• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1. Kesimpulan

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, secara umum terjadi peningkatan temperatur tubuh, frekuensi jantung, dan frekuensi nafas sehari setelah pemberian vaksinasi pertama. Temperatur tubuh, frekuensi jantung, dan frekuensi nafas sebelum dan sesudah pemberian vaksinasi kedua dan ketiga relatif stabil.

Pemberian vaksin Escherichia coli polivalen pada induk sapi Friesian Holstein pada periode kering kandang tidak mempengaruhi status kesehatan induk

sapi bunting.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian serupa dengan menambah jumlah hewan coba untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Perlu dilakukan pula penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas pemberian vaksinasi Escherichia coli polivalen pada induk bunting trisemester akhir dengan mendeteksi kandungan antibodi spesifik di dalam kolostrum dan melakukan uji tantang pada pedet.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Physical examination.

http://id.wikipedia.org/wiki/physicalexamination. [3 November 2007]. Anonim. 2008a. Escherichia coli. http://www.wikipedia.com. [11 September

2008].

Anonim. 2008b. Friesian holstein. http://www.w3.org/TR/REC-html40 = File-

Listhref = Sapi%20Friesian%20Holstein_files/filelist.xml. [30 Januari 2008].

Anonim. 2008c. Escherichia coli.

http://mikrobia.files.wordpress.com200805escherichia-coli2. [9 November 2008].

Chiyanga MH. 1991. Temperature regulation and anasthesia. Di dalam: SchÖnbaum E and Peter L, editor. Thermoregulation: Pathology, Pharmacology and Therapy. New York: Pergamon Pr Inc.

Cunningham JG. 2002. Veterinary Physiology. Philadephia London: Saunders

Company.

Frandson RD.1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pr.

Ganong WF. 2002. Review of Medical Physiology. HM Djauhari Widjajakusumah, penerjemah. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: ECG. Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Irawati, editor,

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology. Nalbandov, Unv Illinois Pr Urbana II.

Gyles CL, Charles OT. 1993. Pathogenesis of Bacterial Infection in Animal.

Ames; Lowa State University.

Hellon R, Yvone T, Hellen PL, Duncan M. 1991. Mechanisms of fever. Di dalam: SchÖnbaum E and Peter L, editor. Thermoregulation: Pathology, Pharmacology and Therapy. New York: Pergamon Pr Inc.

Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. London: Bailliere Tindall.

Lorenz MD, Larry MC. 1987. Small Animal Medical Diagnosis. Philadelphia: JB Lippincott Company.

Pamujo. 1997. Hubungan antara produksi panas tubuh dan nadi jantung kambing betina tumbuh pada perlakuan ransum berbeda [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Prihatman K. 2000. Proyek pengembangan ekonomi masyarakat pedesaan. Jakarta; Bappenas.

Rosenberger G. 1979. Clinical Examination of Cattle. Berlin & Hamburg: Verlag Paul Parley.

SchÖnbaum E, Peter L. 1991. Thermoregulation: Pathology, Pharmacology and Therapy. New York: Pergamon Pr Inc.

Setiawan ED, Sri P, Robinson I.1983. Laporan penelitian colibacillosis pada anak sapi di Jawa Tengah. Bogor; Balitvet.

Soeripto. 2002. Pendekatan konsep kesehatan hewan melalui vaksinasi. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 21 No. 2 Th. 2002.

Sojka WJ. 1981. Escherichia coli in Domestic Animal and Poultry. Bucks

England: Commonwealth Agricultural Bureaux Farnham Royal.

Supar, Kusmiyati, Peorwadikarta MB. 1997. Aplikasi vaksin Enterotoksigenik

Escherichia coli (ETEC) K99, F41 polivalen pada induk sapi perah bunting dalam upaya pengendalian kolibasilosis dan kematian pedet neonatal. J Ilmu Ternak dan Veteriner 3(1): 27-33.

