• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian menggunakan sistem single beam dengan instrumen Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder di perairan Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa nilai SS untuk substrat pasir berkisar antara -18.68 dB hingga -17.39 dB, substrat pasir berlanau antara -23.25 dB hingga -19.32 dB, dan substrat pasir berliat sebesar -19.83 dB. Hasil perhitungan nilai echo level (EL) pada penggunaan source level (SL) sebesar 163 dB menunjukkan bahwa untuk substrat pasir berkisar antara 131.4 dB hingga 138.2 dB, substrat pasir berlanau antara 133.5 dB hingga 135.4 dB, dan substrat pasir berliat sebesar 136.5 dB.

Karakteristik fisik sedimen dasar perairan yang terukur seperti tekstur, porositas, dan densitas merupakan faktor yang mempengaruhi besarnya nilai acoustic backscatteringstrength dasar perairan.

Hasil penelitian menggunakan sistem multi beam dengan instrumen Elac Seabeam 1050D MBES di perairan Teluk Buyat menunjukkan bahwa nilai SS dasar perairan untuk substrat pasir lanauan berkisar antara -24.26 dB hingga - 20.56 dB dan substrat lanau pasiran antara -25.12 dB hingga -24.30 dB.

Adanya perbedaan nilai acoustic backscattering strength pada tipe substrat yang sama, yang terletak pada lokasi perairan yang berbeda disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : frekuensi alat yang digunakan, sifat-sifat fisis dasar perairan, komposisi partikel penyusun sedimen dasar perairan, konfigurasi sonar (jarak, beamwidth), kecepatan rambat gelombang akustik dalam kolom air (faktor oseanografis perairan), serta geometri pengukuran.

5.2 Saran

Penelitian ini menggunakan dua sistem instrumen yang berbeda (single beam dan multi beam echo sounder), yang dilakukan pada dua lokasi perairan yang berlainan. Untuk mendapatkan nilai hasil perbandingan yang lebih mendekati kebenaran, disarankan untuk melakukan penelitian pada satu lokasi perairan yang sama, dan dalam waktu yang bersamaan.

Pengambilan data sampling sedimen sebagai ground truth perlu diperbanyak, yang bisa mewakili seluruh area penelitian, baik pada penggunaan

sistem single beam maupun multi beam. Sehingga klasifikasi sedimen yang dilakukan pada area penelitian berdasarkan nilai-nilai acoustic backscattering strength dapat lebih obyektif.

DAFTAR PUSTAKA

Abdi H, Williams LJ. 2010. Principal Component Analysis. Wiley Interdisciplinary Reviews : Computational Statistics, 2.

Allo OAT. 2011. Kuantifikasi dan karakterisasi acoustic backscattering dasar perairan di Kepulauan Seribu – Jakarta [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Anderson JT, Holliday DV, Kloser R, Reid DG, Simard Y. 2008. Acoustic seabed classification: current practice and future directions. ICES Journal of Marine Science, 65: 1004–1011.

Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

[BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2010. Pengkajian, Penerapan, dan Pelayanan Jasa Teknologi Survei Kelautan. Laporan 2010. Volume 3. Jakarta: Balai Teknologi Survei Kelautan, BPPT.

Burczynski J. 2002. Bottom Classification. USA. BioSonics, Inc.

Chanchal D, Chakraborty B. 2011. Model-Based Acoustic Remote Sensing of Seafloor Characteristics. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, Vol. 49, No. 10 hlm 3868 – 3877.

Collins WT, Lacroix P. 1997. Operational Philosophy of Acoustic Waveform Data Processing for Seabed Classification. Singapore. COSU ’97. Oceanology International ’97.

Diaz JVM. 2000. Analysis of Multibeam Sonar Data for the Characterization of

Seafloor Habitats [Thesis]. The University of New Brunswick.

