• Tidak ada hasil yang ditemukan

hasil penelitian serta rekomendasi dari hasil penelitian yang diberikan ke beberapa pihak terkait.

1.7 Kerangka Berpikir

Gambar 1.1 Kerangka Berpikir Sumber: Penulis, 2016

Diperlukan analisis pola spasial perubahan penggunaan lahan di Kota Pekalongan dengan pendekatan spasial yang tepat untuk mengoptimalkan

perkembangan di Kota Pekalongan.

Kota Pekalongan merupakan kota yang terdampak fenomena kenaikan muka air laut berupa banjir rob yang berpengaruh pada penggunaan lahan dan pola

perkembangan kotanya

Visi spasial kota dan perkembangannya selalu diarahkan pada bentuk dan sebaran spasial kota yang ideal dan memerlukan suatu analisis spasial yang

menekankan pada pola spasial perkembangan kota.

Salah satu analisis spasial terkait perkembangan dalam spasial kota adalah spatial metric. Spatial metric merupakan pendekatan kuantitatif yang dapat digunakan untuk menilai karakteristik spasial struktur dan penggunaan lahan.

Bagaimana karakteristik dinamika pola spasial penggunaan lahan berdasarkan parameter pendekatan spatial m etric di Kota Pekalongan pada wilayah

terdampak kenaikan muka air laut?

Mengidentifikasi penggunaan lahan dan perubahannya pada wilayah terdampak genangan kenaikan muka air laut di Kota Pekalongan

Menganalisis pola spasial penggunaan lahan wilayah terdampak kenaikan muka air laut di Kota Pekalongan dalam kurun waktu tahun 2003-2016

dengan pendekatan spatial m etric Menganalisis perubahan

penggunaan lahan di Kota Pekalongan dalam periode tahun 2003-2009 dan tahun 2009-2016

Mengidentifikasi wilayah terdampak genangan kenaikan muka air laut di Kota Pekalongan

berdasarkan air pasang tertinggi

Identifikasi pola spasial Kota Pekalongan berdasarkan pendekatan spatial

m etric terhadap adanya dinamika perubahan penggunaan lahan akibat

kenaikan muka air laut pada wilayah terdampak

S A S A R A N R U M U S A N M A S A L A H L A T A R B E L A K A N G T U JU A N

13

2.1 Penggunaan Lahan

2.1.1 Pengertian

Setiap wilayah tidak bisa lepas dari lahan dan penggunaannya. Lahan adalah bagian dari ruang, karena lahan merupakan suatu tanah yang sudah ada pemanfaatan dan peruntukkannya (Amin, 2008). Setiap lahan memiliki penggunaan masing-masing, terdapat beberapa klasifikasi dalam penggunaan lahan tersebut. Yusran dalam Nugroho (2013) mengemukakan bahwa penggunaan lahan adalah pengaturan dan penggunaan suatu peruntukkan lahan yang meliputi penggunaan di permukaan bumi. Penggunaan lahan juga dapat diartikan sebagai setiap bentuk campur tangan manusia terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing (Arsyad, 2011). Dari beberapa pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan lahan merupakan suatu kegiatan dan peruntukkan atas setiap lahan yang ada. Dalam konteks perencanaan wilayah dan kota, penggunaan lahan merupakan suatu bagian yang penting. Ketersediaan informasi tentang penggunan lahan dapat menjadi bahan untuk beberapa program seperti pengelolaan sumber daya alam, perencanaan perkotaan, monitoring di bidang pertanian, dan lain sebagainya. Karakteristik dari penggunaan lahan ditekankan pada jenis dari pemanfaatan lahannya yang terdiri dari ekspresi spasial kegiatan manusia atas lahan tersebut (Pontang & Fitria, 2012). Penggunaan lahan adalah suatu yang tidak statis, tetapi dinamis dan dapat terus berubah tergantung dari faktor penyebabnya (Pratomoatmojo, 2012). Sifat dinamis dari penggunaan lahan merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan dan peruntukkan tata guna lahan.