Supar. 2001. Pemberdayaan plasma nutfah mikroba veteriner dalam pengembangan peternakan: harapan vaksin Escherichia coli

Enterotoksigenik, Enteropatogenik dan Verotoksigenik isolat lokal untuk pengendalian kolibasilosis neonatal pada anak babi dan sapi. Wartazoa

Vol. 11 No. 1 Th. 2001.

Tizard I. 2000. Veteriner Immunology an Introduction. Canada: W. B. Saunders Company.

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diare menjadi salah satu masalah utama yang mengancam peternak karena sering menyerang pedet berumur kurang dari 14 hari. Diare pada umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, dan protozoa. Bakteri yang paling banyak menyebabkan diare adalah Escherichia coli (E. coli) (Anonim 2008a).

Diare profus yang disebabkan oleh E. coli pada anak sapi disebut

kolibasilosis, terjadi karena infeksi enterotoksigenik E. coli (ETEC) yang

mempunyai antigen perlekatan K99 atau F41 yang mampu memproduksi

enterotoksin tahan panas (heat stable toxin). Anak sapi yang terinfeksi akan

menderita diare terus-menerus sehingga tubuh akan mengalami dehidrasi dan kehilangan cairan serta elektrolit tubuh secara berlebihan sehingga menimbulkan kematian secara cepat (Supar et al. 1997).

Infeksi pada umumnya terjadi pada 1-3 hari setelah lahir dengan tingkat kematian mencapai 50% (Supar et al. 1997). Selama dua dekade terakhir, antibiotika banyak digunakan untuk pengobatan diare akibat kolibasilosis pada anak sapi. Namun hasilnya kurang baik, karena kasus diare dan mortalitas tetap tinggi. Selain itu, uji sensitifitas isolat ETEC dari berbagai daerah menunjukkan adanya multipel resistensi terhadap 2-9 macam obat-obatan atau antibiotika yang sering digunakan di lapangan. Penggunaan antibiotika sebagai pengobatan atau sebagai feed additive juga akan menaikkan residu antibiotika dalam daging. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika tidak efektif, mahal, perlu pengawasan dan harus dikendalikan (Supar 2001).

Semakin meluasnya multipel resistensi ETEC terhadap antibiotika yang sering digunakan di peternakan membuat vaksin ETEC menjadi alternatif penting untuk pencegahan kolibasilosis, terlebih dengan diketahuinya berbagai macam antigen perlekatan E. coli yang berkaitan dengan sifat imunogenitas dan

imunoproteksinya (Supar 2001).

Salah satu alternatif untuk pengendalian kolibasilosis pada pedet yang baru lahir adalah melalui pemberian vaksin pada induk sapi pada periode kering kandang agar didapatkan imunoglobulin spesifik terhadap ETEC yang terkandung

di dalam kolostrum. Namun demikian, perlu diperhatikan efek vaksinasi tersebut terhadap kinerja kesehatan induk sapi. Menurut Tizard (2000), vaksinasi dapat menyebabkan demam, hipersensitifitas, shock, stress, dan mampu menyebabkan

abortus pada hewan bunting. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui status kesehatan induk sapi bunting yang divaksin dengan vaksin E. coli.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati status kesehatan induk sapi perah bunting yang divaksin dengan vaksin E. coli melalui pengamatan

temperatur tubuh, frekuensi jantung, dan frekuensi nafas.

1.3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang status kesehatan induk sapi perah bunting yang diberi vaksin E. coli pada periode kering kandang.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sapi Perah

Sapi adalah hewan ternak penting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja, dan kebutuhan lainnya. Sapi berasal dari famili Bovidae dengan klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Genus : Bos

Spesies : Bos taurus

(Anonim 2008b)

Jenis sapi perah yang unggul dan paling banyak digunakan adalah sapi

Shorthorn (dari Inggris), Friesian Holstein (dari Belanda), Yersey (dari Selat Channel antara Inggris dan Perancis), Brown Swiss (dari Switzerland), Red Danish (dari Denmark), dan Droughtmaster (dari Australia). Berdasarkan kondisi dan keadaan alam Indonesia, maka jenis sapi perah yang paling cocok dan menguntungkan untuk dibudidayakan adalah Friesian Holstein (FH). Selain sebagai penghasil susu, sapi perah juga dapat menjadi penghasil daging dan kulit (Prihatman 2000).