Etter PC. 1996. Underwater Acoustic Modeling-Principles, techniques and applications Second edition. E & FN SPON, London. Chapman & Hall. Harahap ZA. 2010. Kuantifikasi hambur balik akustik dasar laut menggunakan

instrumen multi beam echosounder [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hoffman JC, Burczynski J, Sabol B, Heilman M. 2002. Digital Acoustic System for Ecosystem Monitoring and Mapping: Assessment of Fish, Plankton, Submersed Aquatic Vegetation, and Bottom Substrata Classification. The BioSonics Newsletter, Volume 12, Issue 2.

IHO. 2008. Standards for Hydrographic Surveys. International Hydrographic Bureau. Monaco.

Ilahude D. 2009. Studi perubahan morfologi dasar laut pada kegiatan penempatan tailing bawah laut Teluk Buyat Sulawesi Utara. PPPGL Bandung.

Jackson DR, Richardson MD. 2007. High Frequency Seafloor Acoustic. Springer Science Business Media. New York. 616 hlm.

Kagesten G. 2008. Geological Seafloor Mapping with Backscatter Data from A Multibeam Echo sounder [Tesis]. Uppsala : Uppsala University.

Kenny AJ, Andrulewicz E, Bokuniewicz H, Boyd E. 2000. An overview of seabed mapping technologies in the context of marine habitat classification. ICES : Theme session on classification and mapping of marine habitats.

Kim GY, Richardson MD, Bibee DL, Kim DC, Wilkens RH, Shin SR, Song ST. 2004. Sediment types determination using acoustic techniques in the Northeastern Gulf of Mexico. Geosciences Journal, 8:95-103.

L-3 Communications SeaBeam Instruments. 2000. Multibeam Sonar Theory of Operation.

L-3 Communications Elac Nautic Gmbh. Seabeam 1050D-Multibeam Sonar. L-3 Communications Elac Nautic. 2006. Maintenance Manual for SEABEAM

1000 Series. Technical Manual. TH 58 655 8003 E. Kiel Germany.

Lurton X. 2002. An Introduction to Underwater Acoustics. Chichester, UK. Praxis Publishing.

MacLennan DN, Simmonds E J. 2005. Fisheries Acoustics. United Kingdom. Blackwell Science.

Manik HM. 2006. Pengukuran akustik Scattering Strength Dasar Laut dan Identifikasi Habitat Ikan dengan Echosounder. Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK-IPB. Bogor.

Manik HM. 2011. Underwater Acoustic Detection and Signal Processing Near the Seabed. Di dalam: Kolev N, editor. Sonar Systems. Ed ke-1. Croatia: Intechweb. hlm 255 – 274.

Manik HM. 2012. Seabed Identification and Characterization Using Sonar. Advances in Acoustics and Vibration. Volume 2012. Article ID 532458. doi: 10.1155/2012/532458.

Medwin H, Clay CS. 1998. Fundamentals of Acoustical Oceanography. London.Academic Press Limited.

Penrose JD, Siwabessy PJW, Gavrilov A, Parnum I, Hamilton LJ. 2005. Acoustic Techniques for Seabed Classification. Cooperative Research Centre for Coastal Zone Estuary and Waterway Management. Technical Report 32. Pujiyati S, Hartati S, Priyono P. 2010. Efek ukuran butiran, kekasaran, dan

kekerasan dasar perairan terhadap nilai hambur balik hasil deteksi hydroakustik. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 2:59-67. Schmidt V, Chayes D, Caress D. 2004. The MB-System Cookbook. Columbia

University.

Shepard FP. 1954. Nomenclature based on sand-silt-clay ratios: Journal of Sedimentary Petrology, v. 24, p. 151-158.

Siemes K, Snellen M, Simons DG, Herman JP. 2009. Using MBES backscatter strength measurements for assessing a shallow water soft sediment environment. IEEE : 4244-2523.

Simons DG, Snellen M. 2009. Seafloor mapping. Lecture notes. Delft University of Technology.

