• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

II.1.5. Kesulitan Keuangan dan Kebangkrutan atau

Kesulitan keuangan (financial distress) terjadi sebelum kebangkrutan. Model financial distress perlu untuk dikembangkan, karena dengan mengetahui kondisi financial distress perusahaan sejak dini diharapkan dapat dilakukan tindakan- tindakan untuk mengantisipasi kondisi yang mengarah pada kebangkrutan (Almilia dan Kristijadi, 2003). Untuk mengantisipasi munculnya kesulitan keuangan pada bank, perlu disusun suatu sistem yang dapat memberikan peringatan dini (early warning) adanya problematik keuangan yang mengancam operasional bank (Muliaman, dkk, 2004).

Kesulitan keuangan (financial distress) adalah suatu konsep luas yang terdiri dari beberapa situasi di mana suatu perusahaan menghadapi masalah kesulitan keuangan. Istilah umum untuk menggambarkan situasi tersebut adalah kebangkrutan, kegagalan, ketidakmampuan melunasi hutang, dan default. Insolvency dalam kebangkrutan menunjukkan kekayaan bersih negatif. Ketidakmampuan melunasi utang menunjukkan kinerja negatif dan menunjukkan adanya masalah likuiditas. Default berarti suatu perusahaan melanggar perjanjian dengan kreditur dan dapat menyebabkan tindakan hukum.

Beberapa pengertian mengenai financial distress telah dikemukakan oleh para peneliti. Foster (1986: 535) mendefinisikan kesulitan keuangan sebagai masalah likuiditas yang parah yang tidak dapat diatasi tanpa melakukan perubahan ukuran yang besar terhadap operasi dan struktur perusahaan. Selanjutnya Foster (1986: 536) menyebutkan beberapa indikator atau sumber informasi mengenai kemungkinan terjadinya kesulitan keuangan berupa:

1) Analisis arus kas untuk periode sekarang dan yang akan datang;

2) Analisis strategi perusahaan yang mempertimbangkan pesaing potensial, struktur biaya relatif, perluasan rencana dalam industri, kemampuan perusahaan untuk meneruskan kenaikan biaya, kualitas manajemen dan lain sebagainya;

3) Analisis laporan keuangan dari perusahaan serta perbandingannya dengan perusahaan lain; dan

Platt dan Platt (2002: 1) mendefinisikan bahwa kesulitan keuangan adalah tahap penurunan kondisi keuangan yang dialami oleh suatu perusahaan, yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Kondisi ini pada umumnya ditandai antara lain dengan adanya penundaan pengiriman, kualitas produk yang menurun, dan penundaan pembayaran tagihan dari bank. Apabila kondisi kesulitan keuangan ini diketahui, diharapkan dapat dilakukan tindakan untuk memperbaiki situasi tersebut sehingga perusahaan tidak akan masuk pada tahap kesulitan yang lebih berat seperti kebangkrutan ataupun likuidasi.

Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan umumnya mengalami penurunan dalam pertumbuhan, kemampulabaan, dan aktiva tetap, serta peningkatan dalam tingkatan persediaan relatif terhadap perusahaan yang sehat. Di samping itu kesulitan keuangan dapat juga dilihat dari melemahnya kondisi keuangan, kreditur yang mulai mengambil tindakan, pemasok yang mungkin tak mengirim bahan baku secara kredit, investasi modal yang menguntungkan mungkin harus dilepas, dan pembayaran dividen yang terganggu (Keown et al., 1991: 481).

Kebangkrutan (bankruptcy) biasanya diartikan sebagai kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi perusahaan untuk menghasilkan laba. Pernyataan kebangkrutan adalah masalah hukum yang timbul karena kreditur atau pihak tertentu mengajukan gugatan kebangkrutan (Tarmizi dan Willyanto, 2003).

Pengetahuan pengguna laporan keuangan tentang prediksi kebangkrutan usaha akan sangat membantu mereka dalam mengambil keputusan dan tindakan ekonomi. Salah satu indikator yang lazim dan sering digunakan dalam mengetahui tingkat

kebangkrutan perusahaan adalah indikator keuangan. Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan umumnya mempunyai rasio likuiditas, profitabilitas, dan aktivitas yang rendah.

Informasi kebangkrutan bisa bermanfaat bagi pengguna laporan keuangan berikut ini:

1) Manajemen

Kebangkrutan berimplikasi pada berhentinya kelangsungan perusahaan dan munculnya biaya-biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan. Dengan mendeteksi potensi terjadinya kebangkrutan sejak dini, manajemen dapat melakukan berbagai usaha antisipasi misalnya dengan merestrukturisasi keuangan atau melakukan penggabungan usaha (merger) atau usaha lainnya yang dapat mencegah terjadinya kebangkrutan.

2) Pemberi pinjaman

Informasi kebangkrutan bagi pemberi pinjaman (kreditor) akan bermanfaat dalam memutuskan siapa yang akan diberikan pinjaman beserta risiko pengembaliannya dan selanjutnya bermanfaat dalam mengawasi pinjaman yang telah diberikan. 3) Investor

Investor yang akan membeli saham atau menanamkan modalnya pada suatu perusahaan sangat berkepentingan dalam melihat kondisi kesehatan perusahaan tempatnya menanamkan modal atau investasi. Hal ini bertujuan agar investasi yang telah dilakukannya tepat serta memberikan keuntungan baginya.

