• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berisikan kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran untuk pihak-pihak terkait.

BAB II

LANDASAN TEORI A. Semangat Kerja

A.1. Definisi Semangat Kerja

Morale atau semangat kerja menurut American Heritage Dictionary (dalam Chambers & Honeycutt, 2009) adalah spirit yang dimiliki oleh seseorang dan sekelompok orang yang ditunjukkan dengan adanya kepercayaan diri, keceriaan, disiplin dan kemauan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Semangat kerja juga didefinisikan dengan adanya energi, antusiasme, rasa kebersamaan dan kebanggaan yang dimiliki oleh karyawan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya (Hart, Wearing, Conn, Carter, & Dingle, 2000; Hart & Cooper, 2005). Sementara itu, McKnight, Ahmad & Schroeder (2001) mendefinisikan semangat kerja sebagai derajat seorang karyawan merasa senang atau bahagia dengan pekerjaan maupun lingkungan kerjanya.

Sejalan dengan para ahli di atas, Corpus (2006) mendefinisikan semangat kerja sebagai sikap mental yang akan menentukan kesediaan dan antusiasme karyawan dalam menyelesaikan pekerjaannya yang merupakan manifestasi dari reaksi karyawan terhadap pekerjaan, kondisi kerja, kebijakan serta program perusahaan, rekan kerja, atasan, gaji dan lain-lain. Peneliti lain mengemukakan bahwa semangat kerja adalah upaya melakukan pekerjaan secara lebih giat sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih baik (Nitisemito, 1996).

Menurut Sastrohadiwiryo (2003) terminasi semangat kerja mengacu pada suatu kondisi mental, atau perilaku individu tenaga kerja dan kelompok-kelompok yang menimbulkan kesenangan yang mendalam pada diri tenaga kerja tersebut untuk bekerja dengan giat dan konsekwen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan perusahaan. Selanjutnya Hasibuan (2005) menyebutkan bahwa semangat kerja sebagai keinginan dan kesungguhan seseorang dalam mengerjakan pekerjaannya dengan baik dan disiplin untuk mencapai prestasi kerja yang maksimal.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh berbagai ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa semangat kerja adalah sikap mental individu terhadap pekerjaan dan lingkungan kerjanya dimana individu bersedia mengerjakan pekerjaannya dengan gembira dan bersungguh-sungguh yang pada akhirnya akan menentukan kesediaan, antusiasme, kerjasama, dan energi yang dikeluarkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

A.2. Aspek Semangat Kerja

Maier (1998) mengemukakan empat aspek semangat kerja, yaitu: 1. Kegairahan

Seseorang yang memiliki kegairahan dalam bekerja berarti juga memiliki motivasi dan dorongan bekerja. Motivasi tersebut akan terbentuk bila seseorang memiliki keinginan atau minat dalam mengerjakan pekerjaannya. Dalam hal ini, karyawan seharusnya lebih mementingkan

bekerja untuk organisasi dan tidak mengutamakan pada apa yang mereka peroleh.

2. Kualitas untuk bertahan

Aspek ini tidak langsung menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai semangat kerja yang tinggi tidak mudah putus asa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran di dalam pekerjaannya. Ini berarti adanya ketekunan dan keyakinan penuh dalam diri karyawan. Keyakinan ini menunjukkan seseorang yang memiliki energi dan kepercayaan dalam memandang masa yang akan datang dengan baik. Individu tetap berusaha mencapai tujuan semula meskipun mengalami kesulitan, hal ini yang menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki kualitas untuk bertahan. Ketekunan mencerminkan seseorang memiliki kesungguhan dalam bekerja. Sehingga tidak menganggap bahwa bekerja sebagai hal yang menghabiskan waktu saja melainkan sebagai sesuatu yang penting.

