• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketimpangan Wilayah Berdasarkan Koefisien Variasi Williamson 63

IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Ketimpangan Wilayah Berdasarkan Koefisien Variasi Williamson 63

Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan sesuatu yang wajar pada awal proses pembangunan baru dimulai terutama di negara berkembang. Perbedaan pertumbuhan ekonomi antar wilayah juga terjadi karena adanya

perbedaan sumber daya. Demikian pula ketimpangan pembangunan di Pulau Jawa

masih sangat tinggi. Secara umum, koefisien variasi Williamson Pulau Jawa berada pada kisaran antara 0,94 sampai dengan 0,98, artinya pendapatan antar wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa sangat timpang. Angka ini menunjukkan kecenderungan menurun selama periode penelitian (Tabel 2).

Ketimpangan kabupaten/kota dalam provinsi relatif lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan kabupaten/kota Pulau Jawa. Ketimpangan paling tinggi terjadi di Banten, berada pada range yang paling lebar di antara provinsi-provinsi lainnya, yaitu pada kisaran antara 0,77 sampai 0,92. Angka ini sangat menyolok karena mengalami peningkatan yang cepat dari tahun ke tahun. Provinsi Banten merupakan pemekaran dari Jawa Barat pada tahun 2000, sehingga masih dalam proses awal pembangunan. Kabupaten/kota di wilayah ini masih sedikit, terdiri dari 4 kabupaten dan 4 kota pada tahun 2009 dan masing-masing memiliki sumber daya yang berbeda. Tangerang merupakan bagian dari kawasan metropolitan Jabodetabek (Jakarta – Bogor – Tangerang – Bekasi) yang mempunyai potensi ekonomi yang besar pada sektor industri dan perdagangan. Kemajuan wilayah ini tidak dapat dilepaskan dari pintu gerbang transportasi baik udara (Bandar Udara Internasional Soekarno – Hatta) maupun laut (pelabuhan Merak).

Ketimpangan terendah terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta, berada pada kisaran antara 0,38 sampai dengan 0,42 dan memiliki kecenderungan menurun. Angka ini menunjukkan perbedaan kecepatan pembangunan antar wilayah Daerah Tingkat II semakin kecil. Hal ini berbeda dengan wilayah terdekatnya. Koefisien variasi Williamson Jawa Tengah berada pada kisaran antara 0,71 sampai dengan

Tabel 2 Koefisien Variasi Williamson PDRB Wilayah-wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 Wilayah 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa 0,97 0,98 0,95 0,95 0,95 0,94 0,95 0,95 0,95 Jawa Barat 0,68 0,67 0,67 0,66 0,65 0,65 0,65 0,65 0,65 Jawa Tengah 0,72 0,73 0,73 0,74 0,75 0,76 0,76 0,75 0,75 DIY 0,41 0,42 0,43 0,43 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 Jawa Timur NA NA NA NA NA NA NA NA NA Banten 0,78 0,79 0,81 0,82 0,84 0,85 0,85 0,91 0,91

Kontribusi sektor pertanian di Jawa Tengah merupakan yang terbesar dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya di Pulau Jawa. Jawa Tengah memainkan peranan penting sebagai pemasok hasil pertanian, dengan kontribusi sebesar 34,12 persen dibandingkan dengan produksi pertanian Pulau Jawa secara keseluruhan pada tahun 2009. Oleh karena itu kegiatan industri di Jawa Tengah lebih banyak yang mengandalkan aktivitas yang berhubungan dengan pertanian dan agribisnis dengan bentuk usaha IKRT (Industri Kerajinan Rumah Tangga).

Gambar 14 Tren Kontribusi Sektor Pertanian Wilayah-wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 (Persen)

Selanjutnya ketimpangan antar wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat berada pada kisaran antara 0,64 sampai dengan 0,69 dan mengalami tren yang menurun. Angka ini masih tergolong tinggi, karena pertumbuhan

kawasan-0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah

kawasan industri yang besar berada di Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah penting yang mendukung perekonomian DKI Jakarta. Sebagai dampaknya, perekonomian wilayah ini pun semakin cepat berkembang, ditandai dengan pemekaran wilayah, munculnya kawasan perkotaan dan metropolitan. Pemekaran provinsi terjadi pada tahun 2000 dengan adanya Provinsi Banten, sedangkan pemekaran kabupaten/kota sejak tahun 2001 antara lain Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi dari Kabupaten Bandung, Kota Tasikmalaya dari Kabupaten Tasikmalaya, Kota Banjar dari Kabupaten Ciamis.

