• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka hukum yang dikembangkan di Indonesia sejak tsunami tahun 2004 cukup komprehensif dan luas cakupannya, dan Indonesia patut dipuji atas capaian yang signifikan tersebut. Selanjutnya, kerangka ini memasukkan aspek-aspek kunci Pedoman IDRL, khususnya dalam Perka 22/2010, yang telah dirancang untuk memastikan bahwa tanggap darurat bencana di masa mendatang dilakukan dengan cara yang cepat dan efisien untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terkena dampak bencana.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa kerangka hukum ini telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 21/2008 dan 23/2008, dan dengan disusunnya Perka 22/2010. Kerangka hukum tersebut juga telah dilaksanakan secara kelembagaan melalui pembentukan BNPB dan BPBD di semua propinsi yang telah membentuk. Berikutnya, akan segera dikembangkan Kerangka Tanggap Darurat Nasional sesuai amanat Pasal 35 dan 36 UU 24/2007 dan Pasal 17 (1) PP 21/2008, yang menyatakan pengembangan ‘rencana penanggulangan darurat bencana’ atau ‘rencana tanggap darurat bencana’ sebagai kerangka kerja untuk melaksanakan penanganan darurat.

Banyak praktek baik operasi tanggap darurat yang telah diperoleh dalam laporan ini, namun orang dapat mempertanyakan apakah kerangka hukum ini dapat diterapan untuk operasi darurat bencana berskala besar, hal ini belum sepenuhnya teruji dan terasa dampaknya. Tidak dapat dipungkiri bahwa tanggap darurat bencana merupakan tindakan yang membutuhkan pengambilan keputusan cepat; sedangkan untuk memastikan pemahaman yang kuat dan pelaksanaan undang-undang baru merupakan proses yang kompleks dan membutuhkan waktu cukup lama dan perlu perhatian khusus. Pikiran-pikiran ini dikemukakan oleh perwakilan dari Kemenlu Indonesia pada lokakarya konsultasi untuk laporan ini pada tahun 2013, yang menekankan pentingnya memastikan pemahaman yang luas dan pelaksanaan kerangka kerja yang ada. Perasaan yang sama dikemukakan oleh para pemangku kepentingan internasional pada lokakarya konsultasi, yang menekankan betapa pentingnya baik untuk pelaku nasional maupun internasional di lapangan untuk memahami peraturan, pedoman dan mekanisme lainnya yang terkait untuk memudahkan akses ke daerah yang terkena bencana.155

Pada kenyataannya sulit untuk dapat menguji secara keseluruhan kerangka hukum yang berkaitan dengan bantuan internasional tanpa terjadinya bencana skala besar yang membutuhkan bantuan internasional yang memadai. Tetapi ini bukan berarti bahwa tidak ada yang dapat dilakukan sementara ini. Latihan simulasi di ruangan dan di tingkat lapangan dapat digunakan sebagai sarana yang sangat berguna untuk menguji penerapan hukum, atau setidaknya untuk memastikan bahwa semua pihak yang terkait mengetahui proses dan prosedur yang digunakan, dan bagaimana aturan yang harus diikuti. Latihan-latihan seperti itu telah dilakukan, termasuk latihan dalam ruangan baru-baru ini di Padang bulan April 2013, di mana sejumlah isu seputar fasilitasi bantuan bencana internasional dibahas.

Baru-baru ini, Latihan Penanggulangan Bencana ‘Mentawai Megathrust’ diadakan di Padang bulan Maret 2014, yang merupakan latihan pos komando dan geladi lapangan berbasis skenario. Ini merupakan kerjasama sipil militer dari Indonesia, negara-negara anggota ASEAN, Australia, Amerika Serikat, dan berbagai organisasi internasional termasuk UN-OCHA dan IFRC. Pada sesi akademik yang diadakan sebelum latihan ini diuraikan komponen yang terkait dari kerangka hukum (yaitu UU 24/2007 dan Perka 22/2010), tapi sayang hanya sedikit disebutkan kaitan kerangka kerja ini dalam pelaksanaan latihan. Unsur kunci terkait dengan fasilitasi bantuan internasional bisa

saja diuji dengan lebih baik, termasuk pembentukan Pos Pendukung atau penyediaan fasilitas kemudahan akses. Latihan ini tentu merupakan metode yang berguna untuk menguji koordinasi, peran dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan menanggapi bencana, diharapkan latihan-latihan mendatang lebih ditekankan pada pemahaman peran dan tanggung jawab sehingga dapat dipastikan dan dilaksanakan sesuai dengan kerangka hukum.

Kajian ini telah mengambil beberapa contoh utama dari situasi di mana undang- undang, peraturan dan pedoman telah dilaksanakan, atau mungkin untuk dilaksanakan, yakni dua bencana terbesar di Indonesia sejak pelaksanaan UU 24/2007. Dari hasil penelitian, lokakarya konsultasi dan latihan penanggulangan bencana ini menunjukkan bahwa secara garis besar kemajuan yang telah dicapai masih perlu dipastikan tentang pemahaman secara luas terhadap kerangka hukum oleh semua pemangku kepentingan, agar pelaksanaan aturan dan prosedur yang ada lebih efisien dan efektif.

