• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesimpulan

1. Jenis tekstur tanah berpengaruh nyata terhadap perubahan biomassa dan jumlah kokun P.corethrurus pada kedua tahapan penelitian. Tekstur tanah jenis lempung berpasir (60% pasir; 24% debu; 16% liat) mendominasi dalam peningkatan biomassa dan jumlah kokun di dua tahapan penelitian. 2. Pemberian jenis bahan organik berpengaruh nyata dalam meningkatkan

biomassa dan jumlah kokun P.corethrurus hanya pada penelitian tahap 1. Bahan organik jenis kotoran kambing menjadi yang terbaik dalam meningkatkan biomassa dan jumlah kokun P.corethrurus pada penelitian tahap 1.

3. Interaksi antara jenis tekstur tanah dan bahan organik hanya berpengaruh nyata dalam meningkatkan biomassa P.corethrurus pada penelitian tahap 1. Kotoran kambing yang diaplikasikan pada tanah bertekstur lempung berpasir dan kotoran kambing yang diaplikasikan pada tanah bertekstur liat merupakan interaksi yang mampu meningkatkan biomassa P.corethrurus tertinggi.

4. Ada hubungan yang positif antara perubahan biomassa P.corethrurus dengan pH media dan persentase bahan organik, serta jumlah kokun dengan persentase bahan organik pada penelitian tahap 1. Pada penelitian tahap 2, perubahan biomassa P.corethrurus dan jumlah kokun berhubungan positif terhadap pH media, rasio C/N, serta persentase bahan organik

Saran

Sebaiknya dalam penggunaan spesies P.corethrurus sebagai objek penelitian, perlu dilakukan pemilihan P.corethrurus dengan keadaan homogen baik dalam hal umur dan biomassanya agar diperoleh hasil penelitian yang lebih baik.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ekologi dan Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan dilanjutkan dengan analisis parameter kimia di Laboratorium PT. Socfindo pada bulan Maret hingga juli 2016.

Bahan dan Alat Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah P. corethrurus sebagai spesies cacing yang diuji, tanah dari daerah Kec, Kwala Bekala, Marendal, dan Percut Sei Tuan sebagai media kultur cacing, kotoran sapi, kotoran kambing, dan serasah daun karet segar sebagai bahan organik pada media kultur, air digunakan untuk menjaga kelembaban media dan bahan kimia lainnya untuk keperluan analisis.

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah wadah plastik (dengan diameter 17 cm dan panjang 22 cm) sebagai tempat kultur cacing, timbangan analitik digunakan untuk menimbang bobot cacing, pH meter untuk mengukur pH media, hydrometer untuk menentukan tekstur tanah, oven digunakan untuk menentukan kadar air media, dan alat-alat lainnya yang diperlukan untuk keperluan analisis.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan 2 faktor dan tiga ulangan yaitu :

T1 = Lempung Berpasir (60% pasir; 24% debu; 16% liat) T2 = Liat (28% pasir; 20% debu; 52% liat)

T3 = Lempung Berliat (36% pasir; 28% debu; 36% liat) Faktor 2 : Bahan Organik (B), yaitu :

B0 = Tanpa Bahan Organik B1 = Kotoran Sapi

B2 = Kotoran Kambing B3 = Serasah Daun Karet

Dengan demikian diperoleh 36 unit percobaan (12 x 3)

Model Linier Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial adalah : ���� = µ + �� + �� + �� + (��)��+ €��� i = 1,2,3 j = 1,2,3,4 k = 1,2,3

Dimana:

Yijk = hasil pengamatan pada blok ke-i dengan bahan organik pada jenis ke -j, dan tekstur tanah pada jenis ke -k

μ = nilai tengah umum �� = pengaruh blok ke-i

�� = pengaruh bahan organik pada jenis ke-j �� = pengaruh tekstur tanah pada jenis ke-k

(��)�� = pengaruh interaksi bahan organik pada jenis ke-j dan tekstur tanah pada jenis ke-k

€ijk = pengaruh galat percobaan pada blok ke-i akibat perlakuan bahan organik pada jenis ke -j, dan tekstur tanah pada jenis ke -k

kokun dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA), untuk setiap parameter yang nyata dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf 5 %. Kemudian dilakukan analisis korelasi antara persentase hidup, jumlah kokun, dan perubahan biomassa terhadap sifat kimia dari media biakan untuk mengetahui hubungan diantaranya.