4) Pemerintah

Pemerintah yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Pajak juga dapat memanfaatkan informasi kebangkrutan suatu perusahaan (Wajib Pajak). Account Representatif (AR) yang inovatif akan menggunakan informasi tersebut untuk mengoptimalkan pembayaran pajak Wajib Pajak yang menjadi tanggung- jawabnya serta memberikan saran dan asistensi terhadap Wajib Pajak yang diprediksi mengalami kebangkrutan. Bangkrutnya Wajib Pajak juga merupakan kerugian bagi pemerintah karena adanya pembayaran pajak yang akan hilang.

Darsono dan Ashari (2005), secara garis besar penyebab kebangkrutan bisa dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari bagian internal manajemen perusahaan. Sedangkan faktor eksternal bisa berasal dari faktor luar yang berhubungan langsung dengan operasional perusahaan atau faktor perekonomian secara makro.

Faktor-faktor internal yang dapat menyebabkan kebangkrutan perusahaan meliputi:

a) Manajemen yang tidak efisien akan mengakibatkan kerugian terus menerus yang pada akhirnya menyebabkan perusahaan tidak dapat membayar kewajibannya. Ketidakefisienan ini diakibatkan oleh pemborosan dalam biaya, kurangnya keterampilan dan keahlian manajemen.

b) Ketidakseimbangan dalam modal yang dimiliki dengan jumlah piutang-hutang yang dimiliki. Hutang yang terlalu besar akan mengakibatkan biaya bunga yang besar sehingga memperkecil laba bahkan bisa menyebabkan kerugian. Piutang

yang terlalu besar juga aakan merugikan karena aktiva yang menganggur terlalu banyak sehingga tidak menghasilkan pendapatan.

c) Moral hazard oleh manajemen. Kecurangan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan bisa mengakibatkan kebangkrutan. Kecurangan ini akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan yang ada pada akhirnya membangkrutkan perusahaan. Kecurangan dapat berupa manajemen yang korup atau memberikan informasi yang salah pada pemegang saham atau investor. Kasus bank yang melakukan pelanggaran batas maksimum pemberian kredit adalah contoh kasus moral hazard di mana manajemen melakukan pelanggaran terhadap rambu-rambu pengelolaan perusahaan.

Sedangkan, faktor-faktor eksternal yang bisa mengakibatkan kebangkrutan adalah sebagai berikut:

a) Perubahan dalam keinginan pelanggan yang tidak diantisipasi oleh perusahaan yang mengakibatkan pelanggan lari atau berpindah sehingga terjadi penurunan dalam pendapatan. Untuk menjaga hal tersebut perusahaan harus selalu mengantisipasi kebutuhan pelanggan dengan menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan.

b) Kesulitan bahan baku karena supplier tidak dapat memasok lagi kebutuhan bahan baku yang digunakan untuk produksi. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harus selalu menjalin hubungan baik dengan supplier dan tidak menggantungkan kebutuhan bahan baku pada satu supplier sehingga risiko kekurangan bahan baku dapat diatasi.

c) Faktor debitor juga harus diantisipasi untuk menjaga agar debitor tidak melakukan kecurangan. Terlalu banyak piutang yang diberikan kepada debitor dengan jangka waktu pengembalian yang lama akan mengakibatkan banyak aktiva menganggur yang tidak memberikan penghasilan sehingga mengakibatkan kerugian yang besar bagi perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harus selalu memonitor piutang yang dimiliki dan keadaan debitor agar dapat melakukan perlindungan dini terhadap aktiva perusahaan.

d) Hubungan yang tidak harmonis dengan kreditor juga bisa berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Apalagi dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 yang dirubah dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, kreditor bisa mempailitkan perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harus bisa mengelola hutangnya dengan baik dan juga membina hubungan baik dengan kreditor.

e) Persaingan bisnis yang semakin ketat menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki diri sehingga bisa bersaing dengan perusahaan lain dalam memenuhi kebutuhan pelanggan. Semakin ketatnya persaingan menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki produk yang dihasilkan, memberikan nilai tambah yang lebih baik lagi kepada pelanggan.

f) Kondisi perekonomian secara global juga harus selalu diantisipasi oleh perusahaan. Kasus perkembangan pesat ekonomi Cina yang mengakibatkan tersedotnya kebutuhan bahan baku ke Cina dan kemampuan Cina memproduksi barang dengan harga yang murah adalah contoh kasus perekonomian global yang

harus diantisipasi oleh perusahaan. Tingginya kebutuhan baja di Cina yang mengakibatkan harga baja naik tajam, mengakibatkan banyak industri pengecoran logam di daerah Klaten bangkrut karena biaya yang mengalami kenaikan sehingga produknya menjadi tidak kompetitif.

Dokumen terkait