Berdasarkan penelitian dan konsultasi yang dilakukan untuk laporan ini, beberapa pengamatan dan rekomendasi jangka pendek dan jangka panjang dapat memberi pengaruh berupa perbaikan dan penerapan aturan hukum, dan kemudian mempertimbangkan kembali isi dan ketentuan yang ada. Diharapkan bahwa rekomendasi ini akan dipertimbangkan dalam setiap peninjauan kembali kerangka hukum untuk penanggulangan bencana dan tanggap darurat di Indonesia, atau dalam latihan mendatang yang bertujuan untuk memperkuat pelaksanaan tanggap darurat dan operasi pemulihan awal. IFRC dan PMI bersedia untuk memberikan dukungan teknis dalam penerapan atau diskusi lebih lanjut tentang rekomendasi ini.

Pengamatan dan rekomendasi akan diuraikan sebagai berikut, dan tabel potensi ‘poin- tindakan’ untuk melaksanakan rekomendasi ini ada dalam Lampiran B dari laporan ini:

1. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang kerangka hukum: Sebagai

langkah pertama, difokuskan pada perbaikan pelaksanaan dan kesadaran tentang kerangka yang ada akan merupakan hal penting. Hal ini sangat terkait dengan perbaikan penyelenggaraan penanggulangan bencana dan tanggap darurat dalam jangka pendek, karena perubahan atau pembuatan undang-undang dan peraturan baru kadangkala merupakan proses jangka panjang. Hal paling penting yang muncul dari kedua studi kasus dan konsultasi terkait adalah kurangnya penerapan kerangka hukum secara menyeluruh, dan mengkaitkan prosedur yang terjadi dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang.

Dalam hal ini, Indonesia bisa mendapatkan manfaat dari upaya untuk mendorong pemahaman yang lebih luas dari undang-undang, peraturan dan pedoman, peran dan tanggung jawab serta proses di dalamnya. Proses sosialisasi ini adalah pekerjaan penting yang akan memastikan bahwa semua pelaku yang terlibat memiliki pemahaman yang komprehensif tentang prosedur yang harus dilakukan dalam situasi tanggap darurat. Selain itu, penting bagi para pelaku yang terlibat untuk mengetahui lembaga mana yang memiliki tanggung jawab untuk pengambilan keputusan, dan bagaimana prosedur yang harus diikuti untuk memastikan bahwa bantuan internasional dapat diberikan secara cepat dan efektif. Para pelaku yang perlu dilibatkan dalam proses sosialisasi ini meliputi spectrum yang luas, termasuk pejabat tinggi pemerintah, dari kementerian dan lembaga, dan semua instansi pemerintah yang terkait. Proses ini juga harus melibatkan pelaku-pelaku yang akan beroperasi di lapangan dalam penanggulangan bencana

(misalnya pihak yang berwenang di tingkat provinsi dan kabupaten, masyarakat dan organisasi masyarakat sipil) untuk memastikan bahwa kerangka hukum dipahami secara komprehensif dan diterapkan dengan benar. Proses seperti ini juga harus disampaikan ke negara-negara dan lembaga-lembaga internasional yang membantu untuk memastikan bahwa mereka memenuhi persyaratan izin dan akses. Upaya tersebut dapat dilakukan dalam bentuk latihan simulasi, yang secara khusus difokuskan pada pemenuhan aturan hukum.

2. Kelayakan dan penegakan hukum: Seperti diuraikan dalam bab tiga, walaupun

kerangka hukum untuk tanggap darurat di Indonesia telah menggabungkan prinsip-prinsip pokok dan tanggung jawab kemanusiaan yang dirangkum dalam Pedoman IDRL, tetapi tidak ada mekanisme penegakan yang jelas untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip dan tanggung jawab tersebut dilaksanakan. Meski sudah ada prosedur yang membolehkan partisipasi pelaku internasional untuk membantu, tetapi dapat dikembangkan lebih lanjut untuk memasukkan serangkaian persyaratan kelayakan untuk berpartisipasi, dan untuk mengaitkannya dengan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan dengan kelayakan untuk mendapat fasilitas hukum.

Pada tanggap darurat gempa bumi Sumatera Barat menunjukkan adanya kekhawatiran atas pengakuan (atau ketiadaan pengakuan) kualifikasi profesional asing, dan hal ini bisa berdampak buruk terhadap bantuan yang diberikan. Jaminan bahwa pelaku pemberi bantuan internasional memenuhi persyaratan tertentu dapat membantu meringankan masalah tersebut, cara ini dapat dipakai sebagai mekanisme penegakan hukum.

