• Tidak ada hasil yang ditemukan

8 PENYUSUNAN MODEL PERINGATAN DINI DAN

8.4. Kesimpulan

1. DEWM dibangun dari pengetahuan tentang siklus hidup nyamuk dan persamaan model prediksi IR dalam bentuk stokastik spreadsheet program Crystal Ball

2. Peringatan dini periode pelaksanaan PSN, yakni TPN dan SND disusun berdasarkan asumsi kebutuhan satuan panas mengikuti sebaran normal dengan rataan sebesar 256 DH dan simpangan baku 67 untuk stadium pradewasa nyamuk dan rataan 128 DH dengan simpangan baku 6,6 DH untuk periode inkubasi ektrinsik virus di dalam tubuh nyamuk, serta dengan suhu dasar masing-masing 150C dan 170C

3. Peringatan dini angka kejadian penyaki dan rekomendasi pengasapan masal

disusun berdasarkan model prediksi IRn 0,795*IRn 1 0,067*ICH3n 2; di mana

5 4

2

2 3 1.155* 3 0.702* 3

3n CH n CH n CH n

ICH menggunakan asumsi error

menyebar normal dengan nilai tengah nol dan simpangan baku 0,33

4. Untuk tujuan antisipasi dan mitigasi, PSN direkomendasikan untuk dilaksanakan secara rutin sepanjang tahun. Pada awal musim hujan hingga awal musim kemarau menggunakan periode optimum pelaksanaan PSN hasil luaran model dengan peluang terlampaui 90%, dan pada pertengahan hingga akhir musim kemarau masih dapat menggunakan hasil simulasi dengan peluang terlampaui 75%

5. Nilai IR prediksi direkomandasikan untuk dipergunakan sebagai dasar perhitungan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk penanggulangan pada saat kejadian penyakit.

6. Persediaan sarana dan prasarana direkomendasikan sesuai dengan nilai IR prediksi pada nilai taksiran tinggi dengan peluang terlampaui 25%, minimal pada nilai taksiran rendah sesuai dengan nilai IR prediksi dengan peluang terlampaui 50% . 7. Untuk tujuan mitigasi, fogging massal disarankan jika peluang fogging hasil

simulasi lebih atau sama dengan 95% dan hasil identifikasi di lapangan menunjukkan kejadian merata di sebagian besar RW di kelurahan endemik. Fogging fokus disarankan jika peluang fogging hasil simulasi lebih dari 90%.

8.3. SARAN

Pencatatan IR dilakukan setiap minggu secara rutin, bukan hanya waktu KLB Dibangun kerjasama antara Lembaga Pengamat Iklim di daerah dengan Dinas Kesehatan setempat untuk mendapatkan informasi iklim

Sistem informasi antar Rumah sakit dan Dinas Kesehatan perlu diperbaiki Dalam upaya pemberantasan penyakit DBD, ujicobakan luaran DEWM sebagai bahan pedoman dalam menggerakkan masyarakat untuk melaksanakan PSN dan menyiapkan sarana dan prasarana penanggulangan penyakit, terutama di daerah endemik yang terletak di dataran rendah

Masih perlu kajian validitas DEWM seperti yang ttelah terbangun untuk daerah endemik yang terletak di ketinggian > 500 mdpl.

9. PEMBAHASAN UMUM

Iklim merupakan komponen lingkungan yang berfluktuasi besar baik dalam dimensi ruang maupun waktu. Pengamatan, pencatatan dan pengarsipan hasil pencatatan, serta prediksi unsur-unsurnya telah dilakukan secara melembaga dan berkelanjutan. Oleh karena itu pembahasan mengenai hubungan berbagai kejadian, termasuk kejadian penyakit dengan kejadian iklim mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai model prediksi dan model peringatan dini terhadap suatu kejadian yang dikaji, termasuk kejadian penyakit.

Penyakit DBD merupakan penyakit tular vektor (vector born disease) yang ditularkan oleh nyamuk. Kehidupan nyamuk dan virus Dengue di dalam tubuhnya dipengaruhi oleh iklim terutama pada periode sebelum proses penularan penyakit. Selain mempengaruhi kehidupan nyamuk dan virus, iklim juga mempengaruhi faktor- faktor transmisi lainnya, antara lain perilaku dan ketahanan tubuh manusia.