Gambar 15 Tren Koefisien Variasi Williamson Wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009

Jawa Barat mempunyai tiga kawasan metropolitan, yang merupakan kawasan perkotaan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa publik dan pemerintahan, pelayanan sosial serta kegiatan ekonomi (Pontoh dan Kustiawan, 2008). Dominasi kegiatan kota-kota di Jawa Barat adalah industri, pemukiman, perdagangan dan jasa. Kawasan metropolitan Bandung Raya terdiri dari Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi (Bodebek) merupakan bagian dari kawasan metropolitan Jabodetabek. Selanjutnya kawasan metropolitan Cirebon difungsikan sebagai pusat

0,0000 0,2000 0,4000 0,6000 0,8000 1,0000 1,2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

pertumbuhan Jawa Barat bagian timur. Pertumbuhan perkotaan diharapkan mampu menciptakan aglomerasi yang berdampak positif terhadap wilayah-wilayah di sekitarnya.

Tingginya ketimpangan di Pulau Jawa didominasi oleh ketimpangan antar kota, dipicu oleh pembangunan kota sebagai pusat pertumbuhan. Apalagi dengan adanya desentralisasi fiskal, daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam menentukan pembangunan di wilayahnya dan berlomba membangun pusat pertumbuhan. Koefisien variasi Williamson antar kota di Pulau Jawa berada pada kisaran antara 0,84 sampai dengan 0,88, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan antar kabupaten/kota. Ketimpangan antar kabupaten lebih rendah lagi, berada pada kisaran antara 0,65 sampai dengan 0,68. Namun angka ini masih relatif tinggi dalam range penghitungan koefisien variasi Williamson.

Gambar 16 Tren Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009

Besaran ketimpangan antar kota dan antar kabupaten lebih kecil dibandingkan dengan ketimpangan kabupaten/kota seluruh Pulau Jawa, artinya perbedaan kabupaten dan kota meningkatkan ketimpangan wilayah di Pulau Jawa. Pendapatan per kapita yang tinggi di perkotaan disebabkan semakin meningkatnya perusahaan-perusahaan industri yang besar serta kegiatan perdagangan, akomodasi dan jasa. Namun penghitungan ini masih dalam skala makro, karena

0,0000 0,2000 0,4000 0,6000 0,8000 1,0000 1,2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Kabupaten di Pulau Jawa Kota di Pulau Jawa Kabupaten/Kota di Pulau Jawa

dihitung secara agregat dari pendapatan wilayah (termasuk perusahaan asing yang berada dalam wilayah tersebut). Pendapatan yang diterima oleh masyarakat di wilayah tersebut bias, artinya tidak sebesar pendapatan rata-rata jika dihitung secara makro. Hal ini dibuktikan dengan koefisien variasi yang dihitung dari data pengeluaran rumah tangga.

Tabel 3 Koefisien Variasi Williamson Pengeluaran Rumah Tangga Wilayah-wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009

Wilayah 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa 0,39 0,35 0,29 0,30 0,39 0,33 0,33 0,44 0,37 Jawa Barat 0,34 0,32 0,30 0,29 0,27 0,31 0,32 0,40 0,31 Jawa Tengah 0,22 0,25 0,17 0,23 0,26 0,25 0,28 0,32 0,29 DIY 0,29 0,37 0,30 0,31 0,35 0,34 0,31 0,30 0,27 Jawa Timur 0,29 0,30 0,25 0,26 0,37 0,29 0,24 0,40 0,26 Banten 0,39 0,32 0,28 0,22 0,37 0,28 0,29 0,36 0,37

Ketimpangan wilayah yang dihitung dari pengeluaran rumah tangga per kapita menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda, tidak seperti pada penghitungan ketimpangan dengan menggunakan PDRB per kapita. Ketimpangan tertinggi dan terendah pada setiap tahun berada pada wilayah yang berbeda-beda. Artinya, perbedaan daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari antar wilayah dan dalam wilayah di Pulau Jawa tidak jauh berbeda, berada pada kisaran 0,16 sampai dengan 0,44. Ketimpangan dalam wilayah selama periode penelitian relatif lebih fluktuatif dibandingkan dengan ketimpangan dalam penghitungan dengan menggunakan data PDRB per kapita.