Ciri fisik sapi FH adalah memiliki berat badan rata-rata untuk sapi jantan 900 kg dengan tinggi rata-rata 140 cm dan berat badan rata-rata sapi betina 700 kg dengan tinggi rata-rata 135 cm. Sapi FH berwarna hitam dan putih serta memiliki dua tanduk pada jantan dan 0-2 tanduk pada betina dengan bentuk tanduk kecil dan nyaris tertutup (Anonim 2008b).

Sapi FH banyak diandalkan oleh banyak peternak dan pabrik susu. Sapi FH mempunyai adaptasi lingkungan yang baik di dataran tinggi di atas 700 meter

di atas permukaan laut (dpl), pada temperatur antara 16-24 C dan curah hujan sekitar 2000 mm/ tahun (Anonim 2008b).

Gambar 1 Sapi perah jenis Friesian Holstein (FH).

(Sumber: Anonim 2008b).

Umumnya sapi FH dipelihara secara semi intensif hingga intensif. Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Hijauan yang diberikan dapat berupa jerami padi, daun lamtoro, rumput gajah, rumput benggala atau rumput raja. Hijauan diberikan pada siang hari setelah pemerahan sebanyak 30-50 kg/ekor/hari. Pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan 10% dari bobot badan dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari bobot badan. Sementara untuk induk sapi yang sedang laktasi, diperlukan tambahan 25% hijauan dan konsentrat dalam ransumnya. Pemberian konsentrat diberikan pada pagi dan sore hari sebanyak 1-2 kg/ekor/hari. Selain pakan, sapi harus diberi minum sebanyak 10% dari berat badan per hari (Prihatman 2000).

2.2. Escherichia coli

2.2.1. Serotipe dan Biokimia Escherichia coli

Escherichia coli (E. coli) pertama kali diidentifikasi oleh seorang berkebangsaan Jerman, Theobald Escherich (1885) dalam studinya mengenai sistem pencernaan (Sojka 1981). Klasifikasi E. coli menurut Anonim (2008a) adalah:

Kingdom : Bacteria Filum : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae

Genus : Escherichia

Spesies : Escherichia coli

Escherichia coli adalah bakteri gram negatif berbentuk batang, bersifat

anaerobik fakultatif dan tidak berspora dengan ukuran panjang sel 2.0–6.0 m dan lebar 1.1–1.5 m. Escherichia coli dapat tumbuh dengan mudah pada media

umum atau media khusus pada suhu 37 C di bawah kondisi anaerob. Escherichia coli dari feses biasanya dikultur pada media yang hanya akan menumbuhkan bakteri dari famili Enterobacteriaceae dan membuatnya berdiferensiasi sesuai morfologinya. Sekitar 90% dari galur E. coli dapat memfermentasi laktosa. Pada uji indol, 99% E. coli menunjukkan hasil positif. Hal ini dapat dipakai untuk membedakan E. coli dari anggota Enterobacteriaceae lainnya. Escherichia coli

juga memberikan hasil uji Voger Proskaver (VP) negatif, motil positif dan tidak menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon. Pada media selektif EMB koloni bakteri berwarna hijau metalik (Sojka 1981).

Gambar 2 Escherichia coli.

2.2.2. Faktor Virulensi Escherichia coli

Mikroba dapat menginfeksi inang karena faktor virulensi yang dimilikinya. Faktor virulensi tersebut merupakan komponen dari mikroba patogen yang dapat menyebabkan kerusakan pada inang. Bila komponen tersebut dihilangkan akan menyebabkan mikroba kehilangan viabilitas atau kemampuan untuk hidup. Faktor virulensi tersebut dapat berupa faktor yang memperantarai kolonisasi mikroba pada inang seperti dinding sel, kapsul, vili, fimbrae, adhesin,

protein pengikat maupun faktor yang merupakan produk dari mikroba yang dapat merusak sel inang berupa toksin dan enzim hidrolitik seperti enterotoksin, sitotoksin, hemolisin, dan aerobaktin (Gyles & Charles 1993).