Berdasarkan pengaruh unsur-unsur iklim pada faktor-faktor transmisi terutama pada tahap pradewasa nyamuk dan inkubasi ekstrinsk virus Dengue di dalam tubuh nyamuk, maka diasumsikan unsur-unsur iklim berpengaruh pada angka kejadian (IR) penyakit DBD. Dari seluruh unsur iklim yang dipergunakan sebagai peubah penduga, yang meliputi curah hujan (CH), selisih hujan dengan evapotranspirasi potensial (SD), suhu rata-rata (TR), maksimum (TX), dan minimum (TN), kelembaban relatif (RH), Radiasi, jumlah Hari Hujan, dan indeks suhu kelembaban (THI); hanya SD,CH dan TX yang mempunyai korelasi nyata terhadap IR.

CH yang relatif tinggi dalam beberapa minggu berpeluang meningkatkan ketersediaan tempat perindukan nyamuk. Nyamuk Aedes aegypti pradewasa memiliki ketahanan terhadap intensitas hujan yang tinggi, tidak mudah terbawa limpahan air ke luar tempat penampungan (Koenraadt dan Harrington, 2008). Hujan yang terus menerus pada musim hujan juga mengakibatkan orang lebih banyak berdiam diri sehingga mudah digigit nyamuk dan ketahanan tubuh lemah.

Pada musim hujan keawanan tinggi menyebabkan radiasi terhalang untuk sampai di permukaan bumi sehingga suhu rendah. Pada salah satu tahapan dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa semakin rendah suhu semakin lambat nyamuk berkembang biak, tetapi umur nyamuk semakin panjang dan tempat perindukan tersedia lebih banyak sehingga diduga populasi nyamuk berkurang tetapi masih cukup banyak untuk menularkan virus Dengue. Menurut Tromp (1980), cuaca khususnya suhu rendah

di luar batas nyaman juga menurunkan ketahanan tubuh manusia karena terganggunya pengaturan fisiologi tubuh. Jadi pada musim hujan yang biasanya disertai dengan suhu rendah, kombinasi faktor jumlah populasi dan frekuensi gigitan nyamuk, serta ketahanan tubuh manusia mendukung proses penularan penyakit DBD. Kondisi inilah yang diduga menjadi penyebab IR tinggi pada musim hujan dan adanya korelasi positif antara IR dengan curah hujan dan korelasi negatif antara IR dengan suhu udara.

Hasil penyusunan persamaan model prediksi IR mingguan hanya menggunakan unsur iklim dapat menghasilkan persamaan yang nyata tetapi dengan akurasi model yang relatif rendah meskipun melibatkan banyak parameter yaitu CH, TX, TR dan TN dalam persamaan :

IRn = 0,920 + 0,157*CH3n-2– 0,052*CH3n-4 + 0,066*CH3n-5 + 0,826*TR2n-2 - 0,387*TX2n-2 – 0,492* TN2n-2

@

.

Kendala rendahnya keakurasian model prediksi yang hanya memasukkan peubah iklim juga didapatkan oleh Schreiber (2001) untuk model skala mingguan, maupun Sasmito (2006) dan Sintorini (2006) untuk model dalam skala bulanan. Selain faktor iklim, proses penularan penyakit DBD juga dipengaruhi oleh banyak faktor lain, sehingga penambahan faktor non iklim dalam persamaan prediksi diharapkan dapat meningkatkan keakurasian model.

Gallub dan Jeffrey (2001) mendapatkan bahwa inisiasi indeks malaria awal berpengaruh nyata terhadap jumlah kasus penyakit malaria pada periode berikutnya. Sejalan dengan analogi tersebut dalam penelitian ini keakurasian model ditingkatkan dengan memasukkan nilai IR awal sebagai peubah prediktor pilihan untuk mendapatkan model prediksi IR. Jadi faktor non iklim yang diperhitungkan dalam penyusunan model predikasi IR adalah data IR awal atau IR pada periode sebelum prediksi (IR inisial).