3. Kekuatan untuk melawan frustrasi

Aspek ini menunjukkan adanya kekuatan seseorang untuk selalu konstruktif walaupun mengalami kegagalan yang ditemui dalam bekerja. Seseorang yang memiliki semangat kerja yang tinggi tentunya tidak akan memiliki sifat pesimis apabila menemui kegagalan dalam pekerjaannya. 4. Semangat kerja

Semangat kelompok menggambarkan hubungan antar karyawan. Dengan adanya semangat kerja maka para karyawan akan saling bekerjasama, tolong-menolong, dan tidak saling menjatuhkan. Semangat kerja disini

menunjukkan adanya kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain agar orang lain dapat mencapai tujuan bersama.

A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Semangat Kerja

Penelitian-penelitian mengenai semangat kerja yang selama ini dilakukan menunjukkan bahwa semangat kerja dipengaruhi oleh sikap positif individu terhadap pekerjaan dan penilaian hasil kerja (Linz, Good, & Huddleston, 2006), persepsi karyawan terhadap keadilan atasan pada proses pengangkatan dan promosi karyawan (Ingram, 2009), kepercayaan terhadap organisasi atau organizational trust (Fard, Ghatari, & Hasiri, 2010), merger (Chambers & Honeycutt, 2009), downsizing (Makawatsakul & Kleiner, 2003; Myers, 1993), organizational team building (Zia, 2011), perubahan-perubahan organisasi (Decker, Wheeler, Johnson, & Parson (2001). Selain faktor-faktor diatas, pemberian feedback, insentif dan autonomy dengan variabel moderator yaitu kedekatan hubungan atasan-bawahan juga memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap semangat kerja karyawan (McKnight, Ahmad, & Schroeder, 2001).

Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi semangat kerja karyawan dapat dibedakan menjadi faktor yang berasal organisasi, yaitu: merger, downsizing, organizational team building, pemberian feedback, insentif dan

autonomy, keadaan organisasi serta ukuran organisasi, dan faktor yang berasal dari individu seperti sikap dan persepsi.

A.4. Indikator Turunnya Semangat Kerja

Dalam suatu organisasi, adapun yang menjadi tanda-tanda atau indikasi menurunnya semangat kerja antara lain sebagai berikut (Nitisemito, 2002):

1. Rendahnya produktivitas kerja

Penurunan produktivitas dapat terjadi karena kemalasan dan penundaan pekerjaan, dan lain sebagainya. Penurunan ini menjadi indikasi bahwa dalam organisasi terjadi penurunan semangat kerja. 2. Tingkat absensi yang naik atau tinggi

Penurunan semangat kerja pada karyawan menyebabkan karyawan malas bekerja.

3. Labour turnover atau tingkat perpindahan karyawan yang tinggi

Meningkatnya jumlah karyawan yang memutuskan keluar dari perusahaan yang disebabkan oleh karyawan yang mengalami ketidaknyamanan ketika bekerja.

4. Tingkat kerusakan yang meningkat

Adanya kerusakan sebenarnya menunjukkan bahwa kurangnya perhatian saat bekerja. Selain itu dapat juga terjadi kecerobohan dalam bekerja. Peningkatan kerusakan merupakan indikasi yang cukup kuat bahwa semangat kerja telah menurun.

5. Kegelisahan dimana-mana

Bentuk-bentuk kegelisahan yang terjadi seperti ketidaktenangan dalam bekerja, keluh kesah dan lain sebagainya. Ketika karyawan merasa tidak nyaman memungkinkan karyawan melakukan perilaku yang dapat merugikan organisasi tempatnya bekerja.

6. Tuntutan yang sering terjadi

Tuntutan karyawan merupakan perwujudan dari ketidakpuasan yang dirasakan oleh karyawan. Organisasi harus mewaspadai tuntutan masal yang dilakukan oleh karyawan.

7. Pemogokan

Pemogokan adalah wujud ketidakpuasan, kegelisahan dan sebagainya. Jika hal ini terus berlanjut akan berujung pada munculnya tuntutan dan pemogokan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa indikator-indikator penurunan semangat kerja karyawan dalam suatu organisasi dapat dilihat dari rendahnya produktivitas kerja, tingkat absensi yang naik atau tinggi, tingkat perpindahan karyawan yang tinggi, tingkat kerusakan yang meningkat, kegelisahan yang terjadi dimana-mana, tuntutan yang sering terjadi, dan pemogokan yang dilakukan oleh karyawan.

