• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1. Kesimpulan

Secara umum, konsentrasi DO di lokasi KJA di Waduk Ir. H. Juanda cenderung menurun seiring bertambahnya kedalaman dengan kisaran rata-rata 0,6 mg/l (pada lapisan dasar) hingga 7,6 mg/l (pada lapisan permukaan). Distribusi vertikal oksigen terlarut menggambarkan tipe perairan clinograde. Pada pengamatan diperoleh kondisi oksigen yang mencapai titik jenuh pada lapisan permukaan dengan nilai saturasi mencapai 102,29%. Dari hasil pengukuran suhu, tidak ditemukan lapisan termoklin pada lokasi pengamatan. Kedalaman zona eufotik pada perairan ini mencapai 4,83 m. Berdasarkan uji statistik melalui Rancangan Acak Lengkap disimpulkan pula bahwa seluruh perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap ketersediaan oksigen terlarut, suhu, pH, amonia bebas dan hidrogen sulfida.

Berdasarkan hasil pencampuran massa air, disimpulkan bahwa terdapat variasi ketersediaan oksigen terlarut dari berbagai pencampuran massa air (meromictic dan holomictic) di perairan KJA di Waduk Ir. H. Juanda. Pada perlakuan 1 yang dianggap sebagai meromictic hingga 8 meter, diperoleh niai DO yaitu 3,81–

4,24 mg/l dengan rata-rata 4,03 mg/l. Perlakuan 2 sebagai meromictic hingga 14 meter memiliki nilai DO 2,54–2,97 mg/l dengan rata-rata 2,65 mg/l; sedangkan perlakuan 3 yang dianggap sebagai pencampuran air sempurna (holomictic) memiliki nilai DO rata-rata yaitu 1,70-2,12 mg/l dengan rata-rata 2,02 mg/l.

Berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut yang diperoleh disimpulkan bahwa jika terjadi meromictic hingga kedalaman 8 meter maka kegiatan budidaya ikan masih dianggap layak (PP no. 82 tahun 2001 kelas III) dibandingkan dengan meromictic 14 meter dan holomictic. Namun, jika dilihat dari konsentrasi sulfida, semua jenis pencampuran massa air baik meromictic maupun holomictic dapat membahayakan kehidupan ikan budidaya.

Secara umum berdasarkan parameter fisika-kimia, disimpulkan bahwa kejadian holomictic memiliki potensi paling buruk bagi kegiatan perikanan dan berpotensi mencemari perairan sehingga pengelolaan sumberdaya perairan sangat berperan penting bagi pencegahan dampak buruk dari kejadian umbalan di KJA Waduk Ir. H. Juanda.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian dengan topik yang sama pada peralihan musim kemarau ke musim hujan dengan titik pengamatan lebih dari 1 stasiun dan dilaksanakan selama 24 jam sehingga diperoleh keterwakilan yang lebih baik dari efek umbalan di Waduk Ir. H. Juanda.

Secara statistik, disarankan menggunakan uji Rancangan Acak Lengkap dengan Anak Contoh untuk penelitian yang serupa agar contoh yang digunakan dalam pencampuran massa air dari setiap kedalaman dapat diketahui keterwakilannya.

DAFTAR PUSTAKA

[APHA] American Public Health Association. American Water Work Association dan Water Pollution Control Federation. 1998. Standard methods for examination of water and wastewater. 20th ed. American Public Health Association. Washington DC.

Asmawi S. 1983. Pemeliharaan ikan dalam karamba. Gramedia. Jakarta. 82 hlm.

Azwar ZI, Suhenda N, & Praseno O. 2004. Manajemen pakan pada usaha budidaya ikan di karamba jaring apung. Hlm 37-44. In: [PRPB-BRKP-DKP] Pusat Riset Perikanan Budidaya–Badan Riset Kelautan dan Perikanan–Departemen Kelautan dan Perikanan. Pengembangan budidaya perikanan di perairan waduk: suatu upaya pemecahan masalah budidaya ikan dalam keramba jaring apung. Jakarta.

Boer M. 2001. Perancangan percobaan edisi 1. Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perikanan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 52 hlm.

Boyd CE. 1981. Water quality in warm water fish pond. Departement of Fisheries Allied Aquaculture, Agriculture Experimental Station Auburn University.

Auburn. Alabama. 52 p.

