• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II

PENGATURAN MENGENAI MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN

Peraturan tertulis maupun tidak tertulis, dilihat dari bidang pengaturannya, dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:25

1. Peraturan Non Hukum (kumpulan kaidah atau norma non hukum) 2. Peraturan Hukum (kumpulam kaidah atau norma hukum)

Oleh karena itu penulis juga akan membahas pengaturan mengenai malpraktek yang dilakukan oleh bidan ini dalam dua bagian, yaitu peraturan non hukum dan peraturan hukum.

Norma hukum merupakan peraturan yang dibuat secara resmi oleh negara yang mengikat semua orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat negara sehingga kaidah hukum dapat selalu dipertahankan berlakunya.26

Setiap profesi selalu mempunyai kode etik yang bertujuan sebagai pedoman didalam menjalankan hak dan kewajibannya. Di dunia profesi A. Peraturan Non Hukum

Peraturan non hukum yang mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, antara lain adalah peraturan tentang sopan santun yang isinya kaidah sopan santun, peraturan tentang moral yang berisi kaidah-kaidah moral. Yang salah satunya adalah peraturan tentang tingkah laku, yaitu yang dikenal dengan peraturan etika yang berisi kaidah-kaidah etika.

kebidanan, peraturan non hukum yang mengatur etika profesi bidan adalah kode etik bidan.

Kode etik suatu profesi adalah berupa norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi yang bersangkutan di dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi anggota profesi tentang bagaimana mereka harus menjalankan profesinya dan larangan-larangan yaitu ketentuan-ketentuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh anggota profesi, tidak saja dalam menjalankan tugas profesinya, melainkan juga menyangkut tingkah laku pada umumnya dalam pergaulan sehari-hari didalam masyarakat.

Kode etik kebidanan merupakan suatu pernyataan komprehensif profesi yang memberikan tuntunan bagi bidan untuk melaksanakan praktek kebidanan baik yang berhubungan dengan kesejahteraan keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya.27

Kode etik bidan Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1986 dan disahkan dalam Kongres Nasional Ikatan Bidan Indonesia X tahun 1988, sedangkan petunjuk pelaksanaannya disahkan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IBI tahun 1991, kemudian disempurnakan dan disahkan pada Kongres Nasional IBI ke XII tahun 1998.

Secara umum kode etik bidan berisi 7 bab. Ketujuh bab ini dapat dibedakan atas tujuh bagian yaitu :

a. Kewajiban Bidan terhadap klien dan masyarakat (6 butir) b. Kewajiban Bidan terhadap tugasnya (3 butir)

c. Kewajiban Bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya (2 butir) d. Kewajiban Bidan terhadap profesinya (3 butir)

e. Kewajiban Bidan terhadap diri sendiri (2 butir)

f. Kewajiban Bidan terhadap pemerintah, nusa bangsa dan tanah air (2 butir) g. Penutup (1 butir)

Pelanggaran terhadap kode etik bidan inilah yang disebut sebagai malpraktek etik. Misalnya dalam melakukan prakteknya bidan membeda-bedakan setiap pasien berdasarkan pangkat, kedudukan,golongan, bangsa atau agama. Hal ini melanggar salah satu kode etik bidan pada Bab I tentang kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat, yaitu pada butir (1) yang berbunyi: “setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya”. Sedangkan dalam sumpah jabatannya bidan tersebut telah bersumpah bahwa dalam melaksanakan tugas atas dasar kemanusiaan tidak akan membedakan pangkat, kedudukan, keturunan, golongan, bangsa dan agama.

Salah satu keputusan Kongres Nasional IBI ke XII di Propinsi Bali pada tanggal 24 September 1998 adalah kesepakatan agar dalam lingkungan kepengurusan organisasi IBI perlu dibentuk:28

1. Majelis Pertimbangan Etik Bidan (MPEB) 2. Majelis Pembelaan Anggota (MPA)

Keberadaan MPEB bertujuan untuk:29

1. Meningkatkan citra IBI dalam meningkatkan mutu pelayangan yang diberikan bidan.

2. Terbentuknya lembaga yang akan menilai ada atau tidaknya pelanggaran terhadap Kode Etik Bidan Indonesia.

3. Meningkatkan kepercayaan diri anggota IBI.

4. Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bidan dalam memberikan pelayangan.

