• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN UMUM

Program penelitian dan pengembangan tanaman buah di Indonesia, terutama peningkatan genetik, produksi dan kualitas buah untuk perbaikan sosioekonomi dan produk pertanian berdasarkan industri, serta mampu menjadi penunjang untuk peningkatan kesejahteraan petani, masih belum cukup tersedia. Menurut IAEA (2009), di daerah tropis dan sub tropis program pengembangan tanaman buah mengalami stagnasi karena kurangnya perhatian pada tanaman hortikultura, adanya pertumbuhan populasi manusia dan pertumbuhan industrialisasi yang cepat, serta deforesisasi memicu hilangnya plasma nutfah untuk pengembangan tanaman buah.

Target di dalam pemuliaan tanaman pisang atau dalam pemuliaan tanaman pangan lainnya, menurut Heslop-Harrison (2011) dipisahkan dalam lima kelompok yang saling berhubungan, yaitu pada karakter produktivitas, resisten terhadap cekaman abiotik dan cekaman biotik, karakter tanaman pasca-panen dan masalah yang berhubungan dengan pemasaran, lingkungan serta kualitas hidup. Produktivitas merupakan karakteristik utama yang diseleksi oleh pemulia, sedangkan masalah cekaman abiotik dan biotik merupakan faktor utama yang menyebabkan ketidakstabilan atau menurunnya produktivitas pada banyak tanaman pangan di Indonesia.

Pisang dan plantain (Musa spp) merupakan komoditas utama untuk ketahanan pangan, walaupun dalam kondisi lingkungan yang buruk tanaman pisang dapat berperan sebagai tanaman pangan yang bermanfaat. Pisang terdiri dari banyak species dan kultivar, di antaranya pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA, subgrup non-Cavendish). Pisang cv. Ampyang merupakan pisang meja (dessert banana) yang sudah sulit dijumpai di pasar tradisional maupun modern, karena sudah jarang dibudayakan oleh petani lokal. Keberadaan pisang cv. Ampyang yang sulit dijumpai ini diduga karena pisang cv. Ampyang rentan terhadap penyakit layu Fusarium. Layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan

Fusarium oxysporum f.sp. cubense merupakan salah satu patogen yang sangat destruktif yang menyerang tanaman pisang dan plantain (Musa spp) terutama di daerah tropis. Di Indonesia penyakit layu Fusarium dilaporkan telah menginfeksi

berbagai pisang meja dan pisang olahan seperti pisang cv. Ambon Kuning (AAA, subgrup Gros Michel), cv. Kepok (ABB, subgrup Saba), cv. Mas (AA, subgrup Sucrier) (Nasir et al. 1999), cv. Barangan (AAA, subgrup Lakatan) , cv. Raja Sereh (AAB, subgrup Silk), cv. Tanduk (AAB, subgroup Plantain) (Hermanto & Setyawati 2002). Usaha perolehan tanaman pisang cv. Ampyang yang memiliki karakter agronomi unggul dan perolehan bibit tanaman yang resisten layu

Fusarium dilakukan melalui teknik mutasi induksi dengan iradiasi gamma pada tunas pisang aseptis dan melalui teknik seleksi in vitro.

Percobaan tahap awal dilakukan untuk menentukan radiosensitivitas tunas pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA) terhadap perlakuan iradiasi gamma yang ditentukan berdasarkan dosis yang mereduksi pertumbuhan tanaman sebesar 20-50% (LD20-50). Hasil percobaan diperoleh bahwa LD20-50 berada dikisaran

51.07-64.54 Gy dengan dosis optimum untuk pertumbuhan tunas pisang aseptis berada pada dosis 30 Gy. Tunas pisang cv. Ampyang aseptis setelah diinduksi mutasi dan mengalami periode proliferasi dan regenerasi selama 10 bulan dengan subkultur 6-8x, menghasilkan plantlet yang bervariasi untuk karakter jumlah akar yang terbentuk, bobot segar, tinggi plantlet, serta rasio panjang : lebar (p:l) yang berbeda nyata dengan kontrol. Peningkatan dosis iradiasi yang diberikan pada saat mutasi induksi cenderung menghasilkan plantlet dengan jumlah akar yang lebih sedikit, dan bentuk daun yang lebih panjang dibandingkan plantlet yang tidak diradiasi. Hasil percobaan tahap awal ini dapat digunakan sebagai identifikasi awal keberadaan varian somaklon pada pisangcv. Ampyang (pembahasan bab III).