Siwabessy J, Penrose J, Kloser R, Fox D. 1999. Seabed habitat classification. Sydney, Australia. Shallow Survey '99 - International Conference on High Resolution Surveys in Shallow Water.

Thurman HV. 1993. Essentials of Oceanography, Fourth Edition, New York. Macmillan Publishing Company. hlm 84 – 103.

Urick RJ. 1983. Principles of Underwater Sound, 3rded. New York. Mc-Graw- Hill.

Waite AD. 2002. Sonar for Practising Engineers. Third Edition, Chichester , West Sussex, England. John Wiley & Sons Ltd.

Watt JV, Eng P. 1999. Seabed Classification – A New Layer for the Marine GIS. Canada. Quester Tangent Corporation.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Kapal nelayan yang digunakan untuk pengambilan data akustik pada sistem single beam

Lampiran 3 Alat pengukur parameter fisik sedimen di Laboratorium Fisika Tanah Balai Penelitian Tanah, Bogor

Shaker (ASTM E-11, USA standart)

Oven pengering Timbangan

Lampiran 4 Foto tipe substrat dasar perairan di lokasi penelitian Kepulauan Seribu

Substrat pasir

Substrat pasir berlanau

Lampiran 5 Listing program Matlab untuk menampilkan echogram, acoustic backscattering strength, dan echo level

%% PROGRAM MATLAB %%

% PENGOLAHAN DATA AKUSTIK CRUZPRO FISHFINDER % % FPIK ITK IPB 2012 %

%% Rumusan Dasar %% % EL=SL-2TL+TS+2DI % EL= SL-2*(20LOG10(RR)-2(alp)(RR))+TS+2DI % SL=10*log10(p) % p=((rho*C*Pa*Sig*DI)/4*phi)) % Pe=v^2/R % k = 2*phi*F/C % V = phi*(r^2)*t %% Memasukan variabel %% % a= 0.045; % Pa = 53.9; %v = 12; %R = v/15; % hambatan %r = 0.5; %t = 1; %phi=3.14;

%Sound Speed formula% % C=1404.3+4.7T-0.04T^2

%% Memasukan variabel %%

C=1546.8; % Kec. Suara dlm air laut Formula Medwin F=200000; % Frekwensi Transducer Cruzpro 200 khz a=0.045; % Diameter Lingkaran Transducer

phi=3.14;

ld= C/F; % Lamda, panjang gelombang suara t=0.004; % Tau (Pulse Length)

r=r; % Jarak target dari permukaan transducer pada tiap sta.(m) %rho=1000; %Vreff=6.5043e-004; % beamwidth beamwidth=20*log10(ld/2*phi*a)+7.7;%Urick,1983 hal.243 %% Perhitungan Variabel %% %k =2*phi*F/C ; %DI=(k*a)^2; %Pe=v^2/R; %Sig=(Pa/Pe)*0.01; %p=(((rho*C*Pa*Sig*DI)/4*phi)^0.5); %% Perhitungan Variabel Akustik %% %Kecepatan suara medwin

%% Parameter Instrumen %%

%---% AG0=-53.78; % amplifier gain

SL=163; % Source Level 200 kHz RS2=-173; % Receiving sensitivity 50 kHz %AGTR=10^(AG0/10); %RSTR=10^(RS/10); %KTRlin=AGTR*RSTR; %KTR=20*log10(KTRlin);

alpha=0.06971; % koef absorpsi untuk 200 kHz [Formula Schulkin dan Marsh, Urick hal.105]

TL=20*log10(r)+alpha*r;

% count=12; % contoh count

makscount=255; % 8 bit

% VR=20*log10((count)/makscount));

jumrec=1; % jumlah receiver

AVG=20*log10(jumrec); % array voltage gain

%% Perhitungan Parameter Akustik %%

%% load data melalui workspace %%

%% Surface Backscattering Strength (SS) %%

xx=sbst10x28I204141546i0x290x2810x2E780x29; %% inisialisasi data

ke variabel aa=xx(1:size(xx,1),18:size(xx,2)); aaa=rot90(aa); VR=20*(log10((aaa)/makscount)); SS=-RS-SL+2*TL+VR-AVG+AG0;

