• Tidak ada hasil yang ditemukan

keabsahannya melalui data-data yang diperoleh. Selanjutnya dalam Bab ini Penulis memberikan saran yang kiranya dapat berguna sebagai referensi dalam penerapan hukum pidana tersebut.

BAB II

TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM UNDANG UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

A. Peraturan yang berkaitan dengan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika sebelum lahirnya Undang-Undang No.35 Tahun 2009

Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru akhir-akhir ini menunjukkan, kejahatan itu selalu berkembang. Demikian juga dengan kejahatan narkotika tidak lepas dari perkembangan tersebut. Kejahatan narkotika (the drug trafficking industry), merupakan bagian dari kelompok kegiatan organisasi-organisasi kejahatan transnasional (Activities of Transnational Criminal Organizations) di samping jenis kejahatan lainnya.

Jenis-jenis kejahatan tersebut sangat memprihatinkan masyarakat internasional, karena apabila dikaitkan dengan ancaman atau akibat yang ditimbulkannya sangat begitu dahsyat (insidious), dan dapat menembus ke berbagai segi atau bidang, baik terhadap keamanan dan stabilitas nasional maupun internasional, dan merupakan ancaman utama (frontal attack) terhadap kekuasaan politik, dan ancaman bagi kewibawaan negara. Adapun tujuan utama dilakukannya jenis kejahatan ini adalah untuk menghasilkan keuntungan baik bagi individu maupun kelompok yang melakukan kejahatan tersebut. Dana-dana gelap ini akan digunakan oleh pelaku untuk membiayai kegiatan kejahatan selanjutnya.

Kejahatan narkotika yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi, pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kejahatan terhadap kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional dan internasional. Hal itu sangat beralasan, mengingat ruang lingkup dan dimensinya begitu luas, sehingga kegiatannya mengandung ciri-ciri sebagai organized crime, white-collar crime, corporate crime, dan

transnational crime. Bahkan, dengan menggunakan sarana teknologi dapat menjadi salah satu bentuk dari cyber crime. Berdasarkan karakteristik yang demikian, maka dampak dan korban yang ditimbulkannya juga sangat luas bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan dapat melemahkan ketahanan nasional.

Saat ini Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor: 143), tanggal 12 Oktober 2009, yang menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Narkotika (lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67), karena sebagaimana pada bagian menimbang dari Undang-UndangNo. 35 Tahun 2009 huruf e dikemukakan: bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan

Negara, sehingga Undang-UndangNomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika

berkembang untuk menanggulangi dan memberantas Tindak Pidana tersebut. Oleh sebab itu, berdasarkan ketentuan 153 Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009, bahwa dengan berlakunya Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Undang-Undang No 35 Tahun 2009 disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pemerintah menilai Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 ini tidak dapat mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara substansial, Undang-UndangNarkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan Undang-Undang terdahulu,56 kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar.57

Peraturan perundang-undangan yang mengatur narkotika di Indonesia sebenarnya telah ada sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende

Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927). Ordonansi

ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 26 Juli 1976. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 telah diganti dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 1 September 1997.

56

http://ilmuhukum.umsb.ac.id/?id=177 (diakses Pada Senin, 6 Desember 2010) 57

http://totokyuliyanto.wordpress.com/2009/11/10/catatan-terhadap-uu-no-35-tahun-2009-tentang-narkotika/ (diakses Pada Selasa, 10 November 2009)

Ada beberapa revisi terhadap Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 tersebut karena masih ditemukan beberapa kelemahan selama pelaksanaan atau penerapannya sehingga Undang- undang tersebut diratifikasi pada Tahun 2009 sehingga melahirkan Undang- undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang mana ada beberapa perbedaan dengan undang- undang sebelumnya.

Uraian masing- masing peraturan perundang-undangan tersebut yaitu ;

1. Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927).