Berdasarkan karakteristik dan materi virulensinya, E. coli diklasifikasikan

menjadi:

- Enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC)

Enterotoksigenik Escherichia coli menggunakan fimbrae adhesi untuk mengikat sel-sel enterosit di usus halus. ETEC dapat memproduksi dua jenis protein enterotoksin yaitu heat labile toxin (LT) yang merangsang adenilat siklase sel epitel sehingga terjadi hipersekresi cairan dan elektrolit tubuh, dan

heat stabile toxin (ST) yang merangsang guanilat siklase sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi cGMP pada sel target dan menyebabkan terjadinya sekresi cairan dan elektrolit yang terus menerus ke lumen usus. - Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC)

Enteropatogenik Escherichia coli menggunakan intimin sebagai adhesin untuk berikatan dengan sel usus inangnya dan bersifat invasif sehingga mampu menimbulkan respon inflamasi.

- Enterohemoragik Escherichia coli (EHEC)

Enterohemoragik Escherichia coli menggunakan fimbrae adhesi untuk

berikatan dengan sel-sel inang. EHEC mampu menyebabkan diare berdarah tanpa disertai demam. EHEC dapat menyebabkan hemolitik uremia sindrom, gagal ginjal akut, anemia hemolitik mikroangiopatik, dan trombositopenia (Anonim 2008c).

Seperti kebanyakan bakteri patogen pada permukaan mukosa, E. coli

di permukaan mukosa, (2) menghindar dari sistem pertahanan tubuh inang, (3) multiplikasi dan (4) merusak sel inang. Salah satu karakter E. coli terpenting adalah kemampuannya untuk berkolonisasi pada permukaan mukosa usus walaupun terdapat gerakan peristaltik usus dan kompetisi dengan flora lokal untuk mendapatkan nutrisi (Sojka 1981).

Seluruh galur E. coli memiliki fimbrae spesifik yang meningkatkan

kemampuannya untuk membentuk koloni dan memudahkannya untuk mengadakan perlekatan pada daerah yang tidak biasa digunakan untuk kolonisasi. Jika koloni telah terbentuk, maka E. coli akan mengembangkan strategi

patogeniknya, yaitu: (1) produksi enterotoksin, (2) invasi, dan (3) perlekatan intimin dengan mengadakan persinyalan membran (Sojka 1981).

Escherichia coli strain K99 mempunyai struktur vili yang mampu

menghasilkan perangkat mannose resisten yang adhesive pada bakteri. Komponen utama K99 merupakan adhesin dan melekat pada reseptornya, yaitu glikolipid

gangliosida Neu5Gc-α(2-3)-Gal-β(1-4)Glc-β(1,1) ceramide. Strain ini mampu menempel pada mukosa usus pedet yang baru lahir, kemudian akan mencapai populasi yang sangat tinggi di dalam usus. Sintesis antigen K99 tertekan oleh

beberapa komponen (alanin dan glukosa) pada media kompleks. Media yang biasanya digunakan untuk mendeteksi K99 adalah minca medium yang

mengandung asam casamino, KH2PO4, Na2HPO4, glukosa, agar, dan air destilata.

Strain 101 dari grup O menghasilkan K99 yang paling banyak dibandingkan

dengan yang diproduksi oleh strain yang lain dari grup O (Gyles & Charles 1993). Patogenitas E. coli tidak hanya tergantung pada kemampuannya untuk menghasilkan endotoksin, akan tetapi juga tergantung pada daya tahan tubuh anak sapi, jumlah kuman untuk menimbulkan penyakit, dan keadaan lingkungan usus yang memungkinkan mikroba untuk berkembang (Setiawan et al. 1983).

