• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETAHANAN VARIAN PISANG (Musa acuminata, AAA)

cv. AMPYANG TERHADAP LAYU FUSARIUM

Abstrak

Penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp.

cubense (Foc) merupakan masalah utama dalam pemuliaan pisang. Strategi pengendalian terhadap patogen ini adalah dengan perolehan kultivar yang tahan di antaranya melalui teknik mutasi induksi dan seleksi in vitro. Tujuan percobaan untuk mendapatkan tanaman pisang cv. Ampyang tahan terhadap layu

Fusarium. Evaluasi ketahanan dilakukan pada varian tanaman yang berasal dari hasil mutasi induksi yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro, dan varian tanaman hasil mutasi induksi tanpa tahapan seleksi in vitro. Evaluasi di rumah kaca terhadap ketahanan varian tanaman yang berasal dari hasil mutasi induksi dengan iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro dihasilkan 48 klon tanaman (40.8%) terindikasi tahan terhadap layu Fusarium. Tanaman tersebut berasal dari hasil evaluasi dengan Foc isolat Medan VCG 01213/16 sebanyak 28 klon (36.4%) dan hasil evaluasi dengan Foc isolat Banyuwangi sebanyak 20 klon (48.9%). Evaluasi di rumah kaca terhadap varian tanaman pisang hasil mutasi induksi tanpa tahapan seleksi in vitro diperoleh 5 klon tanaman (13.8%) terindikasi tahan layu Fusarium. Evaluasi ketahanan tanaman varian hasil mutasi induksi pada lahan endemik layu Fusarium menunjukkan bahwa 5 klon anakan (4.9%) yang berasal dari tanaman 0, 30, 50 Gy mampu bertahan hidup dan diidentifikasi sebagai klon tanaman yang tahan terhadap layu Fusarium.

Kata kunci: Induksi mutasi, seleksi in vitro, Foc isolat Banyuwangi, Foc isolat Medan VCG 01213/16.

RESISTANCE OF BANANA VARIANTS cv. AMPYANG

(Musa acuminata, AAA) TO FUSARIUM WILT

Abstract

Fusarium wilt caused by Fusarium oxysporum f.sp. cubense is a major problem in banana breeding. Mutation breeding and in vitro selection is one of control strategy to obtain banana resistant to Fusarium wilt. The objectived of this experiment were to obtain banana cv. Ampyang resistant to Fusarium wilt. Evaluate resistance of banana conducted on banana variant regenerated from induced mutation followed by in vitro selection, and banana variant regenerated from induced mutation without in vitro selection. Glasshouse evaluation of banana variant regenerated from induced mutation followed by in vitro selection produce 48 clones (40.8%) indicated resistant to Fusarium wilt. Twenty eight resistant clones were evaluated from Foc of Medan isolate, and twenty clones were comes from Foc of Banyuwangi isolate. Evaluation of banana variant regenerated from induced mutation without in vitro selection produced 5 clones (13.8%) indicated resistant to Fusarium wilt. Evaluation resistance of banana in endemic Fusarium wilt field indicated that 5 clones (4.9%) regenerated from 0, 30 and 50 Gy gamma iraradiation were survived and identified as a resistant clones to Fusarium wilt.

Keyword: Induced mutation, in vitro selection, Foc of Banyuwangi isolate, Foc of Medan isolate VCG 01213/16.

Pendahuluan

Pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, genom AAA, subgrup non- Cavendish) merupakan jenis pisang meja yang sudah jarang dibudidayakan oleh petani di Indonesia sehingga sulit dijumpai di pasar tradisional dan modern, selain di Indonesia pisang ini terdapat di Malaysia (cv. Amping) dan Filipina (cv. Amo) (Valmayor et al. 2000). Pengembangan tanaman pisang ini memiliki kendala di antaranya serangan penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan

Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp. cubense (E. F. Smith) Snyder and Hansen (Foc). Foc merupakan cendawan tular tanah yang menyerang akar tanaman pisang dan plantain yang tersebar luas di berbagai perkebunan pisang, sangat destruktif dan merupakan penyakit tanaman yang sangat merugikan, karena Foc akan mengolonisasi jaringan vaskuler tanaman yang berperan dalam transpotasi air dan bahan makanan dari akar ke daun (Agrios 2005). Penyakit layu Fusarium atau

Panama disease ini merupakan masalah utama yang menurunkan produksi tanaman pisang dan plantain (Musa spp) (Ploetz 1997, Moore et al. 2001, Hwang & Ko 2004, Smith et al 2006).

