PENUTUP
A. Kesimpulan
D
ari paparan pembahasan sebelumnya dapat disim-pulkan bahwa terrorisme dalam prakteknya telah menghiasi sejarah kehidupan bahkan sejak pertama kali manusia mengenal pola-pola interaksi sosial dan komunal. Ben-tuk-bentuk intimidasi satu individu atau sekelompok orang terhadap yang lainnya untuk tujuan-tujuan tertentu yang cenderung asosial seringkali dibingkai dalam cerita tamsil pembelajaran yang termak-tub dalam kitab-kitab dogmatic atau dalam tradisi cerita oral yang turun temurun. Istilah “terror” sebagai medium pencapaian tujuan politis sendiri bahkan telah dikenal dalam sejarah sejak masa sebe-lum masehi.Adapun sebagai sebuah formulasi konseptual, kemunculan terrorisme sebagai sebuah diskursus politik jelas tidak terlepas dari arus modernisme Barat yang membidani kelahirannya. Kemajuan budaya yang dicapai oleh bangsa Barat mengantar mereka melaku-kan ekspansi dan mempraktekmelaku-kan kolonialisme di wilayah-wilayah yang jauh dari rumah asalnya. Penguasaan wilayah lain dilandasi oleh latar belakang tujuan penguatan ekonomi dan politik sehingga setiap kekuatan colonial masing-masing terus berusaha mempertahankan
dominasi pengaruhnya di tengah arus perlawanan masyarakat lokal dan kekuatan colonial lain yang ingin menyingkirkannya. Berbagai modifikasi pelanggengan kolonialisasi dalam bentuk pemecahan ter-ritorial hingga memasang pemerintahan boneka adalah beberapa diantara langkah yang sering memicu ketidakpuasan dan berujung tindak kekerasan berdarah dengan intensitas yang mencekam. Sua-sana terror yang mencuat dari konflik di fase modernitas inilah yang mengorbitkan diskursus terrorisme pada tataran global sehingga mendapatkan perhatian dunia dan menjadi topic pembicaraan da-lam forum-forum institusi internasional.
Namun, kentalnya hegemoni politis dan ekonomis yang me-latarbelakangi diskursus terrorisme menjadi penghalang utama dari terbentuknya sebuah konsep baku yang mendefinisikan terrorisme dan disepakati secara global. Perjalanan konferensi institusi interna-sional seputar issu terrorisme yang telah berjalan hampir satu abad tak pernah berhasil mencapai consensus. Terrorisme terus bergulir sebagai sebuah konsep yang dipakai oleh satu kekuatan politik un-tuk mendiskreditkan gerakan lawan-lawan politiknya. Yang paling menjadi korban dari fenomena tersebut adalah wilayah dan komu-nitas di mana kekuatan colonial besar saling berebut pengaruh dan mayoritas dari tipikal wilayah serta komunitas itu nota bene adalah dunia Islam dan masyarakat Muslim. Hampir lebih dari 80 persen di-skursus terrorisme global di sepanjang periode tahun 1900-an selalu dikaitkan dengan Islam dan Muslim.
Hampir seluruh dunia kemudian mencapai kesepakatan ten-tang definisi terrorisme ketika Amerika Serikat menabuh genderang kampanye War against Terrorism, sebagai respon terhadap peristiwa tragedi besar serangan teroris yang menimpa negara adi daya itu.
Namun, definisi terrorisme yang diterima kemudian menjadi begitu monolitik, dalam arti bahwa semua menerima apapun konsep ter-rorisme yang didefinisikan oleh Amerika Serikat. Dalam prakteknya, Islam dan Muslim lagi-lagi menjadi korban karena sasaran perang melawan terrorisme versi AS hampir selalu menyerang wilayah dan
target-target individu maupun kelompok yang sangat kental dengan label Islam. Konsekuensinya, terrorisme dan Islam kemudian seakan menjadi idiom yang tak terpisahkan sehingga konsep “Terrorisme Islam” pun menjadi trending sebagai diskursus global.
Penyandingan kata Terrorisme yang berkesan horror den-gan Islam sebagai agama yang secara harfiah berarti damai menja-di begitu ironis. Tetapi kecenderungan menja-diskursus global yang secara intens mengekspos idiom tersebut dalam skala massif membentuk sebuah pola conditioning yang membuat sebagian besar public dunia meyakini akan eksistensi dari terrorisme Islam ini. Eskalasi fenome-na Islamophobia di kalangan non-Muslim adalah efek langsungnya.