B. Perubahan Organisasi

B.1. Definisi Perubahan Organisasi

Secara sederhana, perubahan organisasi adalah cara baru dalam mengelola dan bekerja (Dawson, 2003). Selanjutnya, perubahan organisasi diartikan juga sebagai perubahan aspek-aspek inti dari cara organisasi beroperasi yang meliputi struktur teknologi, budaya, pimpinan, tujuan dan individu-individu yang ada dalam sebuah organisasi (Mills, Dye, & Mills, 2009). Senada dengan hal tersebut, Zorn (dalam Lewis, 2012) mengemukakan bahwa perubahan organisasi diartikan juga sebagai mengubah atau memodifikasi struktur dan proses organisasi.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perubahan organisasi adalah perubahan pada aspek-aspek inti operasional sebuah organisasi meliputi perubahan struktur, teknologi, budaya, pimpinan, tujuan dan individu-individu dalam organisasi yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam pengelolaan organisasi dan perubahan dalam bekerja.

B.2. Bentuk-bentuk Perubahan Organisasi

Menurut Malopinsky dan Osman (dalam Pershing, 2006), perubahan organisasi dapat dikarakteristikkan berdasarkan beberapa perspektif sebagai berikut:

1. Tingkat perubahan : transformasi dan incremental

Beberapa perubahan organisasi dapat digambarkan sebagai perubahan transformasi atau perubahan sistem, yang menghasilkan perubahan yang

radikal pada strategi organisasi termasuk misi, visi, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan, serta transformasi struktur dan komponen-komponen utamanya. Perubahan transformasi biasanya terjadi karena adanya kejadian kritis dalam kehidupan organisasi, seperti perubahan pimpinan yang disebabkan adanya merger atau akuisisi atau kegagalan pencapaian tujuan organisasi.

Bentuk lain dari perubahan organisasi adalah incremental, yaitu bentuk perubahan evolusi dari sebuah organisasi, seperti pengenalan teknologi-teknologi baru, produk-produk baru, dan proses-proses yang baru. Perubahan incremental biasanya melakukan hal-hal yang baru tanpa mengubah hal-hal yang fundamental dalam organisasi seperti struktur dan budaya organisasi.

Perubahan transformasional dan incremental sering juga disebut dengan bentuk perubahan organisasi revolusi dan evolusi, yang menekankan pada perbedaan diantara perubahan strategis dan perubahan tahap demi setahap untuk meningkatkan efektivitas organisasi.

2. Mode perubahan : proaktif dan reaktif

Organisasi umumnya melakukan perubahan reaktif, yaitu seperti melakukan strategi-strategi baru dikarenakan kompetisi dengan organisasi lain, bereaksi terhadap perubahan kebutuhan pelanggan, atau sebagai upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan internal yang disebabkan adanya krisis. Sebaliknya, organisasi yang mengusung perubahan proaktif, melakukan perubahan tanpa terlihat jelas dan melakukannya segera

sebelum adanya ancaman dari lingkungan eksternal dan internal. Perubahan proaktif ditandai dengan adanya inovasi proses dan produk. 3. Kontrol terhadap perubahan : terencana dan tidak terencana

Pendekatan proaktif terhadap proses perubahan merupakan manifestasi dari bentuk perubahan terencana. Perubahan terencana merupakan hasil dari usaha yang fokus dari agen perubahan, yaitu individu yang memimpin dan mendukung proses perubahan. Perubahan terencanan ini dilakukan berdasarkan hasil analisa seperti adanya kesenjangan kinerja, kesenjangan antara proses organisasi yang diinginkan dengan proses yang ada, dan perilaku-perilaku anggota organisasi. Analisa kesenjangan kinerja menghasilkan masalah-masalah yang membutuhkan pemecahan masalah segera atau kesempatan untuk dieksplorasi lebih lanjut. Inovasi proses dan produk merupakan contoh dari perubahan terencana.