Peningkatan dan pengembangan tanaman pisang yang resisten terhadap layu Fusarium dapat dilakukan di antaranya melalui pemuliaan mutasi dan seleksi

in vitro. Induksi mutasi dengan iradiasi gamma secara in vitro dilakukan untuk meningkatkan keragaman genetik pisang, karena usaha untuk pengembangan klon yang resisten terhadap Fusarium oxysporum f. sp. cubense menggunakan teknik pemuliaan konvensional memiliki keberhasilan yang sangat rendah (Stover & Buddenhagen 1986; Predieri 2001; Companioni et al 2003). Poliploidi, fertilitas jaringan reproduktif yang rendah dan jantan steril pada tanaman pisang (AAA) dan

plantain (AAB dan ABB) merupakan faktor utama keberhasilan yang rendah tersebut. Penggunaan teknik mutasi induksi memiliki keunggulan, namun teknik mutasi induksi menyebabkan terjadi mutasi secara acak, dan sifat mutan yang didapatkan bersifat acak pula (Medina et al. 2004; Mak et al. 2004) sehingga evaluasi varian perlu dilakukan secara menyeluruh di rumah kaca dan di lapangan.

Perolehan tanaman yang resisten terhadap layu Fusarium dilakukan pula melalui mutasi induksi dengan iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro secara bertingkat dengan tujuan untuk meningkatkan kemungkinan perolehan klon-klon tanaman yang resisten layu Fusarium. Sistem seleksi secara in vitro

untuk resistensi terhadap F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) telah dideskripsikan untuk tanaman pisang dan plantain (Morpugo et al. 1994; Matsumoto et al. 1995, 1999; Hwang & Ko, 2004; Smith et al. 2006). Pada tanaman pisang teknik ini telah digunakan antara lain pada pisang cv. Highgate asal Jamaica dan Honduras (Bhaghwat & Duncan 1998; Ploetz et al. 2007), pisang cv. Ambon Kuning (Sutarto et al. 1998), pisang cv. Cavendish (Hwang & Ko 2004), dan pisang cv. Dwarf Parfitt (Smith et al. 2006).

Tujuan percobaan: (1) mendapatkan klon-klon pisang cv. Ampyang resisten layu Fusarium yang berasal dari varian hasil mutasi induksi dengan iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro; (2).mendapatkan klon- klon pisang cv. Ampyang resisten layu Fusarium yang berasal dari varian hasil mutasi induksi dengan iradiasi gamma tanpa melalui tahapan seleksi in vitro;

Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2009 sampai Juni 2011. Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan adalah varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma usia 3 bulan setelah aklimatisasi, varian hasil iradiasi gamma usia 6-8 bulan, serta varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro usia 2 bulan setelah aklimatisasi.

Pada tahapan ini perolehan pisang cv. Ampyang tahan terhadap penyakit layu Fusarium dilakukan melalui tiga kegiatan percobaan: (1) Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro terhadap layu Fusarium di rumah kaca. (2) Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma terhadap layu

Fusarium di rumah kaca. (3) Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma di lahan endemik layu Fusarium.

Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan seleksi in vitro terhadap layu Fusarium di rumah kaca.

Bahan tanaman pada kegiatan percobaan ini adalah bibit varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro secara bertingkat. Plantlet varian insensitif Foc hasil seleksi in vitro yang mampu bertahan hidup sampai usia 2 bulan setelah aklimatisasi, dievaluasi kembali sifat ketahanannya di rumah kaca. Pengujian ketahanan klon tanaman dilakukan dengan menginfeksi akar tanaman dengan cendawan F. oxysporum

f.sp. cubense isolat Medan VCG 01213/16 dan isolat Banyuwangi.