Bersama dengan peubah penduga IR inisial, unsur curah hujan saja telah dapat menghasilkan kombinasi prediktor yang lebih akurat dalam persamaan prediksi IR : IRn = 0,795*IRn-1 + 0,067*ICH3n-2; ICH3n-2 = CH n-2 - 1,155*CH3n-4 + 0,702*CH n-5

@

.Secara tidak langsung waktu kejadian penyakit juga dapat diprediksi dengan persamaan tersebut. Di Indonesia kondisi curah hujan merupakan unsur iklim yang paling bervariasi dan menjadi faktor pengendali bagi unsur iklim yang lain. Dengan

@

IRn adalah IR pada minggu ke n ; TX2n-2 , TR2n-2; danTN2n-2 adalah rataan bergerak 2 mingguan

suhu maksimum, suhu rata-rata dan suhu minimum (oC) pada dua minggu sebelum periode prediksi; CH3n-x : rataan bergerak hujan 3 mingguan (cm) x minggu sebelum periode prediksi.

memasukkan unsur hujan saja telah dapat mewakili kondisi iklim lain yang berpengaruh, sehingga menghasilkan model yang akurat.

Persamaan prediksi IR menunjukkan bahwa jika ICH3 tinggi, maka peluang IR untuk meningkat tinggi. ICH3 akan tinggi jika terdapat periode hujan yang berat pada satu hingga dua minggu (minggu ke n-7 dan n-6) yang diselingi dengan satu atau dua minggu keadaan kering (minggu ke n-5) dan kemudian diikuti dengan tiga atau dua minggu (minggu ke n-4 hingga n-2) yang basah kembali.

Pada tahapan analisis sebelumnya, penentuan Indeks kerawanan (IK) dan pemetaan wilayah rawan menunjukkan bahwa 84% wilayah Indonesia mempunyai kesamaan 85% dalam pola dan besaran IK. Dari kelompok 1 ini dipilih Kabupaten Indramayu, yang data kasusnya dipergunakan sebagai bahan penyusunan model prediksi.

Berdasarkan analisis sebaran data IR, Indeks Kerawanan untuk skala wilayah Kab./Kota ditentukan dengan mempergunakan persamaan :

FK F

F F

IK (0,2* r 1,6* s 16,5* b)* ,

di mana Fr, Fs, dan Fb masing-masing adalah frekuensi kejadian ringan, sedang dan

berat relatif terhadap jumlah data pada bulan yang sama, FK adalah faktor koreksi didapatkan dari persamaan FK= (m+n)/(2*n-2); m adalah jumlah kejadian 3 tahunan berturutan pada bulan yang sama dalam n tahun kejadian.

Hasil pengelompokan IK menunjukkan bahwa di sebagian besar kelompok, pola IK bulanan sama dengan pola hujan rata-rata bulanannya. Hal ini diduga terjadi karena pada sebagian besar Kab./Kota yang tergabung dalam kelompok-kelompok ini adalah kota kecil atau sedang, dimana ketersediaan air dipengaruhi langsung oleh air hujan, sehingga tempat perindukan nyamuk tinggi pada musim hujan dan populasi nyamuk relatif besar. Pada saat musim hujan orang lebih banyak berdiam diri sehingga mudah digigit nyamuk dan ketahanan tubuh lemah.

Di kota-kota besar yang tergabung dalam kelompok 2, 3 dan 4, IK masih terus meningkat hingga pada akhir musim hujan, yaitu beberapa bulan setelah periode hujan bulanan maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa rantai penularan masih berjalan intensif beberapa bulan setelah hujan maksimum. Beberapa penyebab yang diduga mempengaruhi adalah (a) IR pada minggu-minggu sebelumnya tinggi sehingga sumber virus untuk ditularkan masih banyak pada akhir musim hujan, (b) jarak antar orang sebagi host relatif dekat yang diakibatkan oleh kepadatan penduduk yang tinggi, sehingga penularan lebih mudah (c) populasi nyamuk diduga bertambah tinggi karena

masih tersedianya tempat perindukan baik di dalam maupun di luar rumah oleh karena banyaknya penampungan air. Pada periode ini makin banyak kejadian hujan yang diselingi dengan hari kering (ICH tinggi). Dari model prediksi IR, ICH3 tinggi menyebabkan IR minggu berikutnya meningkat.