2.2.3. Diare Akibat Escherichia coli

Pada pedet, kejadian diare akibat E. coli atau lebih sering dikenal dengan

kolibasilosis merupakan penyakit yang bersifat akut dan menular dengan gejala yang khas yaitu diare dengan feses berwarna kuning keputihan. Escherichia coli

diisolasi Jansen pada tahun 1897 dari feses anak sapi yang menderita diare (Setiawan et al. 1983).

Diare pada anak sapi neonatal disebabkan oleh infeksi ETEC strain K99

dan F41 berasosiasi dengan somatik antigen serogroup O-9, 20, atau 101. Prevalensi

kasus diare pada anak sapi di daerah sentra pengembangan sapi perah (Jawa Barat) berkisar antara 19-40%, dengan kematian pedet di bawah umur 1 bulan berkisar antara 8-19% dan dapat terjadi sepanjang tahun (Supar 2001).

Mekanisme infeksi ETEC pada anak sapi dan anak babi memiliki mekanisme serupa. Enterotoksigenik E. coli akan menempel pada permukaan

mukosa usus halus dengan perantaraan antigen perlekatan atau fimbrae K88, K99,

F41 atau 987P. Setelah menempel, ETEC kemudian berkembang biak dan

memproduksi toksin heat labile toxin (LT) atau heat stable toxin (ST). Aktifitas

LT atau ST seperti halnya toksin kolera bekerja dengan menstimulasi sekresi cairan tubuh dan elektrolit secara berlebihan. Oleh karena itu, sekresi yang terjadi lebih banyak dibandingkan dengan absorpsi, sehingga terjadilah diare profus dan dehidrasi. Hal ini menyebabkan hewan yang terinfeksi cepat mati (Supar 2001).

Pedet yang diare terus-menerus, akan memperlihatkan gejala klinis lemah, lesu, tidak mau menyusu, bulu di daerah perineal kotor oleh feses, mukosa mulut kering pucat kebiruan, turgor kulit jelek dan akhirnya pedet mati. Kematian akibat kolibasilosis dapat mencapai 20-50%, tergantung pada hebatnya serangan. Apabila disertai septikemia dan tidak mendapatkan perawatan dengan baik maka kematian dapat mencapai 90-100%. Menurunnya daya tahan tubuh pedet dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti stres karena kedinginan, higiene pakan, sanitasi kandang kurang baik, populasi terlalu padat, kurang intake pakan, atau

tidak diberi kolostrum dan diberi susu berkualitas rendah (Setiawan et al. 1983).

2.2.4. Vaksin Escherichia coli

Selama dua dekade terakhir antibiotika banyak digunakan untuk pengobatan diare akibat kolibasilosis pada anak babi atau anak sapi. Namun hasilnya kurang baik, karena kasus diare dan mortalitas tetap tinggi. Selain itu, uji sensitifitas isolat ETEC dari berbagai daerah menunjukkan adanya multipel resistensi terhadap 2-9 macam obat-obatan atau antibiotika yang sering dipakai di

lapangan. Disamping itu penggunaan antibiotika sebagai pengobatan atau sebagai

feed additive juga akan meningkatkan residu antibiotika dalam daging. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika tidak efektif, mahal, perlu pengawasan dan harus dikendalikan (Supar 2001).

Bakteri yang resisten dapat mengancam kehidupan manusia maupun hewan karena dapat meningkatkan morbiditas penyakit dan mortalitas akibat kegagalan pengobatan. Selain itu, biaya pengobatan juga meningkat karena harus menggunakan antibiotika dosis tinggi atau lebih dari satu macam antibiotika, atau diganti dengan menggunakan antibiotika baru dengan harga yang lebih mahal (Soeripto 2002).

Vaksinasi merupakan salah satu upaya untuk mencegah penyakit dan upaya yang efektif untuk pencegahan terhadap residu antibiotika dan resistensi bakteri (Soeripto 2002). Vaksinasi merupakan tindakan memasukkan antigen yang telah dilemahkan ke dalam tubuh, untuk merangsang kekebalan yang diharapkan dapat melindungi individu tersebut terhadap infeksi penyakit di alam (Tizard 2000).