Akar tanaman pisang dibersihkan dan dicuci dibawah air mengalir dan larutan klorox komersial 5%, selanjutnya akar dipotong sepanjang 2-3 cm dari pangkal akar dan direndam dalam larutan berisi suspensi konidia Foc dengan kerapatan 2.5 x 107 konidia mL-1 selama 2 jam dibawah sinar matahari. Tanaman pisang ditanam dalam gelas plastik 300 ml berisi media tanam untuk tanaman buah dengan komposisi: tanah (33%), pupuk kandang (33%), humus (33%), NPK (0.4%), pestisida (0.3%) dan dolomit (0.3%). Tanaman ditumbuhkan sampai usia 2 bulan setelah inokulasi dan diamati usia tanaman mengalami kematian, persentase kematian bibit, panjang akar, skoring gejala kelayuan pada bibit dan skoring gejala nekrosis pada bonggol pisang.

Skoring gejala layu pada bibit pisang akibat infeksi Foc (skor 0-4) dilakukan mengikuti kriteria yang dikembangkan Epp (1987), yaitu: skor 0 – bibit sehat dan tidak menunjukkan gejala layu; skor 1 – daun bagian bawah sedikit dan mengering; skor 2 – peningkatan jumlah daun yang menguning dan bibit mulai layu; skor 3 – seluruh bibit mengering kecuali daun baru atau belum membuka;

skor 4 – bibit mati. Skoring gejala nekrosis pada bonggol pisang dilakukan sebagai berikut: skor 0 – tidak terjadi perubahan warna bonggol; skor 1 – nekrosis antara 0-5%; skor 2- nekrosis 6-20%; skor 3 – nekrosis 21-50%; skor 4 – nekrosis 51-99% (lebih dari 50%); dan skor 5 –nekrosis 100% (Moore et al. 1993; Carlier et al. 2002).

Intensitas penyakit (IP) untuk gejala kelayuan bibit dan nekrosis bonggol ditentukan dengan rumus: IP = [ ∑(ni x si)/(N x S) ] x 100%; dengan ni: jumlah bibit dengan skor gejala i; si: skor gejala i, N: jumlah total bibit yang diamati, S: skor gejala tertinggi (Chachinero et al. 2002). Penentuan respon bibit pisang terhadap infeksi Foc dilakukan dengan kriteria: imun (I) - jika IP = 0%; tahan (T) – jika IP antara 0-5%; agak tahan (AT) – jika IP antara 5-10%; agak rentan (AR) – jika IP antara 10-25%, rentan (R) – jika IP antara 25-50%; dan sangat rentan (SR) – jika IP > 50%(Yusnita & Sudarsono 2004).

Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma terhadap layu Fusarium di rumah kaca.

Varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma, ditumbuhkan di halaman pekarangan sampai usia 3 bulan. Evaluasi ketahanan varian tanaman dilakukan dengan metode yang diperoleh dari percobaan sebelumnya. Akar tanaman pisang dipotong sampai berukuran 2-3 cm dari pangkal akar, selanjutnya akar direndam dalam suspensi konidia Foc isolat Banyuwangi dengan kerapatan 2.5 x 107 konidia mL-1 selama 2 jam dibawah sinar matahari. Tanaman ditumbuhkan dalam gelas plastik beukuran 300 ml berisi media tanam dengan komposisi: tanah (33%), pupuk kandang (33%), humus (33%), NPK (0.4%), pestisida (0.3%) dan dolomit (0.3%). Tanaman ditumbuhkan dan diamati skor gejala kelayuan bibit 2 bulan setelah inokulasi berdasarkan Epp (1987) dan karakter agronomis tanaman secara kuantitatif.

Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma terhadap layu Fusarium di lapangan.

Varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara

in vitro, usia 6-8 bulan ditanam di lahan endemik cendawan Foc di lapangan dengan dengan jarak 2 m antar baris dan 2 m dalam baris (2x2m) dalam lubang tanam berukuran 25 x 25 x 25cm (p x l x d). Pemeliharaan tanaman dilakukan sesuai dengan kondisi di lapangan seperti penyiangan gulma dan pemberian pupuk kandang. Tanaman ditumbuhkan sampai berbuah, dan pengamatan terhadap pertumbuhan vegetatif dilakukan pada saat usia tanaman 12 bulan terhadap persentase tanaman yang dapat bertahan hidup dan karakter kuantitatif tanaman berupa jumlah anakan, jumlah pelepah daun, tinggi tanaman, lingkar batang semu, dan rasio panjang dan lebar daun maksimum. Pertumbuhan generatif diamati pada saat panen, terhadap karakter kuantitatif buah berupa berat buah per tandan, jumlah sisir per tandan, jumlah buah per tandan. Pengamatan karakter kualitatif dilakukan pada sampel buah secara duplo pada setiap perlakuan yang diuji, berupa persentase kadar air, abu, lemak, protein, serat kasar dan kandungan karbohidrat. Pembuktian kematian tanaman akibat layu Fusarium dilakukan dengan mengisolasi ada tidaknya cendawan Foc yang diambil pada batang semu pisang yang terinfeksi.

Hasil dan Pembahasan

Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan seleksi in vitro terhadap layu Fusarium di rumah kaca

Bibit varian pisang cv. Ampyang insensitif FK Foc yang diperoleh dari hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro dari percobaan sebelumnya yang keseluruhannya berjumlah 118 bibit (Tabel 25), di evaluasi kembali sifat ketahanannya di rumah kaca dengan menginfeksi akar bibit varian dengan konidia F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) isolat Medan dan Foc isolat Banyuwangi. Inokulasi Foc dilakukan dengan metode perendaman akar selama 2 jam dalam suspensi konidia Foc kerapatan 2.5 x 107 kon mL-1. Pengamatan tanaman akibat infeksi Foc dilakukan terhadap skoring gejala kelayuan bibit pisang (skor 0-4) (Epp 1987) dan nekrosis bonggol tanaman pisang (skor 0-5) (Moore et al. 1993; Carlier et al. 2002). serta panjang akar pisang yang diamati pada usia 2 bulan setelah inokulasi (Gambar 30).

Gambar 30 Respon varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil seleksi in vitro yang di infeksi konidia Foc: (a-e) representatif gambar skoring gejala kelayuan bibit pisang pada skor 0-4, (f-k) representasi gambar skoring nekrosis bonggol pada skor 0-5

Evaluasi ketahanan varian terhadap infeksi Foc isolat Medan

Evaluasi ketahanan tanaman varian hasil seleksi in vitro terhadap konidia

Foc isolat Medan diperoleh gambaran bahwa gejala kelayuan dan nekrosis bonggol sudah terlihat 2-8 minggu setelah infeksi. Pertumbuhan akar dan bulu akar cukup banyak, yang menunjukkan bahwa tanaman mengalami cekaman biotik.

Skor 0 Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 Skor 0 Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 Skor 5

a

d

e

c

b

f

j

i

h

g

k

Tabel 27 Ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro terhadap layu Fusarium pada usia 2 bulan setelah diinfeksi konidia Foc isolat Medan di rumah kaca

Varian tanaman hasil iradiasi Jumlah tanaman yang diinfeksi Jumlah & persentase tanaman yang mati Panjang akar (cm) Rataan skor kelayuan bibit IP (%) Rataan skor nekrosis bonggol IP (%) Kthn Rataan ± SE 20 Gy 1 1 (100.0)* 14.00 0.00 4.00 100.0 5.00 100.0 SR 25 Gy 9 8 ( 88.8) 8.67 3.84 3.56 88.9 4.11 77.8 SR 30 Gy 27 6 ( 22.2) 23.59 2.37 1.56 38.9 2.59 64.8 R 35 Gy 1 1 (100.0) 19.50 0.00 4.00 100.0 5.00 100.0 SR 40 Gy 11 8 ( 72.7) 11.59 2.70 3.36 84.1 3.82 76.4 SR 45 Gy 12 7 ( 58.3) 15.06 3.22 2.75 68.8 3.75 75.0 SR 50 Gy 16 6 ( 37.5) 17.13 3.08 1.75 43.8 2.75 55.0 R