Pada zaman penjajahan Belanda kebiasaan penyalahgunaan obat bius dan candu, sudah mulai terasa membahayakan masyarakat, pemakainya terutama masyarakat golongan menengah (khususnya keturunan cina) oleh sebab itu, pada zaman tersebut pemerintah Hindai Belanda mengeluarkkan Verdoovende

Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927, yaitu

peraturan yang mengatur tentang obat bius dan candu.58 Selain itu, juga diberlakukan ketentuan mengenai pembungkusan candu yang disebut Opium

verpakkings Bepalingen(Staatsblad) 1927 No. 514). Setelah Indonesia Merdeka,

kedua intrumen hukum kolonial Belanda tersebut tetap diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.

Peraturan perundang-undangan ini, materi hukumnya hanya mengatur mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, sedangkan tentang

58

pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak diatur.59

Perkembangan kejahatan di bidang narkotika pasca masa kemerdekaan cenderung semaking meningkat dari tahun ke tahun, sehingga intrumen hukum yang mengatur tindak pidana narkotika warisan Belanda tersebut dirasakan sudah ketinggalan jaman. Karena itu, pada tahun 1976 pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokal Perubahannya. Kemudian, menyusul diberlakukan Undang-Undangg No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.60

2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.

Ketidak puasan akan pelaksanaan kegiatan penanggulangan narkotika dan obat-obat terlarang telah mengakibatkan bangsa Indonesia berpikir untuk menyempurnakan peraturan/regulasi tentang Narkotika karena Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927) dirasa tidak lagi mampu untuk meredam pertumbuhan kejahatan narkotika. Dimana Narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan, yang diketahui dapat menimbulkan ketergantungan yang dangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama. Dengan pemikiran bahwa perbuatan, penyimpanan, pengedaran, dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama merupakan kejahatan yang sangat merugikan

59

Hari sasangkat, op.cit.,halaman 5.

60

http://hukumonlinesiboro.blogspot.com/2011/12/faktor-faktor-lahirnya-kebijakan-untuk.html (diakses pada Senin, 05 desember 2011)

perorangan dan masyarakat dan merupakan bahaya besar bagi perikehidupan menusia dan kehidupan Negara dibidang politik, keamanan, sosial, budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia, maka terbitlah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, yang mengatur cara penyediaan dan penggunaan narkotika untuk keperluan pengobatan dan atau cara ilmu pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan akibat sampingan dari penggunaan dan penyalahgunaan narkotika serta mengatur rehabilitasi terhadap pecandu narkotika.61

Adapun perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam lingkup tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 23 ayat (1) sampai (7) adalah :

1. Pada Pasal 23 ayat (1) Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka atau tanaman Ganja.

2. Pada Pasal 23 ayat (2) Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika.

3. Pada Pasal 23 ayat (3) Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika.

4. Pada Pasal 23 ayat (4) Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika.

61

5. Pada Pasal 23 ayat (5) Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika.

6. Pada Pasal 23 ayat (6) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain. 7. Pada Pasal 23 ayat (7) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika

bagi dirinya sendiri.

Ketentuan sanksi pidana atas perbuatan-perbuatan di atas diatur dalam Bab VIII Pasal 36, yaitu :

1. Pasal 36 ayat (1) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (1) :

a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman Koka atau tanaman Ganja; b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan

denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000.- (limabelas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman Papaver.

2. Pasal 36 ayat (2) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (2) :

a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;

b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

3. Pasal 36 ayat (3) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (3) :

a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;

b. dipidana dengan pidana penjara selama-selamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

4. Pasal 36 ayat (4) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (4) :

a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;

b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidara penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (Iima puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

5. Pasal 36 ayat (5) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (5) :

a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp.

30.000.000,- (tiga puluh jutan rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman, Ganja;

b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

6. Pasal 36 ayat (6) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (6) :

a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;

b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

7. Pasal 36 ayat (7) Barang siapa melanggar Pasal 23 ayat (7) :

a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;

b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

8. Pasal 36 ayat (8) Barang siapa karena kelalaian menyebabkan dilanggarnya ketentuan tersebut dalam Pasal 23 ayat (1) diatas tanah atau tempat miliknya atau yang dikuasainya, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Dalam perkembangannya ternyata Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tidak juga bisa meredam ataupun memberantas peredaran gelap narkotika secara signifikan, bahkan sasaran peredaran gelap narkoba telah memasuki seluruh aspek dan lapisan masyarakat. Predaran narkotika tidak hanya pada orang-orang yang mengalami broken home atau yang gemar dalam kehidupan malam, tetapi telah merambah kepada mahasiwa, pelajar, bahkan tidak sedikit kalangan eksekutif maupun businessmantelah terjangkit narkotika.