2.1.2 Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan adalah beralihnya suatu jenis penggunaan lahan tertentu menjadi jenis penggunaan lahan yang

lain dan perubahan tersebut dapat secara parsial ataupun keseluruhan (Prasetiawan, 2001). Perubahan penggunaan lahan meliputi pergeseran penggunaan lahan menuju penggunaan lahan yang berbeda atau penambahan pada penggunaan lahan yang sudah ada (Nilda, 2014). Dalam perkembangannya, perubahan pemanfaatan lahan menjadi suatu hal yang alamiah dalam suatu perkembangan kota. Perubahan suatu penggunaan lahan akan berpengaruh pada perubahan jenis penggunaan lahan yang lainnya. Sifat luasan lahan di suatu wilayah adalah tetap, ketika ada suatu perubahan penggunaan lahan akan menyebabkan berkurangnya atau bertambahnya luasan penggunaan lahan yang lainnya (As-syakur dkk., 2008). Dapat digaris bawahi bahwa perubahan penggunaan lahan merupakan pergeseran fungsi dari suatu jenis penggunaan lahan dan berpengaruh pada penggunaan lahan lainnya. Setiap perubahan dari suatu penggunaan lahan akan membawa dampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dampak yang timbul bisa dampak positif maupun dampak negatif (Amin, 2008).

2.1.3 Faktor Penyebab Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan selalu disebabkan atau dipicu oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi satu sama lain. Faktor atau pemicu perubahan penggunaan lahan sering disebut dengan istilah driving force. Setiap penggunaan lahan akan mendapatkan jenis driving force yang berbeda. Pengaruh dari driving force bisa secara langsung atau secara tidak langsung. Ada banyak faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan suatu lahan. Dinamika dari perubahan penggunaan lahan yang ada sangat dipengaruhi oleh faktor manusia dan fisik seperti topografi di wilayah tersebut (Shofiana, Subardjo, & Pratikto, 2013). Yusran dalam Nugroho (2013) mengklasifikasi penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan pada kawasan perkotaan kedalam 3 faktor yaitu:

 Faktor manusia: kebutuhan manusia akan tempat tinggal, potensi manusia, finansial, sosial budaya, dan teknologi.

 Faktor fisik kota: pusat kegiatan sebagai pusat pertumbuhan kota, dan jaringan transportasi sebagai aksesbilitas kemudahan pencapaian.

 Faktor bentang alam: kemiringan lereng dan ketinggian lahan.

Barlowe dalam (Muiz, 2009) menyatakan bahwa dalam menentukan penggunaan lahan terdapat tiga faktor penting yang perlu dipertimbangkan yaitu faktor fisik lahan, faktor ekonomi dan faktor kelembagaan. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi juga berkaitan dengan kesesuaian lahan pada lokasi tersebut untuk suatu jenis penggunaan lahan tertentu (Nugroho, 2013). Wilayah dengan tingkat perkembangan yang pesat dan labil, penggunaan lahan bersifat lebih dinamis. Dinamika tingkat perkembangan ini disebabkan oleh faktor utamanya yaitu faktor manusia dan faktor alam itu sendiri yang mudah berubah dalam keadaan tersebut. Perubahan yang berasal dari faktor manusia antara lain dipicu oleh tingkat aksebilitas, laju pertumbuhan penduduk, jarak terhadap pusat kegiatan dan infrastruktur. Faktor dari alam antara lain yaitu iklim dan erosi yang mempengaruhi perubahan di lahan yang labil terutama di daerah pesisir dan aliran sungai (Hildaliyani, 2011). Dari pernyataan yang sudah ada dapat disimpulkan bahwa penggunaan lahan bersifat dinamis dan dapat berubah tergantung dari driving force yang ada. Salah satu penyebab utama dalam perubahan penggunaan lahan adalah dari faktor fisik dan lingkungan dari penggunaan lahan tersebut.