Keakurasian model prediksi IR diujikan pada wilayah Kab./Kota lain maupun pada tempat yang sama tetapi pada lain periode. Lokasi lain yang dipergunakan dalam uji validasi adalah kodya Bogor yang dalam pengelompokan indeks kerentanan wilayah termasuk dalam kelompok 2, Jakarta Utara termasuk dalam kelompok 3, serta kota Padang dari kelompok terpisah. Pada proses pengujian, model diterapkan pada kelompok lain dan masih tetap mempunyai akurasi baik. Meskipun demikian, karena model dibangun berdasarkan panjang periode lengas selama pradewasa nyamuk dan suhu pada periode inkubasi ekstrinsik yang merupakan fungsi dari suhu udara, dan model dibangun dari kasus di dataran rendah, maka model tidak direkomendasikan untuk digunakan di wilayah Kab./Kota yang terletak pada dataran menengah ke atas (> 500 mdpl) atau tempat dengan suhu udara rata-rata tahunan kurang dari 26oC. Pada lokasi ini panjang periode pradewasa nyamuk dan inkubasi ekstrinsik virus berbeda dari yang dipergunakan dalam pembangunan model, sehingga penyesuaian model harus dilakukan. Penyesuaian model spesifik lokasi dapat meningkatkan keakurasian model.

Model Peringatan Dini DBD atau Dengue Early Warning Model (DEWM) dibangun dengan memanfaatkan model prediksi IR dan prediksi panjang periode pradewasa nyamuk dan inkubasi ekstrinsik virus. Menurut Myers et al. (2000), sistem kewaspadaan dini dengue merupakan salah satu metode yang dikembangkan untuk upaya antisipasi dan pencegahan timbul dan berkembangnya penyakit DBD. Luaran DEWM yang dibangun adalah periode optimum Pembersihan Sarang Nyamuk yang dipisahkan menjadi pembersihan tempat perkembangan nyamuk pradewasa (TPN) dan pembersihan tempat peristirahatan nyamuk dewasa (SND), nilai IR dua minggu setelah kejadian iklim dan rekomendasi tingkat diperlukannya dilakukannya pengasapan.

Bulan bakti gerakan PSN dalam 2 putaran sebagai penanggulangan sebelum musim penularan, yakni pada saat kasus bulanan terendah yang menjadi program pemerintah merupakan tindakan antisipasi yang ideal. Apalagi jika PSN juga dapat dilakukan setiap minggu dalam gerakan Jumat bersih. Jika kedua gerakan tersebut dapat terlaksana dengan baik maka resiko terjangkitnya penyakit DBD akan dapat diminimalkan dan pemberantasan sarang nyamuk akan efektif.

Apabila gerakan hemat air menjadi perhatian atau ada masalah lain yang menyebabkan masyarakat tidak dapat melakukan PSN sekali dalam seminggu, maka pelaksanaan PSN dapat dilakukan sesuai dengan periode optimum pelaksanaan PSN sesuai luaran model. Pada musim hujan hingga beberapa bulan sesudahnya direkomendasikan untuk mempergunakan luaran periode PSN pada nilai taksiran rendah dan nilai IR pada taksiran tinggi sebagai patokan untuk menggerakkan masyarakat dalam pelaksanaan PSN dan sebagai bahan perhitungan kebutuhan sarana dan prasarana yang harus dipersiapkan untuk pertolongan pada penderita. Sebaliknya pada musim kemarau, untuk upaya efisiensi, direkomendasikan mempergunakan luaran periode PSN pada nilai taksiran tinggi dan nilai IR pada taksiran rendah.

