• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. Peran dan fungsi apoteker dalam aspek profesional adalah melakukan kegiatan operasional pelayanan kefarmasian di apotek, memberikan pelayanan informasi obat, serta memberikan konseling mengenai pengobatan kepada pasien.

b. Peran dan fungsi apoteker dalam aspek manajerial adalah pengelolaan perbekalan farmasi dan perbekalan kesehatan dimulai dari pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pengelolaan dan penyaluran sediaan farmasi di apotek, serta pengelolaan dan administrasi mengenai keuangan apotek. 5.2 Saran

a. Memberi label harga untuk setiap produk yang ada di swalayan farmasi agar memudahkan konsumen dalam mempertimbangkan harga.

b. Mengoptimalkan pelaksanaan komunikasi, informasi, dan edukasi untuk meningkatkan kualitas hidup dan kepuasan pelanggan, sebagai bentuk pelayanan keprofesian.

c. Sebaiknya apotek menyediakan fasilitas mushola untuk memudahkan pasien yang ingin menunaikan ibadah sholat.

DAFTAR PUSTAKA

Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia. (2010). Standar Praktik Kerja Profesi Apoteker (SPKPA). Jakarta: Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia.

Departemen Kesehatan RI. (1978). Peraturan Menteri Kesehatan

No.28/Menkes/Per/I/1978 tentang Penyimpanan Narkotika. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1990). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No.1. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1993). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 924/Menkes/Per/X/1993 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No.2. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1993). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 925/Menkes/Per/X/1993 tentang Daftar Perubahan Obat No.1. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1999). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No.3. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SK Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004). Jakarta.

Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Amandemen II. Jakarta.

Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta.

Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta.

Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia. (1997). Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Jakarta.

Presiden Republik Indonesia. (1980). Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1980 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 tentang Apotek. Jakarta.

Presiden Republik Indonesia. (2009). Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta.

Quick, Jonathan D. (1997). Managing Drug Supply: The Selection, Procurement, Distribution, and Use of Pharmaceuticals. 2nd ed. Connecticut: Kumarian Press. Hal. 629-639.

Lampiran 6. Struktur Organisasi PT Kimia Farma Apotek, BM Bogor, dan Apotek Kimia Farma 202

Lampiran 8. Kemasan Obat Apotek Kimia Farma Kemasan Obat Jadi

Kemasan Obat Racikan Puyer

Lampiran 11. Form Dropping Barang dari Gudang (DC) ke Apotek

Lampiran 13. Bon Permintaan Barang Apotek (BPBA)

Lampiran 15. Format Surat Pesanan Narkotika Apotek Kimia Farma

Lampiran 16. Format Surat Pesanan Psikotropika Apotek Kimia Farma

Rayon : Model N.9

No. S.P. : Lembar ke 1 / 2 / 3 / 4

SURAT PESANAN PSIKOTROPIKA Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ………..

Alamat : ………..

Jabatan : ………..

Mengajukan pesanan permohonan kepada:

Nama Perusahaan : ………..

Alamat : ………..

………... Jenis psikotropika sebagai berikut:

Untuk keperluan (Pedagang Besar Farmasi/Apotek/Rumah Sakit/sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah/lembaga penelitian dan atau lembaga pendidikan)* Nama : ……… Alamat : ……… ……… Penanggung Jawab (……….)

Lampiran 17. Faktur Apotek Kimia Farma

TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DI APOTEK KIMIA FARMA NO. 202

JALAN KEJAYAAN RAYA BLOK IX NO. 2, DEPOK

PERIODE 3 MARET – 11 APRIL 2014

EVALUASI KELENGKAPAN ADMINISTRATIF RESEP DI

APOTEK KIMIA FARMA NO.202 PERIODE MARET 2014

PUTRI KEME 1306344066

ANGKATAN LXXVIII

FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER

DEPOK JUNI 2014

DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iii DAFTAR LAMPIRAN ... iii BAB 1.PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3 2.1 Resep ... 3 2.2 Pelayanan Kefarmasian ... 4 2.3 Medication Error ... 6 BAB 3. METODE PELAKSANAAN ... 8 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan ... 8 3.2 Prosedur Pelaksanaan... 8 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 9 BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 12 5.1 Kesimpulan ... 12 5.2 Saran ... 12 DAFTAR ACUAN ... 13

Farma No. 202 periode Maret 2014 ... 9

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Evaluasi Kelengkapan Administratif Resep di Apotek Kimia Farma No.202 Periode Maret 2014 ... 15

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 51 Tahun 2009, pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti

untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan kefarmasian pada saat ini

telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi, sekarang menjadi pelayanan komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1027, 2004).