Berdasarkan hasil penghitungan ketimpangan wilayah dengan menggunakan koefisien variasi Williamson tersebut, pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga dapat dibandingkan menurut wilayah. Secara umum, tingkat ketimpangan wilayah dengan pendekatan PDRB jauh lebih tinggi dibandingkan ketimpangan wilayah dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga (Gambar 17). Hal ini menunjukkan bahwa produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh kabupaten/kota di Pulau Jawa hanya sedikit yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Artinya, pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi masih banyak yang digunakan oleh penduduk di luar wilayah, mungkin DKI Jakarta, luar Jawa, atau luar negeri.

Gambar 17 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009

Tingkat ketimpangan yang dihitung dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga lebih banyak dipengaruhi keadaan perekonomian dan harga barang-barang kebutuhan pokok, meskipun dalam penghitungannya inflasi sudah dihilangkan dengan mendeflasi data berdasarkan harga tahun 2000. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan ketimpangan pada tahun 2005 dan tahun 2008. Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2005 menyebabkan harga-harga kebutuhan meningkat sehingga daya beli masyarakat yang berpenghasilan rendah menurun tajam. Di sisi lain, masyarakat yang berpenghasilan tinggi tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dan mengalokasikan pendapatannya untuk kebutuhan primer yang mereka anggap penting. Akibatnya ketimpangan yang dihitung dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga meningkat. Fenomena ini terjadi juga di seluruh provinsi di Pulau Jawa yang termasuk dalam penelitian, kecuali Jawa Barat. Dampak kenaikan harga minyak terhadap kegiatan ekonomi di wilayah yang didominasi oleh sektor manufaktur terhadap peningkatan ketimpangan baru dirasakan pada tahun sesudahnya, terus meningkat sampai dengan tahun 2008, dan baru dapat diturunkan pada tahun berikutnya. Krisis ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 2008 juga berdampak terhadap peningkatan ketimpangan yang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat di Pulau Jawa. Namun,

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga

ketimpangan di D.I. Yogyakarta justru dapat diturunkan dari tahun sebelumnya karena struktur perekonomian yang didominasi oleh sektor jasa, hingga mencapai 57,70 persen pada tahun 2009, yang menyebabkan sedikitnya pengaruh kenaikan harga minyak dalam kegiatan ekonomi.

Gambar 18 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Jawa Barat dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009

Gambar 19 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga

Jika ketimpangan antar provinsi di Pulau Jawa dibandingkan, selisih terbesar adanya perbedaan tingkat ketimpangan dengan dua pendekatan terjadi di Jawa Tengah, meskipun masih lebih rendah dibandingkan selisih ketimpangan di Pulau Jawa secara keseluruhan. Ketimpangan wilayah berdasarkan pengeluaran rumah tangga di Jawa Tengah memang lebih rendah dibandingkan provinsi-provinsi lainnya, artinya kemampuan daya beli masyarakat antar wilayah relatif merata. Namun, angka ini berbeda dengan tingkat ketimpangan berdasarkan pendekatan PDRB, yang lebih tinggi dibandingkan D.I. Yogyakarta dan Banten. Perbedaan ini menyebabkan besarnya selisih ketimpangan dengan dua pendekatan tersebut. Fenomena yang sebaliknya terjadi di D.I. Yogyakarta. Ketimpangan wilayah dengan pendekatan PDRB merupakan yang terkecil di seluruh Pulau Jawa, sedangkan dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga relatif tinggi, sehingga selisih perbedaan ketimpangan merupakan yang terkecil.

Gambar 20 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009

Perbedaan hasil penghitungan koefisien variasi Williamson dengan dua pendekatan dapat menggambarkan bagaimana pendapatan wilayah didistribusikan untuk kesejahteraan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Semakin besar selisih hasil penghitungan dengan dua pendekatan, menunjukkan bahwa semakin besar pula pendapatan yang digunakan oleh orang lain yang tidak tinggal di

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga

wilayah tersebut atau dapat dikatakan terjadi transfer pendapatan ke wilayah lain. Adanya investasi yang berasal dari luar daerah juga menjadi pemicu utama terjadinya transfer pendapatan karena pemiliknya akan mengambil pendapatan yang diperoleh dari wilayah tersebut dan dibelanjakan di luar daerah. Oleh karena itu penanaman modal dari luar daerah perlu mengkaji pengaruh negatif adanya pengurasan sumber daya lokal dan aliran pendapatan pemilik modal ke luar daerah.