Perubahan tidak selalu sistematis, tindakan yang direncanakan. Perubahan tidak terencana terjadi secara spontan dan bisa positif atau negatif. Misalnya masalah pertukaran dokumen antara dua departemen dalam sebuah organisasi mendorong organisasi untuk mengembangkan strategi pertukaran informasi yang efektif, sementara kenaikan harga minyak yang dramatis dapat menyebabkan kebangkrutan dan tutupnya perusahaan transportasi. Ketika organisasi mengalami perubahan tidak terencana, sangat penting untuk bertindak cepat dan mengerahkan semua upaya untuk meminimalkan konsekuensi-konsekuensi negatif sementara memaksimalkan potensi-potensi keuntungan yang mungkin diperoleh.

B.3. Pendekatan Pengelolaan Perubahan Organisasi

Perubahan organisasi merupakan suatu fenomena yang kompleks. Perubahan tidak serta merta dapat dilakukan begitu saja. Sebaliknya, setiap perubahan harus sistematis dan logis agar memiliki kesempatan untuk berhasil. Dalam mengimplementasikan perubahan, diperlukan pemahaman mengenai langkah-langkah perubahan yang efektif dan cara mengatasi penolakan karyawan terhadap perubahan (Griffin, 2004).

Ada beberapa pendekatan dalam pengelolaan perubahan salah satunya dikemukakan oleh Kurt Lewin. Lewin mengidentifikasi tiga fase dalam memulai dan membangun sebuah perubahan. Menurutnya, keberhasilan sebuah organisasi harus diikuti ketiga tahap tersebut. Adapun ketiga fase proses perubahan tersebut adalah sebagai berikut (Rao & Rao, 1999) :

a. Pencairan (unfreezing)

Tahap ini bertujuan untuk menyadarkan karyawan bahwa perilaku yang ada saat ini tidak lagi sesuai, tidak relevan dan tidak cocok dengan kebutuhan perubahan saat ini. Tahap ini memutuskan tradisi dan cara-cara lama sehingga karyawan siap menerima cara-cara yang baru. Tahap ini meliputi menyingkirkan metode konvensional dan mengenalkan dinamika perilaku yang baru yang lebih sesuai dengan kondisi saat itu.

b. Perubahan (changing)

Tahap ini merupakan tahap dimana pembelajaran baru terjadi. Ketika karyawan diyakinkan bahwa perilaku mereka tidak lagi sesuai, karyawan secara sukarela menerima perubahan. Agar terjadi perubahan, merasa

bahwa perilaku yang sekarang tidak lagi sesuai tidaklah cukup. Kondisi penting yang harus ada yaitu tersedianya berbagai alternatif perilaku. Pada fase ini, karyawan mempelajari cara-cara yang baru.

c. Pembekuan (Refreezing)

Pada tahap ini karyawan menginternalisasi keyakinan baru, perasaan dan perilaku yang telah dipelajari pada tahap perubahan. Perilaku baru menjadi perilaku yang permanen bagi tiap karyawan. Karyawan menggunakan metode baru dan sikap baru.

C. Kesiapan Berubah

C.1. Definisi Kesiapan Berubah

Kesiapan berubah didefinisikan sebagai sikap komprehensif yang dipengaruhi secara simultan oleh apa yang berubah (content), bagaimana perubahan diimplementasikan (process), keadaan pada saat perubahan dilakukan (context), dan karakteristik individu yang terlibat dalam perubahan (individual). Lebih lanjut, kesiapan berubah merefleksikan sejauh mana individu atau individu-individu dalam organisasi secara kognisi dan emosi cenderung menerima, merangkul, dan mengadopsi rencana perubahan yang dipersiapkan untuk mengganti keadaan pada saat sekarang ini (Holt, Armenakis, Field, dan Harris, 2007). Senada dengan hal tersebut, Desplaces (2005) mengemukakan bahwa kesiapan individu merefleksikan keyakinan, sikap, dan intensi perilaku terhadap usaha perubahan.

