• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum

B. Penyajian Data

2. Keterwakilan Perempuan pada Bakal Calon Legislatif Partai Politik di Kabupaten Magetan

Menurut Thoha (2010: 94) Partai politik dalam negara demokratis maupun otoritarian berbeda dengan asosiasi politik lainnya yang ada. Partai politik merupakan organisasi yang berhubungan dengan kekuasaan melalui pemilihan umum yang demokratis dengan mekanisme perwakilan. Partai politik merupakan elemen yang demokratis karena syarat menjadi anggota parpol secara otomatis mengiterpretasikan rakyat mana yang sebenarnya boleh menjadi anggota parpol tersebut. Elemen lainnya pemerintah menjamin kesempatan yang sama dengan yang lain untuk berperan serta dalam proses pembuatan kebijakan. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Syueb (2008:118), pemilihan umum merupakan sarana terpenting bagi proses demokratisasi di suatu negara. Pemilihan umum sebagai suatu kunci pembuka dalam memasuki proses demokratisasi yang akan ditindaklanjuti dengan bekerjanya seperangkat kelembagaan lainnya.

Partai politik sebagai media pelaksanaan demokrasi tentunya akan berpartisipasi pada pelaksanaan pemilu melalui wakil-wakilnya. Hanya saja dalam mendelegasikan wakilnya sebagai calon legislatif partai harus mampu bersifat adil karena pada dasarnya wakil rakyat adalah penyampai aspirasi yang tentunya bisa mewakili semua golongan. Maka pelibatan ini, tidak hanya untuk kaum laki-laki saja melainkan juga kaum perempuan sebagaimana sudah diatur UU Nomor 8 Taun 2012 mengenai 30% keterwakilan perempuan pada bakal calon legislatif. Selain itu, kesamaan politik menuntut bahwa warga negara dewasa mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan dalam pengambilan kebijakan.

Bahkan, pada alinia kedua Pembukaan UUD 45 terdapat kalimat yang berbunyi “...menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Pada alinea ketiga juga diakui adanya “....kehidupan kebangsaan yang bebas,...” Kemudian pada aline 4 “...memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...dengan mewujudkan suatu kedilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesemuanya merupakan dasar bahwa Indonesia sebagai negara hukum telah memberi pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pembukaan UUD 45 tersebut menunjukkan bahwa tidak adanya pembatasan pada salah satu kaum untuk bisa terlibat aktif satunya dalam bidang politik yaitu salah satunya pada pemilihan umum.

Pada Undang-Undang No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, pasal 55 mengatur bahwa partai politik untuk bisa lolos menjadi Peserta Pemilu maka bakal calon harus menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan. Partai Politik di Kabupaten Magetan yang lolos menjadi peserta pemilu sebanyak 12 partai politik. Tetapi yang menjadi informan bagi peneliti adalah Partai Nasional Demokrat, sebagai partai yang masih dianggap baru justru sudah mampu dalam memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan dengan presentase yang cukup baik. Hal yang sama juga dirasakan PAN sebagai salah satu partai dengan warna keagamaan, mampu mendapatkan rata-rata presentase yang cukup tinggi untuk memenuhi kuota 30%

keterwakilan perempuan dibandingkan dengan partai yang lain. Selain itu, PDIP juga sudah memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. Bahkan PDIP juga mampu mengamanahkan kadernya sebagai bakal calon legislatif sesuai jumlah kursi yang tersedia disetiap dapilnya. Hal ini tentunya juga karena ada pengaruh dari faktor yang lain. Tidak dapat kita pungkiri bahwa PDIP salah satu partai besar di Indonesia, serta pernah memiliki wakil perempuan untuk menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia yang selanjutnya disebut (RI) yaitu Ibu Megawati. Hal yang sama tentunya juga dirasakan oleh Partai Golkar dan Demokrat karena sudah mampu memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan serta ditunjang lagi dengan sejarah partai yang cukup bagus dengan pernah memiliki Presiden dari partai tersebut. Berbeda dengan PKPI yang hanya mengirimkan caleg pada 3 dapil saja. Selain itu, pada salah satu dapil juga tidak menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Hal itu dikarenakan PKPI hanya berfokus pada peningkatan kualitas tanpa memikirkan peningkatan kuantitas.

