• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEUANGAN DAERAH

Dalam dokumen | zerosugar (Halaman 98-111)

Bagian Kesatu

Prinsip Umum Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dengan Daerah

Pasal 279

(1) Pemerintah Pusat memiliki hubungan keuangan dengan Daerah untuk membiayai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan kepada Daerah.

(2) Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pemberian sumber penerimaan Daerah berupa pajak daerah dan retribusi daerah;

b. pemberian dana bersumber dari perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; c. pemberian dana penyelenggaraan otonomi khusus untuk Pemerintahan Daerah tertentu yang

ditetapkan dalam undang-undang; dan

d. pemberian pinjaman dan/atau hibah, dana darurat, dan insentif (fiskal).

(3) Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang ditugaskan kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pendanaan sesuai dengan Urusan Pemerintahan yang ditugaskan sebagai pelaksanaan dari Tugas Pembantuan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan undang-undang.

Pasal 280

(1) Dalam menyelenggarakan sebagian Urusan Pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara Pemerintahan Daerah mempunyai kewajiban dalam pengelolaan keuangan Daerah. (2) Kewajiban penyelenggara Pemerintahan Daerah dalam pengelolaan keuangan Daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. mengelola dana secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel;

b. menyinkronkan pencapaian sasaran program Daerah dalam APBD dengan program Pemerintah Pusat; dan

c. melaporkan realisasi pendanaan Urusan Pemerintahan yang ditugaskan sebagai pelaksanaan dari Tugas Pembantuan.

Bagian Kedua

Hubungan Keuangan Antar-Daerah

Pasal 281

(1) Daerah dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat memiliki hubungan keuangan dengan Daerah yang lain.

(2) Hubungan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bagi hasil pajak dan nonpajak antar-Daerah;

b. pendanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah yang menjadi tanggung jawab bersama sebagai konsekuensi dari kerja sama antar-Daerah;

c. pinjaman dan/atau hibah antar-Daerah; d. bantuan keuangan antar-Daerah; dan

e. pelaksanaan dana otonomi khusus yang ditetapkan dalam Undang-Undang.

Bagian Ketiga

Pendanaan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Daerah

Pasal 282

APBD.

(2) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di Daerah didanai dari dan atas beban APBN.

(3) Administrasi pendanaan penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpisah dari administrasi pendanaan penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Bagian Keempat

Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah

Pasal 283

(1) Pengelolaan keuangan Daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah sebagai akibat dari penyerahan Urusan Pemerintahan. (2) Pengelolaan keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertib, taat pada

ketentuan peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.

Pasal 284

(1) Kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan Daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

(2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan keuangan Daerah kepada pejabat Perangkat Daerah.

(3) Pelimpahan sebagian atau seluruh kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan yang menerima atau mengeluarkan uang.

Bagian Kelima

Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan

Paragraf 1 Pendapatan

Pasal 285

(1) Sumber pendapatan Daerah terdiri atas: a. pendapatan asli Daerah meliputi:

2. retribusi daerah;

3. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan 4. lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah;

b. pendapatan transfer; dan

c. lain-lain pendapatan Daerah yang sah.

(2) Pendapatan transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. transfer Pemerintah Pusat terdiri atas:

1. dana perimbangan;

2. dana otonomi khusus;

3. dana keistimewaan; dan

4. dana Desa.

b. transfer antar-Daerah terdiri atas: 1. pendapatan bagi hasil; dan

2. bantuan keuangan.

Pasal 286

(1) Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Perda.

(2) Pemerintah Daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar yang diatur dalam undang-undang.

(3) Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (1) huruf a angka 3 dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (1) huruf a angka 4 ditetapkan dengan Perda dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 287

(1) Kepala daerah yang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar yang diatur dalam undang- undang dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.

(2) Hasil pungutan atau dengan sebutan lain yang dipungut oleh kepala daerah di luar yang diatur dalam undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetorkan seluruhnya ke kas negara.

Pasal 288

Dana perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (2) huruf a angka 1) terdiri atas:

a. DBH;

b. DAU; dan

Pasal 289

(1) DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 huruf a bersumber dari:

a. pajak;

b. cukai; dan

c. sumber daya alam.

(2) DBH yang bersumber dari pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. pajak bumi dan bangunan (PBB); dan

b. PPh Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21. (3) DBH yang bersumber dari cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah cukai hasil

tembakau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) DBH yang bersumber dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berasal dari: a. penerimaan kehutanan yang berasal dari iuran izin usaha pemanfaatan hutan (IIUPH), provisi

sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan;

b. penerimaan pertambangan mineral dan batubara yang berasal dari penerimaan iuran tetap (landrent) dan penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty) yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan;

c. penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan;

d. penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan; dan

e. penerimaan dari panas bumi yang berasal dari penerimaan setoran bagian Pemerintah Pusat, iuran tetap, dan iuran produksi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan.