Gambar 25. Skema kondisi antisipasi dan penanggulangan saat ini dan yang diusulkan

Luaran saran pengasapan dalam DEWM yang disusun adalah tingkat kepentingan dilakukannya pengasapan. Sifat pengasapan yaitu fokus atau masal dan lokasi target pengasapan disarankan mengikuti kriteria yang sudah telah disusun oleh

Kondisi Antisipasi dan

Penanggulangan penyakit DBD saat

Musim Penularan berdasar data 3 tahun terakhir Penanggulangan sebelum

musim penularan, terutama PSN

Kasus sesuai kriteria

PSN danFoging

Alternatif upaya Antisipasi dan Penanggulangan penyakit DBD yang diusulkan

1 minggu

Kemungkinan terjadi peningkatan IR atau IR>=20 berdasarkan IRn-1 & ICH3n-2

PSN PSN PSN PSN PSN Fogging Pengamatan T PSN setiap Jumat

DepKes. Dengan memanfaatkan luaran model diharapkan upaya antisipasi, mitigasi dan penanggulangan kejadian kejadian penyakit DBD menjadi lebih efektif.

Luaran DEWM dapat memberi rekomendasi pada tindakan antisipasi dan perencanaan jangka pendek. PSN ditentukan berdasarkan luaran DEWM dengan mempertimbangkan data suhu udara. Pada saat suhu udara tinggi, PSN dilakukan lebih sering dan pada saat suhu rendah PSN dilakukan dengan jeda waktu yang lebih panjang. Rekomendasi perlunya pengasapan dapat dilakukan seminggu sebelum kasus, akan tetapi sifat pengasapan masal atau fokus tidak dihasilkan dari luaran DEWM ini. Sarana dan prasarana untuk penanggulangan seminggu ke depan dapat disesuaikan dengan IR hasil luaran model.

Untuk memperlancar arus informasi yang dibutuhkan untuk input model sebaiknya dibuat kerjasama membangun jaringan informasi antara :

1. Seluruh Rumah Sakit dengan Dinas kesehatan tingkat kabupaten / kotamadya setempat

2. Dinas Kesehatan Kab./Kota dengan instansi penyelenggara pengamatan iklim, minimal Badan Meteorologi dan Geofisika setempat.

Luaran DEWM akan bermanfaat dalam upaya antisipasi dan penanggulangan penyakit secara tepat guna apabila diikuti dengan peran serta masyarakat secara menyeluruh dan terus menerus. Di lapangan menunjukkan peran serta masyarakat masih sangat perlu ditingkatkan. Cara yang perlu dilakukan adalah meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat melalui iklan layanan masyarakat di media televisi dan meningkatkan peran serta tokoh masyarakat lokal dalam mengerakkan masyarakat untuk melaksanakan PSN. Beberapa cara menggerakkan masyarakat untuk melaksanakan PSN dan pengamatan jentik seperti melibatkan anak-anak sekolah perlu dikembangkan pada daerah yang lebih luas, terutama pada keadaan siaga menghadapi musim penyakit DBD, yakni pada dan setelah musim hujan.

Reiter (2001), memprediksi adanya peningkatan resiko penularan penyakit oleh adanya peningkatan suhu. Hasil penelitian ini juga memberi gambaran keadaan yang akan terjadi jika suhu meningkat dan variabilitas curah hujan juga meningkat. Jika suhu meningkat maka nyamuk dapat hidup dan aktif menularkan virus Dengue pada elevasi yang lebih tinggi. EIP menjadi lebih pendek, umur nyamuk lebih singkat tetapi berkembangbiak dengan lebih cepat, ukurannya lebih kecil karena pertumbuhannya cepat jika suhu meningkat. Akibatnya nyamuk lebih cepat menularkan virus. Peningkatan variabilitas hujan juga diduga akan menyebabkan peningkatan angka

kejadan penyakit. Dalam rangka mengantipasi keadaan ini DEWM menjadi lebih penting untuk terus dikembangkan.