%% Reverberation Level RL (Urick 1983) %%

RL=SL-2*TL+SS+10*log10(beamwidth)+10*log10(C*t/2)+10*log10(r); %% Volume Backscattering Strength (SV) %%

% SV=10*log10(dens)+TS

%SV=RL-SL+2*TL-10*log10(beamwidth)-10*log10(C*t/2)-10*log10(r^2); %% SV,Furusawa %%

%SV=VR+20*log10(r)+2*r*(alpha/1000)-65-10*log10(C*t/2)+19.1; SV=RL-SL+2*TL-10*log10(beamwidth)-10*log10(C*t/2)-10*log10(r^2); %% Rata-rata Surface Backscattering Strength (SSr)%%

NN=size(aa,2); NNN=NN-11; ff=aa(:,1:NNN); hh=mean(ff); VR1=20*(log10((hh)/makscount)); SSr=-RS-SL+2*TL+VR1-AVG+AG0; %% Rata-rata RL %% RLr=SL-2*TL+SSr+10*log10(beamwidth)+10*log10(C*t/2)+10*log10(r);

%% Rata-rata Volume Backscattering Strength (SVr) %%

% SVr=RLr-SL+2*TL-10*log10(beamwidth)-10*log10(C*t/2)- 10*log10(r^2); SVr=SSr-10*log10(C*tau/2) %% Echo Level %% EL=SL-2*TL+SS; ELr=SL-2*TL+SSr; %EL=SL-30*log10(r)-2*alpha*r+10*log10(phi*C*t)+SS;

%% Rata rata Echo Level (ELr) %% %ELr=SL-30*log10(r)-2*alpha*r+10*log10(phi*C*t)+SSr; %% Matrik Kedalaman %% lamda=3*(C/F); range=([1:size(aaa,1)]); N=length(range); dpt=(0:lamda:length(aaa))'; Y=dpt(1:N); YX=Y+1; YY=sort(YX,1,'descend'); X=[1:1:length(aaa)]; XX=[1:1:length(ff)]; N1=length(hh); dpt1=(0:lamda:length(hh))'; Y1=dpt1(1:N1); YX1=Y1+1; YY1=sort(YX1,1,'ascend'); X1=[1:1:length(hh)]; time=X(1:1:length(hh)); %% Figure 1 %%

figure('Name','Time Series of Surface Scattering Strength','NumberTitle','on')

imagesc(X,YY,SS);

colorbar('location','EastOutside')

Title ('Grafik Time Series of Surface Backscattering Strength ( SS(dB) ) Stasion 1 ')

ylabel('Depth (m)') xlabel('Time (s)')

%% Figure 2 %%

figure('Name','Time Series of Volume Scattering Strength','NumberTitle','on')

imagesc(X,YY,SV);

colorbar('location','EastOutside')

Title ('Grafik Time Series of Volume Backscattering Strength ( SV(dB))

Stasion 1 ')

ylabel('Depth (m)') xlabel('Time (s)')

%% figure 3 %%

figure('Name','Intensitas Acoustic Backscattering Strength Vs Depth')

plot(YY1,SSr,'-r',YY1,SVr,'-') h = legend('SSr','SVr',2); set(h,'Interpreter','none')

Title ('Substrat Sta 1')

ylabel('Intensitas Acoustic Backscattering Strength (dB)') xlabel('Depth (m)')

grid on

%% figure 4 %%

figure('Name','Echo Level(dB)Vs Time') plot(time,ELr,'-')

Title ('Substrat Sta1') ylabel('Echo Level(dB)') xlabel('Time (s)')

grid on

Lampiran 6 Tampilan echogramvolume backscattering strength (lanjutan)

Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 8

Lampiran 7 Tampilan echogramsurface backscattering strength (lanjutan)

Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 8

Lampiran 8 Tampilan grafik echo level (lanjutan) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 115 120 125 130 135 140 E c ho Lev el (dB ) Time (s) 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 115 120 125 130 135 140 E c ho Lev el (dB ) Time (s) 5 10 15 20 25 115 120 125 130 135 140 E cho Lev el (dB ) Time (s) 5 10 15 20 25 115 120 125 130 135 140 E c ho Lev el (dB ) Time (s)

Lampiran 8 (lanjutan) Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 5 10 15 20 25 115 120 125 130 135 140 E c ho Lev el (dB ) Time (s) 5 10 15 20 115 120 125 130 135 140 E c ho Lev el (dB ) Time (s) 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 115 120 125 130 135 140 E c ho Lev el (dB ) Time (s)

Lampiran 9 Tampilan pola SV dan SS pada stasiun pengamatan(lanjutan) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 8 Stasiun 9 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2 -40 -35 -30 -25 -20 -15 Depth (m) A cous tic B ac ks cat ter ing S trengt h ( dB ) SSr SVr 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2 -40 -35 -30 -25 -20 -15 Depth (m) A cous tic B ac ks cat ter ing S tr engt h ( dB ) SSr SVr 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2 -45 -40 -35 -30 -25 -20 -15 Depth (m) A cous tic B ac ks cat ter ing S tr engt h ( dB ) SSr SVr 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2 -45 -40 -35 -30 -25 -20 -15 Depth (m) A c ous ti c B ac k s c at ter ing S tr engt h ( dB ) SSr SVr

Lampiran 10 Cluster data parameter sedimen

Cluster Analysis of Observations: Pasir; Lumpur; Liat; Densitas; Porositas;

Pearson Distance, Average Linkage Amalgamation Steps

Number Number of obs. of Similarity Distance Clusters New in new Step clusters level level joined cluster cluster 1 8 91,7826 0,54544 1 2 1 2 2 7 87,4424 0,83353 7 9 7 2 3 6 83,6024 1,08842 1 7 1 4 4 5 81,3915 1,23516 3 4 3 2 5 4 65,9884 2,25757 1 6 1 5 6 3 52,7363 3,13720 1 3 1 7 7 2 40,1782 3,97076 5 8 5 2 8 1 24,5936 5,00521 1 5 1 9 Final Partition Number of clusters: 1

Within Average Maximum cluster distance distance Number of sum of from from observations squares centroid centroid Cluster1 9 2600,98 13,5540 34,6198

Lampiran 11 Cluster data parameter akustik Cluster Analysis of Observations: SV; SS; EL

Manhattan Distance, Average Linkage Amalgamation Steps

Number Number of obs. of Similarity Distance Clusters New in new Step clusters level level joined cluster cluster 1 8 88.3671 1.6100 7 9 7 2 2 7 86.1272 1.9200 4 5 4 2 3 6 81.3584 2.5800 1 2 1 2 4 5 77.9624 3.0500 3 4 3 3 5 4 69.2919 4.2500 1 6 1 3 6 3 63.4995 5.0517 3 7 3 5 7 2 60.3902 5.4820 1 3 1 8 8 1 19.2106 11.1813 1 8 1 9 Final Partition Number of clusters: 1

Within Average Maximum cluster distance distance Number of sum of from from observations squares centroid centroid Cluster1 9 84.8357 2.69497 5.84438

Lampiran 13 Profil KR Baruna Jaya IV Sumber : BPPT 2010 Spesifikasi Keterangan Nama Nama panggilan Tahun pembuatan Galangan pembuatan Pemilik Mesin utama Dimensi kapal Draft kapal Berat Kecepatan Jangkauan

Kapasitas bahan bakar Air tawar Peralatan penelitian Baruna Jaya IV P L I Q 1995 CMN – Cherbourg – France BPPT

