• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

A. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian mengenai efek lama pemanasan terhadap perubahan bilangan peroksida minyak goreng yang berpotensi karsinogenik pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu, penulis menyadari beberapa keterbatasan yang dialami, yaitu:

1. Pada penelitian ini tidak diukur udara dan suhu pemanasan minyak saat menggoreng bahan makanan. Hal ini disebabkan karena dapat mengganggu proses menggoreng pedagang itu sendiri.

2. Penelitian ini tidak menghitung sampai akhir penggorengan karena hanya mengambil pada akhir penggorengan ke-40 saja, tidak sampai pedagang selesai berjualan.

3. Adanya masa waktu yang lama antara pengambilan sampel minyak goreng dengan uji titrasi di laboratorium yang berkisar selama kurang lebih 10 jam yang dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya bias pada sampel yang akan diuji.

76 B. Analisis Univariat

1. Lama Pemanasan

Lama pemanasan adalah waktu yang digunakan dalam melakukan kegiatan penggorengan/minyak dipanaskan (Aminah dan Isworo, 2010). Lama pemanasan dihitung mulai dari pemanasan minyak goreng hingga terjadi proses menggoreng.

Pada saat proses menggoreng makanan dapat terjadi perubahan-perubahan fisika-kimiawi pada makanan yang digoreng dan juga minyak gorengnya. Apabila suhu penggorengannya lebih tinggi dari suhu normal (168-196°C) akan menyebabkan degradasi minyak goreng dengan cepat (antara lain titik asap menurun) (Devi, 2010). Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat meningkatkan oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Peroksida terbentuk akibat pemanasan yang mengakibatkan kerusakan pada minyak atau lemak (Ketaren, 2012).

Hasil penelitian pada tabel 5.1 menunjukan bahwa rata-rata lama pemanasan paling lama yaitu pada frekuensi menggoreng kelima dengan lama waktu 9.93 menit. Waktu yang biasanya digunakan pedagang untuk melakukan kegiatan menggoreng yaitu minimal 2 menit dan maksimal 23 menit. Sedangkan untuk kelipatan sepuluh pada tabel 5.2 diketahui bahwa

77

rata-rata pemanasan paling lama yaitu pada frekuensi menggoreng ke-20 dengan lama waktu 13.6 menit. Lamanya waktu pemanasan pada setiap frekuensi menggoreng berbeda-beda, karena disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Waktu yang digunakan untuk melakukan kegiatan menggoreng minimal 2 menit dan maksimal 52 menit.

Kadar bilangan peroksida awal (kontrol) masih rendah karena proses oksidasi terhadap lemak terutama lemak tak jenuh masih minimal (hanya dipengaruhi oleh udara dan cahaya matahari). Setelah pemanasan menit ke-15 reaksi oksidasi mulai berlangsung atau dapat dikatakan proses permulaan reaksi atau inisiasi yang pembentukan radikal bebas. Setelah pemanasan menit-menit selanjutnya hasil penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan rerata bilangan peroksida. Hal ini menunjukan bahwa asam lemak tak jenuh pada minyak goreng yang mempunyai hidrogen yang labil pada atom karbon berdekatan dengan ikatan rangkap sehingga terbentuk radikal bebas yang terpisah dari hydrogen yang labil. Dengan adanya radikal bebas tersebut maka proses oksidasi akan semakin peka untuk membentuk peroksida radikal bebas yang tak stabil (Oktaviani, 2009).

Pada minyak goreng, angka peroksida menunjukkan ketengikan minyak goreng akibat proses oksidasi serta hidrolisis. Kerusakan lemak atau minyak akibat pemanasan pada suhu tinggi 200-2 0 ฀C) akan

78

mengakibatkan keracunan dalam tubuh dan berbagai macam penyakit misalnya diare, pengendapan lemak dalam pembuluh darah (artero sclerosis), menurunkan nilai cerna lemak, dan kanker (Ketaren, 2012). Kanker dapat dipicu pada makanan yang mengalami pengolahan kurang tepat misalnya: pemanasan dengan suhu terlampau tinggi dan lama (menimbulkan zat trans-fatty acid), cara penggorengan yang berlebihan, serta penggunaan minyak goreng berulangkali (menimbulkan radikal bebas seperti: peroksida, epioksida, dan sebagainya). Makanan yang disebutkan terakhir umumnya bisa diperoleh pada jenis goreng-gorengan (Tapan, 2005).