Gambar 21 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Banten dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009

4.2. Konvergensi Wilayah 4.2.1. Konvergensi Pulau Jawa

Estimasi konvergensi Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan pada variabel dependennya, yaitu pendekatan PDRB per kapita dan pengeluaran rumah tangga per kapita. Perbandingan ini dilakukan sebagai upaya untuk melihat apakah ada perbedaan pertumbuhan ekonomi secara makro yaitu di level wilayah kabupaten/kota dan secara mikro yaitu di level rumah tangga. Tingginya pendapatan wilayah tidak secara otomatis menyebabkan tingginya kesejahteraan masyarakatnya karena mungkin pendapatan di wilayah tersebut

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga

dimiliki oleh orang asing atau dengan kata lain hasil produksi dibawa ke wilayah lain dan digunakan untuk kesejahteraan masyrakat lain.

Proses konvergensi pendapatan dapat dilihat dari koefisien parameter autoregressive dari variabel PDRB. Nilai dari koefisien dari yt-1 yang kurang dari 1 menunjukkan adanya proses konvergensi, sedangkan nilai yang lebih dari 1 menunjukkan bahwa pendapatan kabupaten/kota persisten. Model data panel dinamis FD-GMM menunjukkan bahwa koefisien yt-1 adalah 1,2722 dan signifikan pada level 5 persen, artinya proses konvergensi tidak terjadi di Pulau Jawa. Dengan kata lain, pendapatan di Pulau Jawa divergen. Berdasarkan statistik uji Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid tidak ditolak, dengan p-value 0,9870, artinya variabel instrumen yang digunakan valid. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB m1 yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB m2 yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial atau model konsisten.

Tabel 4 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Pulau Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM

Parameters Estimated Coefficients Standard Error P-value

ln pdrbt-1 1,2722 0,0645 0,0000 ln inv 0,0039 0,0007 0,0000 ln labour -0,0419 0,0132 0,0020 Implied λ NA Wald-Test 596,6900 0,0000 AB m1 -4,0375 0,0001 AB m2 0,8011 0,4231 Sargan Test 14,0256 0,9870

Catatan: variabel pajak digunakan sebagai instrumen

Penghitungan konvergensi PDRB per kapita kabupaten/kota di Pulau Jawa berbeda dengan hasil penelitian Bussoletti dan Esposti (2004) yang menghitung konvergensi pendapatan per kapita di daerah-daerah negara Eropa (berada pada kisaran 5 sampai dengan 7,5 persen). Penelitian antar provinsi di Kanada juga berada pada kisaran 6 sampai dengan 6,5 persen (Ralhan dan Dayanandan, 2005), sedangkan konvergensi provinsi-provinsi berpenghasilan tinggi yang letaknya berdekatan satu sama lain di Rusia yang mencapai 2,8 sampai 3,8 persen (Kholodilin et al., 2009). Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa

ketimpangan masih berada pada tingkat yang relatif tinggi dan dengan tingkat konvergensi yang rendah. Berdasarkan hasil penelitian Firdaus (2006), konvergensi antar provinsi di Indonesia sudah terjadi, namun hanya mencapai 1,01 persen dengan metode FD-GMM. Sedangkan pada tingkat kabupaten/kota di Pulau Jawa justru tidak terjadi. Hal ini disebabkan faktor yang cenderung berimplikasi terhadap pemerataan (spread effect) adalah berkembangnya sektor primer di wilayah sekitarnya (Pravitasari, 2009). Berdasarkan struktur perekonomian, sektor primer di Pulau Jawa lebih kecil dibandingkan dengan nasional.

Fenomena ini disebabkan adanya pusat-pusat industri di kota-kota besar, yang menyebabkan perbedaan tingkat pembangunan yang semakin melebar. Selain itu wilayah penelitian yang berada pada Daerah Tingkat II menyebabkan interaksi ekonomi dan ketergantungan spasial yang tinggi antar wilayah mempunyai potensi menyesatkan hasil penelitian jika tidak memperhitungkan efek spasial (spatial filtering) dalam model data panel dinamis (Badinger, et al., 2002).