(5) Menteri teknis menetapkan Daerah penghasil dan rencana penerimaan negara dari sumber daya alam per Daerah sebagai dasar alokasi dana bagi hasil sumber daya alam paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan.

(6) Dalam hal sumber daya alam berada pada wilayah yang berbatasan atau berada pada lebih dari satu Daerah, menteri teknis menetapkan Daerah penghasil sumber daya alam berdasarkan pertimbangan Menteri paling lambat 60 (enam puluh) Hari setelah usulan pertimbangan dari Menteri diterima. (7) Daerah penghasil dan rencana penerimaan negara dari sumber daya alam per Daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.

Pasal 290

(1) DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 huruf b dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

(2) DAU suatu Daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal.

(3) Proporsi DAU antara Daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan pertimbangan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah provinsi dan kabupaten/kota.

(4) Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal Daerah.

(5) Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, baik Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait

Pelayanan Dasar dan tidak terkait Pelayanan Dasar maupun Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).

(6) Kapasitas fiskal Daerah merupakan sumber pendanaan Daerah yang berasal dari pendapatan asli Daerah dan DBH.

(7) Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 291

(1) Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan DAU dalam nota keuangan dan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya, yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.

(2) Kebijakan DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas terlebih dahulu dalam forum dewan pertimbangan otonomi daerah sebelum penyampaian nota keuangan dan rancangan APBN ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.

(3) Dalam menetapkan kebijakan DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat mempertimbangkan Daerah yang berciri kepulauan.

(4) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan menetapkan alokasi DAU untuk setiap Daerah provinsi dan kabupaten/kota setelah APBN ditetapkan.

Pasal 292

(1) DAK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 huruf c bersumber dari APBN dialokasikan pada Daerah untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

(2) Kebijakan DAK dibahas dalam forum dewan pertimbangan otonomi daerah sebelum penetapan rencana kerja Pemerintah Pusat.

(3) Menteri teknis/kepala lembaga pemerintah nonkementerian mengusulkan kegiatan khusus kepada kementerian yang menyelenggarakan perencanaan pembangunan nasional dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.

(4) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang perencanaan pembangunan nasional mengoordinasikan usulan kegiatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan Menteri, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan, dan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk ditetapkan dalam rencana kerja Pemerintah Pusat sebagai kegiatan khusus yang akan didanai DAK.

(5) Kegiatan khusus yang telah ditetapkan dalam rencana kerja Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi dasar pengalokasian DAK.

(6) Alokasi DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) per Daerah ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai supervisi, pemonitoran dan pengevaluasian atas penggunaan DBH, DAU, dan DAK diatur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 294

(1) Dana otonomi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (2) huruf a angka 2 dialokasikan kepada Daerah yang memiliki otonomi khusus sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai otonomi khusus.

(2) Dana keistimewaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (2) huruf a angka 3 dialokasikan kepada Daerah istimewa sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai keistimewaan. (3) Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (2) huruf a angka 4 dialokasikan oleh

Pemerintah Pusat untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan, serta pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan kewenangan dan kebutuhan Desa sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai Desa.

(4) Pendapatan bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (2) huruf b angka 1 adalah dana yang bersumber dari pendapatan tertentu Daerah yang dialokasikan kepada Daerah lain berdasarkan angka persentase tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (2) huruf b angka 2 adalah dana yang diberikan oleh Daerah kepada Daerah lainnya baik dalam rangka kerja sama Daerah maupun untuk tujuan tertentu lainnya.

Pasal 295

(1) Lain-lain pendapatan Daerah yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (1) huruf c merupakan seluruh pendapatan Daerah selain pendapatan asli Daerah dan pendapatan transfer, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari Pemerintah Pusat, Daerah yang lain, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri yang bertujuan untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

Pasal 296

(1) Dana darurat dapat dialokasikan pada Daerah dalam APBN untuk mendanai keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana yang tidak mampu ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan sumber APBD.

(2) Ketidakmampuan keuangan Daerah dalam menangani bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

(3) Dana darurat sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) diberikan pada tahap pascabencana.

(4) Dana darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk mendanai perbaikan fasilitas umum untuk melayani masyarakat.

(5) Dana darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh Daerah yang mengalami bencana kepada Menteri.

(6) Menteri mengoordinasikan usulan dana darurat kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga pemerintah

nonkementerian terkait.

(7) Alokasi dana darurat kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.