Standar pelayanan kefarmasian di apotek menetapkan bahwa semua tenaga kefarmasian dalam melaksanakan tugas profesinya di apotek mengacu pada standar

pelayanan kefarmasian. Salah satu bentuk pelayanan yang harus diberikan apoteker

kepada masyarakat adalah pelayanan resep. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Apoteker bertanggung jawab untuk mengetahui kelengkapan resep yang dibawa pasien sebelum memproses resep tersebut lebih lanjut.

Pelayanan resep terbagi menjadi dua, yaitu skrining resep dan penyiapan obat. Skrining resep merupakan kegiatan pemeriksaan kelengkapan resep yang dilakukan pada saat menerima resep dari pasien. Dalam melakukan skrining resep ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis. Kelengkapan persyaratan administratif resep dapat mengurangi atau mencegah terjadinya medication error. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 yang dimaksud medication error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan. Pelayanan kefarmasian yang bermutu selain mengurangi risiko terjadinya medication error, juga memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat sehingga masyarakat akan memberikan persepsi yang baik terhadap apotek.

Berkaitan dengan pentingnya hal tersebut, maka pada laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ini, penulis melakukan evaluasi kelengkapan administratif resep di Apotek Kimia Farma No. 202 periode Maret 2014.

1.2 Tujuan

1. Mengevaluasi kelengkapan administratif resep di Apotek Kimia Farma No. 202

Periode Maret 2014.

2. Mengkaji kemungkinan terjadinya medication error berdasarkan hasil pemeriksaaan kelengkapan administratif resep di Apotek Kimia Farma No. 202 periode Maret 2014.

2.1. Resep

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027 tahun 2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, yang dimaksud dengan resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai perundangan yang berlaku. Resep yang benar adalah ditulis secara jelas, dapat dibaca, lengkap dan memenuhi peraturan perundangan serta kaidah yang berlaku.

Unsur-unsur resep antara lain : 1. Identitas Dokter

Terdiri atas nama, nomor surat izin praktek, alamat dokter, dan rumah dokter penulis resep serta dapat dilengkapi dengan nomor telepon, hari, dan jam praktek yang biasanya sudah tercetak dalam blanko resep.

2. Nama kota dan tanggal ditulis resep 3. Superscriptio

Ditulis dengan simbol R/ (recipe = harap diambil). Bila diperlukan lebih dari satu bentuk sediaan obat/ formula resep, diperlukan penulisan R/ lagi.

4. Inscriptio

Merupakan bagian inti resep, berisi nama obat, kekuatan, dan jumlah obat yang diperlukan dan ditulis dengan jelas.

5. Subscriptio

Bagian ini mencantumkan bentuk sediaan obat dan jumlahnya. Cara penulisan (dengan singkatan bahasa latin) tergantung dari macam formula resep yang digunakan.

6. Signatura

Berisi informasi tentang aturan penggunaan obat bagi pasien yaitu meliputi frekuensi, jumlah obat, saat minum obat, dll.

7. Identitas Pasien

Umumnya sudah tercantum dalam blanko resep (tulisan pro dan umur). Nama pasien dicantumkan dalam pro. Sebaiknya juga mencantumkan berat badan pasien supaya kontrol dosis oleh apotek dapat akurat.

2.3 Pelayanan Kefarmasian

Pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah mempunyai standar dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Tujuan diterbitkannya surat keputusan ini adalah sebagai pedoman praktek apoteker dalam menjalankan profesi, melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak professional, dan melindungi profesi dalam praktek kefarmasian di apotek sehingga diharapkan pelayanan kefarmasian yang diselenggarakan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien

Pelayanan kefarmasian merupakan proses kolaboratif yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan. Pelayanan kefarmasian dalam hal memberikan perlindungan terhadap pasien berfungsi sebagai :

1. Menyediakan informasi tentang obat – obatan kepada tenaga kesehatan lainnya, tujuan yang ingin dicapai mencakup mengidentifikasikan hasil pengobatan dan tujuan akhir pengobatan, agar pengobatan dapat diterima untuk terapi, agar diterapkan penggunaan secara rasional, memantau efek samping obat, dan menentukan metode penggunaan obat.

