• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan Faktor Lingkungan dengan Lamun dan Makrozoobentos Berdasarkan analisis deskriptif antar stasiun (stasiun Tenggara dan Timur

Laut) daerah lamun dan tanpa lamun diperoleh bahwa kelimpahan makrozoobentos lebih tinggi di daerah lamun dibandingkan dengan daerah tanpa lamun. Begitupula total bahan organiknya lebih tinggi ditemukan di daerah lamun

dibandingkan dengan daerah tanpa lamun. Sementara untuk melihat keterkaitan antara kerapatan lamun, total bahan organik dan kelimpahan makrozoobentos dalam substasiun (stasiun Tenggara dan Timur Laut) digunakan analisis PCA. Stasiun Tenggara dan Timur Laut terdiri atas daerah lamun dan daerah tanpa lamun. Daerah lamun (stasiun Tenggara) terdiri atas lima substasiun yaitu A1, A2, A3, A4 dan A5, sedangkan daerah tanpa lamun terdiri atas C1 dan C2. Daerah lamun (stasiun Timur Laut) terdiri atas substasiun B1, B2, B3, B4 dan B5, sedangkan daerah tanpa lamun terdiri atas substasiun D1 dan D2.

Parameter yang digunakan dalam analisis PCA adalah kelimpahan makrozoobentos (KM), kerapatan lamun (KL), persen penutupan (PP), total bahan organik (BO), C-organik (CO), nitrat (NI), ortofosfat (OF), pasir (PA), Liat (LI), debu (DE), dan pH (pH). Parameter-parameter tersebut diintegrasikan, sehingga akan diperoleh nilai matriks hubungan antar parameter, akar cirri, dan nilai kumulatif ragam. Berdasarkan hasil PCA, diperoleh total informasi yang diberikan sebesar 75,15%. Komponen utama pertama (F1) dengan nilai akar ciri (eigenvalue) sebesar 6,098 dapat menjelaskan informasi yang ada sebesar 55,435%. Komponen utama kedua (F2) sebesar 2,169 dapat menjelaskan informasi yang ada sebesar 19,716%. Komponen utama pertama (F1) terdiri atas kelimpahan makrozoobentos, kerapatan lamun, persen penutupan, total bahan organik, C-organik, nitrat, ortofosfat. Komponen utama kedua (F2) terdiri atas pasir dan liat.

Analisis komponen utama korelasi antara lamun, makrozoobentos dan sedimen (Gambar 9) bila ditampilkan dengan sebaran substasiun (Gambar 10) maka diperoleh 4 bagian, yang menjelaskan kedekatan/penciri antar substasiun. Bagian pertama terdiri atas substasiun A1, A2, B1 dan B3 yang memiliki penciri kerapatan lamun yang tinggi, kelimpahan makrozoobentos yang tinggi, total bahan organik yang tinggi dan C-organik yang tinggi. Bagian kedua terdiri atas substasiun B2, B4 dan B5 yang dicirikan oleh pasir yang tinggi dan liat yang rendah. Bagian ketiga terdiri atas substasiun A3, A4 dan A5 yang dicirikan oleh debu yang rendah dan kerapatan lamun yang rendah. Bagian ketiga terdiri substasiun C1, C2, D1 dan D2 yang dicirikan oleh kelimpahan makrozoobentos yang rendah, total bahan organik yang rendah, C-organik yang rendah, nitrat dan

ortofosfat yang rendah. Grafik Analisis Komponen Utama (PCA) korelasi antara lamun, makrozoobentos dan sedimen dapat dilihat pada Gambar 9 sedangkan sebaran substasiun di sumbu 1 dan sumbu 2 (F1 dan F2) dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 9 Grafik Analisis Komponen Utama (PCA) korelasi antara lamun, makrozoobentos dan sedimen

Gambar 10 Sebaran substasiun di sumbu 1 dan sumbu 2 (F1xF2)

