• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagai bab penutup yang merupakan rangkaian inti dari seluruh isi bab-bab yang ada ditambah dengan beberapa kesimpulan dan saran dari penulis.

BAB II

TINJAUAN UMUM PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Hukum Perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa belanda, yaitu istilah Verbintenis dan Overeenkomst diatur dalam Buku III KUH Perdata. Pengertian perjanjian itu sendiri dimuat di dalam pasal 1313 yang menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dalam menerjemahkan istilah Verbintenis dan Overeenkomst dalam bahasa Indonesia mempunyai arti yang luas, sehingga menimbulkan perbedaan dan beragam pendapat dari para sarjana hukum.12

Untuk memahami istilah mengenai perikatan dan perjanjian terdapat beberapa

pendapat para sarjana. Adapun pendapat para sarjana tersebut adalah:

a. R. Subekti memberikan pengertian perikatan sebagai suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut, kemudian menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.13

12 R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1986, hal. 3. 13 R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 1.

b. Abdul Kadir Muhammad memberikan pengertian bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan peristiwa atau keadaan. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan; dalam bidang hukum keluarga; dalam bidang hukum pribadi. Perikatan yang meliputi beberapa bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas.14

c. R. M. Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.15

Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam suatu perjanjian minimal harus terdapat dua pihak, dimana kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum tertentu. Adapun yang dimaksud dengan perikatan oleh Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut “kreditur” atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan disebut “debitur” atau si berutang.

Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan dengan “prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa :

14 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal. 6.

15 RM. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum ( Suatu Pengantar ), Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 97.

1. Menyerahkan suatu barang, 2. Melakukan suatu perbuatan, 3. Tidak melakukan suatu perbuatan.

Pengertian perjanjian terdapat batasannya diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi :

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Mengenai batasan tersebut para sarjana hukum perdata umumnya berpendapat bahwa definisi atau batasan atau juga dapat disebut rumusan perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung kelemahan-kelemahan. Adapun kelemahan tersebut dapatlah diperinci :16

1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja.

Di sini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian itu mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya dimana setidak-tidaknya perlu adanya rumusan “saling mengikatkan diri”. Jadi jelas Nampak adanya konsensus/ kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus atau kesepakatan.

16 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 78.

Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan : 1. melaksanakan tugas tanpa kuasa.

2. perbuatan melawan hukum.

Dari kedua hal tersebut di atas merupakan tindakan/ perbuatan yang tidak mengandung adanya konsensus. Juga perbuatan itu sendiri pengertiannya sangat luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam rumusan tersebut adalah hukum.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Untuk pengertian perjanjian di sini dapat diartikan juga pengertian perjanjian yang mencakup melangsungkan perkawinan, janji kawin. Padahal perkawinan sendiri sudah diatur tersendiri dalam hukum keluarga, yang menyangkut hubungan lahir batin. Sedang yang dimaksudkan perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah hubungan antara debitur dan kreditur. Di mana hubungan antara debitur dan kreditur terletak dalam lapangan harta kekayaan saja selebihnya tidak. Jadi yang dimaksud perjanjian kebendaan saja bukan perjanjian personal.

4. Tanpa menyebut tujuan.

Dalam perumusan Pasal itu tidak disebutkan apa tujuan untuk mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan dirinya itu tidaklah jelas maksudnya untuk apa.

Sedangkan menurut R. Setiawan rumusan yang terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata selain tidak lengkap juga sangat luas. Perumusan tersebut dikatakan tidak lengkap karena hanya menyangkut persetujuan “perbuatan” maka

didalamnya tercakup pula perwakilan sukarela (zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Sehubungan dengan hal itu, maka beliau mengusulkan untuk diadakan perbaikan mengenai definisi perjanjian tersebut yaitu menjadi :17

1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan subjek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subjek hukum.

2. Menambahkan perkataan “atau lebih saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUH Perdata.

Atas dasar alasan-alasan tersebut yang dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Sehingga dapat mencerminkan apa yang dimaksud perjanjian itu adalah “Suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat diketahui bahwa dalam suatu perjanjian itu terkandung adanya beberapa unsur, yaitu :18

1. Essentialia.

Unsur ini mutlak harus ada agar perjanjian sah (merupakan syarat sahnya perjanjian).

2. Naturalia.

17 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A. Bardin, Bandung, 1999, hal. 49. 18 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 98.

Yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian.

3. Accidentalia.

Yakni unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam perjanjian.

B. Asas-Asas Perjanjian

Asas-asas hukum bukanlah suatu peraturan yang konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang bersifat umum atau yang merupakan latar belakang dalam pembentukan hukum positif, maka asas hukum merupakan dasar atau petunjuk pembentukan hukum positif. Oleh karena itu asas hukum bersifat umum dan abstrak.

Fungsi asas hukum adalah sebagai pendukung bangunan hukum, menciptakan kepastian hukum didalam keseluruhan tertib hukum.

Menurut Sudikno Mertokusumo, asas hukum adalah :19 “Pikiran dasar yang umum sifatnya, atau merupakan latar belakang dari peraturan konkret yang terdapat didalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat pula asas hukum diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum yang terdapat pada peraturan konkret”.