Peran MPEB ini sangat penting karena lembaga inilah yang menentukan atau menilai ada atau tidaknya pelanggaran terhadap Kode Etik Bidan Indonesia. Peran MPEB hampir sama dengan peran Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) bagi profesi dokter.

Pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik bidan ini dilakukan oleh wadah organisasi profesi bidan di Indonesia yaitu IBI. Pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik dapat berupa teguran baik secara lisan maupun tulisan ataupun dengan tidak memberikan rekomendasi yang diperlukan oleh bidan untuk mendapatkan izin praktek.

B. Peraturan Hukum

Tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara langsung menggunakan istilah malpraktek. Begitu juga dalam hukum kesehatan Indonesia yang berupa UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tidak

menyebutkan secara resmi istilah malpraktek. Tetapi hanya menyebutkan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesi yaitu yang tercantum dalam Pasal 54 dan 55 UU Kesehatan.

Pasal 54:

1) Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.

2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.

3) Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, fungsi dan tata kerja Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan ditetapkan dengan keputusan Presiden.

Pasal 55:

1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.

2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengenai ketentuan pidana yang diatur dalam UU Kesehatan tercantum didalam Bab X yang intinya terdiri dari tindak pidana kejahatan dan pelanggaran. Pasal yang berhubungan dengan wewenang dan tugas bidan adalah Pasal 80 yaitu melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2).

Didalam hukum pidana, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal yang sering digunakan dalam mengajukan tuntutan pidana bagi bidan dan tenaga kesehatan lainnya adalah Pasal 359, Pasal 360 ayat (1) dan (2),

serta Pasal 361. Pasal-Pasal tersebut dipakai apabila dalam menjalankan praktek profesinya, perawatan atau tindakan yang dilakukan oleh bidan terhadap pasiennya mengakibatkan pasien menjadi cacat ataupun meninggal dunia. Selain itu masih beberapa Pasal yang dapat dikaitkan atau yang mungkin dilakukan bidan dalam menjalankan profesinya yaitu menipu pasien (Pasal 378), pengguguran kandungan tanpa indikasi medis (Pasal 349), sengaja membiarkan pasien tak tertolong (Pasal 304), membocorkan rahasia medis (pasal 322) dan lain-lain.

Didalam hukum perdata khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal yang sering digunakan sebagai dasar hukum dari gugatan terhadap bidan ataupun tenaga kesehatan lainnya adalah Pasal 1365 KUHPerdata, yang berbunyi:”tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu”.

Konstruksi hukum dari Pasal 1365 KUHPerdata ini dihubungkan dengan hubungan bidan dengan pasien, menetapkan unsur-umsur dari perbuatan melanggar hukum dengan adanya kelalaian atau kesalahan dari bidan. Perbuatan itu menimbulkan kerugian bagi pasien dan ada hubungan sebab akibat antara kelalaian atau kesalahan dengan kerugian yang diderita pasien.30

Sedangkan didalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pengaturan mengenai malpraktek terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) yang berbunyi: “pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayangan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 22 yang mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian”. Selain itu dalam Pasal 33 PP No.32 Tahun 1996 juga disebutkan bahwa menteri dapat mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan. Dan dalam ayat (2) disebutkan tindakan disiplin dapat berupa teguran atau pencabutan izin untuk melakukan upaya kesehatan. Mengenai ketentuan pidana dalam Peraturan Pemerintah ini tercantum dalam Pasal 34 dan Pasal 35.

Didalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktek Bidan, malpraktek yang dilakukan oleh bidan diatur dalam Pasal 42 dan Pasal 44.

Pasal 42:

Bidan yang dengan sengaja:

a. melakukan praktik kebidanan tanpa mendapat pengakuan atau adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan/atau;

b. melakukan praktik kebidanan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;

c. melakukan praktik kebidanan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2); dipidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Pasal 44:

1) Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam

Keputusan ini dapat dikenakan tindakan disiplin berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin.