Pelaksanaan Penelitian Persiapan P. corethrurus

Cacing P. corethrurus dikoleksi langsung dari lahan perkebunan karet rakyat. Spesies P. corethrurus ditentukan dengan identifikasi terhadap morfologi

cacing dan disesuaikan dengan literatur Shen dan Yeo (2005). P. corethrurus yang didapatkan, diaklimatisasi dalam laboratorium dengan

menggunakan media campuran antara tanah, kotoran sapi, kotoran kambing, dan serasah daun karet dengan perbandingan (2; 0,25; 0,25; 0,25 kg). Wadah yang berisi media dan cacing P.corethrurus ditempatkan pada keadaan lembab dan gelap selama 3 hari.

Persiapan Tanah dan Bahan Organik

Tanah dari daerah yang telah ditentukan (Kec. Kwala Bekala, Marendal, Percut Sei Tuan) dikering udarakan selama beberapa hari. Top soil yang telah kering disaring menggunakan ayakan 10 mesh guna menghilangkan kotoran pada tanah yang dapat mengganggu pengamatan selama penelitian dilakukan. Ditentukan jenis tekstur masing masing tanah dengan menggunakan metode Analisis Mekanis. Kotoran segar sapi dan kambing diperoleh langsung dari peternakan sapi dan kambing kemudian dikering udarakan. Serasah daun karet

1 – 3 cm sebelum dicampurkan dengan tanah. Persiapan Media Kultur

Top soil yang telah di saring dengan ayakan 10 mesh dikompositkan

dengan bahan organik sesuai dengan perlakuan dengan perbandingan tanah - bahan organik 15 : 1. (dilakukan pengukuran kadar air pada media yang

telah dikompositkan guna menentukan kelembaban media). Media komposit tersebut ditempatkan pada wadah plastik sebanyak 2000 g. Media kultur diatur kelembabannya (25-30%) dengan cara penambahan air. Sebelum dilakukan pengkulturan P. corethrurus masing masing media di inkubasi selama seminggu, dimana setiap harinya dilakukan perhitungan pengurangan kadar air pada setiap media guna mengetahui dosis penyiraman untuk mencapai kelembaban 25-30%. Pengkulturan P. corethrurus

Pengkulturan P.corethrurus dilakukan sebanyak 2 tahap:

Pada tahap 1, empat ekor individu muda cacing P. corethrurus (tanpa klitellum) dengan bobot individu yang hampir sama dipilih dan dimasukkan pada wadah berisi media sesuai dengan perlakuan. Pada bawah dan tutup wadah plastik tersebut dibuat lubang ventilasi. Pengkulturan P. corethrurus tahap 1 dilakukan selama 45 hari.

Setelah 45 hari, semua cacing P.corethrurus dikumpulkan kembali dan disimpan selama seminggu pada satu media campuran antara tanah, kotoran sapi, kotoran kambing, dan serasah daun karet dengan perbandingan (2; 0,25; 0,25; 0,25 kg).

Setelah satu minggu, dengan menggunakan cacing dari pengkulturan tahap 1, dilakukan pengkulturan P.corethrurus tahap 2. Masing masing empat ekor

sesuai dengan perlakuan. Pengkulturan P. corethrurus tahap 2 juga dilakukan selama 45 hari.

Pemeliharaan

Pemeliharaan P. corethrurus meliputi pengaturan kelembaban media. Kelembaban media diatur dengan cara penambahan air secukupnya pada masing masing media

Parameter Pengamatan

1. Persentase hidup P. corethrurus (%) 2. Perubahan Biomassa P. corethrurus (g) 3. Jumlah Kokun

4. pH Media

5. Rasio C/N media

6. Persentase Bahan Organik (%) Analisis Parameter

Persentase Hidup P. corethrurus

Penentuan persentase hidup P. corethrurus dilakukan pada kedua tahapan penelitian. Dimana ditentukan pada tiap akhir tahapan penelitian, dengan cara membandingkan populasi akhir dengan populasi awal P. corethrurus.

