• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesimpulan

Metode RT-PCR dengan pasangan primer CPUP-F dan CP9502-R yang spesifik untuk Potyvirus dan BBWVVSSP dan BBWVKMRM yang spesifik untuk Fabavirus dapat digunakan untuk mendeteksi virus-virus tersebut secara simultan pada tanaman nilam baik yang terinfeksi tunggal maupun ganda.

Saran

Perlu pengujian dalam skala yang lebih luas untuk lebih meyakinkan keefektifan metode ini dalam mendeteksi kedua virus tersebut terhadap sampel dari lapangan.

Adams MJ, Antoniw JF, Beaudoin F. 2005. Overview and analysis of the polyprotein cleavage sites in the family Potyviridae. Mol Plant Pathol 6: 471–487.

Akin HM dan Sudarsono. 2002. Variasi genetika galur Peanut stripe potyvirus dan hubungan evolusinya dengan subkelompok Bean common mosaic virus. Hayati 9(1): 5-9.

Balai Besar Pelatihan Pertanian. 2011. Nilam, primadona tanaman aromatik Indonesia. Lembang. www.bbpp-lembang.deptan.go.id. [11 November 2011].

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 1991. Perkembangan dan permasalahan usaha tani nilam dan tanaman atsiri lain di Aceh. Di dalam: Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Pengembangan Atsiri di Sumatera, Bukittinggi, 31 Agustus 1991. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Hlm 36−37.

Berger PH, et al. 2005. Potyviridae. Di dalam: Fauquet CM, et al. (eds). Virus Taxonomy. VIIIth Report of The International Committee on Taxonomy of Viruses. Elsevier. London: Academic Press.

Converse RH, Martin RR. 1990. ELISA methods for plant viruses. Di dalam: Hampton, R., E. Ball, and S. De Boer (eds). Serological Methods for Detection and Identification of Viral and Bacterial Plant Patogens. St Paul: APS Press. 179-196.

Ditjen Perkebunan. 2006. Nilam. Statistik Perkebunan Indonesia.

[Deptan] Badan Karantina Tumbuhan. 2009. Pedoman diagnosis OPTK golongan virus. Deptan: Jakarta.

Ferrer RM, et al. 2005. The complete sequence of a Spanish isolate of Broad bean wilt virus 1 (BBWV-1) reveals a high variability and conserved motifs in the genus Fabavirus. Arch Virol 150: 2109–2116.

Ferrer RM, et al. 2007. Detection and identification of species of the genus Fabavirus by RT–PCR with a single pair of primers. J Virol Methods 144: 156–160.

Gibbs A J, Trueman W H 2008. The Bean common mosaic virus lineage of potyviruses: where did it arise and when. Arch Virol 153: 2177–2187.

Hartono S, et al. 2006. Pemurnian dan deteksi serologi Patchouli mottle virus pada tanaman nilam. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 12(2)74-82. Ikegami M, Kawashima H, Natsuaki T, Sugimura N. 1998. Complete nucleotide

sequence of the genome organization of RNA2 of Patchouli mild mosaic virus, a new Fabavirus. Springer 2431–2434.

26

Ikegami M, Onobori Y, Sugimura N, Natsuaki T. 2001. Complete nucleotide sequence and the genome organization of Patchouli mild mosaic virus RNA1. Springer 355–358.

Kobayashi YO, et al. 2003. Analysis of genetic relations between Broad bean wilt virus 1 and Broad bean wilt virus 2. J Gen Plant Pathol 69: 320–326. Kobayashi YO, et al. 2005. Gentian mosaic virus: a new species in the genus

Fabavirus. Phytopathology 95: 192–197.

Kondo T, et al. 2005. Broad bean wilt virus 2 in yams. J Gen Plant Pathol(71): 441-443.

Mustofa A. 1991. Pola agroindustri atsiri di pedesaan. Di dalam: Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Tanaman Atsiri di Sumatera. Bukittinggi, 31 Agustus 1991. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Natsuaki KT, et al. 1994. Characterization of two viruses isolatet from patchouli in Japan. Plant Dist. 78: 1097-1097.