2) Pengambilan tindakan disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Malpraktek juga sering disebut sebagai praktek yang tidak sesuai dengan standar profesi. Untuk profesi bidan, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.369/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan yang dapat digunakan sebagai acuan apakah tindakan seorang bidan dalam menangani pasiennya sudah sesuai dengan standar profesi.

Hal ini sangat penting, karena dalam PP No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pada Pasal 21 juga disebutkan bahwa:”setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan”.

Kumpulan peraturan-peraturan hukum inilah yang disebut sebagai hukum kesehatan. Di Indonesia hukum kesehatan adalah bidang hukum yang masih baru. Dengan dikeluarkannya berbagai peraturan yang secara khusus mengatur mengenai kesehatan ini, maka para tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat harus lebih berhati-hati dalam memberikan pelayanan kesehatan yang baik kepada masyarakat. Karena dengan dikeluarkannya berbagai peraturan yang khusus mengatur mengenai kesehatan tersebut, maka tindakan tenaga kesehatan tidak hanya berkaitan dengan etika yang berasal dari profesi saja. Akan tetapi saat ini tindakan tenaga kesehatan memiliki aspek hukum. Hal ini berarti apabila dalam memberikan pelayanan kesehatan atau

dalam rangka menjalankan profesinya sebagai tenaga kesehatan, seorang tenaga kesehatan dapat dijatuhi sanksi oleh pemerintah apabila perbuatannya tersebut melanggar hal-hal yang diatur oleh hukum.

BAB III

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN DAN UPAYA-UPAYA PENCEGAHANNYA

A. Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan

1. Kelalaian (negligence, culpa)

Kelalaian adalah suatu kesalahan yang dilakukan dengan tidak sengaja, atau kurang hati-hati, atau kurang penduga-duga. Akibat yang terjadi karena kelalaian sebenarnya tidak dikehendaki oleh si pembuat.

Didalam KUHP, tindak pidana yang sebabkan oleh kelalaian diatur dalam pasal 359,360 dan 361 KUHP.

Pasal 359:

Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.

Pasal 360:

1) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun.

2) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara

selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4500,-

Pasal 361:

Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatujabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam mana waktu kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkansupaya keputusannya itu diumumkan. Mengenai penyebutan kelalaian dengan “karena kesalahannya”, menurut penulis hal ini kurang tepat, karena dalam hukum pidana, kesalahan (schuld) lebih luas pengertiannya yaitu menyangkut kelalaian (culpa) dan kesengajaan (dolus)

Kelalaian (negligence,culpa) adalah salah satu faktor yang sering dijadikan sebagai penyebab terjadinya malpraktek. Bahkan ada juga yang menyebutkan bahwa kelalaian dan malpraktek adalah istilah yang memiliki maksud yang sama. Hal ini dapat dilihat dari pengertian-pengertian malpraktek yang diberikan oleh beberapa sarjana. Misalnya pengertian yang diberikan oleh Jusuf Hanafiah yang menyebutkan bahwa malpraktek medik adalah kelalaian seorang tenaga kesehatan untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.31

Guwandi menyatakan bahwa malpraktek tidak sama dengan kelalaian.32

31 Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, op.cit , hal 87

Kelalaian termasuk dalam arti malpraktek, tetapi dalam malpraktek tidak selalu terdapat unsur kelalaian. Artinya malpraktek mempunyai pengertian yang lebih

luas daripada kelalaian (negligence). Malpraktek, selain mencakup arti kelalaian, ia juga mencakup tindakan- tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus) dan melanggar Undang-Undang.

Didalam hukum kedokteran, terdapat rumusan tentang kelalaian yang sudah berlaku universal yang dapat dipakai sebagai pedoman, yaitu “kelalaian adalah kekurangan ketelitian yang wajar, tidak melakukan apa yang oleh seorang lain dengan ketelitian serta hati-hati akan melakukannya dengan wajar, atau melakukan apa yang seorang lain dengan ketelitian yang wajar justru tidak akan melakukannya.

Secara sederhana kelalaian dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah ditentukan. Kelalaian itu timbul karena faktor orangnya atau pelakunya.

