• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang penulis dapatkan dari hasil penulisan skripsi ini merupakan hasil kajian dan pembahasan dari bab-bab sebelumnya. Wilayaha Eritrea yang terletak di kawasan Tanduk Afrika yang memiliki letak setategis dimana berbatasan langsung dengan Laut Merah dan dekat dengan negara-negara Arab ternyata menjadi perhatian negara-negara Eropa untuk menanamkan pengaruhnya di wilayah tersebut. Seperti pemerintah Italia yang pernah menguasai Erirea dari tahun 1885-1942, dimana pada tahun 1942 Italia dikalahkan oleh tentara sekutu saat Perang Dunia II yang menyebabkan seluruh wilayah kolonial Italia harus diserahkan kepada pihak yang menang salah satunya ialah wilayah Eritrea yang berada di bawah Administrasi Inggris dari tahun 1942-1952. Selama berada dibawah administrasi Inggris penduduk Eritrea dijanjikan akan diberikan kemerdekaan sehingga pemerintah Inggris mendorong penduduk Eritrea untuk mendirikan partai politik. Tetapi pada kenyataannya penyelesaian wilayah Eritrea diserahkan kepada PBB. Perundingan yang dilakukan oleh PBB untuk menentukan nasib Eritrea dilakukan tanpa ada perwakilan dari wilayah itu sendiri, dimana hasil dari PBB ialah dikeluarkannya Resolusi PBB pada tahun 1950 yang disahkan padat bulan September 1952. Hasil dari resolusi PBB ialah wilayah Eritrea menjadi Federasi Eritrea dibawah pemerintahan Ethiopia. Federasi Eritrea bertugas hanya mengurusi masalah dalam negeri, masalah luar negeri, militer dan perekonomian menjadi tanggung jawab pemerintah Ethiopia.

Selama menjadi negara Federasi hak-hak nasional Eritrea mulai dijalankan dimana Eritrea menyusun kebijakan-kebijakan pemerintahan. Kebijakan pemerintah yang pertama ialah penggunaan Bahasa Tigriya dan Arab di setiap sekolah, mengatur pembentukan partai dan menjalankan sistem pajak. Namun dalam kenyataannya

120

pemerintah Ethiopia melarang pendirian partai, melarang penggunaan bahasa Tigriya dan Arab diganti menjadi bahasa Amharik, melarang kebebasan pers dan mengontrol penuh perekonomian dimana industri-industri Eritrea yang sudah dibangun dipindahkan ke Addis Abbaba ibukota Ethiopia. Kekerasan, pelanggaran HAM dan perampasan hak nasionalis Eritrea terjadi selama federasi Eritrea yang dilakukan oleh pemerintah Ethiopia.

Pada tahun 1962 pemerintah Ethiopia mengatakan periode federal Eritrea berakhir, secara sepihak parlemen dibubarkan dan Eritrea dijadikan propinsi ke-14 Ethiopia. Dengan demikian otonomi dan identitas nasional Eritrea mulai terancam. Maka dimulailah periode keempat yang sekaligus merupakan periode sengketa antara pemerintah Ethiopia dengan masyarakat Eritrea yang menimbulkan suatu gerakan yang dilakukan penduduk Eritrea dalam upaya memerdekakan Eritrea. Konflik yang terjadi antara Erirea dan Ethiopia ialah konflik etno-politik dimana salah satu pihak yang berkonflik ialah pemerintah Ethiopia dengan Eritrea yang menginginkan kemerdekaan. Bila melihat teori konflik menurut Ralf Dahrendrof pertentangan kelompok merupakan sumber perubahan sosial, kelompok sosial tersebut ialah mereka yang berkuasa dan dikuasai seperti halnya Eritrea yang dikuasai Ethiopia setelah Eritrea menjadi provinsi Ethiopia.

Gerakan perjuangan kemerdekaan Eritrea sudah dimulai semenjak Eritrea masih dibawah Administrasi Inggris, yaitu pada tanggal 5 Mei 1941 Mahber Fikri Hager Eritrea (MFH) (Asosiasi Cinta Negeri untuk Eritrea) dibentuk untuk mewakili masyarakat Eritrea dalam berinteraksi dengan Pemerintah Militer mengenai masalah kemerdekaan Eritrea namun gerakan ini tidak bertahan lama dikarenakan terjadi perpecahan. Gerakan kemerdekaan Eritrea yang pertama ialah ELM, kemudian muncul gerakan ELF yang didirikan oleh orang-orang bungan Eritrea yang berada di Sudan dan mendapat dukungan dari negara-negara Arab. ELF lah yang memulai perlawanan bersenjata pertama terhadap pemerintah Ethiopia pada tahun 1962.

121

Meri Erlina, 2013

pemuda dan kaum intelektual yang bergabung dengan gerakan ini. Namun, pada perkembangan selanjutnya ELF pecah karena ada perbedaan ideologi antara pemimpinnya, kemudian pecahan ELF ini menjadi PLF dan berkembang lagi menjadi EPLF.