2. Mendapat rekam medis untuk digunakan pemilihan obat yang tepat.

3. Memantau penggunaan obat apakah efektif, tidak efektif, reaksi yang berlawanan, keracunan, dan jika perlu memberikan saran untuk memodifikasi pengobatan.

4. Menyediakan bimbingan dan konseling dalam rangka pendidikan kepada pasien.

5. Menyediakan dan memelihara serta memfasilitasi pengujian pengobatan bagi pasien penyakit kronis.

6. Berpartisipasi dalam pengelolaan obat – obatan untuk pelayanan gawat darurat.

7. Pembinaan pelayanan informasi dan pendidikan bagi masyarakat. 8. Partisipasi dalam penilaian penggunaan obat dan audit kesehatan

2.3.1 Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 284/MENKES/PER/III/2007 meliputi:

1. Pelayanan Resep a. Skrining resep

1) Persyaratan administratif, seperti nama, SIK, dan alamat dokter, tanggal penulisan resep, nama, alamat umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien, nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta, cara pemakaian yang jelas, informasi lainnya.

2) Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, jumlah yang diminta, cara pemakaian yang jelas, informasi lainnya.

3) Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat, dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

b. Penyiapan obat 1) Peracikan

Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas, dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat, harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis, dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.

2) Etiket

Etiket harus jelas dan dapat dibaca. 3) Kemasan Obat yang Diserahkan

Obat hendaknya dikemas dengan rapi dan cocok sehingga terjaga kualitasnya.

4) Penyerahan Obat

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep dan penyerahan obat dilakukan apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien.

5) Informasi Obat

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat ke pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

6) Konseling

Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan yang salah dari sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya.

7) Monitoring Penggunaan Obat

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu, seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya.

2. Promosi dan Edukasi

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang ingin melakukan upaya pengobatan diri sendiri (swamedikasi) untuk penyakit yang ringan dengan memilihkan obat yang sesuai dan apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan ini. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/ brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.

3. Pelayanan Residensial (home care)

Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan penyakit kronis. Untuk kegiatan ini, apoteker harus membuat catatan pengobatan pasien (medication record).

2.3 Medication Error

Medication Error (ME) atau kesalahan pelayanan obat yaitu setiap kejadian yang dapat dihindari yang menyebabkan atau berakibat pada pelayanan obat yang tidak tepat atau membahayakan pasien sementara obat berada dalam

pengawasan tenaga kesehatan atau pasien. Medication error dapat terjadi dimana saja dalam rantai pelayanan obat kepada pasien mulai dari produksi dalam peresepan, pembacaan resep, peracikan, penyerahan, dan monitoring pasien (Wiliam, 2007).

Kesalahan peresepan dapat didefinisikan sebagai kesalahan pemilihan obat untuk pasien. Kesalahan peresepan ini mencapai 11% dari total kesalahan pengobatan yang terjadi pada pelayanan kesehatan primer. Kesalahan dapat berupa kesalahan dosis, jumlah, indikasi, atau dalam mengantisipasi kontraindikasi obat. Kurangnya pengetahuan tentang obat yang diresepkan, rekomendasi rejimen dosis, dan informasi yang detail tentang pasien dapat menimbulkan kesalahan peresepan.