Pasal 297

(1) Komisi, rabat, potongan, atau penerimaan lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dapat dinilai dengan uang secara langsung sebagai akibat dari penjualan, tukar menukar, hibah, asuransi, dan/atau pengadaan barang dan jasa termasuk penerimaan bunga, jasa giro, atau penerimaan lain sebagai akibat penyimpanan uang pada bank, penerimaan dari hasil pemanfaatan barang Daerah atau dari kegiatan lainnya merupakan pendapatan Daerah.

(2) Semua pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila berbentuk uang harus segera disetor ke kas umum Daerah dan berbentuk barang menjadi milik Daerah yang dicatat sebagai inventaris Daerah.

Paragraf 2 Belanja

Pasal 298

(1) Belanja Daerah diprioritaskan untuk mendanai Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar yang ditetapkan dengan standar pelayanan minimal.

(2) Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada standar teknis dan standar harga satuan regional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Belanja Daerah untuk pendanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada analisis standar belanja dan standar harga satuan regional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Belanja hibah dan bantuan sosial dianggarkan dalam APBD sesuai dengan kemampuan keuangan Daerah setelah memprioritaskan pemenuhan belanja Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Belanja hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan kepada:

a. Pemerintah Pusat;

b. Pemerintah Daerah lain;

c. badan usaha milik negara atau BUMD; dan/atau

d. badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia.

(6) Belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja untuk Desa dianggarkan dalam APBD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7) Belanja DAK diprioritaskan untuk mendanai kegiatan fisik dan dapat digunakan untuk kegiatan nonfisik.

Pasal 299

(2) Ketentuan mengenai belanja pimpinan dan anggota DPRD diatur dalam peraturan pemerintah.

Paragraf 3 Pembiayaan

Pasal 300

(1) Daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari Pemerintah Pusat, Daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat.

(2) Kepala daerah dengan persetujuan DPRD dapat menerbitkan obligasi Daerah untuk membiayai infrastruktur dan/atau investasi yang menghasilkan penerimaan Daerah setelah memperoleh

pertimbangan dari Menteri dan persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.

Pasal 301

(1) Daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan pinjaman utang luar negeri dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri.

(2) Perjanjian penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan dan kepala daerah.

Pasal 302

(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai pinjaman Daerah diatur dengan peraturan pemerintah. (2) Peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mengatur:

a. persyaratan bagi Daerah dalam melakukan pinjaman;

b. penganggaran kewajiban pinjaman Daerah yang jatuh tempo dalam APBD;

c. pengenaan sanksi dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pinjaman;

d. tata cara pelaporan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman setiap semester dalam tahun anggaran berjalan;

e. persyaratan penerbitan obligasi Daerah serta pembayaran bunga dan pokok obligasi; dan f. pengelolaan obligasi Daerah yang mencakup pengendalian risiko, penjualan dan pembelian

obligasi serta pelunasan dan penganggaran dalam APBD. (3) Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain.

Pasal 303

(1) Daerah dapat membentuk dana cadangan guna mendanai kebutuhan pembangunan prasarana dan sarana Daerah yang tidak dapat dibebankan dalam 1 (satu) tahun anggaran.

(2) Pembentukan dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda. (3) Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penyisihan atas penerimaan

Daerah kecuali dari DAK, pinjaman Daerah, dan penerimaan lain-lain yang penggunaannya dibatasi untuk pengeluaran tertentu.

(4) Penggunaan dana cadangan dalam satu tahun anggaran menjadi penerimaan pembiayaan APBD dalam tahun anggaran yang bersangkutan.

(5) Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditempatkan dalam rekening tersendiri dalam rekening kas umum Daerah.

(6) Dalam hal dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum digunakan sesuai dengan peruntukannya, dana tersebut dapat ditempatkan dalam portofolio yang memberikan hasil tetap dengan risiko rendah.

Pasal 304

(1) Daerah dapat melakukan penyertaan modal pada badan usaha milik negara dan/atau BUMD.

(2) Penyertaan modal Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditambah, dikurangi, dijual kepada pihak lain, dan/atau dapat dialihkan kepada badan usaha milik negara dan/atau BUMD.

(3) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 305

(1) Dalam hal APBD diperkirakan surplus, APBD dapat digunakan untuk pengeluaran pembiayaan Daerah yang ditetapkan dalam Perda tentang APBD.

(2) Pengeluaran pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk pembiayaan: a. pembayaran cicilan pokok utang yang jatuh tempo;

b. penyertaan modal Daerah;

c. pembentukan dana cadangan; dan/atau

d. pengeluaran pembiayaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal APBD diperkirakan defisit, APBD dapat didanai dari penerimaan pembiayaan Daerah yang

ditetapkan dalam Perda tentang APBD.