Hal diatas tentunya menunjukkan bahwa masih adanya partai yang tidak bisa memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan pada bacaleg. Tetapi, dengan kendala seperti ini, justru partai dapat dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu. Implementasi kebijakan 30% keterwakilan perempuan pada bakal calon legislatif, seharusnya tidak hanya sebagai mekanisme penjabaran keputusan politik kedalam prosedur sehingga implemetasi kebijakan dianggap sebagai aspek penting dari keseluruhan proses kebijakan. Sebagaimana yang disampaikan Udoji (1981, hal 32) bahwa pelaksanaan kebijakan jauh lebih penting daripada pembuatan

kebijakan. Apabila kebijakan tidak diimplementasikan maka hanya sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip.

Maka dari itu seharusnya partai mampu mendukung secara maksimal dalam pemenuhan 30% keterwakilan perempuan yang tidak hanya sebatas 30% tetapi juga mampu menyumbang lebih dari 30% keterwakilan perempuan. Terutama bagi partai yang masih sangat kurang dalam pemenuhan 30% keterwakilan perempuan. Apabila partai politik di Indonesia hanya sekedar memenuhi bahkan masih ada yang belum memenuhi kuota maka kebijakan minimal 30% keterwakilan perempuan ini hanya sebatas rencana yang tidak ada implementasinya sehingga tetap saja belum melibatkan perempuan secara maksimal.

Selain itu, dalam implementasi kebijakan 30% keterwakilan perempuan pada bakal calon legislatif juga terdapat masalah dalam hal minat perempuan. Masih adanya calon legislatif perempuan yang mewakili bukan atas keinginan pribadi tetapi atas amanah atau keinginan partai. Ini menunjukkan bahwa minat perempuan untuk terlibat dalam politik juga masih rendah. Dampaknya jumlah perempuan yang terlibat dalam calon legislatif ternyata lebih sedikit dibanding laki-laki. Meskipun partai sudah memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan, tetapi dominasi masih ada pada laki-laki. Seharusnya hal semacam ini sudah mampu diantisipasi oleh partai politik dengan melakukan berbagai strategi untuk meningkatkan kompetensi dan minat kader perempuan. Menurut Parawansa (2006:43) menyatakan bahwa salah satu ikhtiar untuk membina dan memberdayakan perempuan Indonesia dengan melalui peningkatan peran

organisasi perempuan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pendampingan dan perjuangan menuju kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga keserasian dan keadilan gender dapat terwujud.

Apabila tidak adanya pembinaan dan pemberdayaan pada kader perempuan maka akan berdampak pada rendahnya peran perempuan pada tingkat pengambilan keputusan di legislatif sehingga menyebabkan kurang terakomodasinya aspirasi dan kepentingan perempuan. Padahal seharusnya perempuan dapat memperoleh kesempatan yang sama untuk bisa masuk ke politik. Tetapi persoalannya adalah minat perempuan untuk ranah politik masih sangat kurang didukung lagi dengan jumlah pada bakal caleg yang dominasi laki-laki menunjukkan keterlibatan perempuan dalam panggung politik ini bisa juga sebagai aksesoris politik untuk bisa menembus 30% keterwakilan perempuan.

Fakta-fakta diatas sesuai dengan pendapat Andrew Dunsire bahwa dalam proses kebijakan selalu akan terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan oleh pembuat kebijaksanaan dengan apa yang dicapai. Hal ini dapat dilihat dari tujuan awal kebijakan 30% keterwakilan perempuan dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik tetapi pada faktanya masih banyak permasalahan dan justru tingkat keterwakilan perempuan juga masih rendah.

3. Persepsi Masyarakat Kabupaten Magetan Terhadap Keterwakilan