• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketinggian Dan Kemiringan Lereng

Dalam dokumen MUHAMMAD IRFANSYAH LUBIS (Halaman 54-60)

Kenaikan ketinggian suatu tempat, diikuti dengan penurunan dalam kekayaan jenisnya (Mackinnon 1982 dalam Alikodra 1990). Perubahan besar dalam komposisi jenis terjadi bersamaan dengan adanya peralihan dari habitat dataran rendah ke habitat pegunungan. Semakin tinggi letaknya, komposisi jenis dan struktur hutan berubah menjadi terbatas (Alikodra 1990).

Seperti di seluruh daerah di dunia, penurunan suhu akibat peningkatan elevasi akan menimbulkan efek zonasi atau efek lingkar yang kasar dalam posisi tegak seperti garis lintang dari khatulistiwa sampai kutub-kutub utara dan selatan (Van steenis 2006).

Van steenis (2006) juga menyebutkan bahwa pembagian zonasi berdasarkan ketinggian terbentuk karena perbedaan kondisi suhu dan iklim. Hal ini mengakibatkan perbedaan komposisi baik flora dan fauna pada setiap zonasi. TNGP memiliki 3 zonasi atau tipe hutan, yaitu submontana (100-1500 mdpl), montana (1500-2400 mdpl) dan sub alpin (>2400 m dpl) (BTNGP 1996). Hutan submontana memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Seiring dengan perubahan ketinggian maka semakin berkurang keanekaragaman flora dan faunanya.

Ketinggian juga berpengaruh pada penyebaran amfibi. Hasil penelitian Morrison dan Hero (2003) membuktikan bahwa populasi amfibi pada daerah yang tinggi cenderung untuk memiliki periode aktivitas dan musim breeding yang pendek, fase larva atau berudu yang lebih panjang, masa metamorposis atau perubahan bentuk yang lebih lama, masa dewasa yang lama sehingga mencapai

kematangan reproduksi pada umur yang lebih tua, jumlah telur tergantung ukuran tubuh serta menghasilkan telur yang lebih besar

Berdasarkan penelitian Kusrini et al. (2005), Katak Pohon Jawa biasanya berada pada ketinggian antara 1500-2000 mdpl.

Gambar 18. Peta ketinggian titik beberapa Katak Pohon Jawa

Kebanyakan dari jenis Katak Pohon Jawa ditemukan pada ketinggian 1500-2000 m dpl, tetapi tidak menutup kemungkinan jenis ini ditemukan pada daerah yang lebih rendah dari 1500 m dpl. Beberapa lokasi yang pernah ditemukan jenis ini seperti PPKA Bodogol (700 m dpl) (Kusrini 2005), Situ Gunung (1025 m dpl), Salabintana (1175 m dpl) dan Ciwalen (1400 m dpl) (Kusrini 2005). Tetapi jumlah yang ditemukan pada daerah ini tidak sebanyak pada daerah dengan ketinggian 1500-2000 mdpl. Hal ini menunjukkan bahwa Katak Pohon Jawa ini lebih menyukai habitat dengan ketinggian 1500-2000 m dpl.

Ketinggian juga berpengaruh pada kemiringan lereng. Hasil dari analisis PCA menunjukkan bahwa pengaruh kemiringan lereng terhadap penyebaran jenis ini tidak signifikan. Pada analisis PCA, kemiringan lereng masuk dalam komponen kedua dan merupakan variabel yang paling kecil pengaruhnya terhadap penyebaran Katak Pohon Jawa di TNGP dibanding keempat variabel lainnya (jarak dari sumber air, sebaran temperatur, kerapatan tajuk dan ketinggian). Hal ini diduga dikarenakan jenis katak ini hidup arboreal sehingga tidak terlalu bergantung pada kemiringan lereng. Pada pengamatan di Curug Cibereum, beberapa dari jenis ini ditemukan berada pada vegetasi di kemiringan lebih dari 45%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemiringan lereng tidak terlalu berpengaruh terhadap sebaran jenis Katak Pohon Jawa.