[Disper] Dinas Perikanan Kabupaten Purwakarta. 2009. Dinas Perikanan tertibkan KJA Jatiluhur. http://www.pelita.com/harianumum. [30 Juli 2009]

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Umum Budidaya Perikanan. 2002. Panduan teknis pengelolaan perikanan secara bersama di perairan Waduk Djuanda, Cirata, dan Saguling. 54 hlm.

Effendi H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm.

Goldman GR dan Horne AJ. 1983. Limnology. McGraw Hill Book Company.

International Student Edition, Japan. 464 p.

Google Earth. 2009. Waduk Jatiluhur. http://www.googleearth.com. [15 Juli 2009].

Google Map. 2009. Waduk Jatiluhur. http://www.googlemap.com. [15 Juli 2009].

Iskandar dan Suryadi. 2000. Konstruksi keramba jaring apung di Waduk Saguling.

Hlm 153-160. In: Peningkatan kualitas dan pemanfaatan danau dan waduk berkelanjutan dalam menunjang pendapatan asli daerah. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk, 7 November 2000, Bandung. Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran, Bandung.

Jangkaru Z. 2002. Pembesaran ikan air tawar di berbagai lingkungan pemeliharaan.

Penebar Swadaya. Jakarta. 96 hlm.

Jangkaru Z. 2003. Memelihara ikan di kolam tadah hujan. Penebar Swadaya.

Jakarta. 72 hlm.

Krismono. 2000. Perikanan di perairan waduk instalasi penelitian perikanan air tawar, Jatiluhur. Hlm 161-169. In: Peningkatan kualitas dan pemanfaatan danau dan waduk berkelanjutan dalam menunjang pendapatan asli daerah.

Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk, 7 November 2000, Bandung. Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran, Bandung.

Krismono. 2004. Optimalisasi budidaya ikan dalam KJA di perairan waduk sesuai daya dukung. Hlm 75-82. In: [PRPB-BRKP-DKP] Pusat Riset Perikanan Budidaya–Badan Riset Kelautan dan Perikanan–Departemen Kelautan dan Perikanan. Pengembangan budidaya perikanan di perairan waduk: suatu upaya pemecahan masalah budidaya ikan dalam keramba jaring apung.

Jakarta.

Krismono, Sarnita A, & Rukyani A. 1996. 1600 ton ikan mati di Waduk Jatiluhur.

Warta Penelitian Perikanan Indonesia. 1 (1) : 5-7.

Kurniawan. 2009. Kematian ikan di Waduk Jatiluhur berlanjut. perairan Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 7 (2) : 22-30.

Nugroho A. 2009. Pengaruh pencampuran berbagai kolom air terhadap kadar DO (Dissolved Oxygen) di Karamba Jaring Apung (KJA) di Waduk Saguling, Kabupaten Bandung [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Bogor. 58 hlm.

[Pemprov-Jabar] Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2009. http://www.jabar.com.

[15 Juli 2009]

[PP-RI] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Sekretaris Negara Republik Indonesia Jakarta.

Prihadi TH. 2004. Upaya perbaikan lingkungan untuk menunjang kesinambungan budidaya ikan dalam Karamba Jaring Apung (KJA). Hlm 45-56. In: [PRPB-BRKP-DKP] Pusat Riset Perikanan Budidaya–Badan Riset Kelautan dan

Perikanan–Departemen Kelautan dan Perikanan. Pengembangan budidaya perikanan di perairan waduk: suatu upaya pemecahan masalah budidaya ikan dalam keramba jaring apung. Jakarta.

Simarmata AH. 1998. Faktor-faktor yang mempengaruhi peredupan intensitas cahaya matahari pada kolom air di Waduk Ir. H. Juanda [tesis]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 66 hlm.

Simarmata AH. 2007. Kajian keterkaitan antara kemantapan cadangan oksigen dengan beban masukan bahan organik di Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta [disertasi]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 142 hlm.

Sudjana T. 2004. Kebijakan Perum Jasa Tirta II dalam pengelolaan dan pemanfaatan Waduk Ir. H. Juanda untuk perikanan budidaya. Hlm 1-8. In: [PRPB-BRKP-DKP] Pusat Riset Perikanan Budidaya–Badan Riset Kelautan dan Perikanan–Departemen Kelautan dan Perikanan. Pengembangan budidaya perikanan di perairan waduk: suatu upaya pemecahan masalah budidaya ikan dalam keramba jaring apung. Jakarta.

