C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) : a. Putusnya alkohol
7. Ketaatan pasien
Penelitian Hakim (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat menrupakan faktor prediktor untuk tercapainya remisi pada epilepsi, dimana pada penderita epilepsi yang patuh minum obat terbukti mengalami remisi 6 bulan, 12 bulan dan 24 bulan terus menerus dibanding dengan mereka yang tidak patuh minum obat. Kriteria kepatuhan minum obat yang dipakai adalah menurut Ley (1997) cit Hakim (2006) adalah penderita dikatakan patuh minum obat apabila memenuhi 4 hal berikut : dosis yang diminum sesuai dengan yang dianjurkan, durasi waktu minum obat doidiantara dosis sesuai yang dianjurkan, jumlah obat yang diambil pada suatu waktu sesuai yang ditentukan, dan tidak mengganti dengan obat lain yang tidak dianjurkan.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat pada penderita epilepsi dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan dokter, pengaruh faktor motivasi, adanya efek samping obat, pengobatan monoterapi , pengaruh biaya pengobatan serta adanya pengaruh stigma akibat epilepsi (Kyngas, 2001, Buck et al, 1997; cit Lukman,2006).
Sedangkan penelitian yang dilakukan Hakim (2006) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada penderita epilepsi adalah dukungan keluarga, dukungan dokter, motivasi yang baik, kontrol teratur dan tidak ada stigma akibat epilepsi. Dengan demikian, pada pengobatan epilepsi kita harus memperhatikan faktor-faktor apa saja yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan, disamping tentunya faktor obat yang efikasius, dosis yang tepat dan cara pemberian obat yang tepat juga harus diperhatikan.
Berdasarkan penilaian neuropsikologik terhadap anak-anak dengan epilepsi memperlihatkan masalah akademik muncul dari defisiensi kognitif spesifik dan bukan disfungsi kognitif secara umum. Gangguan kognitif berhubungan dengan jenis serangan, sindrom epilepsy, factor etiologi, munculnya serangan pada usia dini, sering mengalami serangan, focus epilepsi, dan OAE. Anak yang menerima politerapi pada umumnya mengalami gangguan kognitif yang berat dari anak yang menerima monoterapi.
Defisiensi kognitif pada anak dengan epilepsi cukup bervariasi, missal gangguan memori, penurunan kapasitas untuk memperlihatkan sesuatu, penurunan efisiensi dalam proses informasi, gangguan persepsi pendengaran dan berbahasa.
Pemberian OAE pada anak harus dipertimbangkan scara benar, dengan menghadapi efek berbeda terhadap fungsi kognitif dan perilaku. Pada anak pengaruh fenobarbital terhadap fungsi kognitif tidak begitu nyata tetapi dapat membuat anak menjadi hiperaktif. Sementara itu fenitoin dalam kadar serum yang tinggi dapat menimbulkan enselopati yang progresif, retardasi mental, dan penurunan kemampuan membaca. Karbamazepin dan valproat mengakibatkan gangguan kognitif yang ringan. Pada kadar yang tinggi, valproat dapat mengganggu fungsi motorik, sementara karbamzepin justru memperbaiki kecepatan kinerja pada gerakan selektif tertentu. Lagi pula karbamzepin dapat memperbaiki koordinasi mata-tangan dan keterampilan tangan.
Orang tuan penderita harus benar-benar mengetahui persoalan anaknya. Maka orang tua harus diberikan pengertian yang cukup dari berbagai masalah yang bersangkutan dengan epilepsy, agar diperoleh kerjasama yang baik. Dan dokter harus bersikap terbuka dan siap member informasi bila diperlukan orang tua penderita.
Sebagian penderita mengalami kenaikan frekuensi serangan selama hamil. Fenomena ini karena berbagai factor dan yang paling mencolok adalah perubahan konsentrasi OAE dalam serum. Dengan bertambahnya kehamilan maka konsentrasi OAE makin menurun. Hal ini karena perubahan dalam ikatan protein plasma.