2 x 1100 PS Niigata Pielstick 5 PA5L 60.4 x 12.1 x 4.5 m 4.15 m 1219 T 10 – 12 knots 7500 nm 190.000 liter 90.000 liter

Baruna Jaya IV didesain utama untuk survei perikanan dan oseanografi, dilengkapi dengan peralatan : Fish Finder, Squid Jigger, Bottom and Midwater Trawl Longline, Gill Net Fish Processing, ADCP RDI Broadband 350 kHz, CTD Seabird SBE-911, Water Sampler, Current Meter, Sediment Sampler.

Peralatan survei multi beam : Elac Seabeam 1050D MBES.

BAMBANG SUPARTONO. Measurement of Acoustic Backscattering Strength of Sea-Bottom with Single and Multi Beam Echosounder. Under direction of HENRY M. MANIK and IMAM MUDITA.

Underwater acoustic instruments has been an indispensable tool to study the ocean. Application of acoustic such as sonar technologies to bottom acoustics study has made significant advances over recent decades. The sonar systems evolved from single beam systems to more sophisticated digital ones like multi beam echo sounder. In this paper, both systems of single beam echo sounder (SBES) and multi beam echo sounder (MBES) were applied to detect and measure acoustic backscattering strength of sea-bottom. Sampling sediment was taken for ground truth data using bottom sampler. For SBES, data collection was carried out in Seribu Islands, Jakarta. Data were collected using CruzPro PcFF80 FishFinder with operating frequency 200 kHz. The algorithm to compute underwater signal using this instrument had been developed by Manik (2011). For MBES, data collection was carried out in Buyat Bay, North Sulawesi Province. Data were collected using Elac Seabeam 1050D MBES with operating frequency 180 kHz and processed with MBSystem version 5 software. For SBES, the results showed the value of surface backscattering strength (SS) for sand varied from -18.68 dB to -17.39 dB, silty sand -23.25 dB to -19.32 dB, and clayey sand was -19.83 dB. The echo level (EL) for sand varied from 131.4 dB to 138.2 dB, silty sand 133.5 dB to 135.4 dB, and for clayey sand was 136.5 dB (using source level (SL) 163 dB). For MBES, the SS for silty sand varied from -24.26 dB to -20.56 dB, and sandy silt -25.12 dB to -24.30 dB.

Key words: acoustic backscattering strength, ground truth, multi beam echo sounder, single beam echo sounder, sonar

Perairan Dengan Instrumen Single dan Multi Beam Echosounder. Dibimbing oleh HENRY M. MANIK dan IMAM MUDITA.

Dasar perairan mengandung informasi mengenai berbagai hal yang saling terkait antara abiotik dan biotik yang ada. Sifat-sifat dasar perairan seperti relief dan komposisi material penyusunnya merupakan variabel fisis yang penting dalam pembentukan distribusi habitat-habitat dasar perairan. Pengetahuan akan habitat dasar perairan bersama dengan habitat laut dan lingkungan pesisir bermanfaat untuk membuat perencanaan manajemen yang berkelanjutan bagi perikanan dan untuk kepentingan perlindungan ekosistem laut.

Untuk mendeskripsikan habitat dasar perairan digunakan teknik hidro akustik. Sistem akustik untuk klasifikasi sedimen dasar perairan secara tidak langsung mampu memperkirakan jenis-jenis sedimen penyusunnya.