Sukimin S. 1999. Pengelolaan dan pemanfaatan perairan Waduk Ir. H. Juanda untuk perikanan yang berwawasan lingkungan. Hlm 12-22. In: Suwignyo P, Soedharma D, Rahardjo MF, Suhatmansyah, Sujiprihati, Gunawan A, Wirawan B, Sulistiono, Effendi I, Saptono A, Kania A, Arifin MA, Saepudin A, & Amir. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk, 30 November 1999, Bogor. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Susanti D. 2003. Pengaruh pemberian pakan yang berbeda terhadap kualitas air, kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan mas (Cyprinus carpio L) di Keramba Jaring Apung [skripsi]. Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur, Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 35 hlm.

Vitner Y, Sukimin S, & Suryadiputra INN. 1999. Kandungan bahan organik dan kualitas perairan Waduk Ir. H. Juanda (Jatiluhur) Purwakarata, Jawa Barat.

Hlm 28-34. In: Suwignyo P, Soedharma D, Rahardjo MF, Suhatmansyah, Sujiprihati, Gunawan A, Wirawan B, Sulistiono, Effendi I, Saptono A, Kania A, Arifin MA, Saepudin A, & Amir. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk, 30 November 1999, Bogor. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Welch PS. 1952. Limnology 2nd ed. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York, Toronto, London. 538 p.

Widiyastuti E. 2004. Ketersediaan oksigen terlarut selama 24 jam secara vertikal pada lokasi perikanan keramba jaring apung di Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 68 hlm.

Lampiran 1. Perhitungan komposisi pencampuran air

jumlah kedalaman total  volume botol

1. Oksigen terlarut pada perlakuan 1 (pencampuran kedalaman 2 dan 8 m) Kedalaman total untuk perlakuan 1adalah 8 meter, volume botol : 125 ml

• Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 2 meter: 4 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 2 m :   125  62,5 ml

• Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 8 meter: 4 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 8 m :   125  62,5 m 2. Oksigen terlarut pada perlakuan 2 (pencampuran kedalaman 2, 8, dan 12 m)

Kedalaman total untuk perlakuan 2 adalah 14 meter, volume botol : 125 ml

• Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 2 meter: 4 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 2 m : #  125  35,7 ml

• Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 8 meter: 4 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 8 m : #  125  35,7 ml

• Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 12 meter: 6 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 12 m : #&  125  53,6 ml

Lampiran 1 (lanjutan)

3. Oksigen terlarut perlakuan 3 (pencampuran kedalaman 2, 8, 12, dan 49 m) Kedalaman total untuk perlakuan 2 adalah 49 meter, volume botol: 125 ml

• Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 2 meter: 4 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 2 m : '  125  10 ml

• Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 8 meter : 4 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 8 m : '  125  10 ml

• Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 12 meter: 6 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 12 m : '&  125  15 ml

• Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 49 meter: 35 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 49 m : )*'  125  89 ml

4. Amonia pada perlakuan 1 (pencampuran kedalaman 2 dan 8 m)

Kedalaman total untuk perlakuan 1 adalah 8 meter, volume botol : 250 ml

• air yang dicampur dari kedalaman 2 m :   250  125 ml

• air yang dicampur dari kedalaman 8 m -   250  125 ml 5. Amonia pada perlakuan 2 (pencampuran kedalaman 2, 8, dan 12 m)

Kedalaman total untuk perlakuan 2 adalah 14 meter, volume botol : 250 ml

• air yang dicampur dari kedalaman 2 m : #  250  71,4 ml

• air yang dicampur dari kedalaman 8 m -#  250  71,4 ml

• air yang dicampur dari kedalaman 12 m - #&  250  107,1 ml 6. Amonia pada perlakuan 3 (pencampuran kedalaman 2, 8, 12, dan 49 m)

Kedalaman total untuk perlakuan 2 adalah 49 meter, volume botol : 250 ml

• air yang dicampur dari kedalaman 2 m : '  250  20,4 ml

• air yang dicampur dari kedalaman 8 m -'  250  20,4 ml

• air yang dicampur dari kedalaman 12 m -'&  250  30,6 ml

• air yang akan dicampurkan dari kedalaman 49 m - )*'  250  178,6 ml

Lampiran 1 (lanjutan)

7. pH pada perlakuan 1 (pencampuran kedalaman 2 dan 8 m)

Kedalaman total untuk perlakuan 1 adalah 8 meter, volume botol : 100 ml

• air yang dicampur dari kedalaman 2 m :   100  50 ml

• air yang dicampur dari kedalaman 8 m -  100  50 ml 8. pH pada perlakuan 2 (pencampuran kedalaman 2, 8, dan 12 m)