Vaksin dibagi menjadi vaksin aktif dan vaksin inaktif. Vaksin aktif adalah vaksin yang mengandung antigen yang sudah dilemahkan untuk menghilangkan sifat-sifat virulensinya. Vaksin inaktif adalah vaksin yang berisi antigen yang sudah diinaktifkan (dimatikan) tetapi masih memiliki sifat imunogenitas. Vaksin dapat berisi satu jenis antigen yang disebut vaksin monovalen atau dapat pula berisi beberapa jenis antigen atau disebut vaksin polivalen. Pemberian imunisasi kepada hewan rentan dengan memberikan antibodi yang diperoleh dari hewan lain (hewan donor) yang telah diberi imunisasi secara aktif disebut dengan imunisasi pasif. Salah satu contohnya adalah melalui pemberian kolostrum induk kepada anaknya (Tizard 2000).

Pencegahan kolibasilosis dengan vaksin ETEC menjadi sangat penting artinya dengan semakin meluasnya multipel resistensi ETEC terhadap antibiotika yang sering dipakai pada peternakan dan tingginya residu dalam produk hasil ternak. Selain itu, pemberian vaksin dapat memberikan daya lindung optimal, dan merupakan cara yang lebih aman, layak, dan efisien (Supar 2001).

Komposisi vaksin ETEC untuk pengendalian kolibasilosis pada anak sapi terdiri dari ETEC K99, F41, K99F41 tergolong dalam serogroup O-9, 20, 101. Galur

antigen vaksin enteropatogenik E. coli (EPEC) untuk pengendalian disentri dapat

disatukan dengan antigen ETEC. Pemakaian vaksin tidak aktif mengandung beberapa jenis antigen yang tidak bersifat negatif diantara individu komponen antigen sehingga tidak saling menghambat dalam pembentukan antibodi (Supar 2001).

Aplikasi pemberian vaksin kepada induk sapi yang sedang bunting periode kering kandang secara intramuskular atau subkutan. Vaksin serupa diinjeksikan kembali pada saat 2 minggu sebelum induk sapi diperkirakan partus. Anak sapi kemudian diberi kolostrum induk segera setelah dilahirkan karena antibodi terhadap antigen fimbrae (IgG) sangat tinggi di dalam kolostrum sampai hari ke-5

post partus. Sesudah itu konsentrasi IgG mengalami penurunan, sedangkan konsentrasi IgA meningkat (Supar 2001).

2.3. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik atau physical examination (PE) merupakan suatu tindakan memeriksa keadaan hewan untuk menemukan tanda-tanda klinis suatu penyakit. Hasil pemeriksaan ini akan dicatat dalam catatan medis (rekam medis) yang akan membantu dalam penegakan diagnosa dan perencanaan perawatan. Umumnya, pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi tindakan pemeriksaan status kesehatan umum seperti penghitungan frekuensi nadi dan denyut jantung, penghitungan frekuensi nafas, pengukuran temperatur tubuh, pengamatan terhadap mukosa, turgor kulit, dan keadaan penting lain kondisi hewan misalnya frekuensi rumen pada ruminansia (Kelly 1984; Anonimus 2007).

2.3.1. Temperatur Tubuh

Temperatur tubuh merupakan temperatur tubuh bagian dalam atau sering disebut dengan temperatur inti (Guyton & Hall 1997). Temperatur tubuh bagian dalam hewan dapat diukur dengan menggunakan termometer yang dapat mengindikasikan keseimbangan antara produksi panas dan pengeluaran panas (Kelly 1984).

Pusat pengaturan temperatur tubuh (termoregulasi) terletak di hipotalamus. Fungsi dari pusat pengatur temperatur tubuh adalah mempertahankan agar temperatur tubuh selalu dalam keadaan normal dan konstan. Temperatur tubuh normal merupakan kondisi optimal untuk berlangsungnya semua proses fisiologis atau metabolisme di dalam tubuh seperti berdenyutnya jantung, proses pernafasan, pencernaan dan lain-lain (SchÖnbaum & Peter 1991).