Hukum perjanjian mengenal beberapa asas hukum yang berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian, isi perjanjian, pelaksanaan dan akibat perjanjian, yang merupakan dasar kehendak para pihak dalam mencapai tujuan dari perjanjian.

Di dalam perjanjian dikenal beberapa jenis asas-asas hukum yang merupakan asas-asas umum yang harus diindahkan oleh setiap yang terlibat di dalamnya, antara lain :

1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi :20

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Dari perkataan ‘semua’ dapat ditafsirkan, bahwa masyarakat diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk membuat perjanjian yang berisi apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, dan perjanjian itu mengikat para pihak yang membuat seperti mengikatnya suatu undang-undang, seperti halnya yang telah ditentukan dalam Pasal 1337 KUH Perdata. Adapun kebebasan untuk membuat perjanjian itu terdiri dari beberapa hal yaitu:

a. Kebebasan untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian b. Bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa saja

c. Bebas untuk menentukan isi perjanjian yang dibuatnya d. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian, dan

e. Kebebasan untuk menentukan terhadap hukum mana perjanjian itu akan tunduk.

2. Asas Konsensualisme (concensualism)

Asas ini berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian. Kata konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Hal ini berarti bahwa pada asasnya suatu perjanjian timbul sejak saat tercapainya konsensus atau kesepakatan atau kehendak yang bebas antara para pihak yang melakukan perjanjian.

Asas konsensualitas ini tercermin dalam unsur pertama. Pasal 1320 KUH Perdata yang menyebutkan “sepakat mereka yang mengikatkan diri”, artinya dari asas ini menurut Subekti adalah “pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan”, sedangkan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut, dan bahwa perjanjian sudah lahir pada saat atau detik tercapainya consensus.21

3. Asas Kekuatan Mengikat Hukum (pacta sunt servanda)

Asas kekuatan mengikat atau pacta sunt servanda berarti bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi para pihak yang membuatnya. Asas ini berkenaan dengan akibat dari adanya suatu perjanjian.

Asas ini tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUH Perdata. Pasal 1338 ayat (1) yang menyebutkan bahwa :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya”.

Ketentuan tersebut berarti bahwa perjanjian yang dibuat dengan cara yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, yang berarti mengikat para pihak dalam perjanjian, seperti undang-undang juga mengikat orang terhadap siapa undang-undang itu berlaku. Tujuannya tentu saja ‘demi kepastian hukum’.

Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata menentukan

“Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat di tarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.

Dari ketentuan tersebut terkandung maksud bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kembaliselain adanya kata sepakat dari kedua belah pihak. Asas kepastian hukum ini dapat dipertahankan sepenuhnya asalkan kedudukan para pihak seimbang, jika kedudukan itu tidak seimbang, undang-undang memberi perlindungan dalam bentuk perjanjian tersebut dapat dibatalkan, baik atas perintah pihak yang dirugikan maupun oleh hakim karena jabatannya. Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa pihak yang dirugikan itu sepenuhnya menyadari akibat-akibat yang timbul.

4. Asas Itikad Baik (good faith)

Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik, seperti yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Jadi dalam perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, maka para pihak bukan hanya terikat oleh kata-kata

perjanjian itu dan oleh kata-kata ketentuan-ketentuan perundang-undangan mengenai perjanjian itu, melainkan juga oleh iktikad baik.

Pengertian ‘iktikad baik’ mempunyai dua arti :

a. Arti objektif, bahwa perjanjian yang dibuat itu mesti dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Konsekuensinya adalah hakim boleh melakukan intervensi terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

b. Arti subjektif, yaitu pengertian iktikad baik yang terletak dalam sikap batin seseorang.

Apabila terjadi perselisihan pendapat tentang pelaksanaan perjanjian dengan iktikad baik, hakim diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengawasi dan menilai atau mencampuri pelaksanaan perjanjian apakah ada pelanggaran terhadap norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Pelaksanaan yang sesuai dengan norma-norma kepatutan dan kesusilaan itulah yang dipandang adil dan hal ini tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak.

Berdasarkan hal di atas, dapat diketahui bahwa yang dimaksud melaksanakan perjanjian dengan iktikad baik adalah bagi para pihak dalam perjanjian terdapat suatu keharusan untuk tidak melakukan segala sesuatu yang tidak masuk akal, yaitu tidak bertentangan dengan norma kepatutan dan kesusilaan sehingga akan menimbulkan keadilan bagi kedua belah pihak dan tidak merugikan salah satu pihak.

Akibat dari pelanggaran terhadap asas iktikad baik adalah perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan. Meskipun demikian dalam pelaksanaan perjanjian dengan iktikad baik ini perlu juga memperhatikan kebiasaan di

suatu tempat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1339 KUH Perdata “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.

5. Asas Kepribadian (personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana di intridusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

C. Subjek dan Objek Perjanjian

Subyek dalam perjanjian adalah pihak-pihak yang terdapat dalam perjanjian. Dalam hal ini terdapat dua macam subyek, yakni seseorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban atau mendapat hak atas pelaksanaan kewajiban itu. Subyek yang berupa seorang manusia haruslah memenuhi syarat sah untuk melakukan tindakan hukum yaitu sudah dewasa dan tidak berada dibawah pengampuan.