Kesiapan berubah juga didefisikan sebagai pikiran yang dimiliki individu sepanjang proses perubahan yang merefleksikan kesediaan dan penerimaan terhadap perubahan (Bernerth dalam Shah, 2010). Penelitian lain menyebutkan bahwa kesiapan berubah sebagai kesiapan mental dan fisik untuk mengambil suatu tindakan (Walinga, 2008). Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Walinga, sebelumnya Madsen (2003) mengemukakan bahwa kesiapan berubah sebagai kesiapan mental dan fisik karyawan untuk mengambil tindakan segera yang bertujuan untuk meningkatkan, mengubah, memvariasikan atau memodifikasi sesuatu. Sebelum mengembangkan pikiran yang positif mengenai perubahan organisasi, maka karyawan harus dapat melihat kondisi organisasi dan lingkungan pada saat ini dan membandingkan keadaan organisasi dan lingkungan pada masa lalu dengan masa yang akan datang. Kesiapan berubah merupakan dasar apakah karyawan akan menolak atau mengadopsi perubahan (Holt, Armenakis, Field, & Harris, 2007). Kesiapan berubah dapat diperoleh melalui usaha proaktif agen perubahan dengan cara mempengaruhi keyakinan, sikap dan perilaku target perubahan untuk meningkatkan motivasi mereka untuk berubah (Applebaum & Wohl, 2000).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kesiapan berubah adalah keyakinan individu terhadap perubahan yang akan berpengaruh terhadap perilaku individu dalam menerima dan mengadopsi usaha-usaha perubahan yang dilakukan.

C.2. Dimensi Kesiapan Berubah

Kesiapan terhadap perubahan merupakan konstruk multidimensi yang dipengaruhi oleh keyakinan karyawan bahwa (Holt, Armenakis, Field, & Harris, 2007):

a. Perasaan mampu melaksanakan perubahan yang diusulkan (self efficacy).

Change self efficacy mengacu kepada sejauh mana seseorang merasa yakin bahwa dirinya memiliki ketrampilan atau tidak memiliki ketrampilan serta dapat melakukan atau tidak dapat melakukan tugas-tugas dan aktivitas-aktivitas yang terkait dengan implementasi perubahan yang akan dilakukan.

b. Kesesuaian atau ketepatan perubahan dengan kebutuhan organisasi (appropriateness).

Appropriateness mengacu kepada sejauh mana seseorang merasa bahwa organisasi akan memperoleh atau tidak memperoleh keuntungan dari implementasi perubahan yang akan dilakukan. Dimensi ini juga menjelaskan tentang keyakinan individu mengenai adanya alasan dan kebutuhan yang dapat melegitimasi perubahan dan perubahan merupakan tindakan yang tepat dalam menangani kesenjangan kondisi aktual dengan kondisi ideal.

c. Pemimpin yang berkomitmen dalam perubahan (management support).

Management support mengacu pada sejauh mana seseorang merasa bahwa pemimpin-pemimpin dalam organisasi dan pihak manajemen memiliki komitmen atau tidak memiliki komitmen serta mendukung atau tidak mendukung implementasi perubahan yang akan dilakukan. d. Keuntungan yang didapatkan oleh anggota organisasi akibat suatu

proses perubahan (personal benefit).

Personal benefit adalah sejauhmana seseorang merasa bahwa dirinya akan memperoleh keuntungan atau tidak memperoleh keuntungan dari implementasi perubahan yang akan dilakukan.

C.3. Anteseden Kesiapan Berubah

Holt, Armenakis, Field, dan Harris (2007) mengemukakan empat perspektif yang mempengaruhi kesiapan berubah, yaitu:

1. Proses perubahan

Proses perubahan mengacu kepada langkah-langkah yang diambil oleh organisasi selama implementasi perubahan dilakukan, misalnya sejauhmana organisasi memberikan karyawannya kesempatan untuk berpartisipasi dalam perubahan yang dilakukan.

2. Isi perubahan

Isi perubahan mengacu kepada sejauhmana ide-ide tertentu dan karakteristik perubahan dibagikan atau diperkenalkan kepada karyawan.