2. Perubahan Bilangan Peroksida

Produk utama oksidasi lipid yaitu hidroperoksida, yang umumnya disebut sebagai "peroksida". Peroksida adalah senyawa organik yang tidak stabil yang terbentuk dari trigliserida. Bilangan peroksida adalah metode untuk menentukan tingkat oksidasi minyak dan mengukur pembentukan hidroperoksida dalam miliekuivalen oksigen aktif per kilogram sampel. Hidroperoksida dibentuk oleh oksidasi lemak bereaksi dengan ion iodida untuk membentuk yodium, yang pada akhirnya diukur dengan titrasi menggunakan tiosulfat (Contemporary Food Engineering Series. 2009).

Peroksida merupakan kandungan senyawa yang terdapat di dalam minyak goreng. Penyebab kenaikan bilangan peroksida adalah minyak

79

goreng yang digunakan berkali-kali oleh para pedagang, mayoritas menggunakan minyak tersebut dengan frekuensi lebih dari empat kali penggorengan (Mulasari, 2012).

Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan, salah satu syarat mutu minyak goreng sesuai dengan standar adalah jumlah kandungan bilangan peroksida maksimal 10 meq O2/kg (Badan Standardisasi Nasional, 2013).

Pada penelitian ini, terlihat dari grafik 5.5 mengenai perubahan bilangan peroksida minyak goreng kelipatan lima, terjadinya peningkatan bilangan peroksida mulai dari sebelum pemanasan hingga akhir penggorengan kelima belas. Diketahui bilangan peroksida mengalami perubahan denagn selisih yang paling tinggi yaitu pada frekuensi menggoreng kesepuluh sebesar 0.306 meq O2/kg.

Hal ini sejalan dengan penelitian-penelitian di atas yaitu adanya pengulangan penggorengan dapat meningkatkan bilangan peroksida. namun, tidak terjadi pada grafik 5.6, terlihat adanya peningkatan bilangan peroksida dari sebelum pemanasan hingga penggorengan ke-10, lalu mengalami penurunan sampai pada penggorengan ke-30, kemudian kembali naik pada penggorengan ke-40. Hal ini tidak sejalan dengan

80

penelitian-penelitian terdahulu karena dapat dipengaruhi oleh pengulangan penggorengan yang berbeda. Pada penelitian Siti Aminah (2010) menyatakan adanya peningkatan bilangan peroksida setiap penggorengan kelipatan lima, sedangkan pada penelitian ini, yang menguji bilangan peroksida pada penggorengan kelipatan sepuluh tidak terjadi peningkatan secara terus-menerus.

Menurut penelitian Siti Aminah (2010), terjadinya peningkatan bilangan peroksida pada minyak goreng curah karena semakin banyaknya pengulangan penggorengan. Terbukti dengan adanya peningkatan bilangan peroksida disetiap penggorengan kelipatan lima mulai dari sebelum pemanasan, penggorengan pertama, kelima, kesepuluh, kelima belas, dan kedua puluh (Aminah, 2010). Menurut penelitian Dewi Fortuna Ayu dan Farida Hanum Hamzah (2010), seiring peningkatan bilangan peroksida dapat dilihat minyak yang teroksidasi membentuk senyawa peroksida akibat frekuensi dan lamanya penggorengan (Ayu dan Hamzah, 2010). Menurut penelitian Gunawan dkk (2003), terjadinya peningkatan bilangan peroksida disebabkan oleh minyak yang bereaksi dengan oksigen pada ikatan rangkap dan terjadi reaksi berantai yang terus menerus menyediakan radikal bebas yang menghasilkan peroksida lebih lanjut. Selain itu, dengan adanya pemanasan asam lemak tidak jenuh terurai akibat permukaan minyak yang panas dan kontak langsung dengan udara.

81

Rantai karbon dalam ikatan rangkap terputus sehingga asam lemak bebas bertambah. Rantai karbon yang terputus berikatan dengan oksigen sehingga peroksida minyak juga bertambah (Gunawan dkk, 2003).

Pada umumnya senyawa peroksida mengalami dekomposisi oleh panas, sehingga lemak yang telah dipanaskan hanya mengandung bilangan peroksida dalam jumlah yang kecil. Dalam jangka waktu yang cukup lama, peroksida dapat mengakibatkan destruksi beberapa macam vitamin dalam bahan pangan berlemak misalnya vitamin A, C, D, E, K dan sejumlah kecil vitamin B). Peroksida juga dapat mempercepat proses timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak dikehendaki dalam bahan pangan. Jika jumlah peroksida dalam bahan pangan (lebih besar dari 100) akan bersifat sangat beracun dan tidak dapat dimakan, disamping bahan pangan tersebut mempunyai bau yang tidak enak (Ketaren, 2012).

Kerusakan pada minyak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, logam porfirin seperti hematin, hemoglobin, myoglobin, klorofil, dan enzim-enzim lipoksidase. Molekul-molekul lemak yang

82

mengandung radikal asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut disebabkan oleh pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida (Winarno, 2004).