Perubahan Biomassa P. corethrurus

Pengukuran perubahan biomassa P. corethrurus dilakukan pada kedua tahapan penelitian. Perubahan biomassa diukur dengan cara menimbang bobot P.corethrurus pada awal dan akhir tiap tahapan penelitian dengan menggunakan timbangan analitik, kemudian dihitung selisih antara bobot akhir dan awal. Biomassa P.corethrurus dinyatakan dalam satuan gram.

Untuk menghitung jumlah kokun yang dihasilkan, dilakukan pengamatan pada akhir di kedua tahapan penelitian dengan cara pembongkaran pada media. Kokun yang diproduksi oleh P. corethrurus dipisahkan dari media.

pH Media

pH media diukur di akhir tiap tahapan penelitian dengan menggunakan metode elektrometri.

Rasio C/N Media

Perhitungan rasio C/N media dilakukan di dua tahapan penelitian, yaitu pada saat dilakukan pembongkaran media. Rasio C/N media didapatkan dari perbandingan antara C-organik dan N total. C-organik dianalisis menggunakan metode Walkley and Black. Analisis N – total dilakukan dengan menggunakan metode Kjedahl.

Persentase Bahan Organik

Persentase bahan organik pada media P.corethrurus penelitian tahap 1 dan 2 diperoleh dengan mengkonversikan nilai C-organik sebagai berikut :

Latar Belakang

Peningkatan intensitas pengelolaan lahan menyebabkan produktivitas lahan dan populasi cacing tanah menurun. aplikasi cacing endogeik merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Aplikasi cacing endogeik pada suatu lahan memberikan dampak positif terhadap sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pontoscolex corethrurus merupakan salah satu cacing tanah endogeik yang tersebar luas dan memiliki toleransi yang luas terhadap kondisi lingkungan yang berbeda (Marichal et al. 2012). Aplikasi P.corethrurus terbukti mampu meningkatkan hara N (Tapia-Coral et al. 2006), serta mampu mempercepat degradasi BaP (Benzo-a-Pyrene) pada tanah (Castellanos et al. 2012). Sehingga sangat tepat jika dipilih sebagai spesies yang diaplikasikan pada lahan.

Selama ini, cacing tanah yang digunakan untuk diaplikasikan pada suatu lahan di koleksi secara langsung dari lapangan, yang mana cukup memakan waktu dan biaya. Oleh karena itu kultur cacing tanah dapat menjadi cara praktis untuk memperoleh jumlah cacing yang banyak serta pasokan yang tetap. Dalam pengkulturan cacing P. corethrurus banyak faktor yang harus diperhitungkan seperti sumber makanan, kelembaban media, dan kerapatan populasi.

Untuk sumber makanan P. corethrurus umumnya digunakan campuran tanah dan bahan organik, sehingga jenis bahan organik serta jenis tekstur tanah yang digunakan menjadi penting untuk diperhatikan. Kok et al. (2014)

menggunakan kotoran sapi sebagai bahan organik, sedangkan Garcia and Fragoso (2003) menggunakan daun macadamia untuk dicampurkan

masalah dalam melakukan kultur P. corethrurus.

Berdasarkan permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna memperoleh jenis bahan organik, serta jenis tekstur tanah terbaik sebagai media kultur P. corethrurus.

Tujuan Penelitian

- Untuk mengetahui jenis tekstur tanah terbaik dalam mendukung perkembangan P.corethrurus.

- Untuk mengetahui jenis bahan organik terbaik dalam mendukung perkembangan P.corethrurus.

- Untuk mengetahui interaksi jenis tekstur tanah dan bahan organik terbaik dalam mendukung perkembangan P.corethrurus.