Untuk memelihara konsentrasi OAE dalam serum dari penderita hamil, dosis OAE harus dinaikkan. Untuk fenitoin, dosisnya dinaikkan pada 85% penderita ; sementara itu kenaikan karbamazepin terjadi pada 70% penderita dan fenobarbital sebanyak 70% pula. Perubahan disposisi OAE dalam serum biasanya mulai terjadi pada umur kehamilan 10 minggu. Satu bulan sesudah melahirkan, konsentrasi dan dosis fenotoin akan kembali ke situasi sebelum terjadi kehamilan. Dan untuk karbamazepin dan fonobarbital memerlukan waktu yang lama.
Strategi monoterapi ternyata menurunkan insidensi malformasi congenital pada bayi yang ibunya mengalami epilepsy. Efek teratogenik karbamazepin atau valproat lebih rendah daripada apabila kedua jenis obat tadi tidak diberikan bersama-sama. Fenitoin bersama fenobarbital lebih bersifat teratogenik daripada Fenobarbital saja. Semetara itu efek teratogenik OAE dapat bersifat tidak langsung, yaitu melalui defisiensi asam folat. Dengan semikian dianjurkan agar pemberian OAE kepada wanita hamil selalu diberi tambahan asam folat. Status sosialekonomu yang rendah, umur penderita yang cukup tua untuk hamil, dan riwayat keluarga positif malformasi neonatus. Malformasi pada janin dapat diketahui lebih din, umur kehamilan 15-22 minggu, dengan menggunakan pemeriksaan alfa fetoprotein dan ultrasoografi.
wanita hamil yang epilepsy harus diberi nasehat (teutama sebelum konsepsi) bahwa insiden malformasi pada bayi, yang ibunya epilepsy dan diobati dengan OAE, lebih tinggi (2-3 kali lipat) daripada bayi yang ibunya tidak mengalami epilepsy. Lagi pula, anak-anak yang ibunya epilepsy, diobati atau tidak dengan OAE, cenderung lebih banyak mengalami anomaly minor daripada anak-anak yang ayahnya mengalami epilepsy atau yang tidak mengalami epilepsy.
Dari OAE yang termasuk golongan first-line (fenitoin, karbamzepin, valproat, dan fenobarbital) maka belum diketahui secara pasti obat mana yang paling bersifat teratogenik. Apabila pemberian OAE tidak dihindari, maka obat pilihan pertama harus disesuaikan dengan jenis serangan dan diberikan secara monoterapi dengan dosis efektif yang paling rendah. Diet sebelum konsepsi dan organogenesis harus dilengkapi dengan asam folat yang cukup. Kemungkinan adanya malformasidideteksi secara dini (prenatal). Penderita harus diawasi secara ketat selama masa kehamilan, persalinan, dan masa nifas. Lebih dari 90% penderita menerima OAE selama kehamilan akan melahirkan anak normal, tanpa cacat bawaan.