Evaluasi varian tanaman usia 6 bulan setelah aklimatisasi di rumah kaca memperlihatkan adanya keragaman fenotipik pada karakter tinggi tanaman, panjang daun, dan rasio panjang : lebar daun yang lebih rendah dari tanaman tanpa diradiasi. Pada karakter ini terbukti makin tinggi dosis iradiasi yang diberikan, tinggi tanaman semakin rendah, dan secara morfologi bentuk daun terlihat pendek serta lebih lebar. Nilai sebaran normal tanaman menunjukkan beberapa tanaman teridentifikasi kerdil (kate), dan beberapa memiliki tinggi tanaman di atas kisaran tanaman standar. Menurut Khayat et al. (2004), adanya tanaman kate dan raksasa berhubungan dengan sensitivitas tanaman terhadap hormon gibberellin (GA3).

Evaluasi terhadap jumlah stomata memperlihatkan bahwa tanaman varian dengan densitas stomata tinggi (0, 45 dan 50 Gy) terlihat tersusun teratur dan sangat rapat,

sedangkan varian tanaman dengan densitas stomata rendah cenderung memiliki ukuran yang lebih besar dan tersusun kurang beraturan, sehingga diduga terjadi perubahan ploidi pada tanaman. Menurut Hetherington & Woodward (2003), perubahan genetik dapat menyebabkan perubahan densitas stomata dan ukuran stomata, semakin tinggi tingkat ploidi semakin besar ukuran sel dan stomata daun (Griffiths et al. 1996; Damayanti 2007).

. Pengamatan karakter kualitatif tanaman di rumah kaca, juga dijumpai adanya keragaman morfologi daun, pelepah daun dan keberadan bercak, namun setelah tanaman di tumbuhkan di lapangan beberapa karakter tersebut tidak muncul pada daun yang baru tumbuh atau pada anakannya. Variasi karakter kualitatif tersebut beberapa tidak mampu bertahan hidup (varian pelepah menyatu), dan memiliki performa pertumbuhan yang rendah (varian bentuk daun tidak beraturan dan sobek). Beberapa varian masih tampak setelah tanaman ditumbuhkan di lapangan (varian daun variegata, daun bergaris hijau tua-muda, tepi daun menggulung, daun tegak dengan ujung daun lancip, pelepah berhadapan), dan sebagian lagi kembali sebagaimana morfologi pada pertumbuhan tanaman yang normal (varian daun berkerut, susunan daun melingkar, pelepah tersusun seperti kipas). Keberadan bercak pada daun tanaman, sebagian besar tidak tampak lagi setelah tanaman ditumbuhkan di lapangan. Perolehan varian ini sesuai dengan pernyataan Predieri (2001) dan Mak et al. (2004), yang menyatakan bahwa pemuliaan mutasi dengan teknik in vitro dapat menghasilkan perubahan morfologi sebagaimana adanya peningkatan variabilitas pada karakter kuantitatif.