Hipotesis Penelitian

- Tekstur tanah dengan kandungan pasir yang lebih tinggi merupakan jenis tekstur terbaik untuk media budidaya P. corethrurus

- Kotoran kambing merupakan jenis bahan organik terbaik untuk media budidaya P. corethrurus

- Interaksi antara tekstur tanah dengan kandungan pasir yang lebih tinggi kotoran kambing merupakan media terbaik untuk budidaya P. corethrurus Kegunaan Penelitian

Sebagai sumber informasi dalam melakukan kultur P.corethrurus, serta sebagai salah satu syarat untuk membuat tugas akhir skripsi di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Biologi Cacing P. corethrurus

P.corethrurus adalah spesies cacing yang bersifat eksotik, dengan pengertian mampu bertahan hidup akibat perubahan lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Pada area hutan hujan tropis, pengrusakan hutan merusak habitat dari spesies asli, khususnnya spesies epigeic yang hidup pada lapisan serasah, dan sejumlah spesies anecic yang hidup pada tanah tetapi memperoleh makanan dari serasah, gagal beradaptasi terhadap kondisi yang tercipta akibat konversi lahan. Sebaliknya P.corethrurus diuntungkan oleh situasi tersebut dan jumlah populasi yang terbentuk terlihat proporsional terhadap kondisi tersebut (Marichal et al. 2010).

P.corethrurus merupakan jenis cacing tanah endogeik, kelebihannya yaitu mampu meningkatkan proses mineralisasi nitrogen. P.corethrurus adalah spesies umum yang digunakan dalam mengelola ekosistem dengan praktis antropogenik (Tapia-coral et al. 2006). Lavelle et al. (1987) menyarankan bahwa cacing ini juga dapat digunakan sebagai sumber protein, dikarenakan spesies cacing tersebut mampu mengubah bahan organik tanah berkualitas rendah menjadi jaringan baru dengan kandungan protein 60 – 70% dengan efisiensi yang besar.

Adapun ciri dari P.corethrurus adalah memiliki panjang tubuh 92 – 148 mm (dewasa). Jumlah segmen adalah 167 – 232, prostomium, dan pori dorsal tidak terlihat. Klitelum terdapat pada segmen ke 14, 15- 22,dengan panjang 3,98 – 6,73 mm dan lebar 2,93 – 4,08mm, berbentuk pelana, dan terdapat setae. Longitudinal Tubercula pubertatis terletak pada segmen 18 hingga 21. Setae hadir dari segmen 1, secara bertahap menjadi tak berbentuk dan cenderung menjadi persegi sepanjang ujung posterior. Cacing yang hidup tidak memiliki pigmen,

jambu, memiliki 3 pasang titik kuning cerah pada dorsum lateral di depan klitelum saat porsi kepala diperluas (Shen and Yeo, 2005).

Stadia perkembangan dari cacing terdiri dari 5 tahapan, kokun, tetasan, juvenile, sub-dewasa (hanya ada tubercula pubertatis), dan dewasa (memiliki klitelum). Biasanya hanya klitelum dan sedikit stadia sub dewasa yang dapat ditentukan dengan pasti sampai tingkat spesies dengan menggunakan karakteristik morfologi cacing. Di sisi lain, stadia juvenile dapat lebih konsisten pada pertumbuhan dan aktivitas makan jika dibandingkan dengan individu dewasa yang memiliki perilaku yang lebih kompleks (Frund et al. 2009).

Pontoscolex corethrurus (Oligochaeta, Glossoscolecidae) adalah cacing tanah eksotis yang tersebar secara luas (Brown et al., 2006; Gonzalez et al. 2006; Hendrix et al., 2006). Cacing endogeik ini berasal dari Amerika Selatan (Hendrix & Bohlen, 2002), dan kini telah menyebar luas ke Indonesia hingga ke pulau Sumatera.

Darmawan et al. (2015) melaporkan bahwa kolonisasi P.corethrurus di kampung Bungku dapat juga dihubungkan dengan spesies tanaman di area tersebut seperti karet dan kelapa sawit. Sebagai tambahan P.corethrurus mempunyai toleransi yang lebih baik dibandingkan spesies asli. Kebanyakan cacing tanah memiliki toleransi yang sempit terhadap temperature, namun P.corethrurus dapat mentolerir suhu 13 hingga 29OC. P.corethrurus dicirikan dengan memiliki konsumsi oksigen yang konstan dan toleran terhadap ketersediaan oksigen yang rendah

bahwa kisaran dari fase hidup P.corethrurus adalah ± 12 bulan. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 12 dibawah ini.