(4) Penerimaan pembiayaan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersumber dari: a. sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya;

b. pencairan dana cadangan;

c. hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan; d. pinjaman Daerah; dan

e. penerimaan pembiayaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 306

(1) Menteri melakukan pengendalian atas defisit APBD provinsi dengan berdasarkan batas maksimal defisit APBD dan batas maksimal jumlah kumulatif pinjaman Daerah yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.

(2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan pengendalian atas defisit APBD kabupaten/kota dengan berdasarkan batas maksimal defisit APBD dan batas maksimal jumlah kumulatif pinjaman Daerah yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.

(3) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan pada saat evaluasi terhadap rancangan Perda tentang APBD.

Paragraf 4

Pengelolaan Barang Milik Daerah

Pasal 307

(1) Barang milik Daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan Urusan Pemerintahan tidak dapat dipindahtangankan.

(2) Pelaksanaan pengadaan barang milik Daerah dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan dan kebutuhan Daerah berdasarkan prinsip efisiensi, efektivitas, dan transparansi dengan mengutamakan produk dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Barang milik Daerah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan Urusan Pemerintahan dapat dihapus dari daftar barang milik Daerah dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, disertakan sebagai modal Daerah, dan/atau dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dapat dijadikan tanggungan atau digadaikan untuk mendapatkan pinjaman.

Paragraf 5 APBD

Pasal 308

Menteri menetapkan pedoman penyusunan APBD setiap tahun setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang perencanaan pembangunan nasional dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.

Pasal 309

APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan Daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran sesuai dengan undang-undang mengenai keuangan negara.

Pasal 310

(1) Kepala daerah menyusun KUA dan PPAS berdasarkan RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (3) dan diajukan kepada DPRD untuk dibahas bersama.

(2) KUA serta PPAS yang telah disepakati kepala daerah bersama DPRD menjadi pedoman Perangkat Daerah dalam menyusun rencana kerja dan anggaran satuan kerja Perangkat Daerah.

(3) Rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan Daerah sebagai bahan penyusunan rancangan Perda

tentang APBD tahun berikutnya.

(4) Ketentuan mengenai tata cara penyusunan rencana kerja dan anggaran, serta dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja Perangkat Daerah diatur dalam Perda yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 311

(1) Kepala daerah wajib mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen- dokumen pendukungnya kepada DPRD sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memperoleh persetujuan bersama.

(2) Kepala daerah yang tidak mengajukan rancangan Perda tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.

(3) Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas kepala daerah bersama DPRD dengan berpedoman pada RKPD, KUA, dan PPAS untuk mendapat persetujuan bersama.

(4) Atas dasar persetujuan bersama DPRD dan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah menyiapkan rancangan Perkada tentang penjabaran APBD dan rancangan dokumen pelaksanaan anggaran.

Pasal 312

(1) Kepala daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD paling lambat 1 (satu) bulan sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun.

(2) DPRD dan kepala daerah yang tidak menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.

(3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dikenakan kepada anggota DPRD apabila keterlambatan penetapan APBD disebabkan oleh kepala daerah terlambat menyampaikan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD dari jadwal yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 313

(1) Apabila kepala daerah dan DPRD tidak mengambil persetujuan bersama dalam waktu 60 (enam puluh) Hari sejak disampaikan rancangan Perda tentang APBD oleh kepala daerah kepada DPRD, kepala daerah menyusun dan menetapkan Perkada tentang APBD paling tinggi sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan.

(2) Rancangan Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan setelah memperoleh pengesahan dari Menteri bagi Daerah provinsi dan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat bagi Daerah kabupaten/kota.

(3) Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), rancangan Perkada tentang APBD beserta lampirannya disampaikan paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak DPRD tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan Perda tentang APBD. (4) Apabila dalam batas waktu 30 (tiga puluh) Hari Menteri atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat

menetapkan rancangan Perkada dimaksud menjadi Perkada.

Pasal 314

(1) Rancangan Perda Provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh gubernur, paling lama 3 (tiga) Hari, disampaikan kepada Menteri untuk dievaluasi, dilampiri RKPD, serta KUA dan PPAS yang disepakati antara kepala daerah dan DPRD.

(2) Menteri melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk menguji kesesuaian rancangan Perda Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD dengan:

a. ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

b. kepentingan umum;

c. RKPD serta KUA dan PPAS; dan

d. RPJMD.

(4) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri kepada gubernur paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak rancangan Perda Provinsi dan rancangan peraturan gubernur dimaksud diterima.

(5) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, RKPD, KUA dan PPAS, serta RPJMD, gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan peraturan gubernur.

(6) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, RKPD, KUA dan PPAS, serta RPJMD, gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak hasil evaluasi diterima. (7) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan DPRD dan gubernur menetapkan

Dalam dokumen | zerosugar (Halaman 98-111)