Petunjuk pemberian OAE selama hamil
1. Gunakan obat pilihan pertama yang sesuai dengan jenis serangan dan sindrom epilepsy
2. Laksanakan prinsip monoterapi dengan dosis dan kadar dalam serum yang paling rendah dan efektif untuk melindungi terhadap serangan tonik-klonik 3. Hindari penggunaan valproat atau karmazepin apabila ada riwayat
keluarga tentang efek neural-tube
4. Hindari politerapi, khususnya kombinasi dengan valproat, karbamazepin dan fenobarbital
5. Pantaulah kadar OAE dalam serum secara teratur dan apabila mungkin periksalah kadar OAE bebas atau tak terkait
6. Teruskanlah pemberian tambahan folat setiap harinya dan pastikan kadar folat dalam serum dan eritrosit dalam batas normal selama periode organogenesis pada trimester pertama
7. Apabila kadar valproat, hindari kadar dalam serum yang tinggi. Bagilah obat tadi 3-4 kali pemberian setiap harinya
8. Pada kasus-kasus yang diberi valproat atau karbamazepin, tawarkanlah untuk pemeriksaan alfa fetoprotein pada umur kehamilan 16 minggu dan pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan 18-19 minggu, untuk mencari defek neural-tubee
Ultrasonografi pada kehamilan 22-24 minggu dapat mendeteksi sumbing dan kelainan jantung
Epilepsi yang sukar diobati
Dalam literature dikenal istilah intractable epilepsy atau refractory epilepsy, yang berarti bahwa serangan yang ada sulit untuk tak dapat dikendalikan dengan OAE bahwa dengan dosis yang mendekati dosis toksik. Kasus demikian ini merupakan 20-30% dari seluruh penderita epilepsy. Apabila menghadapi keadaan maka ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan, antara lain :
a. Apakah diagnosisnya sudah benar
b. Apakah penderita patuh minum obat secara teratur
c. Apakan OAE yang diberikan sudah sesuai dengan jenis serangan yang ada d. Apakah ada gangguan absorbs pada saluran pencernaan
e. Apakah ada interaksi dengan obat yang lain
f. Apakah ada kelainan struktur otak, misalnya massa, tumor, infark, kalsifikasi difus, hidrosefalus dan
g. Apakah ada factor presipitasi misalnya kurang tidur, kelelahan, cahaya berkedip-kedip dan emosi
Beberapa jenis obat (OAE dan bukan OAE) telah dicoba untuk mengatasi epilepsy yang sukar dikendalikan serangannya. Flunarizin dan nefepin, dua jenis kalsium antagonist yang berbeda, pernah dicoba sebagai adjuvant untuk
mengatasi serangan epilepsy yang refrakter. Kedua obat tadi menunjukkan hasil yang lumayan baik, namun demikian ada pula penderita yang tetap mengalami serangan.
Terapi operatif
Apabila dengan berbagai jenis OAE dan adjuvant tidak memberikan hasil sama sekali, maka terapi operatif harus diperimbangkan dalam satu dasawarsa terakhir, tindakan operatif untuk mempercepat untuk mengatasi epilepsy refrakter makin banyak dikerjakan. Operasi yang paling aman adalah reseksi lobus temporalis bagian anterior. Lebih kurang 70-80% penderita yang mengalami operasi terbebas dari serangan, walaupun diantaranya harus minum obat OAE. Pendekatan teknik operasi lainnya adalah reseksi korteksi otak, hemisferektomi, dan reseksi multilobular pada bayi dan pembedahan korpus kalosum.
Penghentian pengobatan
Keputusan untuk menghentikan pengobatan sama pentingnya dengan memulai pengobatan. Dipihak lain, penderita atau orang tua nya pada umumnya menanyakan : berapa lama atau sampai kapan harus minum obat? untuk memutuskan apakah pengobatan dapat dihentikan atau belum, atau tidak dapat dihentikan atau menjawab pertanyaan yang diajukan penderita/ orang tuanya tadi memang tak mudah. Untuk itu perlu memahami diagnosis (termasuk serangannya) dan prognosis epilepsy.
Jenis serangan dapat pula dipakai untuk memperkirakan tingkat kekambuhan apabila OAE dihentikan. Tingkat kekambuhan yang paling rendah adalah jenis serangan absence yang khas. Kemudian berturut-turut makin tinggi tingkat kekambuhannya adalah klonik atau mioklonik, kejang tonik-klonik primer, parsial sederhanadan parsial kompleks, serangan yang lebih dari satu jenis, dan epilepsy Jackson.
Konsep penghentian obat minimal 2 tahun terbebas dari serangan pada umumnya dapat diterima oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Dengan demikian jelas bahwa penghentian OAE memerlukan pertimbangan yang cermat, dan kepada penderita atau orang tuanya harus diberikan pengertian secukupnya.
BAB III PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal. Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk berulang.
3.2.Saran
Mahasiswa yang sedang menjalani kepaniteraaan klinik perlu terus melatih kemampuan melakukan pemeriksaan fisik khususnya neurologis, sehingga tanda khas dari suatu kelainan dapat dikenali.