (assesoir) dari perjanjian induknya. Artinya suatu bank garansi baru akan terbit jika ada perjanjian induk sebagai underlying transaction yang menjadi dasar diterbitkannya suatu bank garansi.

Sebagai contoh suatu bank garansi diterbitkan atas dasar perjanjian/kontrak “X” antara “A” dengan “B” dimana “A” adalah pembeli suatu produk dari “B”. Karena “B” ingin memperoleh kepastian tentang pembayaran atas barang yang nanti akan diserahkannya kepada “A”, maka “B” meminta kepada “A” untuk menyerahkan suatu bank garansi jaminan pembayaran sebesar nilai transaksinya. Selanjutnya atas dasar perjanjiana/kontrak “X” tersebut “A” meminta kepada bank “P” untuk menerbitkan bank garansi pembayaran dan selanjutnya menyerahkan bank garansi dimaksud kepada “B” selaku pihak yang menerima. Bank garansi yang diterbitkan oleh bank “P” berisi suatu pernyataan/janji kepada “B” bahwa apabila “A” tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian/kontrak “X” (tidak membayar barang yang diserahkan oleh “B”) maka bank “P” akan membayar kepada “B” sebesar maksimal nilai bank garansi (nilai penjaminan). Jadi dalam hal ini hak yang dimiliki “B” atas bank garansi dimaksud baru timbul atau baru dapat digunakan apabila “A” tidak memenuhi kewajiban kepadanya/wanprestasi. Sedangkan jika “A” telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada “B” maka hak “B” berdsarkan bank garansi akan berakhir.

Selanjutnya, mengingat “B” sebenarnya bukanlah produsen dari produk yang dijualnya, dalam hal ini “B” bertindak sebagai perantara, maka “B” perlu memesan produk dimaksud kepada produsen, misalnya dalam hal ini adalah “C”.

Sebagaimana halnya “B”, maka produsen “C” juga menginginkan kepastian jaminan pembayaran atas barang yang dipesan “B” sehingga ketika kontrak/ sales agreement “Y” ditandatangani maka “B” diminta untuk

menyerahkan bank garansi sebesar nilai transaksinya dan “B” mendatangi bank-nya (bank “Q”) untuk menerbitkan bank garansi dengan jaminan bank garansi yang diterima “B” dari bank “P”.

Dokumen terkait