Kelalaian menurut hukum pidana terbagi menjadi dua macam. Pertama, “kealpaan perbuatan”. Maksudnya ialah apabila hanya melakukan perbuatannya itu sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut. Kedua, “kealpaan akibat. Kealpaan akibat ini baru merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu sendiri sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat atau matinya orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 359,360 dan 361 KUHP. 33

Kealpaan yang disadari terjadi apabila seseorang tidak berbuat sesuatu, padahal dia sadar bahwa akibat perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang dilarang oleh hukum pidana itu pasti timbul. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari ada

33Nasution, Bahder Johan, Hukum Kesehatan Pertanggung Jawaban Dokter, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hal 56

kalau pelaku tidak memikirkan kemungkinan akan adanya suatu akibat atau keadaan tertentu, sedangkan ia sepatutnya telah memikirkan hal itu dan kalau ia memang memikirkan hal itu maka ia tidak akan melakukannya.

Dalam pelayanan kesehatan, kelalaian yang timbul dari tindakan seorang bidan adalah “kelalaian akibat”, misalnya tindakan seorang bidan yang menyebabkan cacat atau matinya orang berada dalam perawatannya, sehingga perbuatan tersebut dapat dicelakan padanya.

Sedangkan menurut ukurannya, kelalaian (culpa) dapat dibagi menjadi:34 1. culpa lata (gross fault/neglect), yang berarti kesalahan besar atau sangat

tidak hati-hati.

2. culpa levis(ordinary fault/neglect), yakni kesalahan biasa.

3. culpa levissima (slight fault/neglect), yang berarti kesalahan sangat ringan

atau kecil.

Ukuran kesalahan dalam pelaksanaan tugas profesi bidan berupa kelalaian dalam hukum pidana adalah kelalaian besar (culpa lata), bukan kelalaian kecil (culpa levis).

Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan,jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “De minimis noncurat lex”, yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.35

34Achadiat, Chrisdiono M, Melindungi Pasien dan Dokter, Jakarta; Widya Medika,1996, hal 28

Jika kelalaian sampai menimbulkan kerugian materi, mencelakakan dan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka kelalaian ini merupakan kelalaian serius dan dapat dikatakan sudah mengarah ke tindak pidana.36

Menurut Yusuf Hanafiah tolak ukur “culpa lata” adalah:37 1. bertentangan dengan hukum

2. akibatnya dapat dibayangkan 3. akibatnya dapat dihindarkan 4. perbuatannya dapat dipersalahkan.

Sedangkan menurut Jonkers kelalaian memiliki tiga unsur, yaitu:38

1. peristiwa itu sebenarnya dapat dibayangkan kemungkinan terjadinya (foreseeabilit, voorzienbaarheid).

2. terjadinya peristiwa itu sebenarnya bisa dicegah (vermijdbaarheid). 3. maka sipelaku dapat dipersalahkan karenanya (verwijtbaarheid).

Salah satu contoh perbuatan malpraktek bidan yang dilakukan karena kelalaian,misalnya pada saat seorang bidan akan memotong tali pusat bayi ternyata perut pasien atau bayinya ikut terluka.

2. Kurangnya Pengetahuan dan Pengalaman

Pasien yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang bidan tentu saja mengharapkan dengan kemampuan dan pengetahuannya di bidang kesehatan , bidan tersebut dapat membantunya untuk memperbaiki kesehatannya. Bagi ibu atau wanita hamil yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang bidan

36 Isfandyarie,Anny, op.cit., hal 110

37 Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, op.cit , hal 88

38 Guwandi,J, Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Produk Medik,Jakarta; FK-UI, 1993, hal 22

tentu saja mengharapkan agar bidan tersebut dapat membantunya melahirkan tanpa ada suatu hal yang tidak diharapkan untuk terjadi yang dapat membahayakan kesehatan dari sang ibu atau bayinya.

Akan tetapi sering terjadi, bahwa dalam perawatan yang diberikan oleh bidan kepada pasiennya, terjadi kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bidan yang membahayakan kesehatan pasien atau mungkin mengakibatkan sang pasien menjadi cacat atau bahkan meninggal dunia.

Hal tersebut kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan dari bidan tersebut. Kesalahan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan bidan tersebut dapat terjadi ketika melakukan diagnosa ataupun mengenai perawatan yang harus diberikan kepada pasien.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesatnya semakin memberikan kemudahan bagi tenaga kesehatan termasuk bidan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Oleh karena itu seorang bidan diharapkan mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.