Evaluasi tanaman varian di lapangan memperlihatkan adanya keragaman karakter kuantitatif tanaman saat pertumbuhan vegetatif dan generatif. Pada saat pertumbuhan vegetatif, keragaman kuantitatif yang ditimbulkan bervariasi pada setiap tingkatan dosis iradiasi yang diberikan, hal ini dapat terjadi karena mutasi induksi bersifat acak (Medina et al. 2004: Mak et al. 2004). Tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 20 Gy sebagian besar memperlihatkan pertumbuhan dengan karakter kuantitatif yang lebih rendah dan tidak mampu berbuah, demikian pula tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 40 Gy, sehingga dikarekterisasi sebagai varian yang negatif. Tanaman hasil iradiasi 0, 30 dan 50 Gy sebagian besar memperlihatkan pertumbuhan dengan karakter kuantitatif tanaman yang lebih tinggi dengan kuantitas buah yang cukup baik, dengan rataan jumlah buah 80.2 -

83.8 buah per tandan, dengan bobot tandan 5.81 - 6.38 kg. Hasil analisis proksimat secara duplo pada sampel buah yang masak pada setiap perlakuan, menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat, protein dan abu buah pisang cv. Ampyang lebih tinggi dari pisang cv. Ambon Hijau yang diperoleh dari pasar komersial, sehingga menunjukkan bahwa pisang cv. Ampyang hasil percobaan ini layak dikonsumsi.

Evaluasi tanaman di rumah kaca dan di lapangan memperlihatkan bahwa tanaman hasil iradiasi tertinggi tidak selalu akan menghasilkan karakter kualitatif dan kuantitatif tanaman yang lebih buruk jika dibandingkan dengan tanaman yang berasal dari hasil iradiasi yang lebih rendah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya juga menunjukkan bahwa dosis optimum untuk pemuliaan mutasi tidak bisa menjadi satu-satunya penyebab penurunan separuh (50%) kapasitas pertumbuhan tanaman (Novak et al. 1990; Mak et al. 2004) (pembahasan Bab IV). Varian tanaman yang diidentifikasikan sebagai varian positif ini, kedepan akan digunakan sebagai plasma nutfah untuk pengembangan dan perbanyakan tanaman pisang cv. Ampyang secara klonal melalui teknik in vitro, sehingga salah satu target di dalam pemuliaan tanaman pisang yaitu penyelamatan plasma nutfah (IAEA 2009) dan peningkatan produktivitas (Heslop- Harrison 2011) tanaman buah dapat tercapai.

Usaha perolehan tanaman pisang cv. Ampyang dengan karakter resisten terhadap layu Fusarium pada percobaan ini dilakukan secara in vitro dan ex vitro. Pendekatan pertama melalui teknik mutasi induksi dimana bibit varian hasil iradiasi gamma yang diperoleh langsung di evaluasi sifat ketahanannya di lahan endemik layu Fusarium. Pendekatan kedua melalui teknik mutasi induksi yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro. Percobaan seleksi in vitro juga membutuhkan percobaan pendahuluan pengujian virulensi dan patogenitas Foc isolat Banyuwangi sebagai agen penyeleksi, serta metode inokulasi dan kerapatan konidia Foc yang mampu menginfeksi tanaman pisang cv. Ampyang. Hal ini dilakukan karena Foc isolat Banyuwangi belum diketahui virulensinya terhadap pisang meja (dessert banana)

Pengujian virulensi Foc isolat Banyuwangi terhadap tunas pisang aseptis usia 2 bulan dengan metode kultur ganda-1 (dual culture method) yaitu metode dengan meletakkan 1 potong inokulum berisi mycelia Foc ke media kultur in vitro

pisang berusia 2 bulan, menunjukkan bahwa Foc isolat Bw terbukti virulen terhadap pisang cv. Ampyang. Hal ini ditunjukkan dengan persentase kematian

plantlet sebesar 100% pada tunas pisang aseptis yang diuji, dengan gejala awal terlihat berupa perubahan warna merah-kecoklatan yang dimulai dari daun bagian bawah, yang merupakan ciri tanaman terinfeksi Foc dan toksin yang diproduksi patogen (Moore et al. 2001; Ploetz 2006).