Keterangan:* = Ʃ tanaman yang hidup 2 bln setelah infeksi / Ʃ tanaman yang diinfeksi Foc x 100% IP = Intensitas Penyakit (%); Kthn = Ketahanan; R = Rentan, SR = Sangat Rentan.

Bibit tanaman insensitif FK Foc yang berasal dari hasil iradiasi 20 dan 35 Gy masing-masing hanya 1 tanaman yang dapat di evaluasi (Tabel 27), karena hanya tanaman tersebut yang bertahan hidup dari 67 dan 26 plantlet insensitif FK

Foc 60% yang diaklimatisasi pada percobaan sebelumnya (Tabel 26). Tanaman tersebut mengalami kematian 2 bulan setelah infeksi dikategorikan sebagai tanaman yang sangat rentan (SR). Tanaman insensitif FK Foc hasil iradiasi 25, 40 dan 45 Gy beberapa mampu bertahan hidup, persentase kematian tanaman masing- masing 88.8, 72.7 dan 58.3%, dengan rataan skoring gejala kelayuan bibit berkisar 2.75-3.36, pada kisaran tersebut rata-rata seluruh bibit mengering kecuali daun baru atau belum membuka (Epp 1987). Skor rataan nekrosis bonggol berkisar 3.75- 4.11, pada kisaran tersebut lebih dari 50% bonggol mengalami nekrosis (Carlier et al. 2002). Intensitas penyakit (IP) pada daun dan bonggol diatas 50%, sehingga tanaman tersebut dikategorikan sebagai tanaman sangat rentan (SR) terhadap penyakit layu Fusarium.

Jumlah dan persentase kematian tanaman insensitif FK Foc yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy cukup rendah yaitu 22.2%, dari 27 tanaman yang diinfeksi hanya 6 tanaman mengalami kematian. Tanaman tersebut memiliki rataan panjang akar terbesar (23.59 cm ± 2.37), rataan skor gejala kelayuan 1.56 dengan intensitas penyakit (IP) 38.9%, serta skor nekrosis bonggol 2.59 dengan IP pada bonggol 64.58%. Berdasarkan kriteria Mak et al. (2004) jika intensitas penyakit daun

menunjukkan rentan (R) dan intensitas penyakit bonggol sangat rentan (SR), maka tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy dikategorikan sebagai tanaman yang rentan (R) terhadap penyakit layu Fusarium (Tabel 27), walaupun dijumpai beberapa tanaman yang tidak menunjukkan gejala kelayuan bibit. Tanaman insensitif Foc yang berasal dari hasil iradiasi 50 Gy juga dikategorikan sebagai tanaman yang rentan (R), namun jumlah tanaman yang mati cukup rendah yaitu 37.5%, dengan panjang akar 17.13 cm ± 3.08. Pada Gambar 31 diajikan representasi gambar kelayuan tanaman dan nekrosis bonggol pisang hasil infeksi dengan konidia Foc isolat Medan pada usia 2 bulan setelah inokulasi.

Gambar 31 Respon ketahanan bibit varian insensitif Foc hasil seleksi in vitro

setelah 2 bulan diinfeksi dengan konidia F. oxysporum f.sp. cubense

isolat Medan di rumah kaca. Gambar horizontal (a) Gejala kelayuan bibit dan nekrosis bonggol (insert), (b) gejala kelayuan bibit dan nekrosis bonggol pisang cv. Ampyang.