Hasil analisis korelasi PCA menunjukkan bahwa variabel kerapatan lamun mempunyai korelasi positif yang kuat dengan total bahan organik sebesar 0,88. Hal ini menunjukkan bahwa kerapatan lamun yang tinggi dapat mempengaruhi tingginya total bahan organik dan sebaliknya. Ini ditunjukkan oleh substasiun A1,

A1 A2 A3 A4 A5 C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5 D1 D2 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 F 2 (19,72 %) F1 (55,43 %)

B3, B1 dan A2 yang memiliki kerapatan lamun yang tinggi ternyata memiliki kandungan organik yang tinggi pula. Substasiun A1 (964 tegakan/m2) memiliki kandungan bahan organik sebesar 7,33%, B3 (844 tegakan/m2) dengan bahan organik sebesar 5,25%, B1 (756 tegakan/m2) dengan bahan organik sebesar 5,98%, dan A2 (496 tegakan/m2) dengan bahan organik sebesar 4,50%. Sementara lamun yang memiliki kerapatan yang rendah di substasiun A3, A4 dan A5 memiliki kandungan bahan organik yang rendah. Substasiun A3 (128 tegakan/m2) dengan bahan organik sebesar 2,83%, A4 (292 tegakan/m2) dengan bahan organik sebesar 2,25%, dan A5 (36 tegakan/m2) mempunyai bahan organik sebesar 1,75%. Pengaruh kerapatan lamun dengan bahan organik dapat pula dilihat pada Gambar 11a. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa beberapa substasiun yang memiliki kerapatan lamun yang tinggi terdapat total bahan organik yang tinggi. Sementara substasiun tanpa lamun terjadi penurunan drastis total bahan organik. Total bahan organik daerah tanpa lamun yakni substasiun C1 memiliki kandungan bahan organik sebesar 1,14 %, C2 sebesar 0,94%, D1 sebesar 0,96 dan D2 sebesar 0,59%.

Variabel kerapatan lamun mempengaruhi keberadaan bahan organik di substrat. Hal ini disebabkan oleh lamun yang memiliki kerapatan yang tinggi mempunyai biomassa dan produktivitas daun yang tinggi. Sebagaimana pendapat (vonk Arie et al. 2008) bahwa semakin tinggi kerapatan tunas maka semakin tinggi pula biomassa dan produktivitas daunnya dibandingkan dengan kerapatan tunas yang rendah (jarang). Selain itu, lamun yang memiliki kerapatan yang tinggi dapat membuat perairan menjadi tenang, sehingga partikel tersuspensi di kolom air dapat mengendap ke dasar. Lamun yang memiliki kerapatan yang tinggi dapat pula mengurangi resuspensi di perairan. Akar dan rhizoma lamun dapat mencengkeram sedimen di dasar perairan, sehingga meminimalkan sedimen tersebut naik ke kolom air. Sebagaimana pendapat Gacia dan Duarte (2001) bahwa lamun dapat mengurangi resuspensi sekitar 85-95% di perairan. Hubungan kerapatan lamun, total bahan organik dan kelimpahan makrozoobentos dapat dilihat di Gambar 11a, 11b, dan 11c.

Gambar 11 (a) Hubungan kerapatan lamun dan total bahan organik

(b) Hubungan kerapatan lamun dan kelimpahan makrozoobentos (c) Hubungan total bahan organik dan kelimpahan makrozoobentos

0 2 4 6 8 0 500 1000 1500 A1 A2 A3 A4 A5 C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5 D1 D2 T o tal b ah an o rg an ik ( % ) Ker ap atan lam u n (teg ak an /m 2) Substasiun

Kerapatan Lamun Bahan Organik

0 500 1000 0 500 1000 1500 A1 A2 A3 A4 A5 C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5 D1 D2 Keli m p ah an m ak ro zo o b en to s( in d /m 2) Ker ap atan lam u n (teg ak an /m 2) Substasiun