5.2.2. Sumber-Sumber Bias

Di dalam analisis spasial model kesesuaian habitat Katak Pohon Jawa terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan kemungkinan terjadinya error atau data kurang akurat. Faktor tersebut disebut bias. Sumber-sumber bias tersebut diantaranya :

1. Topografi

Kondisi TNGP yang berbukit dan bergunung-gunung menyebabkan terjadinya perbedaan penerimaan cahaya matahari di permukaan bumi, dimana efek topografi yang terjal akan membuat obyek ternaungi oleh bayangan topografi tersebut. Sementara obyek yang berada pada kondisi topografi datar atau terkena sinar matahari langsung tak akan mendapat efek naungan. Perbedaan topografi akan memberikan efek perbedaan persentasi pencahayaan suatu obyek oleh matahari.

Adanya efek naungan akibat perbedaan topografi berdampak pada perbedaan nilai piksel obyek yang sama pada kondisi pencahayaan yang berbeda. Contohnya pada penentuan nilai piksel vegetasi untuk penghitungan nilai LAI, vegetasi yang sama akan memiliki nilai piksel yang berbeda akibat efek naungan pada saat perekaman citra.

Selain pada penentuan nilai piksel kerapatan vegetasi (LAI), efek naungan juga dapat terjadi pada penentuan nilai suhu pada suatu daerah. Daerah yang ternaungi dan tidak ternaungi akan memiliki nilai piksel suhu yang berbeda pada obyek yang sama pada saat perekaman citra.

2. Perbedaan/Penyimpangan letak jalur sungai dan jalan pada data vektor bila dibandingkan dengan data raster citra satelit.

Perbedaan data vektor dan raster dapat disebabkan oleh perbedaan input data, dimana input data pada data vektor adalah melalui proses digitasi yang dilakukan oleh manusia sehingga memungkinkan terjadinya human error yang lebih besar dibanding dengan perekaman citra permukaan bumi oleh citra satelit yang dilakukan secara otomatis. Tetapi walaupun demikian tidak menutup kemungkinan terjadinya kesalahan pada perekaman citra.

Penyimpangan dapat diperkecil dengan koreksi geometrik, yaitu dengan mencocokkan letak titik pada lokasi yang sama antara data vektor (jalan dan sungai) dengan data raster (citra satelit).

3. Penentuan titik sebaran katak.

Letak titik sebaran katak dapat ditentukan melalui survei langsung ke lapang dan mencatat titik-titik geografis katak yang ditemukan dengan menggunakan GPS. Keakuratan posisi katak sangat ditentukan oleh keadaan penutupan vegetasi, dimana kondisi daerah dengan penutupan tajuk yang rapat dapat menyebabkan gangguan penerimaan sinyal sehingga dapat mengakibatkan bergesernya titik keberadaan katak. Hal serupa juga ditemukan dalam penelitian rusa di Kolombia (Apps & Kinley 2000). Selain itu, penerimaan sinyal juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat, dimana pada daerah dengan elevasi yang tinggi akan mendapatkan sinyal yang lebih baik (Apps & Kinley 2000).

4. Variabel mikro habitat lainnya

Selain kelima variabel (suhu, kerapatan tajuk, jarak dari sumber air, ketinggian dan kemiringan lereng), masih banyak faktor lain yang berpengaruh terhadap keberadaan Katak Pohon Jawa. Hal ini disebabkan karena amfibi menempati mikro habitat tertentu dengan variabel seperti kualitas air, tanaman air tertentu, kedalaman air dan lebar sungai. Akan tetapi variabel tersebut sampai saat ini belum dapat dianalisis secara spasial.

5.2.3 Ancaman Terhadap Habitat Katak Pohon Jawa

TNGP merupakan kawasan yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan di Indonesia. Tidak kurang dari 30.000 pengunjung tiap tahunnya datang ke kawasan ini (Whitten et al. 1996). Hal ini mengakibatkan terjadinya beberapa masalah seperti pembuangan sampah dan perusakan habitat. Oleh karena itu, pihak pengelola mengambil langkah dengan menambah rute menuju puncak Gede dan Pangrango (Whitten et al. 1996) sehingga pengunjung tidak menumpuk di satu lokasi atau rute. Akan tetapi dengan banyaknya rute ini menyebabkan banyak pengunjung ilegal dan masyarakat lokal yang masuk ke dalam kawasan tanpa diketahui petugas untuk mengambil hasil hutan baik flora atau faunanya dan kemudian dijual ke wisatawan (Whitten et al. 1996).