Suhu udara mempengaruhi suhu air tempat hidup pradewasa nyamuk. Di tempat yang terlindung dari radiasi matahari suhu udara sudah mencukupi untuk menduga suhu air yang berpengaruh pada kecepatan tumbuh pradewasa nyamuk. Akan tetapi dalam menghubungkan suhu dengan kecepatan tumbuh pradewasa nyamuk di tempat yang terpapar radiasi matahari, menggunakan suhu air diduga dapat memberi hasil yang lebih akurat dibandingkan hanya menggunakan informasi suhu udara. Menurut SAS Institute, 1988 dalam Focks et al., 1993; pada selang suhu udara 11 hingga 42 oC dan suhu air 9 hingga 36 oC, suhu maksimum air (WTmax) dan suhu minimum air (WTmin) dapat

diturunkan darai suhu maksimum udata Tmax , suhu udara minimum Tmin , dan lama

penyinaran (Sun Exposure, SE)

WTmax = 15,03 + 0,81 Tmin +0,01 T2max +7,69 SE2

WTmin = 5,02 + 0,27 Tmin +0,001 T2max +1,36 SE

Upaya antisipasi lebih ditekankan pada upaya menekan jumlah populasi nyamuk, melalui kegiatan PSN. PSN dapat dilakukan secara fisik, kimiawi maupun secara biologis dan kombinasi antar ketiga cara tersebut. Secara fisik antara lain dengan cara menutup, mengubur dan membersihkan bak penampungan; secara kimiawi dengan cara pemakaian larvasida dan pestisida. Secara biologis PSN dapat dilakukan dengan memelihara hewan pemangsa nyamuk Aedes pradewasa maupun dewasa antara lain beberapa jenis ikan.

Menjaga keseimbangan ekologi merupakan salah satu kunci dalam menekan jumlah nyamuk vektor. Asosiasi antar species, bahkan species nyamuk memungkinkan untuk menekan species vektor dominan penular penyakit DBD. Kasus di beberapa tempat di Amerika, Aedes aegypty yang pernah tersebar luas menjadi terbatas pada beberapa daerah saja dapat menjadi contoh dalam proses persaingan antar species nyamuk dalam menekan species vektor dominan penular penyakit DBD. Mekanisme tersebut disebabkan (Lounibos, 2002): (a)terjadinya sterilitas karena perkawinan silang antar species; (b) mortalitas pada Aedes aegypty yang disebabkan oleh parasit yang berasosiasi dengan nyamuk lain (contoh parasit Ascogregorina taiwanensis yang berasosiasi dengan Aedes albopictus); (c) penghambatan penetasan telur Aedes aegypty oleh larva species lain; (d) daya saing larva species lain mungkin lebih baik dalam menggunakan sumberdaya yang lebih luas.

Daftar Pustaka

Aiken, S.R., Frost, D.B. and Leigh, C.H. 1980. Dengue Hemorragic Fever and Rainfall in Peninsular Malaysia : Some Sugested Relationships. Sot. Sri. &. Med. 1(4D); p: 307l o3 16. Pergamon Press Ltd. 1980

Ali, M., Wagatsuma, Y., Emch, M., and Breiman, R.F. 2003. Use of a Geographic Information System for Defining Spatial Risk for Dengue Transmission in Bangladesh: Role for Aedes albopictus in an Urban Outbreak. Am. J. Trop. Med. Hyg., 69(6) : 634–640

Anonim. 1990. Pengamatan dan Pencegahan KLB DBD (Kewaspadaan Dini). Ditjen PPM & PLP Depkes RI.

Anonim. 2000. Data Program Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue tahun 1999. Dirjen PPM dan PL DepKes-Kesos RI.

Anonim. 2006. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Demam. Ditjen PPM & PLP Depkes RI.

Barbazan, P., Yoksan, S., and Gonzalez, J-P. 2002.Dengue hemorrhagic fever epidemiology in Thailand: description and forecasting of epidemics. Microbes and Infection 4 (7) : 699–705. www.elsevier.com/locate/micinf

Boer, R. Las, I., Hidayati, R. dan Budianto, B. 1996. Analisis deret hari kering untuk perencanaan penanaman padi sawah tadah hujan di Jawa Barat (Dry spell analysis for defining planting time of rainfed rice in West Java) Laporan Penelitian Proyek Agriculture Research Management Project. Lembaga Penelitian IPB.

