• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. Bagian Akhir Skripsi ini terdiri atas daftar Pustaka dan Lampiran. Daftar pustaka merupakan keterangan sumber literatur yang digunakan dalam penyusunan skripsi. Lampiran dipakai untuk mendapatkan data dan keterangan yang melengkapi uraian skripsi.

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Skripsi dengan judul “Proses Pensertifikatan Tanah Eks Bengkok Menjadi Tanah Pakai Pemerintah Daerah Kabupaten Rembang” (Studi di Kantor Pertanahan Kabupaten Rembang) oleh Leonardo Bambang Wisanggeni. Membahas tentang tanah bengkok yang dikuasai oleh desa bisa diambil alih oleh Pemda untuk menjadi kekayaan daerah dikarenakan adanya perubahan desa menjadi kelurahan. Dalam skripsi ini, penulis membahas tentang proses sertifikasi tanah eks bengkok menjadi tanah pakai dan hambatan yang terjadi dalam proses pensertifikatan tanah eks bengkok. Sedangkan dalam skripsi yang saya tulis sama-sama membahas tentang pensertifikatan tanah namun saya membahas tentang proses pensertifikatan tanah eks bengkok pasca tukar menukar.

Skripsi dengan judul “Regulasi dan Implementasi Permohonan Tanah Negara menjadi Tanah Hak Milik di Kantor Pertanahan Kota Semarang” oleh Sugiarto. Membahas tentang proses pelaksanaan permohonan hak milik atas tanah yang berasal dari tanah negara menjadi hak milik di kantor pertanahan kota semarang. Sedangkan dalam skripsi saya sama-sama membahas tentang permohonan tanah eks bengkok menjadi tanah milik di Kantor Pertanahan Kota Semarang.

2.2 Peralihan Hak Atas Tanah

Peralihan hak atas tanah dapat melalui dua cara, yaitu dengan cara “beralih” dan “dialihkan”. Beralih artinya bahwa peralihan hak atas tanah tersebut tanpa melalui suatu perbuatan hukum tertentu, dalam arti bahwa hak atas tanah tersebut demi hukum beralih dengan sendirinya. Peralihan hak atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat merupakan contoh peralihan hak atas tanah karena hukum beralih kepada ahli warisnya. Peralihan hak atas tanah kepada ahli waris diatur dalam hukum waris, dan tergantung sungguh dari hukum waris mana yang dipakai oleh pewaris dan ahli waris yang bersangkutan, apakah hukum waris menurut hukum agama (misalnya agama islam) atau hukum waris menurut hukum adat. Peralihan hak waris berlangsung apabila si pewaris meninggal dunia, dengan meninggalnya si pewaris, maka secara otomatis hak warisan itu beralih ahli warisnya. Hukum tanah memberikan ketentuan mengenai penguasaan tanah yang berasal dari warisan dan hal-hal mengenai pemberian surat tanda bukti pemilinya oleh para ahli waris. (Arba 2015 : 145)

Dialihkan atau pemindahan hak, yaitu berpindahnya hak atas tanah melalui perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang dilakukan dengan sengaja oleh pemegang haknya kepada pihak lain. Bentuk pemindahan haknya dapat berupa jual beli, tukar menukar, hibah, pemberian menurut adat, pemasukan dalam perusahaan atau hibah wasiat.

Perbuatan-perbuatan hukum tersebut dilakukan pada saat pemegang haknya masih hidup dan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang bersifat tunai, kecuali hibah wasiat. Artinya bahwa dengan dilakukannya

perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain.

Perbuatan-perbuatan hukum berupa jual beli, tukar menukar, hibah, pemberian menurut adat, pemasukan dalam perusahaan atau hibah wasiat dilakukan oleh para pihak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

2.3 Perjanjian

Pasal 1313 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa tersebut timbul suatu hubunan antara dua orang atau lebih yang dinamakan perikatan. Dengan demikian, perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan.

Sahnya suatu perjanjian berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah sah apanila memenuhi persyaratan :

a. Kesepakatan

Kesepakatan adalah sepakatnya para pihak yang mengikatkan diri, artinya kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri, dan kemauan itu harus dinyatakan dengan tegas atau secara diam. Dengan demikian, suatu perjanjian itu tidak sah apabila dibuat atau didasarkan kepada paksaan, penipuan atau kekhilafan.

b. Kecakapan

Kecakapan adalah adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Menurut hukum, kecakapan termasuk kewenangan untuk melakukan

tindakan hukum pada umumnya, dan menurut hukum setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap, yaitu orang-orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah pengampuan dan perempuan yang telah kawin.