Kedalaman total untuk perlakuan 2 adalah 14 meter, volume botol : 100 ml

• air yang dicampur dari kedalaman 2 m : #  100  28,6 ml

• air yang dicampur dari kedalaman 8 m - #  100  28,6 ml

• air yang dicampur dari kedalaman 12 m - #&  100  42,9 ml 9. pH pada perlakuan 3 (pencampuran kedalaman 2, 8, 12, dan 49 m)

Kedalaman total untuk perlakuan 2 adalah 49 meter, volume botol : 100 ml

• air yang dicampur dari kedalaman 2 m : '  100  8,2 ml

• air yang dicampur dari kedalaman 8 m -'  100  8,2 ml

• air yang dicampur dari kedalaman 12 m -'&  100  12,2 ml

• air yang akan dicampurkan dari kedalaman 49 m -)*'  100  71,4 ml

Lampiran 2. Prosedur pengukuran parameter kualitas air

• Prosedur pengukuran Dissolve Oxygen (DO)

a. Ambil contoh air ke dalam botol BOD sampai penuh dan tutup, hindari adanya gelembung udara

b. Tambahkan sulfamid acid 0,5 ml (10 tetes) ke dalam botol BOD 125 ml c. Tambahkan 1 ml (20 tetes) larutan MnSO4

d. Tambahkan 1 ml (20 tetes) larutan NaOH + KI, kemudian tutup, aduk (bolak-balik) diamkan sampai mengendap

e. Setelah mengendap tambahkan 1 ml (20 tetes) H2SO4 pekat atau sampai endapan larut

f. Pipet 25 ml air contoh dari botol BOD ke dalam erlenmeyer

g. Titrasi dengan Na-Thiosulfat sampai berwarna kuning muda, tambahkan amilum 2-3 tetes. Teruskan sampai tidak berwarna. Catat ml titran yang terpakai

O0 1mg/l3  tiosulfat 1ml3  N tiosulfat  8  1000 vol. sampel 1ml3  botol BOD 1ml3 9 reagent 1ml3botol BOD 1ml3

• Prosedur pengukuran Amonia Bebas (APHA, 1998)

a. Pipet 25 ml contoh air yang sudah disaring ke dalam bleaker glass 100 ml b. Tambahkan 1 ml phenol Solution, aduk

c. Tambahkan 1 ml Sod- Nitroposside

d. Tambahkan 2,5 ml Oxidizing Solution, aduk rata

e. Simpan / biarkan selama 1 jam tutup dengan Alumunium Foil f. Ukur dengan Spektrofotometer pada panjang gelombang ( 640 nm)

Prosedur pengukuran Amonia Bebas

% amonia tak terionisasi 1Amonia bebas3  100

1 < antilog 1pKa 9 pH3

Keterangan :

pKa : konstanta logaritma negatif yang bergantung pada suhu

Lampiran 2 (lanjutan)

Suhu (oC) 20 22 24 25 26 27 pKa 9,4 9,33 9,27 9,24 9,21 9,18 Suhu (oC) 28 29 30 31 32 pKa 9,15 9,12 9,09 9,06 9,03

• Prosedur pengukuran Hidrogen Sulfida (H2S)

a. Ambil contoh air ke dalam botol sampel sampai penuh dan tutup, hindari adanya gelembung udara

b. Tambahkan Zn Acetat 3- 4 tetes / 100 ml c. Ambil air yang berada di atas endapan.

d. Ambil endapan dan masukkan ke tabung erlenmeyer.

e. Masukkan 2 ml HCl 6 N.

f. Titrasi dengan Iodine sampai berwarna coklat g. Tetesi Amilum (2 – 3 tetes) sehingga berwarna biru.

h. Titrasi Tiosulfat sampai berwarna putih jernih i. Hitung dengan persamaan:

H0S ?1ml iodine  N iodine3 9 1ml tiosulfat  N tiosulfat3@  16000 ml sampel

Lampiran 3. Baku mutu berdasarkan PP No. 82 tahun 2001

Kelas I : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang imempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

Kelas II : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

Kelas III : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut;

Kelas IV : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Lampiran 4. Contoh perhitungan Tabel Sidik Ragam RAL untuk parameter DO (mg/l)