Tabel 1. Siklus hidup dari cacing P.corethrurus

Fase Hidup Waktu Keterangan

1. Penetasan Kokun 32 – 36 hari -

2. Juvenil 0 – 32 minggu setelah menetas

Pada minggu ke 24 umumnya cacing telah mencapai bobot dan panjang maksimum

3. Sub Dewasa 32 – 38 minggu setelah menetas

Pada minggu ke 38 mulai tumbuh klitelum pada tubuh cacing

4. Dewasa >38 minggu setelah menetas

Setelah minggu ke 38 setelah menetas, cacing mulai menghasilkan kokun

5. Mati 48 minggu setalah

menetas

-(Buch et al. 2011).

Hasil penelitian Amirat et al. (2014) menyatakan bahwa aplikasi P.corethrurus memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap total pori tanah. Rata-rata pertambahan pori makro berkisar antara 36 - 119 cm/minggu. Masing-masing individu menyebabkan pertambahan pori makro berkisar antara 4.7 - 9.5 cm/hari. P. corethrurus lebih banyak menghasilkan pori makro vertikal daripada pori makro horizontal. Adanya aplikasi P.corethrurus juga berpengaruh sangat nyata terhadap perkolasi dalam tanah. Aktivitas cacing tanah meningkatkan perkolasi dalam tanah (masing-masing 27 %, 4.5 %, dan 2.2 %)

Penambahan P.corethrurus juga mampu mempercepat penghilangan senyawa BaP (Benzo-a-Pyrene) dari tanah dibandingkan dengan aplikasi

mikroba tanah dan BaP sehingga mempercepat degradasi BaP. P.corethrurus dapat hidup secara aktif pada tanah yang tercampur BaP, namun tidak satupun kokun yang terbentuk. Aplikasi bahan organik sebagai sumber makanan tidak meningkatkan degradasi BaP dari tanah. Peneliti menambahkan bahwa cacing endogeik P.corethrurus dapat digunakan dalam remediasi tanah terkontaminasi minyak bumi pada wilayah tropis, tanpa penambahan sumber makanan (Castellanos et al. 2012).

Aplikasi spesies P.corethrurus baik juvenile atau dewasa menunjukkkan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan konsentrasi NH4+, NO3- , dan N mineral pada media dibandingkan dengan media tanpa aplikasi cacing. Konsentrasi nitrat selalu meningkat tajam pada penambahan P.corethrurus, namun sekalipun begitu terdapat perbedaan yang signifikan antara perlakuan aplikasi juvenile dan spesies dewasa (Tapia-Coral et al. 2006).

Penelitian D’Alexis et al. (2010) dalam bidang peternakan menunjukkan bahwa aplikasi P.corethrurus juga dapat menurunkan populasi secara nyata dua jenis nematode yang diuji. Penurunan ini diduga karena P.corethrurus pada saat mengkonsumsi kotoran sapi, larva nemotada juga ikut terkonsumsi. Penurunan sebanyak 34 % dinilai sebagai cara yang efektif untuk menurunkan organism parasit pada peternakan. Penurunan ini dinilai harus diuji secara in situ, tetapi penurunan sekitar 30% dinilai nyata dalam menurunkan kontaminasi pada peternakan.

Teknik Kultur Cacing di Laboratorium

Semua cacing tanah dipengaruhi oleh lingkungan dimana mereka ditemukan. Pada kultur di laboratorium, manipulasi banyak faktor dimungkinkan

temperatur dan kelembaban tanah dapat dikatakan sebagai factor lingkungan yang paling penting dalam menentukan aktivitas dan distribusi cacing. Oleh karena itu penentuan kondisi optimal yang berhubungan dengan kedua faktor tersebut menjadi kunci dalam kultur cacing secara sukses (Lowe and Butt, 2005).