Seiring dengan perkembangan waktu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1997 dirasa tidak mampu lagi untuk mengakomodir banyak hal dari kejahatan narkotika. Kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, sedangkan peraturan yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi kejahatan tersebut, sehingga akhirnya terbitlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.62

Dalam konsideran Undang-Udang Nomor 22 Tahun 1997 antara lain menyebutkan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, pada satu sisi mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan

62

sebagai obat dan di sisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasn terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.63

Latar belakang diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dapat dilihat dalam penjelasan undang-undang tersebut, yakni peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Kejahatan-kejahatan narkotika pada umunya tidak dilakukan oleh secara perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap, rapi, dan sangat rahasia.64

Didalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tujuan pengaturan Narkotika adalah untuk :

a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan

b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika c. Memberantas peredaran gelap narkotika

Narkotika digolongkan pada tujuan dan potensi ketergantungan yang bersangkutan. Untuk pertama kali penggolongan tersebut ditetapkan dalam undang-undang ini, dan selanjutnya akan ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan.65

Penggolongan narkotika adalah sebagai berikut :

63

Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2004, halaman 156.

64

Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana,Mandar Maju, Bandung, 2003, halaman 165

65

a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi dangat tinggi mengakibatkan keterantungan.

b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan

c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.66

Perbuatan-perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana di dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1997 dinyatakan sebagai berikut:

1. Menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika dalam bentuk tanaman (Pasal 78-79)

2. Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit atau menyediakan narkotika (Pasal 80)

3. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika tanpa hak dan melawan hukum (Pasal 81)

66

4. Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika tanpa hak dan melawan hukum (Pasal 82)

5. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika (Pasal 78 a/d 82)

6. Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain tanpa hak dan melawan hukum (Pasal 84) 7. Tanpa hak dan melawan hukum, menggunakan narkotika untuk diri

sendiri (Pasal 85)

8. Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak melapor (Pasal 86)

9. Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika (Pasal 87)

10. Pecandu narkotika yang telah cukup umur atau keluarganya (orangtua/wali) dengan sengaja tidak melaporkan diri (Pasal 88)

11. Pengurus pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban menurut Pasal 41 dan 42, yaitu tidak mencantumkan label pada kemasan narkotika dan mempublikasikan narkotika diluar media cetak ilmiah kedokteran/farmasi (Pasal 89)

12. Menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di Pengadilan (Pasal 92)

13. Nahkoda atau kapten penerbang yang tanpa hak dan melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 24 dan 25, yaitu tidak membuat berita acara muatan narkotika, tidak melapor adanya muatan narkotika kepada Kantor Pabean setempat (Pasal 93)

14. Penyidik (PPNS/Polri) yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 69 dan 71, yaitu tidak melakukan penyegelan dan pembuatan berita acara penyitaan, tidak member tahu atau menyerahkan barang sitaan, tidak memusnahkan tanaman narkotika (Pasal 94)

15. Saksi yang memberi keterangan tidak benar di muka sidang pengadilan (Pasal 95)

16. Melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia (Pasal 97)

Ketentuan pidana yang telah dirumuskan di dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1997 memang sangat berat, ketat dan mengikat. Tujuan utama ketentuan-ketentuan pidana adalah untuk membersihkan umat manusia dari akibat-akibat buruk penyalahgunaan narkoba. Undang-undang tersebut merupakan salah satu kebijakan dan upaya Pemerintah untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba di Indonesia.67 Tindak pidana di bidang Narkotika diatur dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 100 Undang-Undang Narkotika yang merupakan ketentuan khusus.68