c. Suatu hal tertentu

Menurut pasal 1332-1333 KUH Perdata , suatu hal tertentu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian adalah harus hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu yakni paling sedikit ditentukan jenisnya. Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian.

d. Suatu sebab yang halal

Meskipun siapa saja yang dapat membuat perjanjian apa saja, tetapai ada pengecualiannya, yaitu sebuah perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketentuan umum, moral dan kesusilaan. (pasal 1335 KUH Perdata) (Soeroso 2011 : 11)

2.4 Pengertian Tukar Menukar Tanah

Tukar menukar termasuk didalam peralihan hak atas tanah yang dialihkan dari pihak satu ke pihak yang lain, dimana diantara kedua belah pihak nantinya akan melahirkan perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban yang telah diatur dalam pasal 1541 sampai dengan pasal 1546 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dahulu ketika jaman penjajahan Belanda, Masyarakat Indonesia lebih mengenal istilah tukar menukar dengan kata Tukar Guling atau

Ruislag yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut tukar lalu, yang

artinya bertukar barang dengan tidak menambahkan uang. (www.referensimakalah.com diakses tanggal 1 maret 2016)

Adanya peristiwa tukar menukar tentu saja melahirkan suatu hubungan antara kedua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perikatan tersebut didasarkan atas perjanjian yang telah disepakati kedua pihak. Berdasarkan asas perjanjian, maka syarat sahnya perjanjian tukar menukar juga mengikuti syarat sahnya perjanjian pada umumnya.

Peralihan hak atas tanah dapat melalui dua cara, yaitu dengan cara yaitu „beralih‟ dan „dialihkan‟. Beralih artinya bahwa peralihan hak atas tanah tersebut tanpa melalui suatu perbuatan hukum tertentu, dalam arti bahwa hak atas tanah tersebut demi hukum beralih dengan sendirinya. Dialihkan atau pemindahan hak artinya yaitu berpindahnya hak atas tanah melalui perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang dilakukan dengan sengaja oleh pemegang haknya kepada pihak lain. Bentuk pemindahan haknya dapat berupa jual beli, tukar menukar, hibah, pemberian menurut adat, pemasukan dalam perusahaan dan hibah wasiat. (Arba 2015 : 145).

Tukar menukar berbeda dengan jual-beli, kalau dalam hal jual beli ada pembeli yang membayar sejumlah uang dan penjual menyerahkan tanah miliknya. Maka dalam tukar menukar satu pihak yang mempunyai hak milik atas tanah menukarkan dengan tanah atau barang lain milik pihak lain. Dan sejak penyerahan itu, maka hak milik atas tanah pihak yang semula berpindah kepada pihak yang baru. (Wantjik Saleh 1977 : 34)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah tukar menukar adalah pengalihan kepemilikan barang milik negara daerah yang dilakukan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antara pemerintah daerah, atau antar pemerintah pusat daerah dengan pihak lain, dengan menerima penggantian dalam bentuk barang sekurang-kurangnya dengan nilai seimbang.

2.5 Aturan Mengenai Tukar Menukar Tanah

Di Indonesia telah di undangkan beberapa aturan yang berkaitan dengan tukar menukar tanah antara lain :

a. Pasal 26 Undang-undang Pokok Agraria

Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah.”

b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Tukar menukar barang milik daerah/tukar guling adalah pengalihan kepemilikan barang milik daerah yang dilakukan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat, antar Pemerintah Daerah, atau antara Pemerintah Daerah dengan pihak lain, dengan menerima penggantian dalam bentuk barang, sekurang-kurangnya dengan nilai seimbang.

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.

“Tukar menukar barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan pertimbangan:

1. untuk memenuhi kebutuhan operasional penyelenggaraan pemerintahan,

2. untuk optimalisasi barang milik negara/daerah,

3. tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah.” (Pasal 64 ayat 1)

d. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.

“Bentuk-bentuk pemindahtanganan sebagai tindak lanjut atas penghapusan barang milik daerah, meliputi:

1. Penjualan, 2. Tukar menukar, 3. Hibah,

4. Penyertaan Modal Pemerintah Daerah.

2.6 Ruang Lingkup tentang Tanah Bengkok

Hak tanah adat yang sebelumnya diatur dalam Hukum Adat dilakukan ketentuan-ketentuan konversi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Konversi adalah perubahan status tanah, menurut ketentuan-ketentuan konversi hak tanah adat dikonversi dalam

ketentuan Pasal VI UUPA menjadi hak pakai yaitu: ”Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 41 ayat 1 seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini, yaitu: hak vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam Pasal 41 ayat 1, yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-Undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini.”

Tanah bengkok yang sekarang masih ada di Indonesia secara yuridis telah menjadi Hak Pakai, Hak Pakai tersebut diatur pada Pasal 41 UUPA, yaitu:

(1) Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasi langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini.