Tabel 5 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM

Parameters Estimated Coefficients Standard Error P-value

ln const-1 0,3421 0,0098 0,0000 ln inv ln labour 0,2967 0,0351 0,0000 Implied λ 107,2755 Wald-Test 1538,8200 0,0000 AB m1 -5,7980 0,0000 AB m2 -1,4747 0,1403 Sargan Test 61,6225 0,0003

Catatan: variabel investasi digunakan sebagai instrumen

Estimasi konvergensi dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga dilihat dari koefisien parameter autoregressive dari variabel pengeluaran rumah tangga per kapita. Nilai dari koefisien dari yt-1 sebesar 0,3421; mengindikasikan adanya konvergensi pengeluaran rumah tangga di antara kabupaten/kota di Pulau Jawa, dengan tingkat konvergensi sebesar 107,28 persen. Berdasarkan statistik uji

Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid ditolak, dengan p-value 0,0003. Hal ini menunjukkan bahwa variabel instrumen yang digunakan tidak valid. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB m1

yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB m2 yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial atau model konsisten.

Tingkat konvergensi pengeluaran rumah tangga mencapai nilai yang sangat tinggi dibandingkan dengan tingkat konvergensi pendapatan wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa, berbeda dengan hasil penelitian Ralhan dan Dayanandan (2005), yang menghitung konvergensi antar provinsi di Kanada. Konvergensi disposible income justru lebih kecil (2,89 persen) dibandingkan dengan konvergensi pendapatan per kapita (6 sampai 6,5 persen). Tingginya konvergensi pada level rumah tangga di Pulau Jawa karena pendekatan ini hanya melihat konvergensi dari pelaku ekonomi rumah tangga, berbeda dengan konvergensi PDRB yang melibatkan semua pelaku ekonomi, baik rumah tangga, swasta maupun pemerintah. Aktivitas ekonomi yang dilakukan juga berbeda, tidak hanya konsumsi seperti pada pendekatan pengeluaran rumah tangga, namun juga investasi, baik yang dilakukan perusahaan swasta maupun pemerintah. Perbandingan tingkat konvergensi ini menunjukkan bahwa tingkat pembangunan wilayah yang sama akan dicapai dalam kurun waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kesamaan daya beli masyarakat.

4.2.2. Konvergensi Jawa Barat

Perekonomian di Provinsi Jawa Barat didominasi oleh kegiatan industri pengolahan, dengan kontribusi mencapai 42,20 persen pada tahun 2009. Sektor ini mampu menjadi penopang utama perekonomian karena didukung oleh bahan baku dari sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian. Kontribusi sektor pertanian di Jawa Barat pada tahun 2009 mengalami peningkatan, berbeda dengan pola sektor pertanian di provinsi-provinsi lainnya, bahkan Pulau Jawa secara keseluruhan (Gambar 14). Laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada tahun 2009 mencapai 4,29 persen, yang kecepatannya menurun dari tahun sebelumnya sebesar 5,84 persen karena penurunan pada sektor utama.

Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Barat relatif stabil dengan peningkatan rata-rata berada pada kisaran angka 5 persen. Wilayah yang mengalami pertumbuhan yang fluktuatif disebabkan ketergantungan pertumbuhan wilayah terhadap minyak bumi, yaitu Kabupaten Indramayu yang pertumbuhan ekonominya turun hingga -7,51 persen pada tahun 2004 dan -7,82 pada tahun 2006. Sebaliknya Kabupaten Karawang justru mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 hingga mencapai 13,73 persen.

Perkembangan kota dapat menyebabkan peningkatan kecepatan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya, atau sebaliknya terjadi pengurasan sumber daya, baik tenaga kerja maupun bahan baku. Secara empiris, proses konvergensi pendapatan regional di Jawa Barat disajikan pada Tabel 6. Koefisien yt-1 sebesar 0,7908 dengan metode FD-GMM, menunjukkan bahwa tingkat konvergensi pendapatan wilayah di Jawa Barat sebesar 23,47 persen. Hasil uji Sargan dengan statistik sebesar 1,2228 (p-value 0,9904), artinya variabel instrumen yang digunakan telah valid secara signifikan pada level 5 persen. Namun model tidak konsisten karena masih ada serial correlation, dilihat dari signifikansi m1 yang seharusnya menolak hipotesis nol. Uji AB m2 sudah sesuai dengan teori untuk uji kekonsistenan model.