Sebuah atom hidrogen yang terikat pada suatu atom karbon yang letaknya di sebelah atom karbon lain yang mempunyai ikatan rangkap dapat disingkirkan oleh suatu kuantum energi sehingga membentuk radikal bebas. Kemudian radikal ini dengan O2 membentuk peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi, energi panas, katalis logam, atau enzim. Senyawa-senyawa dengan rantai C lebih pendek ini adalah asam-asam lemak, aldehida-aldehida, dan keton yang bersifat volatile dan menimbulkan bau tengik pada minyak (Winarno, 2004).

Bergabungnya peroksida dalam sistem peredaran darah, mengakibatkan kebutuhan vitamin E yang lebih besar. Berdasarkan percobaan terhadap ayam, kekurangan vitamin E dalam lemak mengakibatkan timbulnya gejala encephalomalacia dan jika hidroperoksida diinjeksikan ke dalam aliran darah menimbulkan gejala celebellar. Peroksida akan membentuk persenyawaan lipoperoksida secara nonenzimatis dalam otot usus dan mitochondria, lipoperoksida dalam

83

aliran darah mengakibatkan denaturasi lipoprotein yang mempunyai kerapatan rendah. Lipoprotein dalam keadaan normal mempunyai fungsi aktif sebagai alat transportasi trigeliserida; dan jika lipoprotein mengalami denaturasi, akan mengakibatkan deposisi lemak dalam pembuluh darah (aorta) sehingga menimbulkan gejala atherosclerosis (Ketaren, 2012). C. Analisis Bivariat

1. Hubungan Lama Pemanasan terhadap Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2013 menentukan bahwa salah satu syarat mutu minyak goreng yang baik untuk digunakan yaitu dengan nilai bilangan peroksida maksimal 10 meq O2/kg (Badan Standardisasi Nasional, 2013). Bilangan peroksida merupakan salah satu senyawa yang dapat menentukan kualitas minyak goreng (Ketaren, 2012). Peroksida merupakan kandungan senyawa yang terdapat di dalam minyak goreng. Penyebab perubahan bilangan peroksida adalah minyak goreng yang digunakan berkali-kali oleh para pedagang gorengan, mayoritas menggunakan minyak tersebut dengan frekuensi lebih dari empat kali penggorengan (Mulasari, 2012).

Pada penelitian ini terdapat dua metode pengambilan sampel dalam satu variabel yang diteliti untuk mengetahui hubungan lama pemanasan

84

terhadap perubahan bilangan peroksida minyak goreng pada kelipatan lima dan sepuluh.

Berdasarkan data pada tabel 5.7, dari hasil uji korelasi didapatkan hubungan antara lama pemanasan terhadap perubahan bilangan peroksida dengan p value 0.042 pada lama pemanasan pertama. Sedangkan untuk lama pemanasan kelima, kesepuluh, dan kelima belas tidak terdapat hubungan karena p value yang didapatkan masing-masing 0.405, 0.940, dan 0.230.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nita Dwi Oktaviani (2009) yang menyatakan bahwa adanya hubungan antara lama pemanasan dengan peningkatan bilangan peroksida. Adanya perbedaan hasil penelitian di atas dikarenakan perbedaan desain penelitian, karena desain penelitian yang digunakan merupakan desain eksperimental murni dengan melakukan pemanasan pada minyak goreng tanpa memasukkan bahan makanan ke dalam minyak yang dipanaskan. Sedangkan hasil uji bilangan peroksida yang didapatkan berbeda, sehingga pada penelitian ini, bergantung pada kondisi di lapangan. Penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian lainnya yang dilakukan oleh Siti Aminah (2010) yang menyatakan bahwa semakin banyak pengulangan penggorengan maka semakin meningkat pula bilangan peroksida.

Pada hasil uji korelasi hubungan antara lama pemanasan pada kelipatan sepuluh terhadap perubahan bilangan peroksida, didapatkan p-value

85

0.026 pada lama pemanasan kesepuluh, 0.012 pada lama pemanasan kedua puluh, 0.009 pada lama pemanasan ketiga puluh, dan 0.033 pada lama pemanasan keempat puluh yang berarti ada hubungan bermakna antara kedua variabel tersebut.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan saat pengambilan sampel, mayoritas pedagang gorengan melakukan penambahan minyak goreng baru setelah penggorengan ke-20. Hal tersebut dilakukan karena minyak yang telah digunakan untuk menggoreng berkurang seiring frekuensi menggoreng yang dilakukan dengan minyak yang sama. Hal lain yaitu karena minyak goreng telah mengalami perubahan fisik seperti warna minyak menjadi menghitam, berbau tengik, dan terlihat berbusa.

86

Dokumen terkait