Boer, R. 1993. Climatic Constraints on Anthesis of Wheat in a Major Wheat Growing Region of Australia. Dept.of Crop Sciences, Fac. Of Agric. The Univ. Of Sydney. Australia (PhD Dissertation).

Boer, R., Las, I., dan Notodiputro, K.A. 1999. Analisis Risiko Iklim untuk produksi dan pengembangan kedelai di Flores, NTT (Climatic risk analysis for soybean production at Flores, NTT). Laporan Penelitian RUT-IV. Dewan Riset

Nasional, Jakarta.

Boer, R. 2001. Final Report Inventory of Climate Extreme Impact (ENSO) on Agriculture: Indonesian Case. Submitted toAsian Disaster Preparedness Center (ADPC) Thailand

Bosio, C.F., Thomas, R.E., Grimstad, P.r., and Rai, K.S. 1992. Variation in the Vertical Transmission of Dengue-1 Virus by Strain of Aedesalbopictus (Diptera culicidae). J. Med. Entomol. 29(6):985-9 (abstract).

Chadee, D.D. 2006. Impact of Climate Variability on Aedes aegypti Indices and Dengue Cases in the Caribbean Region: a Prospective Study (Microsoft Power Point). Insect Vector Control Division, Ministry of Health, Trinida, West Indies

Chan, NY., Ebi, KL., Smith, F., Wilson, TF., and Smith, AE. 1999. An Integrated Assessment Framework for Climate Change and Infectious Diseases. Environmental Health Perspectives. 107 (5). http://www.ehponline.org

Christophers, S.R. 1960. Aedes aegypti (L) the Yellow Fever Mosquito. Its Life History, Bionomics and Structure. Cambridge Univ. Press. Cambridge

Corwin, A.L., Larasati, R.P., Bangs, M.J., Wuryadi, S., Arjoso, S., Sukri, N., Listyaningsih, E., Hartati, S., Namursa, R., Anwar, Z., Chandra, S. Loho, B., Ahmad, H., Campbell, J.R., and Porter, K.R. 2001. Epidemic Dengue Transmission in Southern Sumatra, Indonesia. Trans. Royal Soc. Trop. Med. Hyg. 95 : 257 – 265

Cruz, J.D. 2006. Stochastic Model for Actuarial Applications, Week I Lecture (ppt)……

Departemen Kesehatan RI, 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten / Kota Sehat. Kep Men Kes No: 1202 / Men Kes / SK / VIII / 2003. Dep Kes RI, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2007. Perkembangan DBD Awal Tahun 2007.

http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=2450

Freier, JE and Rosen L. 1987. Vertical Transmission of Dengue Virusss by Mosquitoes of the Aedesscutellaris group. Am. J. Trop. Med. Hyg. 37(3) : 640-7 (abstract)

Focks, D.A. Epidemiology in Dengue (Editor: Dr. Scott B. Halstead) Series. Tropical Medicine – Science & Practice. Imperial College Press

Focks, D.A., Haile, D.H., Daniels, E., and Mount, G.A.. 1993a. Dynamic life table model of a container-inhabiting mosquito, Aedesaegypti (L.) (Diptera:

Culicidae). Analysis of the literature and model development. J. Med. Entomol. 30:1003-1017.

Focks, D.A., Haile, D.H., Daniels, E., and Mount. G.A. 1993b. Dynamic life table model of a container-inhabiting mosquito, Aedes aegypti (L.) (Diptera:

Culicidae). Simulation Results and Validation. J. Med. Entomol. 30:1018-1028.

Focks, D.A., Daniels, E., Haile, D.H., and Keesling. J.E. 1995. A simulation model of the epidemiology of urban dengue fever: Literature analysis, model

development, preliminary validation, and samples of simulation results. Am. J. Trop. Med. Hyg. 53(5):489-506.

Focks, D.A., Brenner, R.J., Hayes, J. And Daniels, E. 2000. Transmission Thresholds for Dengue in terms of Aedesaegypti Pupal per Person with Discussion on their Utility in Source Reduction Efforts. Am. J. Trop. Med. Hyg. 62(1) :11-18

Dokumen terkait