(2) Hak pakai dapat diberikan:

a. Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu.

b. Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.

(3) Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 jika dilihat dari sistem pemerintahan desa maka tanah bengkok merupakan gaji atau upah bagi Kepala Desa dan Perangakat Desa untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya selama masih menjabat jabatannya karena Kepala Desa dan Perangkat Desa tidak digaji oleh Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat dan bukan merupakan Pegawai Negeri.

Bentuk dari pada tanah bengkok tersebut bermacam macam, dapat berupa tanah persawahan, tanah kering atau tanah tegalan maupun berupa kolam ikan atau tambak. Namun jika dilain waktu yang bersangkutan tidak lagi menjabat sebagai pamong desa maka tanah bengkok tersebut menjadi tanah desa. Sehingga dapat diambil pengertian bahwa tanah bengkok mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

1. Tanah tersebut merupakan bagian dari tanah desa.

2. Tanah tersebut diberikan kepada warga desa yang sedang menjabat sebagai pamong desa.

3. Pemberian tanah tersebut hanya sementara waktu selama yang bersangkutan menjabat kepala desa atau perangkat desa, dan maksud

dari pemberian tanah tersebut sebagai upah untuk memenuhi dan menghidupi diri dan keluarganya. (Boedi Harsono, 2002:1)

2.7 Perubahan Tanah Bengkok menjadi Tanah eks bengkok

Perubahan status tanah bengkok menjadi tanah eks bengkok tidak terjadi tiba-tiba begitu saja. Terdapat faktor yang menjadikan tanah bengkok yang digunakan sebagai gaji para perangkat desa ini menjadi tanah pemerintah daerah, yaitu perubahan pemerintahan desa menjadi kelurahan dimana telah diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 65 tahun 1999 tentang Pedoman Umum mengenai pembentukan Kelurahan.

Kepmendagri tersebut merupakan pedoman bagi daerah kabupaten dan kota serta DPRD dalam menetapkan peraturan daerah kabupaten dan kota mengenai pembentukan kelurahan. Pembentukan kelurahan diartikan sebagai pembentukan kelurahan baru sebagai akibat pemecahan, penggabungan, dan atau perubahan status desa menjadi kelurahan.

Desa dan Kelurahan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa masing-masing diatur pada:

Pasal 1 huruf a: “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Pasal 1 huruf b: “Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.”

Sehingga dapat dipahami bahwa tanah bengkok dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 jika dilihat dari sistem pemerintahan desa maka tanah bengkok merupakan gaji atau upah bagi Kepala Desa dan Perangakat Desa untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya selama masih menjabat jabatannya karena Kepala Desa dan Perangkat Desa tidak digaji oleh Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat dan bukan merupakan Pegawai Negeri, sedangkan dilihat dari sistem pemerintahan kelurahan maka tanah bengkok bukan merupakan penghasilan atau sebagai gaji yang digunakan untuk menghidupi keluarga Kepala Kelurahan dan Perangkat Kelurahan, namun tanah bengkok merupakan salah satu kekayaan milik Pemerintahan Daerah yang dikelola oleh Kelurahan, karena Aparat Pemerintah Kelurahan adalah Pegawai Negeri yang diangkat oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I sehingga mendapat gaji dari Pemerintah Daerah dengan memperhatikan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tentang kepegawaian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ditegaskan kembali didalam Pereturan Menteri dalam Negeri Nomor 28 tahun 2006, terdapat didalam pasal pasal 10 ayat (1) : Desa yang berubah status menjadi Kelurahan, Lurah dan Perangkatnya diisi dari Pegawai Negeri Sipil yang tersedia di Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Dan pasal 12 ayat (1) :

Berubahnya status Desa menjadi Kelurahan, seluruh kekayaan dan sumber-sumber pendapatan Desa menjadi Kekayaan Daerah Kabupaten/Kota.

2.8 Ruang Lingkup Hak Milik dan Hak Pakai

Hak-hak atas tanah diatur dalam pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang lain serta badan-badan hukum.” Adapun macam-macam hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) tersebut diatur lebih lanjut dalam pasal 16 dan 53 UUPA. Hak-hak atas tanah dimaksud adalah sebagai berikut :

a. hak milik, b. hak guna usaha, c. hak guna bangunan, d. hak pakai,

e. hak sewa,

f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan,

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 53.

Karena yang berkaitan dengan tukar menukar tanah milik dengan tanah eks bengkok hanya hak milik dan hak pakai, maka penulis lebih menguraikan tentang hak milik dan hak pakai.