3. Konteks perubahan

Konteks perubahan terdiri dari kondisi dan lingkungan dimana karyawan berfungsi.

4. Atribut atau karakteristik individu

Atribut individu mengacu sejauhmana perbedaan-perbedaan yang dimiliki individu menentukan penerimaan terhadap usaha-usaha perubahan. Perbedaan atribut ini akan mengakibatkan sebagian orang mudah untuk menerima perubahan, sementara sebagian yang lainnya cenderung menolak perubahan.

Selain itu, penelitian-penelitian mengenai kesiapan berubah menunjukkan bahwa kesiapan berubah dipengaruhi oleh job insecurity, self monitoring, persepsi akan keadilan dari perubahan sebelumnya, ambiguitas peran (Goksoy, 2012), distributive justice dan procedural justice, hubungan atasan-bawahan, hubungan dengan rekan kerja (Shah, 2011; Shah & Shah, 2010), nilai-nilai yang dianut dalam bekerja (Alas, 2008), margin in life (Madsen, John, & Miller, 2006), kepercayaan terhadap rekan kerja, logistik, adanya sistem yang mendukung perubahan, kepercayaan terhadap pemimpin dan self efficacy (Rafferty & Simons, 2006), setting tempat kerja, persepsi terhadap lingkungan kerja, persepsi

akan dukungan atasan dan organisasi, dan self efficacy (Desplaces, 2005), active job, passive job, dan self efficacy (Cunningham, Woodward, Shannon, MacIntosh, Ledrum, Rosenbloom, & Brown, 2002), kredibilitas agen perubahan, dinamika sosial dan interpersonal, strategi penyampaian pesan perubahan (Armenakis, Harris & Mossholder, 1993), komunikasi (Elving, 2005) dan komponen pesan perubahan (Armenakis, Harris, Field, 1999; Armenakis & Harris, 2002; Bernerth, 2004; Elving, 2005). Faktor demografis yang mempengaruhi kesiapan berubah yaitu usia (Shah & Shah, 2010; Madsen, John, & Miller, 2006), tingkat pendidikan (Alas, 2008; Madsen, John, & Miller, 2006), jenis kelamin, dan status karyawan (Alas, 2008).

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anteseden kesiapan berubah dapat dibagi menjadi empat faktor, yaitu (1) faktor yang berhubungan dengan perubahan, yaitu proses perubahan perubahan, isi perubahan, konteks perubahan dan karakteristik orang yang terlibat perubahan; (2) faktor yang berasal dari organisasi, yaitu: organizational justice, hubungan atasan-bawahan, sistem yang mendukung perubahan, dukungan organisasi, logistik, komunikasi dan isi dari pesan perubahan (3) faktor yang berasal dari individu yaitu persepsi, sikap dan nilai yang dianut dalam bekerja (4) faktor demografis yaitu jenis kelamin, usia, status perkawinan, tingkat pendidikan.

C.4. Dampak Kesiapan Berubah

Kesiapan berubah merupakan hal yang penting baik bagi individu maupun organisasi. Kesiapan berubah akan diwujudkan dalam sejumlah sikap kerja yang berbeda. Berikut adalah penelitian-penelitian yang melihat hubungan kesiapan berubah pada karyawan dengan outcome yang diperoleh oleh organisasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Wanberg dan Banas (2000) menemukan bahwa individu dengan penerimaan yang rendah terhadap perubahan dilaporkan memiliki kepuasan kerja yang lebih rendah, lebih mudah teriritasi dengan lingkungan kerja, dan meningkatnya intensi untuk keluar dari perusahaan.

Sementara itu, penelitian yang dilakukan Weiner (2009) menemukan bahwa ketika kesiapan berubah tinggi maka anggota organisasi akan lebih mungkin untuk memulai perubahan, mengerahkan upaya yang lebih besar, menunjukkan ketekunan dan perilaku yang lebih kooperatif sehingga hasilnya adalah implementasi perubahan menjadi efektif.