Evaluasi dan efektivitas metode uji untuk ketahanan pisang cv. Ampyang terhadap layu Fusarium di rumah kacamemperlihatkan bahwa pada tanaman yang diinokulasi dengan metode perendaman akar maupun injeksi batang, Foc dengan kerapatan 2.5 x 107 konidia mL-1 mampu menimbulkan gejala kelayuan bibit yang lebih besar dibandingkan dengan kerapatan 2.5 x 106 konidia mL-1 pada usia 30 hari setelah inokulasi. Pengamatan pada usia 60 hari setelah inokulasi menunjukkan tanaman yang diinokulasi dengan Foc kerapatan 2.5 x 107 konidia mL-1 melalui metode perendaman akar, lebih efektif dalam menimbulkan kerusakan dibandingkan dengan metode injeksi batang. Studi pendahuluan yang dilakukan oleh beberapa peneliti juga menunjukkan bahwa peningkatan konsetrasi patogen akan mengakibatkan perubahan warna akar, penurunan pertumbuhan akar, dan nekrosis daun bonggol dengan tingkat kerusakan meningkat sesuai dengan peningkatan konsentrasi patogen (Mendez et al. 1995; De Ascensao & Dubery 2000; Mak et al. 2004b: Purwati et al. 2007; Paparu et al.

2008) (Pembahasan Bab V).

Teknik seleksi in vitro membutuhkan agen penyeleksi yang mampu memisahkan varian tanaman yang insensitif filtrat kultur Foc di antara populasi yang diseleksi. Untuk itu dilakukan percobaan pengujian filtrat kultur cendawan F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) isolat Banyuwangi sebagai agen penyeleksi. Pengujian efektivitas filtrat kultur (FK) Foc isolat Banyuwangi sebagai agen penyeleksi terhadap tunas pisang aseptis usia 2 bulan, didapatkan bahwa media selektif mengandung FK Foc konsentrasi 40-60% (v/v) secara nyata menghasilkan tingkat kerusakan tunas yang lebih besar dari konsentrasi yang lebih rendah. FK

Foc 40-60% mampu menyeleksi tunas yang insensitif filtrat kultur Foc, dengan persentase kematian tunas sebesar 65.75% - 82.25%. Media selektif mengandung FK Foc konsentrasi 60% merupakan konsentrasi yang paling efektif yang dapat digunakan sebagai agen penyeleksi untuk mendapatkan tunas-tunas insensitif terhadap FK Foc pada pisang cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA).

Seleksi in vitro secara bertingkat tunas varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang telah diproliferasi dan diregenerasi selama periode 10 bulan, menunjukkan bahwa media selektif mengandung FK Foc 30% belum mampu menghambat pertumbuhan tunas, demikian pula subkultur tunas ke media selektif mengandung FK Foc 40%., walaupun terlihat adanya kerusakan dan kematian tunas, namun plantlet masih mampu berproliferasi membentuk tunas-tunas baru. Subkultur tunas ke media selektif dengan konsentrasi yang lebih tinggi (FK Foc

50%) mulai terlihat adanya penghambatan pertumbuhan tunas, dimana banyak tunas yang mengalami pencoklatan dan mengalami kematian. Beberapa plantlet terlihat tidak mampu membentuk akar adventif sebagai respon tanaman terhadap cekaman, namun sel-sel yang bertahan hidup masih mampu berproliferasi membentuk nodul dan tunas baru.

Tunas insensitif FK Foc dijumpai setelah plantlet di subkultur ke media selektif mengandung FK Foc 60% (v/v). Tunas yang mampu bertahan hidup dalam kondisi selektif dengan konsentrasi tinggi ini dikategorikan sebagai tunas-tunas insensitif FK Foc 60%, walaupun pada konsentrasi ini belum dapat dibedakan tunas varian yang tahan atau rentan, yang sesuai dengan pernyataaan Mendez et al.

(1995). Tunas insensitif FK Foc ini diduga memiliki mekanisme pertahanan terhadap toksin non-spesifik inang yaitu asam fusarat, yang merupakan komponen utama dari kultur filtrat cendawan F. oxysporum (Mendez et al. 1995; Moore et al.