Beberapa lokasi yang menjadi habitat bagi Katak Pohon Jawa seperti di daerah Danau Telaga Biru dan Curug Cibereum merupakan lokasi yang menjadi daya tarik wisata alam. Daerah ini merupakan bagian dari zona pemanfaatan TNGP. Hal ini memungkinkan terjadinya kerusakan habitat baik yang disebabkan

laporan BTNGP (2003) beberapa masalah yang dapat mengancam kelestarian satwa liar dan habitatnya khususnya jenis Katak Pohon Jawa ini di TNGP antara lain :

1. Penebangan liar, masih dilakukan oleh sebagian masyarakat sekitar hutan meskipun dengan frekuensi yang relatif kecil. Penebangan liar dilakukan untuk kebutuhan pembuatan gubug pertanian, bahan mebel, bahan/ alat rumah tangga, bahan bangunan rumah dan kayu bakar. Hal ini dapat merusak habitat Katak Pohon Jawa karena habitat utamanya adalah arboreal.

2. Perburuan liar, dilakukan secara tradisional (jerat burung, menggunakan anjing) maupun dengan menggunakan senapan angin. Jenis satwa yang sering diburu yaitu burung, babi hutan, kijang, cacing sonari, kupu-kupu, dan lain-lain. Pengambilan Katak Pohon Jawa oleh masyarakat belum pernah terlihat, namun di beberapa tempat jenis ini telah diperjualbelikan sebagai hewan piaraan.

3. Kebakaran hutan masih sesekali terjadi di setiap seksi konservasi wilayah. Hal ini dapat mengurangi luasan berhutan yang menjadi habitat katak ini. 4. Pencemaran lingkungan (sampah dan vandalisme) sebagai dampak dari

adanya pengunjung. Sampah yang dapat mencemari habitat katak ini khususnya sampah anorganik seperti plastik, kaleng, bahkan sabun dan bahan lainnya yang dapat mencemari air akan dapat meracuni larva atau berudu yang hidup di air.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 . Kesimpulan

1. Model Habitat Racophorus javanus adalah sbb Y = {(1.71x FKKetinggian) + (1.07x FKKemiringan lereng) + (1.71x FKKerapatan tajuk) + (1.71x FKJarak dari Sungai) + (1.71x FKTemperatur) }.

2. Habitat dengan tingkat kesesuaian tinggi mempunyai luas yaitu 2290.995 Ha, tingkat kesesuaian habitat rendah mempunyai luas 21167.5 Ha dan tingkat kesesuaian sedang mempunyai luas 958.7475 Ha .

3. Validasi tingkat kesesuaian habitat rendah yaitu 0 %, tingkat kesesuaian habitat sedang 6,25 %, tingkat kesesuaian habitat tinggi 93,75 %. Model dapat diterima dengan tingkat validasi mencapai 93,75 % untuk kesesuaian habitat tinggi.

4. Kemungkinan hasil bias disebabkan oleh faktor penyimpangan nilai piksel akibat perbedaan topografi, perbedaan data vektor dan data raster, kurangnya penerimaan sinyal GPS pada daerah dengan penutupan tajuk yang rapat dan adanya faktor habitat lain yang belum bisa dianalisis secara spasial.

5. Beberapa daerah yang merupakan habitat katak pohon jawa adalah daerah yang berada dalam zona pemanfaatan TNGP sehingga sangat rentan terhadap kerusakan habitat oleh manusia.

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan analisis spasial secara keseluruhan di Pulau Jawa dengan tambahan beberapa variabel lainnya seperti jarak dari

disturbance area, jarak dari pemukiman dan variabel lainnya untuk mendapatkan model habitat yang lebih baik dan lebih luas bagi jenis Katak Pohon Jawa.

2. Perlu lebih banyak lagi titik untuk validasi model di beberapa daerah yang belum pernah dikunjungi untuk mendapatkan data yang lebih valid.

Dalam dokumen MUHAMMAD IRFANSYAH LUBIS (Halaman 54-60)

Dokumen terkait