EPLF mulai melakukan gerakan pemberontakan pada tahun 1972, gerakan ini menyatakan dirinya berbeda dengan ELF yang merupakan gerakan radikal yang bertujuan ingin mendirikan negara Islam, sedangkan EPLF merupakan gerakan yang bersifat multi etis dan agama. Perjuangan yang cukup panjang bagi Eritrea untuk mendapatkan kemerdekaan dimana selama perjuangan kemerdekaan ini banyak berjatuhan korban dan terjadinya berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Ethiopia terhadap penduduk Eritrea. Walau harus memikul beban kas negara, penduduk Eritrea tetap berjuang untuk melakukan berbagai gerakan kemerdekaan. Pertempuran semakin sengit antara gerakan kemerdekaan Eritrea dan pemerintah Ethiopia dari tahun 1975-1989 yang memakan banyak korban baik dari kedua belah pihak dan para penduduk yang tidak berdosa. Pada tahun 1989 EPLF dan pemerintah setuju untuk melakukan perundingan yang dimediasi oleh mantan presiden Amerika Serikat Jimmy Carter, namun pembicaraan gagal mengahasilkan kesepakatan damai dan pemerintah Ethiopia terus menderita kekalahan. Pada tahun 1991 tentara pemerintah Ethiopia di Keren dan Aseb kalah yang menandakan kemenangan EPLF yang berhasil mengambil alih seluruh wilayah Eritrea yang dikuasai pemerintah dan runtuhnya rezim Menghistu Haile Mariam.

Pada tahun yang sama tepatnya tanggal 1-5 Juli 1991 delegasi Amerika Serikat hadir di Ethiopia untuk membicarakan pemerintahan transisi Ethiopia. Delegasi Eritrea hadir sebagai pengamat dan mengadakan pembicaraan mengenai hubungan Eritrea dengan pemerintahan sementara Ethiopia yang menghasilkan akan diadakannya perjanjian dimana Ethiopia mengakui hak Eritrea untuk mengadakan referendum mengenai kemerdekaan. Referendum atau resolusi konflik merupakan suatu kondisi di mana pihak-pihak yang berkonflik melakukan suatu perjanjian yang

122

dapat memecahkan ketidakcocokan, menerima keberadaan satu sama lain dan menghentikan tindakan kekerasan. Referendum dilakukan pada tahun 1993 dibawah pengawasan PBB yang membentuk Observer Misi Verifikasi Referendum di Eritrea (UNEVER). Hasil dari referendum ialah 99.81 % dari total 1.102.410 penduduk Eritrea mengatakan ya untuk merdeka. Sejak referendum dilaksanakan Eritrea mendapatkan kemerdekaan dan diakui keanggotaannya di PBB pada tanggal 28 Mei 1993. Maka Eritrea memasuki periode baru yaitu kemerdekaan yang akan menjalankan pemerintahannya sendiri tanpa campur tangan orang lain setelah melakukan perjuangan cukup panjang. Walau sudah merdeka masih ada tantangan kemerdekaan yang mengganggu kesetabilan negara dimana terjadinya konflik perbatasan antara Eritrea dan Ethiopia pada tahun 1998 yang merupakan pengulangan sejarah. Dalam hal ini pemerintah Ethiopia merasa belum puas akan perbatasan dengan Eritrea yang mengklaim beberapa wilayah Eritrea seharusnya milik Ethiopia.

Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam penelitian ini ialah nilai cinta tanah air, patriotisme, toleransi, nasionalisme, saling menghargai dan menghormati serta yang paling utama ialah nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan.

5.2 Saran

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pembelajaran sejarah di lembaga persekolahan khususnya pada tingkat Sekolah Menengah Atas karena sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SKKD) “Menganalisis Perkembangan Sejarah Dunia Sejak Perang Dunis II sampai dengan Perkembangan Mutakhir” dengan Kompetensi Dasar 2.2 yaitu “Kemampuan menganalisis perkembangan mutakhir dunia”. Perang kemerdekaan Eritrea merupakan sejarah mutakhir, karena kemerdekaan Eritrea didapat pada tahun 1993. Oleh sebab itu perang kemerdekaan Eritrea dapat dijadikan sebagai bahan ajaran tambahan sejarah di sekolah-sekolah dengan menjelaskan perjuangan kemerdekaan

123

Meri Erlina, 2013

yang dilakukan penduduk Eritrea untuk mendapatkan kembali hak-hak nasional mereka walau harus mengalami perjuangan yang panjang dan jatuhnya banyak korba. Ketidak sempurnaan penelitian ini masih perlu dijawab dan diteliti lebih

konferensi lagi mengenai “Konflik Perbatasan Eritrea dan Ethiopia tahun

1998-2000“ dan “Konflik Perbatasan Eritrea dan Djibouti pada tahun 2008”. Semoga apa yang masih menjadi keresahan peneliti dan dari ketidak sempurnaan penelitian ini dapat diteliti lebih lanjut oleh peneliti lain yang tertarik dengan kondisi sosial politik dikawasan Tanduk Afrika khususnya yang berkaitan dengan negara Eritrea baik dari segi sosial, politik, budaya dan ekonomi.

Dokumen terkait