Berikut ini adalah klasifikasi dari kesalahan peresepan, yaitu:

a. Kesalahan administratif dan prosedural (Administrative and procedural errors), meliputi kesalahan data pasien, data dari ruang obat, nama obat, bentuk sediaan, dan rute pemberian

b. Kesalahan dosis (dosage errors), meliputi kesalahan kekuatan atau frekuensi pemberian obat, dosis yang kurang atau terlalu tinggi, kesalahan lama terapi (khususnya penggunaan antibiotik), dan aturan pemakaian.

c. Kesalahan terapi (therapeutic errors), meliputi kesalahan indikasi dan kontraindikasi obat, kesalahan interaksi obat (misalnya kombinasi asetosal dengan warfarin dapat memicu pendarahan), monoterapi yang tidak tepat (misalnya hanya memberikan obat sakit kepala pada pasien yang sakit flu), dan pemberian dua obat yang sejenis (pseudo duplicate therapy) (misalnya pemberian simvastatin dengan gemfibrozil yang sama-sama merupakan obat antikolesterol)

Faktor lain yang berkontribusi dalam kesalahan peresepan antara lain: a. Riwayat penggunaan obat yang tidak lengkap

b. Kebingungan terhadap nama obat

c. Penggunaan tanda desimal (sangat berpengaruh pada dosis obat yang akan diberikan)

d. Penggunaan singkatan, contohnya AZT yang dapat diartikan sebagai zidovudin dan azathioprine.

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Pengambilan data dilakukan pada tanggal 3 Maret sampai 11 April 2014 di Apotek Kimia Farma No.202 Jalan Kejayaan Raya Blok IX No.2 Depok.

3.2 Prosedur Pelaksanaan

Data diperoleh dari 50 lembar resep yang dipilih secara acak pada periode bulan Maret 2014. Resep tersebut diketik ulang pada program Microsoft Word dalam bentuk tabel. Kemudian diperiksa kelengkapan administratif yang terdapat pada resep, berupa data identitas dokter (nama, SIP, dan alamat dokter), tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf dokter, identitas pasien (nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien), identitas obat (nama, potensi, dosis, dan jumlah obat), serta cara pakai obat. Jumlah resep yang memenuhi kriteria masing-masing kelengkapan administratif dihitung dan dibuat persentasenya.

Pada tugas khusus ini, skrining resep dilakukan secara acak pada 50 lembar resep di Apotek Kimia Farma No. 202 periode Maret 2014. Rata-rata resep yang diskrining setiap harinya adalah sebanyak 2 lembar resep. Berikut persentase kelengkapan administratif resep di Apotek Kimia Farma No. 202 Periode Maret 2014 (Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Persentase kelengkapan administratif resep di Apotek Kimia Farma No. 202 periode Maret 2014.

No. Persyaratan Administratif Persentase (%) 1. Identitas dokter :

a. Nama 92

b. SIP 52

c. Alamat 100

2. Tanggal penulisan resep 100 3. Tanda tangan/ paraf dokter 2 4. Identitas Pasien : a. Nama 100 b. Alamat 0 c. Umur 52 d. Jenis kelamin 48 e. Berat badan 2 5. Identitas Obat : a. Nama 100 b. Potensi 54 c. Dosis 100 d. Jumlah 100

6. Cara Pakai Obat 100

Skrining yang dilakukan pada 50 lembar resep di Apotek Kimia Farma No. 202 periode Maret 2014 meliputi kelengkapan administratif pada resep. Kelengkapan administratif yang diperiksa berupa data identitas dokter (nama, SIP, dan alamat dokter), tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf dokter, identitas pasien (nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien), identitas obat (nama, potensi, dosis, dan jumlah obat), serta cara pakai obat.

Berdasarkan hasil skrining resep, hanya 92% dokter yang mencantumkan nama pada resep yang ditulisnya, 52% mencantumkan nomor SIP, dan 100% mencantumkan alamat. Data identitas dokter diperlukan karena berkaitan dengan keamanan penderita. Dengan adanya identitas dokter maka akan memudahkan pasien untuk mengkonfirmasi ulang kepada dokter, jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Masih banyaknya resep yang tidak mencantumkan identitas dokter dengan jelas sangat tidak dibenarkan, karena apabila terdapat ketidakjelasan pada resep seperti tulisan kurang jelas atau resep tidak lengkap, maka petugas apotek akan kesulitan untuk melakukan konfirmasi.