Setelah berbicara mengenai revisi Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 sehingga diratifikasi pada Tahun 2009 yang melahirkan Undang- undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatas maka sampailah kita kepada

67

http://hunafa.stain-palu.ac.id/wp-content/uploads/2012/02/7-Ahmad-Syafii.pdf (diakses Pada Senin, 2 Agustus 2009)

68

pembahasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang memiliki kaitan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Berdasakan Pasa153 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10), Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut undang undang baru ini, Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.69

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika digolongkan kedalam empat golongan. Penggolongan ini didasarkan atas tingkat ketergantungannya atau sindrom, yaitu :

a. Psikotropika Golongan I mempunyai potensi amat kuat yang berakibat pada sindrom ketergantungan. Biasanya Psikotropika Golongan I hanya diperuntukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

b. Psikotropika Golongan II mempunyai potensi kuat dan mengakibatkan sindrom ketergantungan. Psikotroika Golongan II, dapat dipergunakan dalam terapi, dan/atau ilmu pengetahuan. c. Psikotropika Golongan III mempunyai potensi sedang terhadap

tingkat sindrom ketergantungan. Psikotropika Golongan III

69

dipergunakan untuk kepentingan terapi dan/atau tujuan ilmu pengetahuan.

d. Psikotropika Golongan IV mempunyai potensi ringan terhadap tingkat sindrom ketergantungan. Psikotropika Golongan IV ini digunakan untuk kepentingan terapi, dan/atau ilmu pengetahuan.70 Dimana pada jenis Psikotropika Golongan I dan II diatas dicabut dan dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I pada undang-undang yang baru. (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009).

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika digolongkan kedalam tiga golongan, yaitu :

a. Narkotika Golongan I (narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketrergantunggan).

b. Narkotika Golongan II (narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan).

c. Narkotika Golongan III (narkotika yang berkhasiat pengoatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan

70

Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, halaman 125.

pengembangan imu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan).71

Berikut beberapa perbandingan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yaitu :

1. Perluasan Jenis dan Golongan

Sebagaimana yang kita ketahui, pada Undang-Undang mengenai Narkoba sebelum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini disahkan, Negara kita mengacu pada Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Pada Undang-Undang-Undang-Undang terdahulu, jenis golongan untuk masing-masing Narkotika dan Psikotropika dipisahkan secara jelas melalui lampiran jenis golongan di tiap-tiap undang-undang.

Hal ini diatur pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 yang diikuti dengan lampiran untuk setiap jenis golongannya. Pada lampiran Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 dinyatakan bahwa Narkotika Golongan I terdiri dari 26 jenis Narkotika, sedangkan pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada bagian lampirannya terdapat 65 jenis narkotika golongan I. Penambahan pada jenis Narkotika Golongan I ini dikarenakan digabungkannya jenis Psikotropika Golongan I dan II kedalam kategori Narkotika Golongan I.

71

Jenis Psikotropika Golongan I dan II yang paling banyak diminati oleh para pecandu narkoba adalah jenis shabu dan ekstasi. Hal ini diperkuat dalam pasal 153 point b yang menyatakan bahwa Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Hal ini dimungkinkan karena maraknya penggunaan shabu dan ekstasi dikalangan masyarakat Indonesia, sehingga secara serta merta ancaman pidana yang mengatur mengenai penggunaan shabu dan ekstasi pada jenis Narkotika Golongan I semakin bertambah berat dengan keluarnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini. Hal ini dipertegas dalam Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dimana pada Pasal 8 ayat (2) dilanjutkan dengan pernyataan bahwa dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Hal ini berarti ada upaya untuk menekan penggunaan Narkotika Golongan I kepada hal yang mengarah pada penyalahgunaan, dimana selanjutnya pada bagian penjelasan dikatakan bahwa Yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I sebagai:

a. Reagensia diagnostik adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang digunakan oleh seseorang apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan.

b. Reagensia laboratorium adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang disita atau ditentukan oleh pihak Penyidik apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan.

Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika.

Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa Prekursor Narkotika adalah zat atau

Dokumen terkait