2001; Agrios 2005). Menurut Jayasankar & Gray (2005), tunas-tunas insensitif FK

Foc hasil seleksi in vitro ini secara teoritis merupakan varian yang mampu menginduksi atau mengaktifkan gen-gen ketahanannya terhadap layu Fusarium, atau menginduksi enzim-enzim yang berperan dalam mendetoksifikasi toksin cendawan (Roncero et al. 2003; Jayasankar & Gray 2005).

Regenerasi tunas-tunas insensitif FK Foc dalam media perakaran mengandung 6-benzyladenin 2.25 mg L-1 dan Indole-3-acetic acid 0.175 mg L-1 selama 2 bulan, menghasilkan plantlet-plantlet yang secara fenotipik terlihat sehat dan segar, mampu membentuk akar dan tunas baru, kecuali plantlet varian yang berasal dari hasil iradiasi 35 Gy yang terlihat besar, tebal dan berwarna coklat tua serta mudah patah. Persentase kemampuan hidup terbesar dihasilkan oleh plantlet yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy (56.2%). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan kemampuan tumbuh tunas pisang cv. Ampyang berdasarkan kurva

reduksi pertumbuhan pada siklus vegetatif pertama, yaitu kemampuan bertahan hidup yang lebih besar pada tunas pisang yang diradiasi dengan dosis 30 Gy. Aklimatisasi plantlet insensitif FK Foc hasil seleksi in vitro pada percobaan ini secara tidak langsung telah menyeleksi tanaman-tanaman varian yang rentan terhadap layu Fusarium. Hasil percobaan ini diperoleh 118 bibit varian tanaman yang mampu beradaptasi dan bertahan hidup 60 hari setelah aklimatisasi dan diidentifikasi sebagai bibit pisang insensitif FK Foc (Pembahasan Bab VI).

Tanaman varian pisang cv. Ampyang insenstitif FK Foc yang keseluruhannya berjumlah 118 bibit ini di evaluasi sifat ketahanannya di rumah kaca dengan cendawan Foc isolat Medan VCG 01213/16 TR4 dan isolat Banyuwangi. Evaluasi ketahanan dilakukan dengan menginfeksi akar tanaman pisang melalui metode perendaman akar dengan konidia Foc kerapatan 2.5 x 107 konidia mL-1 selama 2 jam. Hasil pengujian ketahanan bibit tanaman varian insensitif FK Foc dengan suspensi konidia Foc isolat Medan diperoleh gambaran bahwa gejala kelayuan dan nekrosis bonggol sudah terlihat 2-8 minggu setelah infeksi, pertumbuhan akar dan bulu akar pada tanaman cukup banyak, yang menunjukkan bahwa tanaman mengalami cekaman biotik. Evaluasi terhadap 77 bibit tanaman insensitif FK Foc menunjukkan bahwa populasi tanaman varian insensitif Foc yang berasal dari hasil iradiasi 20, 25, 35-45 Gy diketagorikan sebagai tanaman sangat rentan, dan bibit yang berasal 30 dan 50 Gy dikategorikan rentan terhadap layu Fusarium. Namun pengamatan sampai usia 6 bulan setelah diinfeksi, dijumpai beberapa individu yang mengalami recovery dengan tumbuhan anakan, atau daun-daun muda berkembang sebagai daun yang sehat dan normal.

Hasil pengujian bibit varian dengan Foc isolat Banyuwangi diperoleh gambaran bahwa jumlah tanaman yang bertahan hidup setelah 2 bulan infeksi lebih banyak, dimana 1 tanaman yang bertahan hidup dan diinfeksi dengan konidia Foc

mengalami kematian. Gejala kelayuan bibit muncul lebih lama dibandingkan dengan infeksi Foc isolat Medan, pada umumnya tanaman menunjukkan gejala kelayuan pada 4-8 minggu setelah akar diinfeksi Foc isolat Banyuwangi. Evaluasi ketahanan pada 41 bibit tanaman insensitif FK Foc menunjukkan bahwa bibit varian tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 20, 30, 35, 40, 45 dan 50 Gy dikategorikan sebagai tanaman yang rentan, dan bibit varian yang berasal dari hasil iradiasi 25 Gy dikategorikan sebagai tanaman rentan, seperti halnya tanaman yang

diinfeksi dengan Foc isolat Medan, fenomena recovery juga dijumpai pada bibit varian yang diinfeksi dengan Foc isolat Bayuwangi.