Noveriza R, Suastika G, Hidayat S.H, Kartosuwondo U. 2010. Identification of a Potyvirus Associated with Mosaic Disease on Patchouli Plant in Indonesia (Abstrak). ISSAAS International Congress 2010’Agricultural Adaption in Response to Climate Change’; Denpasar, 14-18 Nov 2010: 227-273 (17). Qi Y, Zhou X, Li D. 2000. Complete nucleotide sequence and infectious cDNA

clone of the RNA1 of a Chinese isolate of Broad bean wilt virus 2. Virus Genes 20: 201–207.

Randles JW, Hodgson RAJ, Weffels E. 1996. The rapid and sensitive detection of plant patogens by molecular methods. Australasian Plant Pathol. 25:71-85.

Seal S, Elphinstone J. 1994. Advances in identifycation and detection of P. solanacearum. Di dalam: Hayward, A.C. and G.L. Hartman (eds). The Disease and Its Causative Agent, P. solanacearum. CAB International, Wallingford: UK. pp 42-57.

Seal S. 1997. Molecular methods for detection and discrimination of R. solanacearum. Di dalam: Prior, P., C. Allen, and J.Elphinstone (eds). Bacterial Wilt Disease: Molecular and Ecological Aspects. Springer 103- 109.

Singh MK, V Chandel, V Hallan, R Ram, AA Zaid. 2009. Occurrence of Peanut stripe virus on patchouli and raising of virus-free patchouli plants by meristem tip culture. Journal of Plant Diseases and Protection 116(1): 2–6. Shukla DD, Ward CW. 1988. Amino acid sequence homology of coat proteins as a basis for identification and classification of the Potyvirus group. J Gen Virol 69: 2703-2710.

Shukla DD, Ward CW, Brunt AA, Berger PH. 1998. Potyviridae family. Design and application of two novel degenerate primer pairs for the detection and complete genomic characterization of Potyviruses. Plant Viruses (366).

Sukamto IB, Rahardjo, Sulyo Y. 2007. Detection of Potyvirus on patchouli plant (Pogostemon cablin Benth.) from Indonesia. Di dalam: Prosiding International Seminar on Essential Oil. Jakarta 7-9 November 2007. 72-77. Thomas JE, Wong WC, Goanlock DH. 1989. Modern methods for the detection

of plant pathogens. Queensland Agric 49-53.

Uyemoto JK, Provvidenti R. 1974. Isolation and identification of two serotypes of Broad bean wilt virus. Phytopathology 64: 1547–1548.

Ward CW, Shukla DD. 1990. Taxonomy of Potyvirus: current problems and some solutions. Intervrology 32: 269-296.

Wellink J, et al. 2000. Family Comoviridae pp 691-701. Di dalam: M. H. V. van Regenmortel, et al. (eds). Virus Taxonomy. Seventh Report of the International Committee on Taxonomy of Viruses. Academic Press: New York.

ABSTRAK

VISHORA SATYANI. Deteksi Diferensial Potyvirus dan Fabavirus dengan Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Dibimbing oleh GEDE SUASTIKA.

Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) sangat potensial untuk dikembangkan karena minyak nilam merupakan bahan baku yang penting dalam industri. Terdapat banyak kendala dalam upaya peningkatan pengembangan produksi tanaman nilam, salah satunya adalah adanya gangguan dari organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Potyvirus dan Fabavirus merupakan virus yang yang sudah diketahui dapat menyerang tanaman nilam. Gejala yang ditimbulkan pada tanaman nilam oleh kedua virus ini hampir tidak bisa dibedakan. Penelitian ini bertujuan untuk menyiapkan metode diferensial yang dapat membedakan dengan tepat infeksi Potyvirus dan Fabavirus pada tanaman nilam baik secara tunggal maupun ganda melalui RT-PCR. Sumber virus merupakan tanaman nilam yang terinfeksi alami Potyvirus atau Fabavirus yang telah diverifikasi dengan uji serologi. RNA total diekstraksi dari tanaman nilam sumber virus dengan Bench- Top Protocols for Xprep Plant RNA Mini Kit (PKT Korea). cDNA (complementary DNA) disintesis dengan teknik Reverse Transcription (RT). PCR dilakukan dengan satu siklus pada 95 ºC selama 5 menit; 10 siklus pada 95 ºC selama 1 menit, pada 51 ºC selama 1 menit, dan pada 72 ºC selama 1 menit; 30 siklus pada 94 ºC selama 1 menit, pada 54 ºC selama 1 menit, dan pada 72 ºC selama 2 menit untuk; dan satu siklus pada 72 ºC selama 10 menit. Primer yang digunakan untuk deteksi Potyvirus adalah CPUP-F (5’-TGAGGATCCTGGTGY ATHGARAAYGG-3’, Y=C/T, H=A/T/C, R=A/G), CP9502-R (5’-GCGGATCCT TTTTTTTTTTTTTTTT-3’) dan untuk Fabavirus adalah BBWVVSSP (5’- GTBTCDAGTGCTYTDGAAGG-3’,B=C/G/T,D=A/G/T,Y=C/T),BBWVKMRM (5’-TDGWDCCATCVAGICKCATTTT-3’, W=A/T; V=A/C/G; I=Inosine; K=G/T). Kedua pasang primer ini dapat mengamplifikasi masing-masing genom Potyvirus sepanjang 800 bp maupun Fabavirus sepanjang 322 bp secara spesifik baik dalam uji terpisah maupun campuran. Metode deteksi diferensial ini berhasil diterapkan untuk mendeteksi infeksi Potyvirus dan Fabavirus pada sampel tanaman nilam bergejala mosaik yang dikoleksi dari wilayah Bogor yaitu Gunung Bunder dan Cicurug. Pada deteksi tersebut dengan jelas dapat dibedakan tanaman- tanaman yang hanya terinfeksi Potyvirus atau Fabavirus saja atau terinfeksi ganda kedua virus tersebut. Oleh karena itu, metode berbasis RT-PCR menggunakan campuran pasangan primer CPUP-F/CP952-R dan BBWVVSSP/BBWVKMRM valid digunakan untuk deteksi diferensial.

Kata kunci : Potyvirus, Fabavirus, RT-PCR, deteksi diferensial, nilam, Pogostemon cablin

Latar Belakang

Minyak atsiri yang berasal dari minyak nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan komoditi andalan Indonesia. Hampir 90% kebutuhan minyak nilam dunia dipasok dari Indonesia, karena mutunya dinilai yang paling baik. Ekspor minyak nilam Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan (hampir 6% per tahun) sesuai dengan meningkatnya permintaan minyak nilam dipasaran internasional. Volume ekspor ini juga tidak lepas dari usaha perluasan areal pertanaman diberbagai daerah di Indonesia. Minyak nilam terutama digunakan sebagai bahan fiksatif dan pewangi dalam industri parfurn, sabun dan kosmetika. Selain itu minyak nilam juga digunakan sebagai bahan baku obat-obatan dan pestisida. Hampir seluruh pertanaman nilam di Indonesia merupakan pertanaman rakyat yang melibatkan 32.870 kepala keluarga petani (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006).

Namun demikian, produksi minyak atsiri di Indonesia masih rendah. Salah satu sebabnya adalah adanya serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang menyerang tanaman nilam terutama virus. Penyakit virus yang banyak menyerang tanaman nilam adalah penyakit mosaik. Tanaman sakit memperlihatkan gejala berupa perubahan warna pada daun yaitu mosaik hijau tua dan hijau muda dan terjadi malformasi. Tanaman menjadi kerdil sehingga sangat mengurangi kualitas dan kuantitas panen biomassa. Noveriza et al. (2010) melaporkan bahwa penyakit mosaik pada tanaman nilam di daerah Jawa Barat berasosiasi dengan infeksi dua jenis virus yang berbeda yaitu Potyvirus dan Fabavirus. Kedua jenis virus ini ditemukan menginfeksi tanaman nilam di lapangan baik secara tunggal maupun ganda dengan gejala yang tidak dapat dibedakan.