45 Gy (4) 35 50 Gy (3) 10 30 Gy (3) 37 25 Gy (4) 31 50 Gy (3) 18

a

b

b

Tabel 28 Identifikasi tanaman varian pisang cv. Ampyang usia 2 bulan setelah infeksi. Persentase tanaman yang bertahan hidup, dan yang mengalami

recovery, usia 6 bulan setelah diinfeksi konidia Foc isolat Medan.

Varian tanaman

hasil iradiasi Kode tanaman

Panjang akar (cm) Skor gejala kelayuan bibit Skor nekrosis bonggol Persentase (%) tanaman yg hidup 6 bln setelah infeksi 25 Gy (4) 31 37.5 0 1 (11.1) 30 Gy (3) 8 39.0 0 0 (44.4) (3) 16 28.5 0 3 (3) 17 38.5 0 2 (3) 18b 24.0 1 1 (3).19 27.5 0 2 (3) 19b 20.0 0 1 (3) 23 18.5 1 1 (3) 23b 42.0 1 2 (3) 28 26.0 0 1 (3) 31 (recovery) 18.5 3 2 (3) 35 (recovery) 32.5 2 2 (3) 36 33.0 1 1 40 Gy (4) 15 (recovery) 3.0 4 5 (27.3) (4) 15b 21.5 1 2 (4) 32 32.0 1 2 45 Gy (4) 4 (recovery) 2.0 4 4 (16.7) (4) 35 19.5 1 2 50 Gy (3) 1 21.0 1 2 (62.5) (3) 4 16.5 1 1 (3) 5 14.0 2 3 (3) 8 20.0 0 1 (3) 9 19.5 1 1 (3) 10 40.0 0 1 (3) 14 31.0 1 3 (1) 18 37.0 1 2 (1) 19 22.0 0 1 (3) 24 20.5 0 2

Keterangan. Persentase tanaman yang hidup 6 bln setelah infeksi = Ʃ tanaman yang hidup setiap perlakuan / Ʃ bibit yang diinfeksi dengan konidia Foc pada setiap perlakuan x 100%.

Tanaman yang telah dikarakteristik ketahanannya pada usia 2 bulan setelah infeksi, diamati kembali fenotipik tanaman sampai usia 6 bulan setelah infeksi di rumah kaca. Hasil pengamatan memperlihatkan beberapa fenomena yaitu tanaman yang semula menunjukkan gejala kelayuan bibit dan nekrosis bonggol pada usia 2 bulan setelah infeksi, beberapa mengalami recovery dimana daun-daun muda yang tumbuh tidak mengalami kelayuan dan tumbuh sehat. Sebanyak 4 tanaman yang

mengalami kematian 2-4 minggu setelah infeksi, juga mengalami recovery dengan tumbuh anakan (Tabel 28), dan dijumpai pula tanaman yang baru menunjukkan gejala kelayuan dan kematian 6 bulan setelah infeksi.

Evaluasi ketahanan tanaman setelah berusia 6 bulan di rumah kaca (Tabel 28), dihasilkan 28 tanaman (36.4%) dari 77 tanaman yang diinfeksi dengan Foc

isolat Medan VCG 01213/16 terindikasi tahan terhadap layu Fusarium. Persentase perolehan tanaman yang tahan banyak dijumpai pada tanaman hasil seleksi in vitro

yang berasal dari hasil iradiasi 50 Gy yang berjumlah 10 tanaman (62.5%), diikuti tanaman yang berasal dari 30 Gy berjumlah 12 tanaman (44.4%). Tanaman hasil seleksi in vitro yang berasal dari hasil iradiasi 25, 40 dan 45 Gy masing-masing hanya menghasilkan 1 tanaman (11.1%), 3 tanaman (27.3%) dan 2 tanaman (16.7%) terindikasi tahan layu Fusarium.

Evaluasi ketahanan varian terhadap infeksi Foc isolat Banyuwangi.