Didalam Kode Etik Bidan, juga dicantumkan bahwa salah satu kewajiban bidan adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kurangnya pengalaman juga dapat menjadi penyebab terjadinya malpraktek atau praktek yang dibawah standar. Karena dari pengalaman inilah seorang bidan semakin belajar mengenai hal-hal yang berkaitan dengan prfesinya

sebagai bidan. Melalui pengalaman inilah seorang bidan harus dapat menggunakan ilmu yang didapatnya ketika menjalani pendidikan.

3. Faktor Ekonomi

Perkembangan yang terjadi didalam masyarakat yang sangat cepat sangat berpengaruh terhadap pandangan masyarakat mengenai pelbagai segi kehidupan. Segi positif dari perkembangan ini misalnya masyarakat semakin menyadari hak-haknya dan cara berpikir pun menjadi semakin kritis terhadap pelbagai segi kehidupan.

Sedangkan segi negatifnya adalah masyarakat menjadi semakin materialistik, hedonistik dan konsumtif, dimana materi menjadi tolok ukur utama dalam menilai suatu masalah dan hidup menjadi seolah-olah “perlombaan” mencari materi.39

39 Achadiat, Chrisdiono M, op.cit., hal 17

Seorang bidan selain dalam profesinya adalah juga merupakan manusia biasa. Didalam kehidupannya, seorang bidan tentu saja mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Terlebih lagi disaat ini ketika kehidupan ekonomi di Indonesia sedang mengalami masa sulit.

Dengan kondisi seperti itu tidak menutup kemungkinan, bahwa keinginan untuk memenuhi kebutuhan dengan mencari materi, telah menutupi peran yang mulia dari profesi bidan. Yang menjadi fokus dalam pelaksanaan praktek bidan hanyalah imbalan yang akan didapat dari sang pasien. Sehingga pelayanan yang diberikan kepada pasien menjadi tidak maksimal.

Contoh malpraktek bidan yang disebabkan oleh faktor ekonomi, misalnya bidan dengan diberikan imbalan uang tertentu membuka rahasia dari pasiennya kepada orang lain yang tidak berhak untuk mengetahui rahasia tersebut. Padahal seorang bidan dilarang untuk membuka rahasia dari pasiennya kepada orang lain, kecuali jika diminta pengadilan untuk keperluan kesaksian. Hal ini diatur dalam Kode Etik Bidan maupun dalam hukum pidana. Di dalam kode etik bidan hal ini diatur dalam Bab I tentang kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat, yaitu pada butir (1) yang berbunyi: “setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya”. Dalam sumpah jabatannya bidan tersebut telah bersumpah bahwa seorang bidan hanya boleh membuka rahasia pasiennya/kliennya apabila diminta untuk keperluan kesaksian pengadilan. Sedangkan didalam KUHP ketentuan ini diatur dalam pasal 322 KUHP.

Pasal 322 KUHP:

1) Barangsiapa dengan sengaja membuka suatu rahasia,yang menurut jabatannya atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu iadiwajibkan menyimpannya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.9000,-.

2) Jika kejahatan ini dilakukan terhadap seorang yang ditentukan, maka perbuatan itu hanya dituntut atas pengaduan orang itu.

Contoh lain perbuatan malpraktek bidan yang dilakukan karena faktor ekonomi adalah bidan yang dengan diberikan uang atau imbalan tertentu melakukan pengguguran kandungan (abortus provocatus criminalis) yang tidak

berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan dilakukan pengguguran kandungan. Perbuatan ini diatur dan diancam pidana dalam pasal 349 KUHP yang berbunyi: “jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan itu dilakukan”. Selain diatur dalam pasal 349 KUHP, tindakan pengguguran kandungan tanpa indikasi medis ini juga diatur dan diancam pidana berdasarkan pasal 80 UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berbunyi:”barangsiapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,-“.

4. Faktor Rutinitas

Seorang bidan yang sehari-harinya selalu menangani klien atau pasien dapat juga terjebak dalam keadaan dimana pekerjaan atau profesinya tersebut

Dokumen terkait