2.1.4 Sistem Informasi Geografis dalam Penggunaan

Lahan

Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) merupakan suatu sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial atau keruangan. Burrough dalam (Raharjo & Ikhsan, 2015) menyatakan bahwa GIS adalah sistem informasi berbasis komputer dengan data spasial dan geografis. Penggunaan SIG dalam kurun waktu terakhir ini telah

mengalami banyak perkembangan. Implementasi penggunaan SIG dapat dikaitkan dengan sistem perencanaan spasial yang lebih baik (Darmawan, 2011). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa adanya SIG dapat digunakan sebagai tools yang membantu dalam konteks spasial. Penggunaan SIG dalam penggolahan data spasial akan sangat berguna bagi analisis penggunaan lahan dan dinamika pola spasialnya. Dalam hal ini perubahan penggunaan lahan dapat diidentifikasi secara spasial melalui SIG. Perubahan penggunaan lahan umumnya dapat diamati dari dimensi waktu yang berbeda dengan menggunakan data-data spasial dari peta dan data-data hasil proses pengindraan jauh (Nilda, 2014). Jika dikaitkan dengan produk perencanaan, penggunaan SIG dapat mempertajam akurasi dalam penyusunannya. Rencana pemanfaatan lahan merupakan acuan dalam pengarahan pengembangan pembangunan kota dan pengendalian pemanfaatan lahan kota. Semakin akurat dan lengkap informasi spasial yang tersedia, maka hasil perencanaan juga menjadi semakin akurat dan tepat sasaran.

Tabel 2.1 Kajian Teori Penggunaan Lahan

NO SUMBER INDIKATOR YANG TERDAPAT

DALAM TEORI

1. Prasetiawan, 2001 Perubahan penggunaan lahan Nilda, 2014

2. Assyakur, dkk, 2010 Luasan penggunaan lahan

3. Amin, 2008 Dampak perubahan penggunaan lahan 4. Shofiana, dkk, 2013 Faktor perubahan penggunaan lahan

Sumber: Hasil kajian pustaka, 2016

2.2 Kenaikan Muka Air Laut

2.2.1 Pengertian

Kenaikan muka air laut dapat didefinisikan sebagai peningkatan tinggi muka air laut. Kenaikan muka laut merupakan fenomena naiknya muka air laut terhadap rata-rata muka laut akibat

pertambahan volume air laut. Perubahan tinggi air laut secara periodik dapat dilihat dari fenomena pasang surut air laut (Hildaliyani, 2011). Gelombang yang datang dari laut menuju pantai menyebabkan kenaikan muka air terhadap muka air diam, kenaiknya tersebut biasa disebut dengan wave set-up (Triatmodjo, 1999). Dalam buku Teknik Pantai (Triatmodjo, 1999) jenis elevasi muka air laut terbagi menjadi:

1. Muka air tinggi (high water level), muka air yang dicapai pada saat air pasang dalam satu siklus pasang surut 2. Muka air rendah (low water level), kedudukan air

terendah yang dicapai pada saat air surut dalam satu siklus pasang surut

3. Muka air tinggi rerata (mean high water level, MHWL), adalah rerata dari muka air tinggi selama periode 19 tahun

4. Muka air rendah rerata (mean low water level, MLWL), adalah rerata dari muka air rendah selama periode 19 tahun

5. Muka air laut retata (mean sea level, MSL), adalah muka air rerata antara muka air tinggi rerata dan muka air rendah rerata. Elevasi ini digunakan sebagai referensi untuk elevasi di daratan

6. Muka air tinggi tertinggi (highest high water level, HHWL), adalah air tertinggi pada saat pasang surut purnama atau bulan mati

7. Air rendah terendah (lowest low water level, LLWL), adalah air terendah pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.