Evaluasi ketahanan tanaman varian hasil seleksi in vitro dengan Foc isolat Banyuwangi diperoleh gambaran bahwa jumlah tanaman yang bertahan hidup lebih banyak, kecuali tanaman insensitif FK Foc yang berasal dari hasil iradiasi 20 Gy, dimana 1 tanaman yang bertahan hidup dan diinfeksi dengan konidia Foc

mengalami kematian. Gejala kelayuan bibit muncul lebih lama dibandingkan dengan infeksi Foc isolat Medan. Pada umumnya tanaman menunjukkan gejala kelayuan pada 4 – 8 minggu setelah akar diinfeksi Foc isolat Banyuwangi.

Hasil pengamatan yang disajikan pada Tabel 29 memperlihatkan bahwa 4 bibit tanaman insensitif FK Foc isolat Banyuwangi yang berasal dari hasil iradiasi 25 Gy, sebagian (50%) mengalami kematian dengan intensitas penyakit (IP) pada daun dan bonggol diatas 50% sehingga dikategorikan sebagai tanaman yang sangat rentan (SR) terhadap layu Fusarium. Tanaman insensitif FK Foc yang berasal dari hasil iradiasi 20, 30, 40, 45 dan 50 Gy memiliki rataan skor gejala kelayuan bibit berkisar 1.07 – 2.00, dengan intensitas penyakit (IP) berkisar 37.5- 50.0%. Pada kisaran tersebut rata-rata daun bagian bawah sedikit mengering dan terjadi peningkatan jumlah daun yang menguning dan bibit mulai layu (Epp 1987). Skor nekrosis bonggol memiliki rataan berkisar 2.00 - 2.60, dengan IP berkisar 41.4- 52.0%. Pada kisaran tersebut kerusakan meliputi 6-20% dari lingkar bonggol (Carlier et al. 2002), sehingga dikategorikan sebagai tanaman yang rentan (R)

terhadap layu Fusarium. Representasi gambar tanaman hasil iradiasi 30. 45 dan 50 Gy setelah diinfeksi Foc isolat Banyuwangi disajikan pada Gambar 32.

Tabel 29 Ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro terhadap layu Fusarium, usia 2 bulan setelah diinfeksi konidia Foc isolat Banyuwangi di rumah kaca.

Varian tanaman hasil iradiasi Jumlah tanaman yang diinfeksi Jumlah & persentase tanaman yang mati Panjang akar (cm) Rataan skor kelayuan bibit IP (%) Rataan skor nekrosis bonggol IP (%) Kthn Rataan ± SE 20 Gy 1 1 (100.0)* 19.50 0.00 2.00 50.0 2.00 50.0 R 25 Gy 4 2 ( 50.0) 13.38 4.31 2.75 68.8 3.00 75.0 SR 30 Gy 14 2 ( 14.3) 22.07 1.16 1.07 26.8 2.07 41.4 R 40 Gy 5 1 ( 20.0) 21.30 5.46 2.00 50.0 2.60 52.0 R 45 Gy 11 4 ( 36.4) 17.55 3.03 1.82 45.5 2.36 47.3 R 50 Gy 6 2 ( 33.3) 15.83 3.88 1.50 37.5 2.50 46.7 R

Keterangan:* = Ʃ tanaman yang hidup 2 bln setelah infeksi /Ʃ tanaman yang diinfeksi Foc x 100% IP = Intensitas Penyakit (%); Kthn = Ketahanan; R = Rentan, SR = Sangat Rentan.

Gambar 32 Respon ketahanan bibit varian insensitif Foc hasil seleksi in vitro

setelah 2 bulan diinfeksi dengan konidia F. oxysporum f.sp. cubense

isolat Banyuwangi di rumah kaca. Gambar horizontal (a) Gejala kelayuan bibit dan (b) gejala nekrosis bonggol pisang cv. Ampyang.