Menurut Hartono et al. (2006) Patchouli mottle virus (PaMoV) merupakan patogen penyebab penyakit yang sangat penting dan menyebabkan kerugian hasil di sentra produksi nilam di Indonesia. Di samping PaMOV, Patchouli mild mosaic virus (PaMMV) dilaporkan menyerang tanaman nilam di Jepang (Natsuaki et al. 1994).

2

PaMoV merupakan spesies virus yang termasuk ke dalam genus Potyvirus, sedangkan PaMMV merupakan spesies virus yang termasuk ke dalam genus Fabavirus (Natsuaki et al. 1994). Gejala yang ditimbulkan oleh PaMoV maupun PaMMV secara sendiri-sendiri maupun bersama pada tanaman nilam tidak dapat dibedakan (Natsuaki et al. 1994). Hasil pengujian ELISA sampel tanaman nilam dari Bogor dan Cianjur menunjukkan reaksi positif terhadap Potyvirus dan CMV (Sukamto et al. 2007).

Hal ini menunjukkan bahwa Potyvirus dan Fabavirus telah dilaporkan keberadaannya di pertanaman nilam di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode yang dapat mendeteksi kedua virus ini secara terpisah (differensial diagnostic metode). Pada penelitian ini, digunakan dua pasang primer dalam Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) yang dapat mengamplifikasi sebagian genom Potyvirus dan Fabavirus secara terpisah.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menyiapkan metode deteksi diferensial Potyvirus dan Fabavirus yang menginfeksi tanaman nilam.

Manfaat Penelitian

Metode yang diperoleh dalam penelitian ini akan sangat berguna untuk mendeteksi Potyvirus dan Fabavirus yang menginfeksi tanaman nilam secara akurat.

Tanaman Nilam (Pogostemon cablin Benth)

Nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan bahan baku minyak nilam (patchouli oil) yang merupakan komoditi ekspor terbesar (60%) dari ekspor minyak atsiri Indonesia (Balai Besar Pelatihan Pertanian 2011). Nilam menjadi komoditas ekspor penting di Indonesia karena 90% kebutuhan dunia akan minyak nilam dipasok oleh Indonesia. Minyak nilam banyak digunakan sebagai bahan baku, bahan pencampur dan fiksatif (pengikat wangi-wangian) dalam industri parfum, farmasi dan kosmetik, serta industri makanan dan minuman (Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 1991 & Mustofa 1991). Hal ini disebabkan karena daya lekatnya yang kuat sehingga aroma wangi tidak mudah hilang karena tercuci atau menguap, dapat larut dalam alkohol dan dapat dicampur dengan minyak eteris lainnya.

Terdapat tiga jenis tanaman nilam yang tumbuh di Indonesia, yaitu : nilam Aceh (Pogostemon cablin Benth) yang kandungan minyaknya tinggi, yaitu 2,5-5%, nilam Jawa atau nilam hutan (Pogostemon heyneanus Benth) dan nilam sabun (Pogostemon hortensis Backer) kandungan minyaknya masing-masing 0,5- 1,5%. Pada bulan Agustus tahun 2005 Menteri Pertanian telah melepas tiga varietas nilam unggul yaitu : Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan dengan kadar minyak cukup tinggi yaitu 2-4% dan produksi minyak per hektar relatif tinggi. Produk yang dihasilkan dari usaha tani nilam adalah terna (daun dan ranting), melalui proses penyulingan dihasilkan minyak nilam.

Tanaman nilam dapat tumbuh dan berproduksi pada daerah dengan ketinggian 0-1.200 m di atas permukaan laut (dpl), namun akan tumbuh dan berproduksi optimum pada daerah dengan ketinggian 10-400 m dpl. Curah hujan yang dikehendaki sekitar 2.300-3.000 mm per tahun dan kelembaban lebih dari 60%. Suhu udara antara 24-28 oC dengan intensitas penyinaran matahari berkisar 75-100%. Tanah yang dikehendaki adalah subur, gembur dan mengandung bahan organik dengan pH 5,5-7. Membutuhkan banyak air, tetapi tidak tahan genangan air sehingga perlu dibuat drainase yang baik.