Klasifikasi sedimen dasar perairan dapat dilakukan berdasarkan nilai acoustic backscattering strength nya. Pengukuran acoustic backscattering strength (backscatter) dasar perairan dapat dilakukan menggunakan instrumen single beam maupun multi beam echo sounder. Pada sistem single beam, setiap pemancaran pulsa akustik (satu ping) akan dihasilkan sebuah footprint beam akustik pada posisi tepat di bawah badan kapal. Acoustic backscattering strength yang berasal dari beam akustik ini mengandung sejumlah informasi yang berkaitan dengan karakteristik permukaan dasar laut, seperti kekerasan maupun kekasaran. Pada sistem multi beam, setiap pemancaran pulsa akustik (satu ping) akan dihasilkan banyak footprint beam akustik pada posisi melintang di bawah badan kapal. Tiap beam akustik mengandung informasi tentang amplitudo pulsa suara yang dipantulkan oleh dasar laut.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan pengukuran acostic backscattering strength dasar perairan menggunakan dua sistem instrumen yang berbeda yaitu sistem single beam dan multi beam. Untuk sistem single beam, pengambilan data akustik berlokasi di perairan Kepulauan Seribu, menggunakan Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder yang bekerja pada frekuensi 200 kHz, transmitted power 80 watt (adjustable), pulse duration 4 ms, serta kecepatan rambat suara dalam medium air laut sebesar 1546.8 m/dtk. Pengambilan sampel sedimen sebagai ground truth data, dilakukan menggunakan pipa paralon 3 inch. Ketebalan lapisan sedimen yang diambil sebesar 10 cm. Analisa terhadap sampel sedimen dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah, Balai Penelitian Tanah – Bogor menggunakan metode ayakan bertingkat dan pemipetan. Untuk sistem multi beam, pengambilan data akustik berlokasi di perairan Teluk Buyat, menggunakan Elac Seabeam 1050D MBES yang bekerja pada frekuensi 180 kHz, lebar swath 153°, jumlah beam yang dihasilkan sebanyak 126 beam, transmitted power 500 watt, transmitted pulse length 0.15 ms. Data sampling sedimen yang digunakan berasal dari survei P3GL.

Pengolahan data akustik single beam menggunakan perangkat lunak Matlab V.7.0.1. Untuk mendapatkan nilai acostic bottom backscattering dasar perairan yang meliputi volume backscattering strength (SV), surface

HIPS & SIPS 6.1 untuk mendapatkan nilai batimetrinya. Untuk memperoleh nilai acostic backscattering strength dasar perairan (dalam hal ini amplitudo) digunakan perangkat lunak MBSystem V.5. Selanjutnya dilakukan konversi dari amplitudo (mV) menjadi backscatter (dB).

Hasil analisis sedimen menunjukkan bahwa di lokasi penelitian Kepulauan Seribu ditemukan tiga tipe substrat, yaitu pasir, pasir berlanau, dan pasir berliat. Karakteristik fisik sedimen dasar perairan yang terukur seperti tekstur, porositas, dan densitas merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya nilai acoustic backscattering strength dasar perairan. Hasil penelitian menggunakan sistem single beam dengan instrumen Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder di perairan Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa nilai SS dasar perairan untuk substrat pasir berkisar antara -18.68 dB hingga -17.39 dB, substrat pasir berlanau antara -23.25 dB hingga -19.32 dB, dan substrat pasir berliat sebesar -19.83 dB. Hasil perhitungan nilai EL menunjukkan bahwa untuk substrat pasir berkisar antara 131.4 dB hingga 138.2 dB, substrat pasir berlanau antara 133.5 dB hingga 135.4 dB, dan substrat pasir berliat sebesar 136.5 dB (nilai SL pada frekuensi 200 kHz sebesar 163 dB).

Berdasarkan data sampling sedimen dari P3GL, di perairan Teluk Buyat yang menjadi area kajian, ditemukan dua tipe substrat, yaitu pasir lanauan dan lanau pasiran. Hasil penelitian menggunakan sistem multi beam dengan instrumen Elac Seabeam 1050D MBES di perairan Teluk Buyat menunjukkan bahwa nilai SS dasar perairan untuk substrat pasir lanauan berkisar antara -24.26 dB hingga - 20.56 dB dan substrat lanau pasiran antara -25.12 dB hingga -24.30 dB.