Penulisan nomor Surat Izin Praktek (SIP) dokter dalam resep bertujuan sebagai bukti legalitas praktek dokter tersebut. Dengan adanya SIP dapat diketahui bahwa dokter yang bersangkutan mempunyai hak dan dilindungi undang-undang dalam memberikan pengobatan bagi pasiennya. Namun berdasarkan hasil skrining resep, terlihat masih banyak dokter yang tidak mencantumkan SIP. Resep yang tidak mencantumkan nomor SIP dokter umumnya adalah resep yang berasal dari rumah sakit. Untuk resep yang berasal dari rumah sakit, nomor SIP bukan suatu persyaratan mutlak yang harus dipenuhi, mengingat dokter tersebut telah bernaung dibawah instansi rumah sakit terkait. Persentase pencantuman tanggal penulisan resep mencapai 100%. Hal ini berkaitan dengan keamanan pasien karena jika terdapat resep yang ditulis dalam jangka waktu yang sudah cukup lama, misalnya lebih dari seminggu sebelumnya maka dapat dicurigai keabsahannya. Dengan mengetahui tanggal yang tertera pada resep, maka alasan keterlambatan penebusan resep dapat ditanyakan langsung kepada pasien. Persentase tanda tangan dokter pada resep hanya 2%, padahal tanda tangan dokter diperlukan sebagai salah satu bukti keabsahan resep.

Berdasarkan hasil skrining resep, persentase pencantuman jenis kelamin pasien pada resep adalah sebesar 48% dan berat badan pasien sebesar 2%. Jenis kelamin dan berat badan merupakan salah satu aspek yang diperlukan dalam perencanaan dosis karena dapat mempengaruhi faktor dosis obat pada pasien. Hal ini sangat penting terutama bagi pasien anak. Pada penentuan dosis anak, para ahli telah membuat rumus khusus berdasarkan berat badan, sehingga berat badan sangat penting dicantumkan dalam penulisan resep.

Hasil skrining resep menunjukkan hanya 52% dokter mencantumkan umur pasien. Pencantuman umur pasien dalam penulisan resep sangat diperlukan untuk mengetahui kesesuaian dosis yang diberikan. Hal ini menjadi sangat penting terutama bagi pasien anak. Rumus Young, Dilling, dan Fried merupakan rumus yang digunakan untuk menentukan dosis anak dalam usia tahun atau bulan sehingga memudahkan dokter untuk menentukan dosis obat pasien anak.

Persentase pencantuman potensi obat pada resep hanya sebesar 54%. Pencantuman potensi obat sangat penting untuk menilai keefektifan obat yang diresepkan. Pada pelaksanaannya di apotek, jika dokter tidak mencantumkan potensi obat pada resep, maka pada saat penyiapan obat, petugas akan memilih obat dengan potensi yang paling kecil. Disatu sisi, tindakan ini cukup baik karena menghindari terjadinya efek toksik atau over dosis, namun disisi lain memilih obat dengan potensi paling kecil berisiko pada tidak tercapainya efek terapi. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan pengobatan pada pasien, seharusnya dokter menuliskan informasi yang diperlukan dengan jelas dan lengkap pada resep.

Evaluasi kelengkapan identitas obat berupa nama obat, dosis, jumlah, dan cara pemakaian obat telah mencapai 100%. Hal ini menunjukkan bahwa dokter telah berperan baik dalam proses penyembuhan pasien sehingga mengurangi potensi terjadinya medication error.

Penilaian kelengkapan resep secara administratif merupakan langkah awal dalam pengkajian resep. Setelah lengkap secara administrasi, maka apoteker dapat melanjutkan langkah pengkajian dari segi farmasetis dan klinis. Penyamaan parameter terkait kelengkapan resep antar tenaga kesehatan menjadi sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan resep dan menghindari terjadinya medication error.

5.1 Kesimpulan

1. Hasil evaluasi kelengkapan administratif resep di Apotek Kimia Farma No.

202 periode Maret 2014 menunjukkan tidak ada satupun resep yang

memenuhi semua persyaratan administratif, tetapi seluruh resep

mencantumkan alamat dokter, tanggal penulisan resep, nama pasien, nama obat, dosis, jumlah, dan cara pakai obat.

2. Ketidaklengkapan nama dokter, SIP, tanda tangan atau paraf dokter, alamat

pasien, umur pasien, jenis kelamin, berat badan, dan potensi obat dapat berpotensi menyebabkan terjadinya medication error.

Dokumen terkait