Beberapa definisi muka air tersebut banyak digunakan dalam perencanaan bangunan pantai dan pelabuhan (Triatmodjo, 1999). Kenaikan muka air laut yang terus bertambah dan akan mengancam daerah-daerah pesisir sehingga menimbulkan kerugian (Tiani Wahyu & Nur, 2015). Kenaikan muka air laut yang tinggi akan menyebabkan banjir pasang yang biasanya disebut banjir rob. Terdapat beberapa kategori pasang air laut, diantaranya

adalah pasang purnama dan pasang perbani. Pasang purnama terjadi ketika bumi, bulan dan matahari berada dalam suatu garis lurus dan pada saat itu akan dihasilkan kenaikan pasang air laut yang sangat tinggi. Pasang purnama biasanya terjadi pada saat bulan baru dan bulan purnama. Pasang perbani terjadi ketika bumi, bulan, dan matahari membentuk sudut tegak lurus dan pada saat itu akan dihasilkan kenaikan pasang air laut yang rendah (Hildaliyani, 2011).

Kenaikan muka air laut tidak bisa lepas dari pasang surut air laut. Definisi pasang-surut dalam buku Teknik Pantai menurut (Triatmodjo, 1999) adalah, fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik benda – benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Selain itu pasang surut dapat di definisikan sebagai pergerakan permukaan air laut arah vertikal. Posisi dari bumi dan bulan akan mempengaruhi besar kecilnya pasang surut air laut. Besar kecil dan periode pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Pasang surut mudah diprediksi dan diukur baik besar maupun waktu terjadinya (Triatmodjo, 1999). Tujuan pengolahan data pasang surut adalah untuk menentukan prediksi nilai rata-rata muka laut yang hasilnya dijadikan bahan prediksi nilai pasang tertinggi (Arief, Purnama, & Aditya, 2012). Pada masa yang akan datang, kenaikan muka air laut diprediksikan akan semakin tinggi dengan adanya faktor kenaikan muka air laut dan penurunan muka tanah yang terjadi.

2.2.2 Penyebab Kenaikan Muka Air Laut

Secara umum, kenaikan muka air laut merupakan dampak dari pemanasan global yang terjadi. Proses alam yang meliputi kenaikan muka air laut karena suhu global membentuk variasi muka air laut dengan periode panjang (Triatmodjo, 1999). Laju perubahan iklim yang signifikan tiap tahunnya menyebabkan bencana kenaikan muka air laut (Hidayat, 2012). Peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer menyebabkan kenaikan suhu bumi sehingga mengakibatkan kenaikan muka air laut. Peningkatan kenaikan muka air laut tersebut berasal dari

pemuaian air laut dan mencairnya gunung-gunung es di kutub akibat suhu yang meningkat. Sedangkan menurut (Hildaliyani, 2011), banjir pasang juga disebabkan oleh berbagai faktor sebagai berikut:

a. Faktor-faktor alam, seperti iklim (angin, durasi dan intensitas curah hujan yang sangat tinggi), oseanografi (pasang surut dan kenaikan permukaan air laut), kondisi geomorfologi (dataran rendah/perbukitan, ketinggian, dan lereng, bentuk sungai), geologi dan genangan. Ditambah kondisi hidrologi (siklus, kaitan hulu-hilir, kecepatan aliran).

b. Kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang yang berdampak pada perubahan alam. Aktivitas manusia yang sangat dinamis, seperti pembabatan hutan mangrove (bakau) untuk daerah hunian, konversi lahan pada kawasan lindung, pemanfaatan sungai/saluran untuk permukiman, pemanfaatan wilayah retensi banjir, perilaku masyarakat, dan sebagainya. c. Degradasi lingkungan seperti hilangnya tumbuhan

penutup lahan pada catchment area, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai, dan sebagainya.