Evaluasi fenotipik ketahanan tanaman sampai usia 6 bulan setelah infeksi memberi gambaran bahwa tanaman varian pisang yang diinfeksi dengan konidia cendawan Foc isolat Banyuwangi terlihat lebih banyak yang mampu bertahan hidup dibandingkan tanaman yang diinfeksi dengan Foc isolat Medan. Hal ini memberi gambaran bahwa Foc isolat Medan lebih virulen dibandingkan Foc isolat Banyuwangi. Foc isolat Medan VCG 01213/16 merupakan cendawan yang telah dikarakterisasi sebagai Foc ras 4 ’tropikal’ (TR4). Ras 4 ‘tropikal’ ini merupakan bentuk patogen yang paling virulen yang menyerang tanaman pisang dan plantain

di Asia Tenggara (Moore et al. 2001; Ploetz et al. 2003; Daly & Walduck 2006; Ploetz & Churchill 2011).

Evaluasi tanaman varian pisang cv. Ampyang yang berasal dari hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro, dihasilkan 48 klon tanaman (40.8%) terindikasi tahan terhadap layu Fusarium. Tanaman tersebut berasal dari hasil evaluasi dengan Foc isolat Medan VCG 01213/16 sebanyak 28 klon (36.4%) dan hasil evaluasi dengan Foc isolat Banyuwangi sebanyak 20 klon (48.9%). Hasil infeksi dengan Foc isolat Medan maupun Banyuwangi teridentifikasi bahwa persentase tanaman yang tahan banyak dijumpai pada tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 50 Gy dan 30 Gy Bibit tanaman yang memiliki ketahanan terhadap infeksi cendawan Foc, kedepan akan dievaluasi kestabilan sifat ketahanannya di lahan endemik layu Fusarium dan adanya karakter agronomis unggul tertentu yang diinginkan. Bibit tanaman ini juga akan diperbanyak secara in vitro dan ex vitro sebagai plasma nutfah pisang cv. Ampyang yang resisten terhadap layu Fusarium (pembahasan bab VII).

Evaluasi ketahanan varian-varian pisang yang berasal dari hasil mutasi induksi, tanpa melalui tahapan seleksi in vitro juga dilakukan di rumah kaca. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa tanaman varian yang berasal dari hasil iradiasi 20, 25, 40 dan 45 Gy, sebagian besar dikategorikan sebagai tanaman yang sangat rentan (SR) dan tanaman hasil iradiasi 50 Gy dan tanaman kontrol (0 Gy) dikategorikan agak rentan terhadap infeksi cendawan Foc. Tanaman yang tahan diduga mampu mengisolasi patogen melalui mekanisme pembentukan gums, tylose dan gel yang merupakan hasil fotoasimilat dari

tanaman (Agrios 2005), sehingga mampu menghambat konidia yang terdapat dalam jaringan vaskuler akar dan akar tanaman tetap tumbuh normal. Pada percobaan ini beberapa tanaman mengalami recovery, dengan tumbuh anakan pada bagian bawah batang semu (pseudostem) setelah tanaman induk mengalami kematian. Tanaman tersebut merupakan tanaman kimera yang tidak mampu mengisolasi patogen yang masuk ke dalam tanaman, sehingga interaksi antara patogen dan tanaman berkembang menjadi penyakit dan menimbulkan kematian. Hasil percobaan ini diperoleh 5 klon tanaman yang memiliki karakteristik resisten layu Fusarium.