Penggunaan cacing tanah di laboratorium biasanya dilakukan dalam skala kecil. Pemilihan wadah dan ukurannya harus ditentukan secara tepat. Sebelum melakukan percobaan menggunakan cacing tanah dalam laboratorium terdapat dua aspek utama yang harus diuji, yaitu organisme (cacing tanah) dan tanah sebagai media kultur. Pada aspek cacing tanah hal yang harus diperhatikan adalah : identitas taksonomi (spesies), klasifikasi ekologi (epigeik, endogeik, anecic), stadia perkembangan (kokun, tetasan, juvenile, sub-dewasa, dewasa), Biomassa (pada awal dan akhir percobaan), status fisiologi, asal (pengambilan langsung dari lapangan, laboratorium, atau melalui pembelian), sumber makanan bagi cacing, serta kerapatan populasi cacing. Pada aspek tanah sebagai media kultur hal yang harus diperhatikan adalah : jenis tanah dan penggunaan lahan, horizon tanah, tekstur, kapasitas menahan air, kelembaban tanah, pH, rasio karbon organik dan nitrogen, kerapatan lindak, kapasitas tukar kation (jika memungkinkan), perlakuan awal tanah sebelum percobaan, lama dan kondisi penyimpanan (Frund et al. 2010).

Berikut adalah data umum yang digunakan dalam kultur cacing endogeik (Lowe and Butt, 2005) :

Parameter Kultur Keterangan

1. Kedalaman Tanah > 30 cm

2. Jenis Tanah Lempung

3. pH 4,5 – 7

4. Jenis Makanan Tanah dan bahan organik

5. Penempatan makanan pada wadah Dicampurkan secara merata

6. Suhu 15 – 29 oC

7. Rezim Cahaya Tidak diketahui

8. Pematangan Klitelum (hari) 84 pada 15o C, dan 56 pada 20o C 9. Produksi kokun 9,9 pada 10o C, 17,8 pada 15oC, dan

10. Inkubasi Kokun (hari) 34 – 40 pada 20o C 11. Viabilitas Kokun (%) 60 – 90 pada suhu 20o C

12. Kelembaban (%) 25 – 30

Secara umum perhatian khusus harus diberikan untuk menjamin bahwa cacing tanah yang digunakan pada percobaan dalam kondisi sehat. Indikator dari cacing yang sehat adalah turgiditas, bentuk tubuh regular tanpa kehilangan atau luka pada bagian epidermis, serta mobilitas tinggi. Cacing yang sehat dicirikan dengan : 1) reaktif terhadap sentuhan, 2) Menjauh dari sumber cahaya, dan 3) akan berenang pada air. Jika cacing tanah diperoleh melalui senyawa kimia atau penggunaan aliran listrik, dampak dentrimental harus diperhatikan. Ekspos langsung cacing tanah terhadap sinar matahari dan temperature tinggi harus dihindari, dan senyawa kimia yang digunakan sebagai pemikat harus dicuci segera dengan air (Coja et al. 2008).

Percobaan skala laboratorium menunjukkan bahwa pertumbuhan cacing tanaha, massa cacing dewasa, dan fekunditas secara signifikan dipengaruhi oleh biomassa cacing dan kerapatan pada saat kultur. Peningkatan kerapatan memiliki dampak yang negative terhadap tingkat pertumbuhan dan massa rata rata cacing tanah. Pada L.terrestris perkembangan dari kemampuan reproduksi juga berkurang pada kerapatan yang lebih tinggi. Pada media 2 L, telah diketahui bahwa kisaran massa 15 – 25 g/L (3 – 5 cacing dewasa) adalah kerapatan yang optimal bagi L.terrestris, sementara pada wadah yang lebih kecil (0,3 L) dengan makanan yang lebih, kerapatan optimum nya adalah 20 – 40 g/L. Hal tersebut menjelaskan bahwa pengaruh kerapatan dapat dimodifikasi oleh factor lain seperti kualitas makanan (Lowe and Butt, 2005).