D. Gambaran Umum Perusahaan

Perusahan yang bergerak di bidang kelapa sawit ini pada awalnya berdiri tahun 1906 melalui inisiatif Harrison & Crossfield Plc, yaitu sebuah perusahaan perkebunan dan perdagangan yang berbasis di London. Perusahaan ini didirikan berdasarkan Akta Notaris Raden Kadiman No. 93

tanggal 18 Desember 1962 yang diubah dengan Akta No. 20 tanggal 9 September 1963. Akta pendirian ini disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan Surat Keputusan No. J.A5/121/20 tanggal 14 September 1963 dan diumumkan dalam Berita Negara Indonesia No. 81 tanggal 8 Oktober 1963, Tambahan No. 531.

Perusahaan ini memulai operasi komersialnya pada tahun 1963 dan bergerak di bidang perkebunan yang berlokasi di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Produk utamanya adalah minyak kelapa sawit dan karet, serta kakao, teh, dan benih dalam kuantitas yang lebih kecil. Disamping mengelola perkebunannya sendiri, perusahaan ini juga mengembangkan perkebunan plasma.

Perusahaan kelapa sawit ini telah meraih sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk area Sumatera Utara sejak awal tahun 2009. Perusahaan ini juga menerima sertifikat RSPO yang pertama untuk area Sumatera Selatan pada bulan Oktober 2011.

Perusahaan ini berkantor pusat di Jakarta dengan kantor cabang operasional berlokasi di Medan, Palembang, Makassar, Surabaya dan Samarinda. Pada akhir tahun 2011, perusahaan ini memiliki total karyawan tetap dan buruh perkebunan sebanyak 13.367 orang.

E. Pengaruh Kesiapan Berubah terhadap Semangat Kerja

Semangat kerja karyawan dapat dilihat dalam bentuk perilaku karyawan di tempat kerja, dimana perilaku-perilaku tersebut ditentukan oleh tingkat semangat kerjanya. Hasil penelitian pada perawat menemukan bahwa semangat kerja berpengaruh terhadap individu dan kelompok. Secara individual, semangat kerja mempengaruhi pekerjaan karyawan, dalam hal ini mempengaruhi motivasi, kepuasan dan kinerja perawat serta berpengaruh terhadap diri perawat itu sendiri, seperti retensi, mobilitas dan stres yang dialami di tempat kerja. Hasil penelitian ini lebih jauh menerangkan bahwa semangat kerja individu akan berpengaruh terhadap kelompok yaitu secara emosi berpengaruh terhadap hubungan yang dimilikinya dengan pasien dan kualitas pelayanan yang diberikan. Selain itu, semangat kerja juga akan mempengaruhi kohesivitas, komunikasi, interaksi, antusiasme, kerjasama dan kreativitas kelompok (MacFadzean & MacFadzean, 2005).

Semangat kerja dipengaruhi oleh motif intrinsik dan motif ekstrinsik. Motif intrinsik merupakan penyebab utama kepuasan kerja karyawan. Karyawan merasa puas terhadap pekerjaannya dipengaruhi oleh penghargaan terhadap prestasi, pekerjaan itu sendiri, dan tanggungjawab karyawan terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Sementara itu motif ekstrinsik merupakan penyebab utama karyawan merasa bahagia atau tidak bahagia dengan pekerjaannya. Adapun motif ekstrinsik yang mempengaruhi kebahagiaan karyawan terhadap pekerjaannya seperti kebijakan dan administrasi perusahaan, atasan, hubungan interpersonal,

kondisi pekerjaan, penggajian, status dan rasa aman (Herzberg dalam Sunderji, 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Decker, Wheeler dan Parson (2001) juga menemukan bahwa penurunan semangat kerja yang signifikan dapat terjadi disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam organisasi. Saat ini tiap organisasi dihadapkan pada lingkungan yang selalu berubah (Robbins & Judge, 2009). Perubahan harus diikuti dengan kapasitas organisasi untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan lingkungan secara cepat dan efektif agar tetap bertahan

Dokumen terkait