Hal lain yang mungkin dapat dipertimbangkan adalah memasukkan prinsip- prinsip yang tercantum dalam Perka 22/2010 ke dalam undang-undang atau peraturan, dan menyusun mekanisme persetujuan dan pengawasan, supaya hanya lembaga-lembaga internasional yang dapat menunjukkan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip tersebut boleh mendaftarkan diri untuk berpartisipasi dalam penanggulangan bencana dan masuk/beroperasi dalam tanggap darurat.

3. Inisiasi dan penghentian bantuan: Perka 22/2010 mengatur tentang inisiasi dan penghentian bantuan internasional, namun proses yang diperlukan untuk memulai bantuan internasional (misalnya kajian mengenai kerusakan dan kebutuhan, penentuan skala bencana, deklarasi status darurat dll) agak tersebar di mana- mana dalam UU dan Perka. Hal ini perlu dipadukan secara lebih baik dan proses- prosesnya dibuat lebih konsisten di seluruh kerangka hukum, atau dimuat di salah satu bagian undang-undang. Proses untuk penggunaan aset militer asing juga dapat dibuat dan diperjelas.

Di samping itu, harus ada konsultasi dengan lembaga-lembaga internasional sebelum penghentian bantuan mereka, sehingga mereka mengetahui tanggal penghentian dan dapat merencanakan program bantuan mereka dan mengalokasikan dana secara tepat dan sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan.

4. Fasilitas hukum untuk masuk dan beroperasi: Walaupun kerangka hukum telah

memberikan banyak fasilitas hukum yang terdapat dalam Pedoman IDRL, ada kekurangan, sebagaimana dijelaskan dalam Bab Tiga dari laporan ini. Kerangka hukum bisa memperoleh manfaat dari gambaran pelaksanaan lingkup ketentuan mengenai ‘kemudahan akses’ sekarang ini, dan mengintegrasikannya dengan semua fasilitas hukum sebagaimana tercantum dalam Pedoman IDRL.

Serupa dengan ketentuan mengenai ‘kemudahan akses’ untuk prosedur kepabeanan, ketentuan tentang ‘kemudahan akses’ untuk personil dan karantina harus secara eksplisit dikaitkan dengan hukum yang berlaku, dan BNPB diharapkan dapat membahas dengan instansi/kementerian terkait apakah mereka perlu mengubah peraturan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut. Perhatian khusus harus diberikan kepada pemberi bantuan untuk diberikan informasi tentang proses karantina dan khususnya makanan/obat-obatan supaya mereka memahami prosedurnya.

Sebagai tambahan, bahwa ruang lingkup Pedoman IDRL meliputi tahap darurat maupun pemulihan awal, dan direkomendasikan untuk pemberian beberapa fasilitas hukum untuk kedua fase tersebut. Kerangka hukum yang ada di Indonesia membatasi fasilitas ‘kemudahan akses’ untuk tahap tanggap darurat saja. Karena banyak masalah yang dihadapi lembaga-lembaga internasional dalam tahap darurat dapat berlanjut ke tahap pemulihan, maka dianjurkan bahwa kerangka hukum harus memungkinkan untuk perpanjangan ‘kemudahan akses’ fasilitas hukum dalam tahap pemulihan juga.

Menghadapi masa mendatang, peningkatan kemampuan lembaga nasional dan pelaku tanggap bencana di daerah juga harus dipertimbangkan. Mengingat perkembangan signifikan yang telah dilakukan fokus pertama dapat diarahkan pada peningkatan sosialisasi dan implementasi kerangka kerja yang ada dan kemudian setelah itu, mempertimbangkan revisi atau amandemen undang-undang dan prosedur yang ada. Untuk meningkatkan pelaksanaan ke depan, langkah-langkah kecil dapat diambil, seperti menyiapkan ringkasan yang jelas tentang hukum yang berkaitan dengan tanggap darurat, membahas penafsiran hukum dan menyiapkan perangkat sederhana bagi kementerian/lembaga untuk digunakan saat bencana, seperti daftar tilik untuk kajian cepat dan tepat dan penetapan status darurat bencana. Langkah-langkah tersebut dapat menambah pengertian dan pemahaman yang lebih kuat tentang kerangka hukum yang paling komprehensif untuk penanggulangan bencana dan tanggap darurat di Asia Tenggara, bahkan di dunia.

Referensi

Artikel

Barnaby Willitts-King, ‘The role of the affected state in humanitarian action: A case study on Indonesia’, February 2009, http://www.odi.org.uk/sites/odi.org.uk/files/odi- assets/publications-opinion-files/4006.pdf

Lucia Cipullo, ‘IDRL issues featured in international table-top exercise in West Sumatera’, April 2013, http://ifrc.org/en/what-we-do/idrl/latest-news/current-disaster- law-programme-news/idrl-issues-featured-in-international-table-top-exercise-in-west- Sumatera-61323/?print=true

Peter Walker, Colin Rasmussen and Sebastian Molano, ‘International Dialogue on Strengthening Partnership in Disaster Response: Bridging national and interna- tional support’, September 2011, http://www.ifrc.org/PageFiles/93533/Background%20 paper%203.pdf

Dokumen terkait