Kerapatan Lamun Kelimpahan Makrozoobentos

0 500 1000 0 2 4 6 8 A1 A2 A3 A4 A5 C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5 D1 D2 Kelim p ah an m ak ro zo o b en to s (in d /m 2) T o ta l B ah an O rg an ik (% ) Substasiun

Lamun yang memiliki kerapatan yang tinggi terdiri atas Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium dan Cymodocea serullata. Sementara lamun yang memiliki kerapatan rendah terdiri atas Halodule uninervis. Thalassia hemprichii dan Cymodocea serullata memiliki daun yang panjang dan lebar sementara Syringodium isoetifolium memiliki bentuk daun bulat seperti lidi dan daunnya tumbuh sangat rapat. Kerapatan lamun per satuan luas sangat bervariasi tergantung jenisnya. Karena masing-masing jenis lamun memiliki tipe morfologi daun yang berbeda.

Berdasarkan analisis PCA, diperoleh variabel kerapatan lamun memiliki korelasi positif yang kuat dengan kelimpahan makrozoobentos sebesar 0,72. Dalam bentuk gambar grafik hubungan kerapatan lamun dengan kelimpahan makrozoobentos dapat dilihat pada Gambar 11b. Substasiun A1, B1, B3 dan A2 yang memiliki kerapatan yang tinggi ternyata memiliki makrozoobentos yang memiliki kelimpahan yang tinggi. Sebaliknya, substasiun yang memiliki kerapatan yang rendah di substasiun A3, A4 dan A5 terdapat makrozoobentos yang memiliki kelimpahan yang rendah. Bahkan terjadi penurunan yang drastis terhadap kelimpahan makrozoobentos pada substasiun tanpa lamun (C1, C2, D1 dan D2). Ini menunjukkan bahwa kerapatan lamun mempengaruhi kelimpahan makrozoobentos di substrat. Hal ini disebabkan oleh lamun menjadi habitat hidup, tempat berlindung dan mencari makan makrozoobentos. Apabila kerapatan lamunnya tinggi, makrozoobentos dapat terlindung dari pemangsaan organisme lain, dari panas matahari, dan dari arus serta ombak yang kuat. Sementara lamun yang memiliki kerapatan rendah atau tanpa lamun, kurang melindungi makrozoobentos dari pemangsaan serta kemampuan untuk mengurangi gerakan air sangat rendah, sehingga dapat menghanyutkan makrozoobentos.

Total bahan organik yang tinggi di substrat dapat menaikkan kelimpahan makrozoobentos. Total bahan organik mempunyai korelasi yang kuat positif dengan kelimpahan makrozoobentos sebesar 0,84. Gambar grafik hubungan total bahan organik dengan kelimpahan makrozoobentos dapat dilihat pada Gambar 11c. Ternyata substasiun yang memiliki total bahan organik yang tinggi, ditemukan makrozoobentos yang melimpah seperti di substasiun A1, B3, B1 dan A2. Substasiun A1, A3, B1 dan A2 ini memiliki pula kerapatan yang tinggi. Jadi

kerapatan yang tinggi tak lepas dari tingginya kandungan total bahan organik yang dimiliki. Dengan tingginya kerapatan lamun dan bahan organik dapat memicu tingginya kelimpahan makrozoobentos di substrat. Jadi ada keterkaitan positif yang erat antara kerapatan lamun, bahan organik dan kelimpahan makrozoobentos.

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian sebagai berikut:

1 Jenis lamun Thalassia hemprichii, Cymodocea serullata dan Syringodium isoetifolium merupakan jenis yang paling sering ditemukan dan dominan. Ketiga jenis lamun tersebut memiliki kerapatan yang tinggi. Lamun yang memiliki kerapatan yang tinggi ternyata mampu memerangkap total bahan organik yang tinggi di substrat.

2 Kerapatan dan total bahan organik yang tinggi ternyata memiliki makrozoobentos yang melimpah dibandingkan dengan kerapatan dan bahan organik yang rendah.

3 Kelas Gastropoda lebih banyak ditemukan di daerah lamun yang memiliki kerapatan dan total bahan organik yang tinggi. Sementara kelas Bivalvia banyak terdapat di daerah tanpa lamun.