Sedangkan di kalangan masyarakat Muslim sendiri, tak sedikit yang juga mengamini eksistensi terrorisme yang berlandaskan ajaran Is-lam.
Sebagai agama besar yang berhasil menarik seperlima pop-ulasi penduduk dunia, Islam adalah sebuah ideology yang anti ter-ror dan kekerasan. Dalam lintasan sejarah kejayaannya, dunia Islam juga pernah mengalami kasus-kasus besar yang serupa dengan ter-rorisme. Beberapa khazanah literature klasik menyitir serangkaian peristiwa terror yang mengancam keharmonisan komunitas besar Muslim. Tetapi kesemuanya itu tidak sampai pada aksi pembentu-kan formulasi konsep independen yang mengaddress issu tersebut secara khusus. Konsep yang “serupa” dengan diskursus terror-isme modern tertimbun rapi dalam bingkai konsep-konsep criminal umum yang telah terkodifikasi dengan baik dan dapat ditemukan dalam literature-literatur klasik seputar diskursus Fiqh. Konsep-kon-sep Jinayat Konsep-kon-seperti Hirabah, Qishash dan Bughat adalah pendekat-an ypendekat-ang paling sering diterapkpendekat-an oleh otoritas Muslim klasik dalam menangani kasus-kasus serupa terrorisme.
Nuansa politis juga memang tidak lepas dari penerapan kon-sep-konsep jinayat ketika otoritas Muslim pada masa kejayaannya menangani kasus-kasus kekerasan. Penerapan hukum Qishash, Bughat dan Hirabah dilakukan secara bergantian pada kasus-kasus
yang sebenarnya serupa. Penentuan hukum apa yang akan dipa-kai sangat ditentukan oleh visi politik otoritas yang tengah berkuasa pada masanya. Namun satu yang pasti adalah bahwa argumen-ar-gumen dari pemilihan hukum yang diterapkan selalu berlandaskan pada basis teks-teks al-Qur’an dan Hadis dengan seperangkat in-terpretasinya.
Pertimbangan politik serta tradisi melandaskan argumen pada interpretasi teks-teks dogmatic adalah juga merupakan tipi-kal utama dari pola masyarakat Muslim modern dalam menyikapi issu terrorisme yang dikaitkan dengan agama yang mereka anut.
Masyarakat Muslim modern faktanya berada dibawah subordinasi kekuatan Barat sehingga mereka senantiasa dipengaruhi oleh main-stream diskursus yang dikembangkan oleh patron mereka dan cend-erung berada pada posisi defensif. Oleh karenanya, sikap mereka terhadap wacana terrorisme pun menggambarkan pola apologet-ic yang mendeskripsikan ketersudutan. Reaksi sikap dari posisi ini terelaborasi dalam tiga bentuk; pertama, mengakui penuh wacana terrorisme Islam tapi memandangnya sebagai sesuatu yang justi-fied karena merupakan aksi counter dari terrorisme yang awalnya digagas lawan Islam dalam bentuk penindasan. Kedua, mengakui bahwa memang ada sebagian elemen Muslim yang menempuh pen-gamalan ajaran melalui jalur kekerasan namun perlu membedakan aksi mereka menggunakan pendekatan perjuangan dan pembelaan diri. Ketiga, menegasikan wacana terrorisme Islam dengan meman-dang bahwa para pelaku terror yang mengatasnamakan Islam se-bagai non-Muslim karena telah melanggar ketentuan ajaran agama.
Ketiga jenis reaksi ini sangat ditentukan dengan tingkat jauh-dekat-nya kebersentuhan mereka dengan Barat secara politis.
Di samping tiga kelompok yang disebutkan di atas, sebetul-nya muncul sebuah kesadaran pemahaman baru dalam masyarakat Muslim modern dalam memandang diskursus terrorisme ini. Aliran baru ini dominan berkembang dalam strata Muslim kelas menengah dan berpendidikan serta bercirikan pandangan yang lebih universal
serta komprehensif dalam memandang issu terrorisme. Bagi aliran ini terrorisme sama sekali tidak berkaitan dengan agama. Melainkan merupakan aksi kekerasan terorganisir dengan tujuan murni politis dimana agama dijadikan sebagai cover. Menurut kelompok ini setiap pemeluk agama seharusnya berdiri paling depan dalam segala upaya counter-terrorism.