4

Potyvirus

Potyvirus merupakan virus yang menyerang tanaman nilam dan termasuk ke dalam famili Potyviridae yang merupakan famili terbesar dalam virus tanaman yang tergolong positif sense single-stranded RNA (ssRNA(+)) yang dikenal sekarang ini dan merupakan genus terbesar dalam famili tersebut. Semua anggota dari genus tersebut memiliki virion berbentuk filamen dan fleksibel (Gibs et al. 2008). Seperti yang dilaporkan juga oleh Natsuaki et al. (1994), bahwa partikel Potyvirus berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Gambar 1).

Gambar 1 Partikel Potyvirus berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Natsuaki et al. 1994)

Taksonomi Potyvirus, sebagai kelompok virus tumbuhan terbesar yang menyerang tanaman, sampai saat ini masih menjadi perdebatan karena besarnya variasi antara spesies (Ward & Shukla 1990). Runutan asam amino protein selubung (coat protein/CP) telah dicoba digunakan untuk menilai kekerabatan 17 isolat dari delapan spesies Potyvirus (Shukla & Ward 1988). Hasil kajian menunjukkan antara spesies Potyvirus yang berbeda terdapat tingkat kesamaan runutan asam amino dari CP sebesar 38-71% dan antara galur yang berbeda dalam spesies virus yang sama mempunyai tingkat kesamaan mencapai 99% (Akin 2002).

Genus Potyvirus memiliki inang yang cukup banyak dan bervariasi dari beberapa famili tanaman diantaranya yaitu Amaranthaceae, Chenopodiaceae, Compositae, Labiateae, dan Solanaceae. Anggota dari genus Potyvirus memiliki panjang partikel minimal 700 nm. Genom dikarakteristikkan oleh 5’untranslated region (5’UTR) dimana terhubung dengan genome-linked protein (VPg), mayor tunggal open reading frame (ORF) dan 3’UTR region mengakhiri di ujung poly-

adenylated. Kode ORF merupakan polyprotein tunggal dan besar yang kemudian diproses menjadi 10 protein fungsional (Adam et al. 2005). Protein tersebut yaitu first protein (P1), helper component protease (HC-Pro), third protein (P3), 6K1, cylindrical inclusion protein (CI), 6K2, small nuclear inclusion protein (NIa; including the VPg and protease (NIa-Pro) domains), large nuclear inclusion protein (NIb; replicase) dan coat protein (CP).

Anggota dari genus Potyvirus ditularkan oleh kutu daun secara nonpersisten dan menginfeksi banyak spesies tanaman monokotil dan dikotil (Shukla et al. 1998) dan sebagian juga ditularkan melalui benih yang berasal dari tanaman sakit (Gibs et al. 2008). Beberapa ratus spesies kutu daun diketahui sebagai vektor dalam penyebaran Potyvirus dan kebayakan berasal dari subfamili Aphidinae diantaranya yaitu beberapa spesies dari Aphis sp, Myzus sp dan Rhopalosiphum sp (Gibs et al. 2008). Pembagian genus dalam famili tersebut berdasarkan penularan yang dilakukan oleh vektor pada virus tersebut dan karakteristik genom (Berger et al. 2005).

Fabavirus

Virus yang berasal dari genus Fabavirus (famili Comoviridae) dapat menginfeksi tanaman dalam berbagai kisaran inang, termasuk tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan tanaman holtikultura dalam berbagai spesies. Virus ini sangat berpotensi menyebabkan kehilangan hasil yang sangat tinggi pada tanaman di dunia setiap tahunnya (Ferrer et al. 2007). Sekarang ini, terdapat tiga spesies yang telah diakui termasuk dalam genus Fabavirus yaitu Broad bean wilt virus 1 (BBWV 1), Broad bean wilt virus 2 (BBWV 2), Lamium mild mosaic virus (LaMMV) dan kandidat spesies baru, Gentian mosaic virus (GeMV) (Kobayashi 2005).