4 Perairan yang memiliki tekstur sedimen liat yang tinggi ternyata mampu memerangkap partikel tersuspensi yang tinggi dibandingkan dengan perairan yang memiliki tekstur sedimen pasir dan debu yang tinggi.

5.2 Saran

Perlu dilakukan pengukuran komposisi organik dan inorganik yang terperangkap di sediment trap baik di daerah lamun maupun daerah tanpa lamun untuk mengetahui kontribusi yang berasal dari partikel tersuspensi di kolom perairan.

and production in three intertidal sand bottom communities of the northern Wadden Sea. Helgolnder Meeresunters 39: 273-301.

Abbot RT. 1991. Seashells of Southeast Asia. Scotland: Tynron Press.

Abelson A, Danny M. 1997. Settlement of marine organisms in flow. Annu. Rev. Ecol. Syst. 28: 317-339.

Agawin NSR, Duarte CM. 2002. Evidence of direct particle trapping by a tropical seagrass meadow. Estuaries 25: 1205-1209.

Abdelrhman MA. 2003. Effect of eelgrass Zostera marina canopies on flow and transport. Marine Ecology Progress Series 248: 67-83.

Brower JE, Zar JH, Ende von CN. 1990. Field and laboratory methods for general ecology. Dubuque: WCB Publishers.

Baron C, Marba N, Terrados J. 2004. Community metabolism and carbon budget along a gradient of seagrass (Cymodocea nodosa) colonization. Limnology and Oceanogrphy. 49(5): 1642-1651.

Binzer T, Borum M, Pedersen O. 2005. Flow velocity affects internal oxygen conditions in the seagrass Cymodocea nodosa. Aquatic Botany 83: 239-247. Baron C, Middelburg JJ, Duarte CM. 2006. Phytoplankton trapped within

seagrass (Posidonia oceanica) sediments are a nitrogen source: An in situ isotope labeling experiment. Limnonogy and Oceanogrphy 51(4): 1648- 1653.

Chester R. 1990. Marine geochemistry. Department of Earth Science University of Liverpool. London: UNWIN HYMAN.

Den hartog C. 1970. The Sea-grasses of the world. Amsterdam: North-Holland Publisher.

Dance SP. 1977. the Encyclopedia of shells. Poole Dorset: Blandford Press. Dharma B. 1988. Siput dan kerang Indonesia I. Jakarta: PT Sarana Graha.

---1992. Siput dan Kerang Indonesia II. Jakarta: PT Sarana Graha.

Danovaro R, Gambi C, Mirto S. 2002. Meiofaunal production and energy transfer efficiency in a seagrass Posidonia oceanica bed in the western Mediterranean. Marine Ecology Progress Series 234: 95-104.

Erftemeijer PLA, Middelburg JJ. 1993. Sediment-nutrient interactions in tropical seagrass beds: a comparison between a terrigenous and a carbonate sedimentary environment in South Sulawesi (Indonesia). Marine Ecology Progress Series 102: 187-198.

English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey mannual for tropical marine resource. Townville, Australia: ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources by Australian Institute of Marine science.

Enriquez S, Marba N, Duarte CM, van Tussenbroek BI, Gayes-Zavala G. 2001. Effects of seagrass Thalassia testudinum on sediment redox. Marine Ecology Progress Series 219: 149-158.

Evrald V, Kiswara W, Bouman TJ, Middelburg. 2005. Nutrient dynamics of seagrass ecosystems: 15N evidence for the importance of particulate organic matter and root systems. Marine Ecology Progress Series 295: 49-55. Fortes M.D. 1989. Seagrasses: A Resource Unknown in The Asean Region. Iccarm

Education, Manila, Philippines.

Fahruddin 2002. Pemanfaatan, ancaman, dan isu-isu pengelolaan ekosistem padang lamun (makalah falsafah sains). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Folkard AM. 2005. Hydrodynamics of model Posidonia oceanic patches in shallow water. Limnology and Oceanography 50 (5): 1592-1600.