Tabel 6 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Barat dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM

Parameters Estimated Coefficients Standard Error P-value

ln pdrbt-1 0,7908 0,0201 0,0000 ln inv 0,0007 0,0035 0,8340 ln labour 0,0008 0,0039 0,8300 Implied λ 23,4694 Wald-Test 1701,1400 0,0000 AB m1 -1,0005 0,3170 AB m2 0,9972 0,3187 Sargan Test 1,2228 0,9904

Catatan: variabel pendidikan tenaga kerja digunakan sebagai instrumen Estimasi konvergensi dengan pendekatan pendapatan wilayah berbeda dengan hasil penelitian konvergensi Pulau Jawa. Kecepatan pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat menuju ke satu titik tertentu (konvergen) karena pengaruh sumber daya alam yang mendorong besarnya kontribusi sektor manufaktur

terutama industri pengolahan. Posisi Jawa Barat yang dekat dengan pusat pertumbuhan terbesar di Indonesia menyebabkan wilayah-wilayah di Jawa Barat berkembang dengan cepat sebagai penopang kegiatan perekonomian DKI Jakarta sekaligus mendapat keuntungan adanya akses terhadap fasilitas yang tersedia dan informasi serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perusahaan-perusahaan yang berpusat di DKI Jakarta yang sudah crowded biasanya mengembangkan usahanya di Jawa Barat.

Ukuran kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan pengeluaran rumah tangga per kapita dapat lebih mencerminkan daya beli penduduk yang tinggal di wilayah tersebut karena pengukuran pendapatan wilayah dengan menggunakan PDRB melibatkan penduduk di luar wilayah yang memiliki kegiatan ekonomi di dalam wilayah. Proses konvergensi pengeluaran rumah tangga terjadi, ditandai dengan koefisien yt-1 yang kurang dari 1 pada model yaitu sebesar 0,2658. Tingkat konvergensi yang dihasilkan sebesar 132,52 persen, jauh lebih besar daripada estimasi konvergensi dengan menggunakan PDRB per kapita. Kriteria model data panel dinamis ditentukan oleh validitas dan konsistensi telah memenuhi syarat. Berdasarkan uji Sargan dengan statistik 15,2286 (p-value 0,9759), model FD-GMM ini mempunyai variabel instrumen yang valid. Uji konsistensi dengan melihat m1 dan m2 menunjukkan bahwa tidak ada serial correlation dan model konsisten.

Tabel 7 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Barat dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM

Parameters Estimated Coefficients Standard Error P-value

ln const-1 0,2658 0,0024 0,0000 ln inv ln labour 0,0032 0,0053 0,5410 Implied λ 132,5194 Wald-Test 98129,7800 0,0000 AB m1 -2,8186 0,0048 AB m2 -1,5658 0,1174 Sargan Test 15,2286 0,9759

4.2.3. Konvergensi Jawa Tengah

Perkembangan wilayah di Jawa Tengah relatif stabil, tanpa adanya pemekaran wilayah administratif baik kabupaten maupun kota selama kurun waktu penelitian. Jawa Tengah terdiri dari 29 kabupaten dan 6 kota. Pusat pemerintahan di Kota Semarang, yang merupakan satu-satunya kota metropolitan di Jawa Tengah. Kegiatan ekonomi di kota ini didominasi oleh perdagangan dan pemukiman. Kota-kota pendukungnya adalah Surakarta, Cilacap, Tegal dan Pekalongan. Provinsi Jawa Tengah merupakan wilayah penghubung antara dua kutub (bipolar pattern) konsentrasi industri utama di Pulau Jawa yaitu Jabodetabek dan Surabaya. Namun nilai tambah sektor industri pengolahan Jawa Tengah pada tahun 2009 (124 trilyun rupiah) justru lebih besar dibandingkan dengan Jawa Timur (82 trilyun rupiah), walaupun nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan Jawa Barat (275 trilyun rupiah).

Pertumbuhan ekonomi wilayah-wilayah di Jawa Tengah mengalami proses menuju ke satu titik tertentu. Nilai koefisien yt-1 pada lag variabel dependen kurang dari 1, sehingga menghasilkan tingkat konvergensi yang positif. Tingkat konvergensi mencapai 3,14 persen berdasarkan hasil empiris koefisien yt-1 sebesar 0,9691. Pemeriksaan model data panel dinamis dilakukan dengan uji validitas dan konsistensi model. Hasil uji Sargan menunjukkan bahwa hipotesis nol variabel instrumen valid tidak ditolak. Penggunaan share sektor pertanian yang tepat dalam estimasi konvergensi di Jawa Tengah ini menunjukkan peranan sektor ini dalam perekonomian wilayah-wilayah di Jawa Tengah yang cukup besar, bahkan mendominasi kegiatan ekonominya. Sedangkan uji m1 dan m2 menunjukkan

Dokumen terkait