Ulangan Perlakuan

1 2 3

1 3,81 2,97 2,12

2 4,24 2,54 2,12

3 4,24 2,54 2,12

4 3,82 2,54 1,70

jumlah 16,11 10,59 8,06

kuadrat 65,06 28,18 16,37

rata-rata 4,0275 2,65 2,02

p (perlakua$n) = 3 n (ulangan) = 4

FK BC#  D …0 = )#  34,76100 = 100,6881

JKP ∑ ICJK 9 LM = #&,##JN #O,*' J N ,O&J

 9 100,6881 = 8,4728 JKT = ∑Y2ij – FK

= 13,810 < 4,240 < 4,240< 3,820< 2,970< … < 1,703 9 100,6881

= 8,9245

JKS = JKT – JKP = 0,4517

dbp = p – 1 = 3 – 1 = 2 KTP = JKP/dbp = 4,2364 dbs = p(n – 1) = 9 KTS = JKS/ dbs = 0,0502 dbt = dbs + dbp = 11 F hitung = KTP/KTS = 84,42

Tabel sidik ragam yang dihasilkan:

SK db JK KT F hit F tabel

Perlakuan 2 8,4728 4,2364 84,42 4,26

Sisa 9 0,4517 0,0502

Total 11 8,9245

Lampiran 5. Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk kelima parameter (DO, suhu, pH, amonia bebas, dan sulfida)

Persyaratan yang diperlukan dalam menerapkan uji BNT adalah hanya dapat digunakan jika F hitung yang diperoleh berdasarkan tabel sidik ragam (TSR nyata (lebih besar dari F tabel). Kriteria uji BNT adalah sebagai berikut:

Untuk perlakuan 1 dan 2 : d1,2 = |y1 rata-rata – y2 reta-rata|| Untuk perlakuan 1 dan 3: d1,3 = |y1 rata-rata – y3 reta-rata|| Untuk perlakuan 2 dan 3: d2,3 = |y2 rata-rata – y3 reta-rata|| BNTα = tα/2(db sisa)P0 QRST

Kaidah keputusan yang harus diambil adalah:

d > BNTα : maka tolak H0

d ≤ BNTα : maka gagal tolak H0

Parameter d1,2 d1,3 d2,3 KTS BNTα

DO 1,3800 2,0100 0,6300 0,0502 0,3584

Suhu 0,6000 1,5000 0,9000 0,1533 0,6263

pH 0,3500 0,6700 0,3200 0,0038 0,0986

Amonia Bebas 0,0043 0,0124 0,0080 2,43 × 10-6 0,0025

Sulfida 0,1939 0,3707 0,1768 0,0047 0,1097

Berdasarkan data diatas ditunjukkan bahwa semua perlakuan dari semua parameter memberi kesimpulan untuk menolak H0 karena nilai dari perbandingan antar perlakuan lebih besar dari BNTα kecuali untuk parameter suhu perlakuan 1 dan 2 yang menunjukkan perbandingan antar perlakuan tersebut lebih kecil daripada BNTα.

Lampiran 6. Data hasil perhitungan parameter yang diamati

1). Analisis persen saturasi oksigen terlarut Kedalaman Suhu (⁰ C) Oksigen tekanan

760 mm Hg

Lampiran 6 (lanjutan)

3). Data pengukuran hidrogen sulfida

N iodine = 0,0273 N N thiosulfat = 0,0245 N

Perlakuan/

ulangan

Volume

sample (ml) ml I x N I ml Thio x

N thio Ni-Nt Sulfida

Total H2S

1/1 1.000 0,0273 0,0147 0,0130 0,2016 0,2142

1/2 1.000 0,1365 0,1176 0,0190 0,3024 0,3213

1/3 1.000 0,1365 0,1201 0,0160 0,2632 0,2797

1/4 1.000 0,1365 0,1127 0,0240 0,3808 0,4046

2/1 1.500 0,1365 0,0956 0,0410 0,4368 0,4641

2/2 1.500 0,1365 0,0882 0,0480 0,5152 0,5474

2/3 1.500 0,1365 0,1005 0,0360 0,3845 0,4086

2/4 1.500 0,1365 0,0858 0,0510 0,5413 0,5752

3/1 2.000 0,1392 0,0564 0,0830 0,6630 0,7045

3/2 2.000 0,1365 0,0605 0,0760 0,6079 0,6459

3/3 2.000 0,1365 0,0625 0,0740 0,5922 0,6292

3/4 2.000 0,1365 0,0515 0,0850 0,6804 0,7229

Lampiran 7. Lokasi pengamatan, botol BOD, dan analisis laboratoriumLokasi pengamatan, botol BOD, dan analisis laboratorium Lokasi pengamatan, botol BOD, dan analisis laboratorium

Dokumen terkait