BBWV 1 dan BBWV 2 dapat dibedakan berdasarkan uji serologi (Uyemoto 1974). Pada penelitian sebelumnya, telah ditentukan bahwa seluruh sekuen nukleotida dari RNA BBWV-1 dan BBWV-2 dilaporkan memiliki hubungan genetik satu dengan lainnya (Kobayashi et al. 2003). Tanaman yang terdeteksi tunggal BBWV memiliki gejala mosaik, vein-clearing, rugosity, dan

6

malformasi pada daun (Kondo et al. 2005). BBWV memiliki kisaran inang yang luas pada tanaman dikotil dan beberapa famili tanaman monokotil (Qi et al. 2000). Patchouli mild mosaic virus (PaMMV) juga telah diklasifikasikan sebagai spesies yang termasuk dalam Fabavirus (Ferrer 2005 & Kobayashi 2003) yang telah diusulkan sebagai salah satu isolat BBWV-2 (Ikegami 1998 & 2001).

Virus yang termasuk kedalam genus Fabavirus dapat ditularkan oleh kutu daun secara nonpersisten dan dapat menyebabkan penyakit pada bagian tanaman dan buah (Kobayashi 2005). Selain itu, dapat juga ditularkan secara mekanis, namun tidak melalui benih.

Partikel dari Fabavirus berbentuk icosahedral, diameter sekitar 30 nm, dan terbagi menjadi 3 komponen yaitu bentuk T, M, dan B, selama density gradient uhra-centrifugation (DGC) (Wellink et al. 2000). Genom RNA terdiri dari dua molekul single strand dari 6.0-6.3 kb (RNA1) dan 3.9-4.5 kb (RNA2) dimana terjadi pemisahan encapsid pada komponen B dan M secara berturut-turut. Masing-masing dari 3 komponen tersebut disusun dari 2 protein yang berbeda yaitu Mr 40 x 103 sampai 45 x 103 (large coat protein; LCP) dan 21 x 103 sampai 27 x 103 (small coat protein; SCP)(Kobayashi 2005). RNA Fabavirus ditranslasikan menjadi single polyprotein awal, dimana protein fungsional diperoleh dari pemecahan proteolytic yang terjadi seperti pada Comoviridae (Wellink 2000). Seperti tampak pada Gambar 2, partikel Fabavirus berbentuk seperti bulat (isometric) (Natsuaki et al. 1994).

Gambar 2 Partikel Fabavirus berbentuk seperti bulat (isometric) (Natsuaki et al. 1994)

Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan teknik serologi canggih yang menjanjikan untuk deteksi dan identifikasi patogen tumbuhan (Seal & Elpninstone 1994, Converse & Martin 1990). Teknik ini dapat diterima secara luas oleh penggunanya, karena: (1) efisien menggunakan bahan kimia, 1,0 ml antiserum dapat digunakan untuk menguji 10-20 ribu sampel; (2) bahan kimia yang digunakan tidak berbahaya dan memiliki daya simpan lama; (3) bahan yang diuji dapat langsung berupa ekstrak tanaman sakit tanpa harus mengisolasi

patogennya terlebih dahulu; (4) mempunyai kepekaan deteksi tinggi (1-10 ng virus/ml dan 103-104 sel bakteri/ml); (5) prosedurnya relatif sederhana