Fredriksen S, de Backer A, Bostrom C, Christie H. 2010. Infauna from Zostera marina L. meadows in Norway. Differences in vegetated and unvegetated areas. Marine Biology Research 6: 189-200.

Gacia E, Duarte CM. 2001. Sediment retention by a Mediterranean Posidonia oceanica meadow: the balance between deposition and resuspension.

Estuarine, Coastal and Shelf Science 52: 505-514.

Gacia E, Duarte CM, Marba N, Terrados J, Kennedy H, Fortes MD. 2003. Sediment deposition and production in SE-asia seagrass meadows.

Estuarine, Coastal and Shelf Science 56: 909-919.

Gunawan AW, Suminar S, Laksmi A. 2008. Pedoman penyajian karya ilmiah. Ed: ke-2. Bogor: IPB press. (Acuan penulisan tesis)

Gruber RK, Kemp WM. 2010. Feedback effects in a coastal canopy-forming submersed plant bed. Limnoogy and Oceanogrphy. 55(6) : 2285–2298. Hawkes HA. 1978. Invertebtrates as indicator of river water quality. Toronto:

Hillman K, Walker DJ, Larkum AWD, Mc Comb AJ. 1989. Productivity and nutrient limitation of seagrasses. Di dalam: Larkum AWD, McComb AJ, Shepherd SA, editor. Biology of Seagrasses: a Treatise on the Biology of Seagrasses with Special Refrence to the Australian Regon. Aquatic Plan Studies 2. Amsterdam: Elsevier.

Hutchings P. 1998. Biodiversity and functioning of polychaetes in benthic sediments. Biodiversity andConservation 7: 1133-1145.

Hemminga MA, Duarte CM. 2000. Seagrass ecology. Cambridge University Press.

Hendricks IE, Sintes T, Bouma TJ, Duarte CM. 2008. Experimental assessment and modeling evaluation of the seagrass Posidonia oceanic on flow and particle trapping. Marine Ecology Progress Series 356: 163-173.

Herkul K, Kotta J. 2009. Effects of eelgrass (Zostera marina) canopy removal and sediment addition on sediment characteristics and benthic communities in the Northern Baltic Sea. Marine Ecology 30: 74-82.

Jones WB, Cifuentes LA, Kaldy JE. 2003. Stable carbon isotope evidence for coupling between sedimentary bacteria and seagrasses in a sub-tropical lagoon. Marine Ecology Progress Series 255: 15-25.

Kuo J, McComb AJ. 1989. Seagrass taxonomy, structure and development. Di dalam: Larkum AWD, McComb AJ, Shepherd SA, editor. Biology of seagrasses: a treatise on the biology of seagrasses with special refrence to the Australian Regon. Aquatic Plan Studies 2. Amsterdam: Elsevier.

Klumpp WH, Salita-Espinosa J, Fortes MD. 1992. The Role of epiphytic periphyton and macroinvertebrate grazers in the trophic flux of a tropical seagrass community. Aquatic Botany 43: 327-349.

Kiswara W. 1997. Struktur komunitas padang lamun perairan Indonesia.

Inventarisasi dan evaluasi potensi laut pesisir II. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan-LIPI.

Komatsu T, Umezawa Y, Nakakoka M, Supanwahid C, Kanamoto Z. 2004. Water flow and sediment in Enhalus acoroides and other seagrass beds in the Andaman Sea, off Khao Bae Na, Thailand. Coastal Marine Science 29: 62-68.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan menteri Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004, tentang baku mutu air laut.

Kamri M. 2004. Studi ekologi krustasea yang berasosiasi dengan padang lamun di Perairan Pulau Barrang Lompo Kota Makassar (Skripsi).Makassar: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.