d. Jebolnya tanggul pembatas antara daratan dan lautan

2.2.3 Dampak Kenaikan Muka Air Laut

Suatu kota yang berada pada wilayah pesisir sangat rentan terhadap kenaikan muka air laut. Kenaikan muka air laut merupakan permasalahan yang harus dihadapi Kobayashi dalam Marfai dkk, 2013). Kenaikan muka air laut yang menjadi banjir rob menggenangi daerah yang lebih rendah dan menimbulkan dampak negatif (Wirasatriya, Hartoko, & Suripin, 2006). Dampak genangan kenaikan air laut akan semakin terasa dengan bertambahnya luas genangan dari tahun ke tahun (Arief dkk., 2012). Kenaikan muka air laut dapat menimbulkan berbagai permasalahan diantaranya adalah rusaknya infrastruktur perkotaan, intrusi air asin, terganggunya kegiatan sosial ekonomi,

berkurangnya luas daratan dan tenggelamnya pulau-pulau dengan morfologi pantai yang landau (Nugroho, 2013). Fenomena kenaikan muka air laut juga memberikan dampak negatif terhadap wilayah permukiman pesisir dan mengancam daerah perkotaan yang rendah dengan merusak lahan produktif. Kenaikan muka air laut juga dapat menimbulkan peningkatan kebutuhan akan lahan dan prasarana yang selanjutnya akan mengakibatkan timbulnya masalah-masalah baru dan kondisi tersebut menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan (Shofiana dkk., 2013). Air laut yang terlalu lama menggenang di permukaan tanah akan mempengaruhi kesuburan tanah dan sifat tanah. Genangan air laut dapat meningkatkan salinitas tanah dan berakibat pada penurunan kesuburan tanah sehingga tidak dapat dimanfaatkan lagi sebagai lahan budidaya.

Tabel 2.2 Kajian Teori Kenaikan Muka Air Laut

NO SUMBER INDIKATOR YANG

TERDAPAT DALAM TEORI

1. Triatmodjo, 1999 Fenomena pasang surut air laut 2. Triatmodjo, 1999 Elevasi muka air laut

3. Hildaliyani, 2011 Penyebab banjir pasang

4.

Arief, Purnama, & Aditya, 2012

Dampak kenaikan muka air laut Nugroho, 2013

Shofiana dkk, 2013

Sumber: Hasil kajian pustaka, 2016

2.3 Pola Spasial Penggunaan Lahan

2.3.1 Pengertian

Pola spasial adalah sesuatu yang menunjukkan penempatan atau susunan benda-benda di permukaan bumi (Jay Lee, 2001). Pola dapat diketahui karena pengaturannya, seperti sekumpulan titik atau garis. Pola spasial akan menjelaskan bagaimana fenomena geografis terdistribusi dan bagaimana perbandingannya dengan fenomena fenomena lainnya. Suatu kota

memiliki pola spasial masing-masing sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Salah satu bentuk pola spasial yang dapat diamati adalah penggunaan lahannya. Kota merupakan stuktur paling kompleks dan dapat ditandai dengan kompleksitas pola penggunaan lahannya (Murayama & Thapa, 2011). Pola penggunaan lahan merupakan refleksi kehidupan dan kegiatan di wilayah tersebut (Mahendra, 2007). Dari pola spasial penggunaan lahan dapat diketahui penyebaran dan pencampuran penggunaan lahan yang ada. Pola spasial penggunaan lahan merupakan salah satu indikator perkembangan wilayah. Suatu wilayah dikatakan berkembang apabila memiliki indeks yang tinggi dan penggunaan lahan yang optimal. (Gemilang, 2008). Dalam identifikasi bentuk morfologi kota mulai mulai mempelajari struktur spasial kota tiap tahunnya dan interaksi penduduk dalam penggunaan lahannya (Kropf, 2009 dalam Reis, Silva, & Pinho, 2015)

Aguilera dkk, (2011) mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara karakteristik spasial dan proses pertumbuhan kota yang berbeda. Pola-pola ini ditandai dari segi bentuk sebagai serta jenis penggunaan lahan. Berdasarkan karakteristik penggunaan lahan perkotaan terdapat empat pola perkotaan yaitu aggregated pattern, linear patter, leapfrogging, dan nodal pattern. Proses perkembangan spasial kota dapat diarahkan ke bentul ideal yang dikehendaki melalui beberapa elemen lingkungannya (Yunus, 2005). Jika kecenderungan perkembangan spasial mengarah ke dampak negatif, tindakan pencegahan perlu dilakukan. Pola spasial kota yang ada pada saat ini merupakan produk sekaligus merupakan proses yang mana pembentukkan penggunaan lahan kota sudah berjalan dalam waktu yang lama (Yunus, 2005).