dan cepat, antara 5-24 jam; (6) hasilnya dapat kuantifikasi; (7) dapat digunakan untuk menguji sampel dalam jumlah besar sekaligus; dan (8) dapat digunakan langsung di lapangan (Thomas et al. 1989, Converse & Martin 1990). Seiring dengan perkembangannya, teknik ELISA mengalami berbagai modifikasi baik dari segi praktis maupun kehandalannya, sehingga muncul berbagai variannya (Randles et al. 1996 & Seal 1997). Sebagai teknik serologi, prinsip dasar ELISA adalah reaksi antara antigen (Ag) dengan antibodi (Ab) menjadi molekul Ag-Ab yang lebih besar dan mudah mengendap. Perbedaannya, pengamatan hasil reaksi pada serologi biasa berdasarkan endapan molekul Ag-Ab, sedangkan pada ELISA berdasarkan perubahan warna yang terjadi pada substrat pereaksi sesuai dengan label atau imunoprob (immuno probe) konjugat antibodi-enzim. Perubahan warna terjadi akibat hidrolisa enzimatik pada reaksi antara konjugat antibodi-enzim dengan substratnya, sehingga hasil ELISA lebih peka dan dapat dikuantifikasi (Converse & Martin1990). Tahapan umum ELISA meliputi penempelan (trapping) Ag atau Ab pada media reaksi (solid phase), seperti cawan ELISA, diikuti penambahan konjugat, dan diakhiri dengan penambahan substrat serta bufer penghenti reaksi (blocking buffer).

Dalam perkembangannya, metode ini mengalami modifikasi dalam prosedur pelaksanaan pengujian, diantaranya adalah pengujian standar (direct) Double Antibody Sandwich-Enzyme Link Immunosorbent Assay (DAS ELISA) dan Indirect-Enzyme Link Immunosorbent Assay (I-ELISA). Perbedaan kedua metode ini adalah pada tempat enzim terikat. Bila konjugasi enzim dilakukan pada

8

imunoglobulin antivirus maka metode itu termasuk DAS-ELISA, tetapi bila konjugasi enzim dilakukan pada imunoglobulin dari serum darah hewan maka metode tersebut diklasifikasikan sebagai I-ELISA (Badan Karantina Tanaman 2009).

Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction(RT-PCR)

Sebagian besar komponen genetik virus tanaman adalah RNA, terutama jenis-jenis viroid yang hanya terdiri dari RNA. Untuk melipat gandakan DNA dari cetakan yang berupa RNA maka sebelumnya perlu dilakukan sebuah tahapan yaitu transkripsi balik (reverse transcription). Pada tahap ini cetakan RNA terlebih dahulu diubah menjadi cDNA (complementary DNA) menggunakan enzim reverse transcriptase.

Metode Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan metode deteksi yang sensitif dan cepat dalam mendeteksi virus. PCR merupakan sebuah metode yang digunakan untuk memperbanyak suatu fragmen DNA yang spesifik secara invitro. Posisi fragmen DNA yang spesifik tersebut ditentukan oleh sepasang primer yang akan menjadi cetakan awal untuk proses perbanyakan fragmen DNA selanjutnya dengan bantuan enzim polimerase dan deoxyribonucleotide triposphate (dNTPs) yang dikondisikan pada suhu tertentu. Fragmen DNA, yang pada awalnya terdapat dalam konsentrasi yang sangat rendah akan diperbanyak menjadi cetakan fragmen DNA baru yang cukup untuk dapat divisualisasi pada gel agarosa (Badan Karantina Tanaman 2009).

Secara prinsip, PCR merupakan proses yang diulang-ulang antara 20–30 kali. Setiap siklus terdiri dari tiga tahap. Berikut adalah tiga tahap kerja PCR dalam satu siklus:

1. Tahap peleburan (melting) atau denaturasi. Pada tahap ini (berlangsung pada suhu tinggi, 94–96 °C) ikatan hidrogen DNA terputus (denaturasi) dan DNA menjadi berutas tunggal. Biasanya pada tahap awal PCR tahap ini dilakukan agak lama (sampai 5 menit) untuk memastikan semua berkas DNA terpisah. Pemisahan ini DNA tidak stabil dan siap menjadi template bagi primer. Durasi tahap ini 1–2 menit.

2. Tahap penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian DNA template yang komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu antara 45–60 °C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap ini 1–2 menit.

3. Tahap pemanjangan atau elongasi. Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis DNA polymerase yang dipakai. Dengan Taq-polymerase, proses ini biasanya dilakukan pada suhu 76 °C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit.

Dokumen terkait