Larkum AWD, Den hartog C. 1989. Evolution and Biogeography of Seagrasses. Di dalam: Larkum AWD, McComb AJ, Shepherd SA, editor. Biology of Seagrasses: a Treatise on the Biology of Seagrasses with Special Refrence to the Australian Regon. Aquatic Plan Studies 2. Amsterdam: Elsevier. Lee KS, Dunton KH. 2000. Effects of nitrogen enrichment on biomass allocation,

growth, and leaf morphology of the seagrass Thalassia testudinum. Marine Ecology Progress Series 196: 39-48.

Millero FJ, Sohn LS. 1992. Chemical oceanography. Boca Raton Ann Arbor London: CRC Press.

Mann KH. 2000. Ecology of coastal waters: with implication for management. Ed: ke-2. Massachusetts: Blackwell Scientific Inc.

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut suatu pendekatan ekologis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Nontji A. 2002. Laut nusantara. Jakarta: Djambatan.

Odum EP. 1993. Dasar-dasar ekologi. Ed: ke-3. Yogyakarta: Gadja Mada University Press.

Peterson JB, Heck KL. 2001. Positive interactions between suspension-feeding bivalves and seagrass-a facultative mutualism. Marine Ecology Progress Series 213: 143-155.

Parada M. 2002. Kepadatan dan produksi lamun Enhalus acoroides dan Thallasia hemprichii di Pulau Barrang Lompo dan Bone Batang Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan (Skripsi). Makassar: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.

Putra M. 2004. Komposisi jenis dan distribusi ikan pada ekosistem padang lamun di Pulau Barrang Lompo Kota Makassar (Skripsi). Makassar: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.

Pemkot Makassar. 2004. Laporan status lingkungan hidup pemerintah Kota Makassar Tahun 2004. Buku 2 Parameter Basis Data. 211 halaman.

Roberts D, Soemodihardjo S, Kastoro W. 1982. Shallow water marine Molluscs of North-West Java. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan pegelolaan sumberdaya alam di wilayah

pesisir tropis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Supriadi. 2002. Produktivitas lamun Enhalus acoroides (LINN. F) ROYLE dan

Thalassia hemprichii (EHRENB) ASCHERSON di Pulau Barrang Lompo Makassar (tesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Supriadi, Arifin. 2005. Dekomposisi serasah daun lamun Enhalus acoroides dan

Thalassia hemprichii di Pulau Barrang Lompo Makassar. Torani 15(1): 59-64.

Ukkas M, Jalil AR, Tuwo A, Mursalim. 2000. Pengaruh kepadatan lamun artifisial terhadap sedimentasi di Perairan Pulau Barrang Lompo. Torani 10 (1): 24-29.

Van Duin EHS, Blom G, Los FJ, Maffione R, Zimmerman R, Cerco CF, Dortch M, BestElly PH. 2001. Modeling underwater light climate in relation to sedimentation, resuspension, water quality and eutrotrophic growth.

Hydrobiologia 444: 25-42.

vonk Arie J, Middelburg J, Stapel J, Bouma TJ. 2008. Dissolved organic Nitrogen uptake by Seagrass. Limnology and Oseanography 53: 242-248.

Wicks EC, Koch EW, O’neil JM, Elliston K. 2009. Effects of sediment organic

content and hydrodynamic conditions on the growth and distribution of zostera marina. Marine Ecology Progress Series 378: 71-80.

Zimmerman RC, Smith RD, Alberte RS. 1987. Is growth of the Eelgrass nitrogen limited? a numerical simulation of effect of light and nitrogen on the growth dynamics of Zostera marina. Marine Ecology Progress Series 41:167-176.

Parameter

Tenggara Timur Laut

Suhu (oC) 30,0 30,5 Salinitas (o/oo) 32,0 31,0 DO (mg/l) 3,7 3,1 TSS (mg/l) 39,1 27,9 BOT (mg/l) 59,6 78,7 Nitrat (mg/l) 0,1 0,2 Ortofosfat (mg/l) 0,8 0,6 pH 8,3 8,2 60

Lampiran 3 Data pengukuran parameter kimia substrat di lokasi penelitian

Dokumen terkait