Adanya perbedaan nilai acoustic backscattering strength pada tipe substrat yang sama, yang terletak pada lokasi perairan yang berbeda disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : frekuensi alat yang digunakan, sifat-sifat fisis dasar perairan, komposisi partikel penyusun sedimen dasar perairan, konfigurasi sonar (jarak, beamwidth), kecepatan rambat gelombang akustik dalam kolom air (faktor oseanografis perairan), serta geometri pengukuran.

Kata kunci : acoustic backscattering strength, dasar perairan, footprint, multi beam, klasifikasi sedimen, sampling, single beam

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lautan beserta seluruh unsur yang terkandung di bawahnya merupakan tempat di planet bumi yang masih menimbulkan rasa keingintahuan bagi umat manusia. Seiring dengan perkembangan teknologi, maka berbagai teknologi eksplorasi lautan juga semakin maju. Lautan merupakan subyek bagi kepentingan komersial yang sangat kuat, seperti industri perikanan, industri minyak dan gas bumi, pertambangan dan lain-lain. Perkembangan yang sangat cepat, memunculkan permintaan akan teknologi pemetaan lautan, bukan hanya untuk eksploitasi lautan itu sendiri namun juga untuk kepentingan perlindungan ekosistem laut serta untuk membuat perencanaan manajemen yang berkelanjutan bagi perikanan. Dengan menggunakan berbagai sistem hidroakustik, maka dasar laut dapat dipetakan dengan resolusi yang sangat tinggi.

Dasar perairan merupakan area yang menakjubkan untuk diamati karena begitu unik dengan gambaran relief dasar laut, juga memberikan informasi mengenai berbagai hal yang saling berkait antara abiotik dan biotik yang ada (Pujiyati et al. 2010). Sifat-sifat dasar laut seperti relief dan komposisi material penyusunnya merupakan variabel fisis yang penting dalam pembentukan distribusi habitat-habitat dasar laut (Diaz, 2000).

Penelitian mengenai klasifikasi dasar laut dengan menggunakan teknik hidroakustik telah banyak dilakukan. Siwabessy et al. (1999) menggunakan teknik hidroakustik untuk mengklasifikasi dasar laut di Barat laut perairan Australia bagian Barat. Kim et al. (2004) menggunakan teknik hidroakustik untuk menentukan tipe-tipe sedimen di perairan Teluk Mexico bagian Timur laut. Manik et al. (2006) dan Manik (2011) menggunakan qantitative echosounder dan menerapkan model ring surface scattering (RSS) untuk mengkuantifikasi backscattering strength (SS) berbagai substrat dasar laut di perairan Selatan Jawa. Pujiyati et al. (2010) menggunakan split beam Simrad EY 60 scientific echosounder pada frekuensi 120 kHz untuk meneliti hubungan antara ukuran butiran, kekasaran dan kekerasan dengan nilai hambur balik dasar laut di perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu. Allo (2011) menggunakan split beam Simrad EY 60

scientific echosounder pada frekuensi 120 kHz untuk kuantifikasi dan karakterisasi dasar laut di perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu.

1.2 Perumusan Masalah

Gelombang elektromagnetik tidak mampu menembus permukaan air laut lebih dari beberapa meter di bawahnya, apalagi bila medium air laut mengandung material-material padat tersuspensi atau biota seperti plankton. Pada sisi lain gelombang suara mampu menempuh jarak yang lebih jauh dalam medium air. Kelebihan ini dimanfaatkan oleh instrumen akustik yang memancarkan dan menerima kembali gelombang akustik untuk mendeteksi ikan maupun obyek lain di dasar laut. Sebagai konsekuensinya, teknologi akustik telah berdampak luas pada bidang perikanan. Dewasa ini, riset-riset dibidang perikanan telah semakin canggih dan bermanfaat (MacLennan & Simmonds 2005).

Sistem akustik untuk klasifikasi sedimen dasar laut yang secara tidak

Dokumen terkait