2.8.1 Hak Milik

1. Dasar Hukum Hak Milik

Dasar hukum pengaturan hak milik diatur dalam pasal 20 sampai dengan pasal 27 UUPA.

2. Pengertian Hak Milik

Dalam pasal 20 ayat (1) ditentukan : bahwa hak milik adalah hak turun yang temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6. Hak milik yang terkuat dan terpenuh adalah sifat-sifat utama dari hak milik yang membedakan dengan hak-hak lainnya. Hak milik adalah yang “terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak milik itu bersifat “mutlak”, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagimana hak eigendom menurut pengertian yang asli dulu. Karena sifat yang demikian itu terang bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Kata “terkuat dan terpenuh” itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukan bahwa diatas hak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hanya hak miliklah yang “ter” (artinya paling) kuat dan terpenuh.

a. Hak milik adalah hak yang terkuat dan terpenuh, artinya hak milik adalah yang paling kuat jika dibandingkan dengan hak-hak lainnya dan dapat dipertahankan oleh pemegang haknya dari gangguan pihak lain.

b. Hak milik dapat dibebani dengan hak-hak lainnya, seperti: hak guna usaha, hak pakai, hak sewa dan hak tanggungannya dan hak-hak lainnya.

c. Hak milik tidak mempunyai jangka waktu berlakunya, sampai kapanpun dan dapat diwariskan kepada ahli warisnya.

d. Hanya hak milik yang dapat diwakafkan, hak-hak lain tidak dapat diwakafkan.

e. Hak milik hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia.

3. Subjek Hak Milik

Berdasarkan ketentuan pasal 21 UUPA bahwa subjek hak milik itu sebagai berikut :

a. Warga Negara Indonesia.

b. Badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Adapun badan-badan hukum tertentu yang boleh memiliki hak milik atas tanah telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik Atas Tanah (Lembaran Negara

1963-61). Dalam pasal 1 ditentukan bahwa badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah adalah :

a. Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut Bank Negara).

b. Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan atas undang-undang nomor 79 tahun 1958.

c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama.

d. Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.

Adapun yang menjadi dasar pertimbangan bahwa Badan-badan hukum tersebut dapat diberikan hak milik atas tanah adalah keperluan masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan keagamaan, sosial dan hubungan perekonomian. Pemilik hak atas tanah oleh badan-badan hukum tersebut sepanjang tanah tersebut diperlukan untuk usaha yang berkaitan langsung dengan bidang sosial dan keagamaan.

Bagi warga negara asing dan badan hukum asing tidak diperkenankan untuk memperoleh hak milik atas tanah. Hal ini tercermin dalan ketentuan pasal 21 ayat 3 UUPA yang meentukan: ”Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau

percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepas, maka hak tersebut hapus karena hukumdan tanahnya jatuh kepada negara, dan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.”

Demikian pula bagi warga negara rangkap tidak diperkenankan untuk memiliki tanah dengan hak milik. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 21 ayat 4 UUPA: “Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan bagunya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.”

Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukan baik warga negara asing maupun warga negara Indonesia yang memiliki kewarganegaraan rangkap dengan kewarganegaraan asing tidak dibolehkan untuk memiliki tanah dengan hak milik di Indonesia.

4. Terjadinya Hak Milik

Berdasarkan ketentuan pasal 22 UUPA bahwa hak milik itu dapat terjadi melalui dua cara, yaitu :

a. Hak milik terjadinya karena hukum adat yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

b. Hak milik terjadi karena:

1. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

2. Ketentuan undang-undang. 5. Peralihan Hak Milik

Pasal 20 ayat (2) UUPA menyatakan: “Hak milik atas tanah dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.” Yang dimaksud dengan beralih adalah bahwa hak milik atas tanah dapat beralih tanpa melalui perbuatan hukum tertentu dari para pihak, atau demi hukum hak milik itu dapat beralih ke pihak lain. Misalnya beralihnya hak milik atas tanah karena pewarisan, yaitu hak milik atas tanah demi hukum akan beralih ke ahli warisnya jika pewaris meniggal dunia.

Sedangkan yang dimaksud dengan dialihkan adalah bahwa hak milik atas tanah itu baru bisa beralih atau berpindah kepihak lain apabila dialihkan oleh pihak pemiliknya. Dalam hal ini terjadi suatu perbuatan hukum tertentu antara pemilik dengan pihak lain tersebut, misalnya dengan melalui jal beli, tukar menukar, sewa menyewa, hibah, perwakafan tanah milik, dan sebagainya.

Peralihan hak milik dapat dilakukan dengan jual beli, tukar menukar, penghibahan, pemberian dengan wasiat, perwakafan

tanha milik, serta menjadikan hak milik sebagai jaminan hutang

Dokumen terkait