2.3.2 Perkembangan dan Pertumbuhan Kota

Kota merupakan sebuah sistem yang bersifat dinamis dan dapat terpengaruh terhadap lingkungan fisik seperti iklim (Irwan, 2005). Kota selalu berkembang seiring dengan dinamika ada di kota tersebut. Tanda perkembangan kota dapat dilihat dari perluasan kota dari suatu proses dalam kurun waktu tertentu. Dalam konteks perkembangan kota, ada 3 konsep yang berbeda

dalam literatur perencanaan wilayah dan kota, yaitu terkait dengan perubahan penduduk, kinerja ekonomi, dan perluasan spasial daerah perkotaan (Reis dkk., 2015). Ekspansi kota merupakan istilah paling umum dalam perkembangan kota. Prediksi spasial ekspansi perkotaan dibutuhkan dalam pembuatan kebijakan terkait pengendalian pertumbuhan kota dan faktor pendorongnya. Inti dari hal tersebut adalah kota selalu berkembang dengan berbagai faktor dan diperlukan pengendalian terkait hal tersebut. Upaya manajemen spasial kota dapat digunakan untuk menciptakan kondisi spasial kota menuju ke arah pembangunan berkelanjutan (Yunus, 2005). Salah satu teknis dalam manajemen spasial kota tersebut adalah dengan menciptakan pemanfaatan lahan secara efisien dalam arahan pengelolaan kota.

Pada dasarnya terdapat dua macam bentuk spasial kota, yaitu bentuk yang kompak dan bentuk yang tidak kompak (Yunus, 2005). Bentuk fisikal morfologi kota dapat dijadikan dasar dalam pembentukan spasial kota yang ideal. Peningkatan fokus pada pembangunan berkelanjutan telah memperkuat pentingnya dimensi fisik perkotaan (Jose, Silva, & Pinho, 2015). Ada tiga indikator yang dapat digunakan untuk mencermati morfologi kota, yaitu indikator kekhasan penggunaan lahan, pola bangunan dan fungsinya, dan kekhasan pola sirkulasi (Smailes, 1981 dalam Yunus, 2005). Salah satu proses dinamis dalam suatu kota adalah adanya suatu fragmentasi di kota tersebut. Fragmentasi adalah proses pemecahan suatu tipe penggunaan lahan menjadi bidang-bidang lahan yang lebih kecil dan mengubah karakteristik kota (Gunawan & Prasetyo, 2013). Fragmentasi dapat diukur melalui beberapa ukuran yang digunakan untuk mengkuantifikasikan fragmentasi kota.

2.3.3 Spatial Metric

Spatial metric dapat didefinisikan sebagai suatu pengukuran heterogenitas spasial peta-peta tematik pada skala dan resolusi tertentu. Spatial metric dapat digunakan sebagai alat dalam mengkuantitatifkan struktur perkotaan dari data geospasial (Minh Hai & Yamaguchi, 2007). Pendekatan ini diadaptasi dari landscape