Kerapatan populasi haruslah sejalan dengan kelimpahan cacing di lapangan. Dikarenakan cacing tanah sering secara heterogen terdistribusi pada system alam, rerata kerapatan di lapangan (individu / m2) haruslah menjadi pedoman pada percobaan di laboratorium. Pada banyak percobaan, kerapatan populasi harus berada pada kisaran kelimpahan di lapangan. Pada percobaan pada pengaruh lingkungan terhadap cacing tanah, penggunaan kerapatan yang berbeda yang mewakili kerapatan di lapangan haruslah memiiki alasan yang kuat untuk menyimpulkan efek yang terjadi sesuai pada kondisi lapangan. Dalam menampilkan data, percobaan kerapatan populasi harus diubah dalam bentuk individu / meter persegi (Frund et al. 2010)

Hasil penelitian Kok et al. (2014) yang menggunakan kerapatan 1, 4, 7, dan 10 dalam kultur P. corethrurus, melaporkan bahwa biomassa dan kematangan seksual secara nyata dipengaruhi oleh kerapatan populasi. Kerapatan optimal

penelitian menunjukkan bahwa biomassa akhir dari cacing menurun sejalan dengan peningkatan kerapatan populasi. Peningkatan kerapatan populasi dapat menciptakan kompetisi intraspesifik terhadap sumber makanan dan ruang dan akhirnya menurunkan biomasa cacing. Oleh karena itu, cacing tanah tumbuh lebih lambat pada kerapatan populasi yang tinggi. P.corethrurus pada kerapatan populasi yang relative lebih rendah membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk mencapai kematangan seksual.

Hasil penelitian Dominguez dan Edwards (1997) juga menyatakan bahwa kerapatan populasi memiliki pengaruh yang nyata terhadap biomassa cacing dan kematangan seksual. Individu cacing tumbuh lebih cepat pada kerapatan populasi terendah. Produksi total biomassa maksimum ada pada perlakuan kerapatan populasi tertinggi (16 cacing). Kematangan seksual cacing lebih cepat pada kerapatan populasi yang lebih tinggi, meskipun tidak semua klitelum berkembang setalah 48 hari. Pada kerapatan yang lebih rendah, semua cacing matang secara seksual, meskipun memerlukan waktu yang lebih lama. Pada kerapatan 4 cacing, semua cacing matang seksual pada hari ke 36 dan 40% cacing matang seksual pada hari ke 24.

Sumber Makanan (Tanah – Bahan Organik)

Jenis cacing tanah epigeik dan anecic (detritivor, decomposer utama) memperoleh sumber makanannya dari permukaan tanah, namun makanan bagi cacing endogeik (geofage, decomposer sekunder) haruslah di campurkan pada tanah. Pencampuran sumber makanan ke dalam tanah diasosiasikan secara fisik dan hanya dapat dilakukan pada awal sebelum percobaan dilakukan. Dalam memonitor makanan secara visual mudah dilakukan terhadap makanan pada

pada makanan yang dicampur ke tanah. Oleh karena itu, pengontrolan terhadap sumber makanan dapat menjadi masalah besar pada percobaan laboratorium dalam waktu yang lama dengan menggunakan cacing tanah jenis endogeik (Frund et al. 2010).

Pemilihan kotoran hewan sebagai sumber bahan makanan yang tepat untuk kultur cacing tanah telah sejak lama diperkenalkan. Hasilnya kotoran sapi, kambing, dan kuda telah digunakan secara luas dalam kultur cacing tanah. Beberapa peneliti menggunakan kotoran segar / semi terdekomposisi sebagai sumber makanan. Untuk mendapatkan sumber makanan yang konsisten dan dapat diandalkan, kotoran hewan membutuhkan beberapa perlakuan. Meskipun kotoran hewan dikenal sebagai makanan cacing tanah yang tepat, koleksi langsung dari lapangan dapat menjadi hal yang memakan waktu. Produksi cacing tanah skala besar secara intensif membutuhkan sumber makanan yang melimpah. Kotoran hewan tidaklah satu satunya sumber makanan yang digunakan dalam kultur cacing, limbah bahan organik lain dari bidang pertanian ataupun industry juga dapat dijadikan sebagai alternative. Meskipun berbagai sumber bahan organik memiliki kandungan N yang berbeda, namun bahan organik yang mengandung sumber N tinggi tidak selalu menjamin peningkatan pertumbuhan cacing (Lowe and Butt, 2005).

Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang

Dokumen terkait