Temperatur rektum dianggap dapat mewakili temperatur tubuh dan paling sedikit dipengaruhi oleh perubahan temperatur lingkungan sehingga lebih stabil dibandingkan dengan tempat lain. Temperatur tubuh hewan diukur dengan cara memasukkan termometer ke dalam rektum. Menurut Kelly (1984),temperatur rektal normal sapi perah dewasa berkisar antara 37.8-39.2 C.

Menurut Rosenberger (1979), temperatur tubuh normal sapi perah dipengaruhi oleh umur hewan, dimana temperatur hewan muda akan lebih tinggi dibandingkan dengan hewan dewasa. Temperatur dan kondisi lingkungan juga mempengaruhi temperatur tubuh, dimana temperatur lingkungan yang meningkat pada siang hari dapat meningkatkan temperatur tubuh 0.5-1 C. Aktifitas tubuh hewan seperti banyak bergerak atau setelah makan, dapat meningkatkan temperatur tubuh akibat metabolisme yang meningkat. Fungsi dan status reproduksi hewan seperti estrus, kebuntingan, dan partus juga mempengaruhi temperatur tubuh hewan.

Panas tubuh dihasilkan dari hasil metabolisme yang berasal dari dalam tubuh. Energi dari pakan akan diubah dalam bentuk panas yang akan disebarkan ke lingkungan dan ke seluruh permukaan tubuh. Apabila temperatur lingkungan melebihi temperatur tubuh hewan dan hewan terpapar oleh radiasi panas, maka hewan akan berusaha melawan panas tersebut. Begitu juga jika hewan terpapar oleh sinar matahari langsung atau berada di dekat dengan benda padat yang lebih hangat dibandingkan dengan temperatur tubuhnya. Panas tubuh akan hilang menuju lingkungan sekitar melalui pemancaran dari permukaan tubuh menuju objek yang lebih dingin (Cunningham 2002).

Apabila temperatur tubuh terlalu panas, maka sistem regulasi temperatur akan mengaktifkan tiga mekanisme untuk menurunkan temperatur tersebut, dengan cara :

• Vasodilatasi. Pada hampir semua area tubuh akan terjadi vasodilatasi dengan kuat. Hal tersebut disebabkan oleh hambatan dari pusat simpatis pada hipotalamus posterior yang menyebabkan vasodilatasi. Vasodilatasi pembuluh darah tersebut akan meningkatkan perpindahan panas ke kulit, sehingga panas akan dilepaskan.

• Berkeringat. Peningkatan temperatur akan menyebabkan tubuh mengaktifkan mekanisme berkeringat, sehingga panas tubuh akan dilepaskan melalui evaporasi.

• Penurunan pembentukan panas. Apabila terjadi peningkatan temperatur maka mekanisme pembentukan panas dalam tubuh seperti menggigil dan termogenesis kimia akan dihambat.

Apabila temperatur tubuh terlalu dingin, maka sistem termoregulasi akan mengaktifkan reaksi :

• Vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Hal tersebut terjadi karena adanya rangsangan pada pusat simpatis hipotalamus posterior. Vasokonstriksi akan menyebabkan terjadinya perpindahan panas ke kulit berkurang sehingga kehilangan panas dapat dicegah.

• Piloereksi. Rangsangan simpatis akan menyebabkan otot erektor pili pada folikel rambut akan berkontraksi sehingga akan membentuk lapisan tebal “isolator udara” yang akan mencegah pelepasan panas dari tubuh.

• Peningkatan pembentukan panas. Mekanisme tubuh yang akan meningkatkan pembentukan panas adalah menggigil, rangsangan simpatis pembentuk panas dan sekresi tiroksin. Ketiga hal tersebut akan meningkatkan metabolisme basal tubuh sehingga panas akan terbentuk (SchÖnbaum & Peter 1991; Guyton & Hall 1997).

Pemancaran panas terjadi melalui pergerakan udara atau air yang menjadi lebih hangat oleh tubuh, penguapan sekresi respirasi, keringat atau saliva dan

Dokumen terkait