metric untuk mengungkapkan karakteristik spasial pola perkotaan (Reis dkk., 2015). Penggunaan spatial metric dapat mengungkapkan ciri bentuk perkotaan seperti dalam studi ekologi landskap dan dapat menunjukkan ciri dan proses dari perkembangan suatu perkotaan (Aguilera dkk., 2011). Menurut Herold, dkk (2003) spatial metric dapat dihubungkan dengan berbagai model perkotaan dan berperan dalam proses pola spasial penggunaan lahan. Spatial metric secara eksplisit dapat dihitung sebagai indeks patch seperti ukuran, bentuk, panjang tepi, kepadatan, ataupun sebagai indeks berbasis pixel. Spatial metric telah digunakan untuk berbagai tujuan yang berbeda, seperti karakteristik pola perkotaan dalam rangka mendukung kebijakan perencanaan, membandingkan pola fisik kota atau wilayah yang berbeda, dan memahami pola spasial-temporal pembangunan perkotaan (Reis dkk., 2015).

Aspek yang menjadi prinsip dalam representatif sampel dalam penghitungan spatial metric adalah patch, class, dan landscape yang merupakan tingkatan metrik. Terkait pertumbuhan kota, terdapat berbagai metrik spasial dalam menangani beberapa pola spasial yang paling penting untuk diidentifikasi. Namun perlu disesuaikan dengan kondisi tertentu dari pertumbuhan kota dalam studi kasus yang berbeda dan untuk skala spasial yang berbeda. Istilah yang penting dalam analisis menggunakan spatial metric adalah patch yang merupakan komponen dalam perhitungannya. Patch didefinisikan sebagai polygon terkecil dengan karakteristik yang homogen dalam suatu wilayah, seperti lahan industri, taman, atau sepetak sawah (Murayama & Thapa, 2011). Patch merupakan unit dasar dalam analisis dan bisa memiliki batas yang jelas atau tidak jelas.

2.3.4 Penggunaan Spatial Metric dalam Analisis Dinamika

Perkotaan

Ketika beberapa literatur yang ada membahas mengenai kegunaan spatial metric dalam penelitian perkotaan, mayoritas fokus dalam membahas 2 kategori heterogenitas kota, yaitu area

terbangun dan area tidak terbangun (Murayama & Thapa, 2011).

Tantangan utama dalam penggunaan spatial metric adalah pada pilihan metric yang digunakan. Adaptasi atau kombinasi dari beberapa metrik spasial atau indikator campuran dapat memberikan penilaian yang lebih holistik dan akurat dalam identifikasi pola pertumbuhan pada skala spasial yang berbeda (Reis dkk., 2015). Perbedaan hasil dari spatial metric merefleksikan informasi spasial yang spesifik terkait perkembangan kota dalam kurun waktu tertentu seperti penggunaan class area (CA) yang dapat menunjukkan pertambahan urban area. Sejak tahun 1980an, jumlah metric dalam spatial metric telah dikembangkan untuk beberapa variasi penggunaan (Herold dkk., 2003). Reis dkk., (2015), mengelompokkan setiap metric dari spatial metric yang pernah digunakan untuk penelitian terkait perkembangan kota berdasarkan kesamaan fungsi dari setiap metric yang menjadi variabel perkembangan kota. Kategori metric tersebut antara lain adalah shape irregularity, fragmentation, diversity, dan metric lainnya. Setiap kategori tersebut menjadi faktor dalam perkembangan kota dan mempunyai beberapa variabel berupa metric-metric yang masuk dalam kategori tersebut. Untuk fragmentation, pengukuran terkait tingkat agregasi dan fragmentasi penggunaan lahan seperti permukiman. Metric yang paling sering digunakan untuk mengukur fragmentasi adalah mean patch size, number of patches, patch density dan contagion index. Kategori diversity berfokus pada komposisi dari sebuah kota dibanding bentuknya. Metric yang paling sering digunakan adalah shannon’s diversity dan evenness indexes (Reis dkk., 2015).

Contoh pengaplikasian spatial metric dalam lingkup perkotaan adalah dalam penelitian (Minh Hai & Yamaguchi, 2007), yang berfokus pada salah satu variabel spatial metric yaitu

metric Percentage of Like AdjaScencies (PLADJ) untuk

Dokumen terkait