Subyek perjanjian dengan sendirinya sama dengan subyek perikatan yaitu kreditur dan debitur yang merupakan subyek aktif dan subyek pasif. Adapun kreditur maupun debitor tersebut dapat orang perseorangan maupun dalam bentuk badan hukum.

KUH Perdata membedakan dalam tiga golongan untuk berlakunya perjanjian : 1. Perjanjian berlaku bagi pihak yang membuat perjanjian.

2. Perjanjian berlaku bagi ahli waris dan mereka yang mendapat hak. 3. Perjanjian berlaku bagi pihak ketiga.

Sedangkan obyek dalam perjanjian adalah berupa prestasi, yang berujud memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Perikatan untuk memberi sesuatu ialah kewajiban seseorang untuk memberi atau menyerahkan sesuatu, baik secara yuridis maupun penyerahan secara nyata. Perikatan untuk berbuat sesuatu yaitu prestasi dapat berujud berbuat sesuatu atau melakukan perbuatan tertentu yang positif. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah dijanjikan.

Dalam hal ini terdapat tiga macam obyek, yakni : 1. Barang-barang yang dapat diperdagangkan.

2. Harus diketahui jenisnya dan dapat ditentukan.

3. Barang-barang tersebut sudah ada atau akan ada dikemudian hari.

Mengenai obyek perjanjian, diperlukan beberapa syarat untuk menentukan sahnya suatu perikatan, yaitu :22

a. Obyeknya harus tertentu. Syarat ini hanya diperlukan bagi perikatan yang timbul dari perjanjian.

b. Obyeknya harus diperbolehkan, artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan.

c. Obyeknya dapat dinilai dengan uang. Hal ini dikarenakan suatu hubungan hukum yang ditimbulkan dari adanya perikatan berada dalam lapangan hukum harta kekayaan.

d. Obyeknya harus mungkin. Orang tidak dapat mengikatkan diri kalau obyek tidak mungkin diberikan.

D. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Suatu perjanjian akan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya apabila perjanjian itu dibuat secara sah sesuai dengan syarat-syarat perjanjian yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata.

Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu pokok persoalan tertentu

4. Suatu sebab yang halal (tidak terlarang) Ad. 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan.

Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. Pernyataan yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama penawaran. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut.

Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus menentukan apakah ia menerima penawaran yang disampaikan, apabila ia menerima maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika ia tidak menyetujui, maka dapat saja ia mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat ia penuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat diterima atau dilaksanakan olehnya.

Dalam hal terjadi demikian maka kesepakatan dikatakan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua

belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan paling akhir dari serangkaian penawaran adalah saat tercapainya kesepakatan. Hal ini dipedomani untuk perjanjian konsensuil dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir.

Dalam perjanjian konsensuil tersebut di atas, secara prinsip telah diterima bahwa saat tercapainya kesepakatan adalah saat penerimaan dari penawaran terakhir disampaikan. Hal tersebut secara mudah dapat ditemui jika para pihak yang melakukan penawaran dan permintaan bertemu secara fisik, sehingga masing-masing pihak mengetahui secara pasti kapan penawaran yang disampaikan olehnya diterima dan disetujui oleh lawan pihaknya.

Ad. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH Perdata lebih lanjut menyatakan bahwa semua orang berwenang untuk membuat kontrak kecuali mereka yang masuk ke dalam golongan :

1. Orang yang belum dewasa

2. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan

3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang 4. Orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan

tertentu.

Namun dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ketentuan dalam Pasal 1330 ayat (3) KUH Perdata menjadi

tidak berarti lagi. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 31 angka 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan bahwa masingmasing pihak (suami-istri) berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian wanita yang bersuami dinyatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan tidak perlu lagi memerlukan bantuan atau izin dari suami.

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, ditentukan bahwa ketentuan Pasal 1330 angka 3 KUH Perdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan tidak menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suami sudah tidak berlaku lagi.

Konsekuensi yuridis jika ada dari para pihak dalam perjanjian yang ternyata tidak cakap berbuat adalah:

a. Jika perjanjian tersebut dilakukan oleh anak yang belum dewasa, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atas permintaan dari anak yang belum dewasa, semata-mata karena alasan kebelumdewasaannya.

b. Jika perjanjian tersebut, dilakukan oleh orang yang berada di bawah pengampuan, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atas permintaan dari orang di bawah pengampuan, semata-mata karena keberadaannya di bawah pengampuan tersebut.

c. Terhadap perjanjian yang dibuat wanita yang bersuami hanyalah batal demi hukum sekedar perjanjian tersebut melampaui kekuasaan mereka. d. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh anak di bawah umur yang telah

mendapatkan status disamakan dengan orang dewasa hanyalah batal demi hukum sekedar kontrak tersebut melampaui kekuasaan mereka.

e. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, maka mereka dapat menuntut pembatalan perjanjian tersebut, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Apabila perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap berbuat

Dokumen terkait