Karakteristik dan evaluasi ketahanan varian tanaman hasil mutasi induksi di lahan yang terserang cendawan Foc menunjukkan bahwa sebagian besar tanaman dapat tumbuh normal dan sehat sampai usia 11-12 bulan setelah tanam. Hasil pengamatan terhadap karakter agronomis tanaman usia 12 bulan setelah tanam, memperlihatkan bahwa pertumbuhan jumlah pelepah dan tinggi tanaman relatif sama, sedangkan pada karakter jumlah anakan, lingkar batang semu dan rasio panjang dan lebar daun terlihat bervariasi.

Pertumbuhan tanaman varian pisang cv. Ampyang yang sehat, dan variasi morfologi pada tanaman berupa daun menggulung, pelepah menumpuk yang tampak pada saat evaluasi di rumah kaca, masih terlihat sampai tanaman berusia 3-6 bulan setelah tanam di lahan endemik layu Fusarium. Beberapa tanaman menunjukkan gejala kelayuan daun, bahkan mengalami recovery pada usia 3 bulan setelah tanam. Pada umumnya gejala kelayuan terlihat setelah tanaman berusia 11-12 bulan bahkan setelah tanaman mulai berbuah atau setelah panen. Kemungkinan disebabkan karena masa inkubasi dan sporulasi cendawan Foc dalam tanaman lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan vegetatif sel-sel tanaman. Hasil isolasi cendawan Foc yang berasal dari pelepah dan tangkai buah pisang pada tanaman yang terinfeksi, memperlihatkan adanya pertumbuhan koloni cendawan Foc pada media kentang agar dengan warna putih, dan tampak belakang berwarna orange. Hasil isolasi ini memastikan bahwa tanaman varian pisang yang ditumbuhkan pada lahan endemik Foc

mengalami kematian karena infeksi cendawan Foc yang patogen.

Tanaman yang mampu bertahan hidup pada lahan endemik layu

buah dipanen sebelum masak karena batang pisang tumbang atau membusuk. Karakteristik buah yang dihasilkan bervariasi dan beberapa tanaman menghasilkan jumlah buah 5-10 buah per sisir dengan bentuk buah kecil dan abnormal, sebagian kulit buah memiliki bercak yang disebabkan oleh serangga, buah cepat membusuk namun tetap memiliki rasa yang manis. Persentase tanaman berbuah terbesar berasal dari tanaman hasil iradiasi 30 Gy (77.8%) dan terendah dari tanaman 25 Gy (11.1%). Menurut Mak et al. (2004) bentuk dan karakteristik buah yang abnormal merupakan varian fenotipik yang merupakan salah satu kemungkinan yang akan diperoleh pada tanaman yang diberi perlakuan mutagenik. Kualitas buah yang cenderung cepat membusuk walaupun tetap memiliki rasa yang manis, diduga karena pengaruh serangan layu Fusarium yang menghambat absorbsi air dari jaringan vaskuler akar ke jaringan vaskuler batang dan tangkai buah.

Evaluasi percobaan pada tahapan ini menunjukkan bahwa 75.0 – 91.7% varian tanaman cv. Ampyang hasil iradiasi yang ditumbuhkan pada lahan endemik layu Fusarium masih dapat bertahan hidup sampai usia 12 bulan dan mampu berbuah, namun pada usia 18-21 bulan setelah tanam hampir keseluruhan tanaman mengalami kematian. Menurut Agrios (2005), perkembangan penyakit dipengaruhi oleh tiga komponen: tumbuhan, patogen dan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan ketahanan tanaman inang, perkembangan penyakit dan tingkat virulensi pathogen. Diduga perkembangan cendawan cukup lambat sehingga respon gejala kelayuan dan kematian baru terlihat setelah 18 bulan. Hasil percobaan ini diperoleh 2 tanaman induk (1.9%) tanpa adanya anakan, serta 5 klon anakan (4.9%) yang mampu bertahan hidup, yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy, 50 Gy dan tanaman kontrol (0 Gy). Klon anakan tersebut diduga merupakan tanaman yang resisten terhadap layu

Fusarium. Walaupun hanya tersisa 5 klon, diharapkan klon-klon serupa yang memiliki sifat ketahanan juga ditemui di antara populasi tanaman yang di

Dokumen terkait