50 Gy (1) 17b 45 Gy (4) 11

30 Gy (3) 24

a

Tanaman varian insensitif FK Foc yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy memiliki persentase kematian terendah (14.3%), walaupun dikategorikan sebagai tanaman yang rentan terhadap layu Fusarium, namun memiliki rataan panjang akar tertinggi (22.07 cm ± 1.16 cm) dan skor gejala kelayuan bibit terendah yaitu 1.07 serta skor nekrosis bonggol 2.07. Intensitas penyakit (IP) daun 26.8% dan IP nekrosis bonggol (41.4%) lebih rendah dari tanaman varian lainnya (Tabel 29). Pada skor tersebut, hanya bagian bawah daun yang sedikit mengering, dengan kerusakan bonggol berkisar 6-20%, sehingga di antara tanaman tersebut dijumpai beberapa tanaman yang tumbuh sehat dan tidak menunjukkan gejala kelayuan. Kemampuan tumbuh tanaman setelah infeksi Foc isolat Banyuwangi diamati kembali pada usia 6 bulan (Tabel 30).

Tabel 30 Identifikasi tanaman varian pisang cv. Ampyang, usia 2 bulan setelah infeksi. Persentase tanaman yang bertahan hidup, dan yang mengalami

recovery, usia 5 bulan setelah diinfeksi konidia Foc isolat Banyuwangi.

Varian tanaman hasil iradiasi Kode tanaman Panjang akar (cm) Skor gejala kelayuan bibit Skor nekrosis bonggol Persentase (%) tanaman yg hidup 6 bln setelah infeksi 25 Gy (4) 30 16.5 1 1 (50.0) (4) 37 (recovery) 12.5 4 4 30 Gy (3) 1 27.5 1 2 (71.4) (3) 1b 29.0 1 2 (3) 4 19.0 3 5 (3) 11 23.5 0 1 (3) 21b 16.0 1 2 (3) 24 22.5 1 2 (3) 26 24.5 0 1 (3) 29 30.0 1 2 (3) 31b 19.5 0 2 (3) 33 20.0 1 2 40 Gy (4) 12 16.5 1 1 (20.0) 45 Gy (4) 11 23.5 1 1 (27.3) (4) 12 22.0 0 0 (4) 35 25.0 0 2 50 Gy (1) 17b 30.5 0 2 (66.7) (3) 18b (recovery) 15.5 1 2 (2) 22 20.0 0 1 (3) 27 18.0 0 0

Keterangan. Persentase tanaman yang hidup 6 bln setelah infeksi = Ʃ tanaman yang hidup setiap perlakuan / Ʃ bibit yang diinfeksi dengan konidia Foc pada setiap perlakuan x 100%.

Hasil pengamatan pada usia 6 bulan setelah infeksi memperlihatkan bahwa 2 tanaman mengalami recovery dengan tumbuh anakan, dan dijumpai pula tanaman yang baru menunjukkan gejala kelayuan. Evaluasi ketahanan tanaman setelah diinfeksi dengan Foc isolat Banyuwangi usia 6 bulan di rumah kaca, menghasilkan 20 tanaman (48.9%) dari 41 tanaman yang terindikasi tahan terhadap layu

Fusarium. Persentase perolehan tanaman yang tahan banyak dijumpai pada tanaman hasil seleksi in vitro yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy yang berjumlah 10 tanaman (71.4%), diikuti dengan tanaman yang berasal dari 50 Gy berjumlah 4 tanaman (66.7%). Tanaman hasil seleksi in vitro yang berasal dari hasil iradiasi 25, 40 dan 45 Gy masing-masing hanya menghasilkan 2 tanaman (50.0%), 1 tanaman (20.0%) dan 3 tanaman (27.3%) yang terindikasi tahan layu Fusarium (Tabel 30).

Evaluasi fenotipik ketahanan tanaman pada usia 6 bulan setelah infeksi memberi gambaran bahwa tanaman varian pisang yang berasal dari hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro di rumah kaca dengan Foc isolat Banyuwangi terlihat lebih banyak yang mampu bertahan hidup dibandingkan tanaman yang diinfeksi dengan Foc isolat Medan. Hal ini memberi gambaran umum bahwa Foc isolat Medan lebih virulen dibandingkan Foc isolat Banyuwangi.

Dokumen terkait